PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-34


“Duduklah, ji-wi Ho-han!” kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi.
Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidak percayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!
“Wan-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah.
Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!
“Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!” kata Sin Kiat.
Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan seperjuangan’.
“Hemmm, siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?”
Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apa lagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.
“Saya bernama Han, she Suma.”
Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aslinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aslinya!
Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang hendak kau laporkan kepadaku?”
Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.
Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi. Tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima untuk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”
Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi.
Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu.....
********************
Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik.
Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata ‘membentur karang’ karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti! Segala usaha Setan Botak Gak Liat gagal total oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.
Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan prajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.
Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.
Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi menjadi berhenti dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi pihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.
Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.
Sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!
Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?
Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda!
Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat. Jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu?
Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.
“Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”
“Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.
“Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”
Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”
Han Han membelalakkan mata, kemudian tertawa memandang wajah tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. “Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki dan memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilangan!”
Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”
Han Han tertawa dan menggeleng kepala. “Manusia menjadi korban dari pada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimana pun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”
Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya. Ia bisa melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tentulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!
“Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku ingin mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemmm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”
“Ahh..., kau jangan pergi dulu, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan di sini. Para penyelidik melaporkan, kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”
“Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut? Aku tidak suka perang, apa lagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di sini.”
“Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”
Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”
Sin Kiat menggeleng kepala. “Memang sekarang kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja dengan pihak Mancu.”
Han Han sudah tahu akan hal ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang benar?”
“Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, ada pun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”
“Dan kau sendiri?”
Sin Kiat menggerakkan pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk membela negaranya!”
“Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.”
Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang. Andai kata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”
“Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.”
Sin Kiat menarik napas panjang. “Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.”
“Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?”
Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”
“Hemmm, aku...? Diperebutkan?”
“Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.”
Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”
“Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”
Demikianlah, mendengar bujukan dan nasehat Sin Kiat, Han Han kemudian menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apa lagi pada waktu itu pihak Mancu dan pihak pejuang hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.
Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya. Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan pangeran itu merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.
Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguh pun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.
Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.
“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”
Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.
Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”
Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itu pun tersenyum.
“Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku sebenarnya masih ada hubungan keluarga.”
“Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.
“Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.
Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia kemudian menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.
“Saya mohon penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.
Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”
Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”
Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma Taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”
Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?
“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.
Kembali kakek gundul itu tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.”
Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!
“Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.”
Pangeran Kiu tertawa bangga. “Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun...”
“Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.
“...sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih dari pada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”
“Hemmm, pujian kosong,” pikir Han Han sungguh pun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.
“Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggota Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”
Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggota keluarga Suma. Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, namun karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.
“Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”
“Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”
Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan kedua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.
Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada kedua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani. Akan tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka. Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.
Memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat.
Pangeran Kiu memberi isyarat sehingga semua penari dan pelayan mundur. Han Han baru bernapas lega, karena tadi, sungguh pun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.
“Suma Han-hiante, kini tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”
“Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?”
“Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”
Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguh pun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.
“Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walau pun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”
“Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”
“Hehhh? Bu-ongya...? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”
“Thian Tok Lama, harap sukalah memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.
Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak kekanak-kanakan itu kemudian berkata dengan sikap lunak, “Suma-taihiap, biar pun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!”
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu. Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.
“Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkan bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi itulah maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini hanyalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”
Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.
“Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”
Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggota keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.
“Akan tetapi, apakah bedanya? Andai kata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.
“Omitohud...! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li Lama yang kurus berkata.
“Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena sekarang terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”
Han Han pura-pura terheran. “Hemmm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”
“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini.”
Han Han mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud...!”
“Pangeran, maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu dari yang menang dan memperoleh kedudukan pula, biar pun tidak setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan, namun menjadi kenyataan selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah, orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”
Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!
Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman dari pada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?
Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, mau pun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!
“Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.
“Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapa pun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.
“Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”
Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.
********************
Dua hari kemudian ketika sedang termenung menyendiri, telinga Han Han menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki ginkang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.
“Suma-taihiap...!”
Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata, “Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada keperluan apakah?”
Thian Tok Lama tertawa. “Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”
Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”
Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm...!”
Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak, “Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”
“Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.”
Han Han membelalakkan matanya. “Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Pendeta itu memandang tajam. “Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”
“Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.
“Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”
“Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata lirih.
“Sayang... dia pemuda yang lihai sekali... sayang...!”
Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.
“Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”
Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”
“Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?”
Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu. “Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”
“Jangan!” Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.
Sin Kiat menarik napas panjang. “Ah, Lulu...!”
Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.
Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah ini pun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan. Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.
Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.
Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher. Matanya melirik ke kanan kiri, tongkatnya siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.
“Wir-wir-sing-sing-singgg!”
Dari arah belakang dan kiri meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul serbuan pasukan itu!
“Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat prajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.
“Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!
Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah, apa lagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu.
Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apa lagi di situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!
Betapa pun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur. Sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula prajurit-prajurit Mancu. Tiba-tiba bayangan orang tinggi besar menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas dan angin keras!
“Wuuuttttttt!”
Han Han meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.
“Hemmmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.
“Singgggggg...!”
Sinar merah menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang prajurit Mancu!
“Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!” kata Han Han.
Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.
“Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami dari pada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”
Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan ini pun menjaga dari empat penjuru.
“Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.
“Minggiriah, biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.
“Siuuuttttt... plakkk!”
Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.
“Sudahlah, aku pergi saja!” Han Han berkata kemudian tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu. Ia hendak mendobrak penjagaan para prajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.
Melihat ini, enam orang prajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para prajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.
Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar.
Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.
Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi dari pada Toat-beng Hwi-ciang. Jika ia menggunakan ilmu ini, sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi. Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apa lagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!
Namun, betapa pun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik. Tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.
“Desssss...!!”
Hawa pukulan yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para prajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.
Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.
“Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” bentak Han Han, akan tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.
“Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya.
Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para prajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.
Empat orang prajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar. Tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang prajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!
Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan kiri disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!
“Swinggggg...!”
Han Han cepat merendahkan tubuh, membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya lantas menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.
“Trang-tranggg...!”
Tampak api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.
Hal ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak pernah membutuhkan senjata tajam. Kedua tangan mereka lebih ampuh dari pada senjata tajam yang mana pun juga.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han