PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-35


Begitu Han Han membalikkan tubuhnya, ketiga orang sakti itu menyerangnya. Gerakan pedang di tangan Ma Su Nio cepat bukan main sehingga pedangnya merupakan sekelebatan sinar menyilaukan mata. Juga gerakan golok di tangan kedua orang Hek-pek Giam-ong mendatangkan angin berdesir, tanda bahwa tenaga mereka kuat sekali. Tiga orang ini menyerang dari depan, kanan dan kiri Han Han dan begitu senjata mereka meluncur dengan tangan kanan, tangan kiri mereka menyusul dengan pukulan Toat-beng Hwi-ciang dan Hiat-ciang!
Han Han yang baru saja membalikkan tubuh melihat berkelebatnya tiga batang senjata tajam itu, cepat menangkis dengan putaran tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga orang lawannya itu menyusulkan pukulan-pukulan tangan kiri yang amat kuat, maka ia hanya menangkis pedang dan golok.
“Cring-trang-tranggg...!”
Tiga batang senjata lawan ini terpental dan hampir terlepas dari pegangan, akan tetapi pukulan tiga tangan yang mengandung hawa sakti kuat, menyambar ke tubuh Han Han. Pemuda ini mengerahkan sinkang dan menerima pukulan itu. Tubuhnya bergoyang-goyang.
Melihat betapa tubuh Han Han bergoyang-goyang akibat sambaran tiga buah pukulan jarak jauh, Ma Su Nio menjadi girang dan mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah terluka. Ia mengeluarkan pekik melengking kemudian menubruk maju, pedangnya menusuk ke arah lambung kiri Han Han dan tangan kirinya dengan tenaga Hiat-ciang sepenuhnya mencengkeram ke arah leher.
Hebat bukan main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ini, dan entah mana yang lebih berbahaya antara pedang di tangan kanan ataukah pukulan Hiat-ciang tangan kirinya. Terjangan ganas yang merupakan serangan maut dari Ma Su Nio ini masih disusul oleh serbuan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang siap-siap mendekati dan mencari kesempatan baik sebagai perkembangan serangan Ma Su Nio.
Han Han melihat betapa para prajurit Mancu sudah mengepung rapat tempat itu, melihat pula sikap para tokoh kaum sesat yang siap hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa makin lama akan makin berbahayalah keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su Nio, ia mengeluarkan seruan keras, tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan terus menggunakan sinkang menempel pedang wanita itu. Pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bau amis itu tidak ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan kanannya yang terbuka telapak tangannya.
“Dukkk! Plakkk!”
Pedang dan tongkat bertemu dan melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio kembali mengeluarkan suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya melekat pada tongkat dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan pemuda itu, pertama-tama terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang amat dingin menjalar masuk ke tubuh melalui lengan kirinya.
“Aiiihhhhh!” Ia berseru, melepaskan pedangnya yang masih menempel tongkat lawan, menggunakan tangan kanannya untuk menghantamkan lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke arah dada Han Han.
“Bukkkkk!”
Han Han sengaja menerima pukulan tangan kanan wanita itu dan... telapak tangan Ma Su Nio menempel pada dadanya, langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan wanita itu. Ma Su Nio mengerahkan sinkang dan berusaha menarik kembali kedua lengannya, namun terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han adalah inti dari Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang amat luar biasa itu telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi seperti kaku dan membeku!
“Setan buntung!” Bentakan ini keluar dari mulut Pek-giam-ong.
Iblis yang berjuluk Raja Maut Putih ini mencelat maju hendak menolong sumoi-nya. Goloknya menyambar ke tengkuk Han Han dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sedangkan Hek-giam-ong juga sudah menusukkan goloknya untuk mendodet perut pemuda itu dari kanan.
Han Han melepaskan Ma Su Nio sambil meloncat mundur. Tubuh wanita itu roboh tak bernyawa lagi, roboh seperti patung kayu yang kaku. Sambil meloncat mundur Han Han merendahkan tubuh, tongkatnya menyelinap dari bawah, tangan kanannya didorongkan ke atas menggunakan hawa pukulan menangkis bacokan golok Pek-giam-ong.
Pek-giam-ong menjerit ngeri ketika tahu-tahu orang yang dibacok tengkuknya itu sekali mengangkat tangan membuat goloknya tertahan dan tanpa dapat ia elakkan lagi, tongkat Han Han yang tadi bergerak dari bawah, melemparkan pedang Ma Su Nio yang tadi menempel di ujung tongkat.
Pedang itu meluncur seperti anak panah dari jarak dekat, menembus perut Pek-giam-ong sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata melihat ke perutnya, kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu dan... berbareng dengan menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis muka putih ini menubruk maju!
Han Han menangkis pedang itu, sekaligus ia mengirim tendangan yang membuat tubuh lawan itu tergelimpang dan tewas. Cara Han Han menendang amatlah mengherankan, tubuhnya mencelat ke atas, di udara kakinya bergerak dan tendangannya seperti tendangan ayam jago bertanding. Sambil menendang, ia telah menyambar pedang Ma Su Nio dengan tangan kanan, pedang yang oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk menyerangnya dalam keadaan sudah sekarat tadi.
Hek-giam-ong sudah menubruk dengan kemarahan meluap-luap. Melihat kematian dua orang saudara seperguruannya, ia menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum bahwa dengan pukulan dan senjata akan percuma terhadap pemuda buntung itu, ia telah membuang goloknya dan menubruk maju memeluk pinggang Han Han dari belakang.
Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan mencengkeram perut, dan yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik pemuda buntung ini bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak kehilangan akal. Mula-mula tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan sinkang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.
Semua prajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang mata. Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han Han.
Han Han melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan ke arahnya. Pendeta Lama itu berdiri setengah berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas. Itulah pukulan jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat. Agaknya kakek ini sudah mengenal gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat, maka ia sengaja menghadangnya dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah tubuh Han Han.
Han Han terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu gerak kilat Soan-hong-lui-kun. Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sinkang di tangan kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat ‘meminjam’ hawa pukulan lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara kagum, “Omitohud...!”
Dari pohon sebelah kiri menyambar pula angin pukulan yang biar pun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun dibarengi bentakan, “Robohlah!”
Luar biasa sekali bentakan ini karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh! Biar pun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya dari pada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting, seolah-olah lebih parah terkena ‘pukulan’ bentakan itu pada lubuk hatinya.
Masih untung bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang aneh. Andai kata tidak demikian, tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi. Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya. Sekarang kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri sambil membentak lagi, “Robohlah!”
Han Han merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia mengerahkan semua sinkang-nya, maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan. Secara otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini memiliki sinkang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sinkang-nya menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan Yang-kang.
“Wuuut... wuuuttttt... desssssss!”
Pertemuan tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah. Tubuh Thai Li Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah sekali. Dalam detik berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil melangkah dekat.
Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu sudah mencelat ke atas. Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya merasakan sambaran angin pukulan teman.
Han Han mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak musuh telah melakukan persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari situ.
Begitu ia turun, ia sudah dikepung lagi oleh puluhan orang prajurit Mancu. Senjata pasukan ini datang menyerangnya bagaikan hujan. Han Han makin marah. Ia memang tidak suka berkelahi dengan mereka, akan tetapi kalau dipaksa seperti itu, tentu saja ia harus membela diri mati-matian. Ia mengeluarkan seruan keras, tongkat dan pedang rampasannya ia gerakkan seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam waktu singkat enam orang pengeroyok roboh dan tewas.
“Minggir...!” Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para prajurit itu dan hanya mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.
Han Han berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.
Mereka itu bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang kepalanya ada ‘telurnya’, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata seekor burung bangau mengintai katak!
Han Han bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biar pun berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata.
Bhong Lek si Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh terlampau banyak. Kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya akan habis untuk menghadapi tiga orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han Han amatlah cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang lihai itu pun kini menjadi amat terkejut. Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li, dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu!
Karena itu, biar pun terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah meloncat naik pula. Senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.
“Tranggggg...!”
Pedang rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itu pun patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan main. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan setelah meloncat bangun, Ciam Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung suheng-suheng-nya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka. Namun kini mereka berdua maju berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan tongkat bututnya Han Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan tenaga.
Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat.
Dua buah kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat gerakan tongkat yang amat hebat, apa lagi didasari ginkang yang sukar dicari lawannya dan tenaga sinkang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan pemuda buntung ini!
Selama tiga empat puluh jurus kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini, bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu itu mencelat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi sute-nya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang berdasarkan sinkang mereka yang kuat!
Thian Tok Lama sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han Han. Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret seperti sedang menggambar atau menulis huruf di udara.
Han Han juga maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sinkang yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.
Han Han merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke arah kedua lengannya. Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biar pun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!
Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua orang lawannya tidak seimbang. Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat. Melihat kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin sukar baginya mencapai kemenangan. Dalam hal sinkang, ia percaya kepada tenaganya sendiri, dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan ginkang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.
Para prajurit Mancu dan para tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang aneh bagi para prajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka paham betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat. Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua orang hwesio Tibet itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main. Dari sebelah kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya tarik yang sukar dilawan.
“Menyerahlah... engkau tidak kuat lagi... menyerahlah... berlututlah...!”
Suaranya sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri, betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.
“Menyerahlah, berlutut...!”
Suaranyakah itu? Ah, bukan! Itu suara Thai Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu, seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para prajurit Mancu yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan tubuh gemetar.
“Setan!” Han Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan sinkang-nya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri.
Kiranya telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thai Li Lama dan melihat pendeta kurus ini mulutnya berkemak-kemik. Tangan kanan pendeta ini menempel di tangan kirinya dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh. Kini mengertilah Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam.
Teringat ia akan kekuatan mukjizat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di dalam hatinya ia membentak, “Thai Li Lama, mengapa kau menyuruh orang lain? Engkaulah yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”
Tiba-tiba pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan... kedua kakinya bertekuk lutut!
“Ji-suheng...!” terdengar suara parau Burung Hantu.
Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan seluruh tenaganya melawan hawa dingin.
“Aihhhhhh...!” Han Han mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sinkang-nya, dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh kekuatan mukjizat Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi, pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biar pun dia dapat menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan tadi hampir saja ia celaka ketika sejenak ia tertekan hebat.
Maklum bahwa tidak boleh ia berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil berteriak.
“Hyyyaaaaattttt!”
Inti tenaga sinkang Han Han memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan kemauan untuk melatih sinkang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah memiliki sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau Es, tentu saja tingkatnya menjadi amat tinggi.
Biar pun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa sinkang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya. Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sinkang untuk menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi, Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini biar pun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biar pun lukanya tidak seberat kedua orang lawan. Begitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah segar. Ia pejamkan kedua matanya dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
“Aku hanya ingin mencari adikku... kenapa kalian mendesakku...?” Mulutnya berbisik penuh penyesalan.
Tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar tubuh. Akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.
“Desssss...!”
Tubuh Han Han terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan mengenai tanah tempat ia tadi rebah.
Melihat pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik mengejar dan mengirim pukulan pula.
“Pengecut curang...!” Han Han memapaki, terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi ia pening.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” Ciam Tek tertawa mengejek.
Kembali ia melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan ini dari guru kedua orang pendeta Lama ini, maka mereka itu terhitung suheng-suheng-nya.
Pukulannya yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) ini pun mengeluarkan uap hitam dan beracun. Sungguh pun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan pukulan maut ini. Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi Han Han kini sudah marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apa lagi Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak mau mengelak, melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil mengerahkan Im-kang.
“Desssss!”
Si Burung Hantu jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam ke arah ulu hati Han Han.
Pemuda ini miringkan tubuh mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok. Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat sedikit dan... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
“Heh-heh-heh!” Ciam Tek mengejek.
Kembali kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kiri membacok kepala, yang kanan menonjok perut. Pada saat itu tiga orang perwira Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
“Pergi, jangan bantu...!” Si Burung Hantu membentak.
Tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka tidak semestinya menyerang terus. Namun karena penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah berlomba memperebutkan jasa.
Diam-diam Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah dan terluka. Biar pun dia masih sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Untung baginya bahwa tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki kepandaian tinggi.
Hal ini menguntungkan dia dan merugikan Ciam Tek. Bagi ahli silat tinggi, bantuan dari orang-orang yang tingkat kepandaiannya tidak seimbang bukan merupakan bantuan, bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi Ciam Tek berteriak mencegah mereka sungguh pun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri saja.
Han Han membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah dekat sekali, kemudian ia menangkap kedua tombak dengan kedua tangan sedangkan kakinya menendang roboh perwira ketiga. Sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!
“Tolol kamu!” Ciam Tek mendengus marah.
Kedua tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han Han. Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang perwira Mancu, ia sudah loncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat menotok.
Si Burung Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek memang amat lihai. Biar pun serangan Han Han ini amat cepat dan terjadi hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua orang perwira, namun ia masih dapat menghadapinya. Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok lehernya. Tetapi karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga sinkang.
“Krakkk! Auuuggghhh!”
Si manusia burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang tangan kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.
Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat, padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka, sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.
“Krakkk...! Crotttt...!”
Terdengar jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han karena memang tadinya tulang itu telah retak.
Han Han menyeringai kesakitan. Biar pun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat sekali, membuat napasnya sesak dan matanya berkunang. Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya, maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.
Akan tetapi, selagi tubuhnya meloncat tiba-tiba kaki tunggalnya terbelit ujung rantai baja yang panjang dan kuat. Kiranya dia telah dikejar dan dikurung Sepasang Tikus Kuburan dan kakek kecil bertelanjang kaki yang telah menggerakkan rantai bajanya secara istimewa. Rantai baja itu meluncur cepat dan berhasil melibat pergelangan kaki Han Han selagi pemuda ini meloncat.
Han Han terkejut bukan main. Ia menendangkan kakinya namun tak dapat terlepas dari libatan rantai baja sehingga tubuhnya tertarik turun dan terbanting ke bawah! Cepat ia menggunakan lengan kiri merangkul batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting. Pada saat itu tampak sinar berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah menyambar ke arah lehernya!
Han Han menjadi amat marah. Teriakan dahsyat keluar dari kerongkongannya, teriakan yang mengandung hawa khikang sehingga si manusia berkepala benjol itu terkejut. Gerakannya tertahan sedetik, namun cukup bagi Han Han yang masih bergantung dengan lengan kiri pada batang pohon sedangkan kaki tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han Han gerakkan tangan kanannya, mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sinkang dan sekali betot pedang itu telah dirampasnya. Pergelangan tangannya bergerak, pedang membalik dan kini ia telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan ke lambung Bhong Phoa Sik.
Pengerahan sinkang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi gelap, namun Han Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga pedang rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik. Bukan itu saja, juga berbareng ia mengerahkan tenaga pada kakinya, menarik kaki itu ke belakang. Bersamaan dengan jerit kematian yang keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama semburan darahnya, terdengar pekik kaget kakek yang memegang ujung rantai karena tubuhnya terbawa oleh tarikan kaki Han Han. Betapa pun ia mempertahankan, tetap saja tubuhnya terbawa melayang ke arah Han Han.
“Cappppp!”
Han Han terkejut bukan main. Karena pandang matanya gelap, ia kurang waspada sehingga pada saat ia menusukkan pedang ke lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh kekek yang memegang rantai, sebuah tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong Lek si Muka Tikus menancap di paha kaki tunggalnya!
Rasa sakit membuat Han Han makin marah. Tubuh kakek yang memegang rantai itu telah melayang dekat dan sekali Han Han menendang ke belakang, tumit kakinya menendang perut kakek itu yang seketika putus napasnya karena isi perutnya remuk! Dan Bhong Lek yang tadinya girang dapat melukai paha Han Hang tiba-tiba melihat sinar bergulungan di depan matanya dan... arwahnya melayang tanpa disadarinya karena tahu-tahu leher Si Muka Tikus ini telah putus oleh sinar pedang yang digerakkan Han Han.
Pemuda buntung ini berdiri dengan kaki tunggalnya yang terluka dan bercucuran darah. Pedang di tangan kanan, tongkat di tangan kiri, tubuhnya agak bergoyang, rambutnya riap-riapan, mukanya beringas penuh keringat, pakaiannya berlepotan darahnya sendiri dan darah para korban yang tewas di tangannya. Dia siap menghadapi maut, akan tetapi kematiannya akan ditebus mahal sekali oleh musuh-musuhnya karena dia siap untuk membela diri mati-matian sampai tetesan darah terakhir!
Para perwira dan prajurit Mancu gentar menghadapi pemuda kaki buntung yang luar biasa itu. Kakak beradik Tikus Kuburan tewas, kakek Mongol yang terkenal lihai dengan rantai bajanya juga tewas, tiga orang murid Setan Botak yang amat lihai tewas pula, belum lagi banyak prajurit dan perwira yang roboh. Bahkan kedua orang pendeta Tibet masih duduk bersila memejamkan mata memulihkan tenaga! Namun, para prajurit yang mengurung itu pun maklum bahwa pemuda buntung yang sakti itu sudah terluka hebat.
“Tangkap... Bunuh...!” terdengar teriakan-teriakan.
“Jangan dekati!” teriak seorang perwira. “Serang dengan anak panah...!”
Sibuklah para prajurit, seperti serombongan orang yang ketakutan mengurung seekor harimau yang ganas dan kuat. Han Han menggigit bibirnya. Tak mungkin dia menerjang maju karena kakinya, satu-satunya anggota badan yang ia andalkan untuk menahan tubuh, telah terluka cukup parah. Tidak, kalau ia menggerakkan kakinya berarti ia memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan tetap berdiri di situ dan menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!
“Serrr... serrr-serrrrr...!” Puluhan batang anak panah menyambar.
Han Han memutar pedang rampasan di tangannya sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali. Tampak bunga api berpijar dan disusul pekik beberapa orang prajurit yang termakan anak panah mereka sendiri yang membalik oleh tangkisan Han Han.
Sebagian besar anak panah runtuh, ada sebatang menancap di antara rambut yang awut-awutan itu seperti hiasan rambut, dan sebatang lagi menancap di bajunya setelah melukai kulit pinggul, tidak dapat menembus kulit karena Han Han memutar pedang sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh!
“Hentikan serangan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ternyata di tempat itu telah datang pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih yang merupakan pasukan pilihan Mancu, dikepalai oleh seorang wanita yang cantik sekali, cantik dan gagah serta bermata seperti bintang kembar.
“Han-koko...! Aihh... kalian orang-orang gila! Berani menyerang kakakku? Pergi semua! Pergi...! Dia itu Han-koko, kakakku...! Han-koko...!”
Gadis jelita yang gagah perkasa itu bukan lain adalah Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui, telah menjadi sumoi dari Puteri Nirahai di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu nenek bangsa Khitan yang sakti itu. Kemudian, karena pelaporan dari barisan yang menyerbu Se-cuan selalu terpukul mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran dan datang sendiri ke garis depan di perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.
Ketika itu Lulu sedang bertugas meronda tapal batas memimpin sebuah pasukan. Tentu saja ia segera mengenal Han Han dan kedatangannya pada saat yang amat tepat itu menyelamatkan kakaknya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika melihat bahwa kakaknya itu berdiri hanya dengan sebuah kaki!
“Han-ko...!” Ia menjerit lagi, meloncat turun dari kudanya dan melesat cepat seperti terbang, langsung menubruk dan berlutut merangkul kaki Han Han yang tinggal sebuah sambil menangis sesenggukan.
“Lulu...!” Han Han juga memanggil nama adiknya dengan hati yang amat tidak karuan rasanya.
Mula-mula semangatnya seperti terbang saking girangnya mendengar suara dan melihat betapa adiknya masih sehat dan selamat, akan tetapi hatinya menjadi perih melihat kedatangan adiknya itu bersama pasukan Mancu. Karena itu, panggilannya keluar dengan suara seperti orang merintih. Betapa pun juga, keharuan hatinya lebih besar dan dia pun menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan merangkul adiknya dengan kedua lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan bertangisan.
“Lulu... kau... bocah nakal... ke mana saja kau pergi?” Han Han menegur, tangan kirinya diletakkan di atas pundak dara itu, tangan kanannya menghapus air mata yang bercucuran di atas pipi Lulu.
Akan tetapi Lulu tidak menjawab, melainkan meraba-raba paha kiri Han Han yang buntung. Matanya yang basah air mata itu terbelalak memandang, lalu ia meloncat bangun. Matanya yang lebar indah itu liar memandang ke arah para prajurit Mancu yang sibuk mengurus teman-teman yang tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang manis dan jelita itu menjadi beringas, kulit mukanya merah sekali.
“Siapa yang membuntungi kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo katakan kepadaku agar dapat kubalas dia! Han-ko, katakan siapa yang membuntungi kakimu? Katakan...!”
Para perwira dan prajurit Mancu menjadi ketakutan dan saling pandang. Mereka tentu saja amat takut kepada adik seperguruan Puteri Nirahai ini, bukan hanya takut akan kepandaiannya yang kabarnya amat lihai seperti sang puteri, akan tetapi terutama takut akan kekuasaan dan kedudukan Puteri Nirahai sendiri.
“Lulu, bukan mereka... kakiku sudah sangat lama buntung...” Han Han berkata.
“Aihhhhh, Koko...!” Lulu menubruk lagi dan menangis, meraba-raba kaki yang buntung, lalu meraba-raba muka Han Han, menyibakkan rambut kakaknya yang awut-awutan menutupi muka yang tampan itu. “Kau... kau terluka hebat... ahhh... Koko, mengapa kau berada di sini?” Kembali Lulu meloncat bangun dengan sigapnya, membalikkan tubuh dan membentak kepada para prajurit.
“Pergi kalian semua! Pergi dari sini! Kalau tidak, kubunuh semua! Pergi!”
Para perwira Mancu dan para prajurit terkejut. Cepat-cepat mereka membawa mayat dan teman-teman yang terluka meninggalkan tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu datang secara tidak terduga-duga, rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap seorang lawan berbahaya itu menjadi gagal.
Setelah tempat itu bersih ditinggalkan semua pasukan, Lulu kembali menubruk Han Han. “Han-ko, apakah yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kakimu buntung? Siapa yang dapat melakukan perbuatan keji ini kepadamu, Han-koko?” Kembali kedua mata gadis itu bercucuran air mata begitu ia melihat ke arah kaki buntung kakaknya.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab. Lulu masih menangis sambil membenamkan mukanya di dada kakaknya, kedua lengannya merangkul leher.
“Han-koko... setengah mati aku mencarimu... bertahun-tahun hingga amat lama rasanya, hampir aku putus harapan. Aku sampai di tempat sejauh ini juga mencarimu... tetapi... siapa menduga bahwa kau... ah, kakimu... aduh, Koko...! Katakanlah, siapa orangnya yang begitu kejam membuntungi kakimu? Aku bersumpah untuk menuntut balas!”
Akan tetapi Han Han tetap diam tak menjawab.
Lulu yang sedang diamuk keharuan, kegirangan, juga kemarahan melihat kaki Han Han buntung, tidak merasa betapa semua pertanyaannya tak terjawab. Kini ia mengangkat mukanya dan berkata penuh semangat.
“Jangan khawatir, Han-ko. Kalau musuh itu terlalu lihai, aku dapat membantumu. Aku, adikmu ini, sekarang bukanlah Lulu yang dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian tinggi dan....” Tiba-tiba Lulu menghentikan kata-katanya ketika ia melihat wajah Han Han. Kiranya semenjak tadi kakaknya itu memandangnya dengan sepasang mata mendelik penuh amarah!
Wajah Han Han pucat, matanya mendelik seolah-olah mengeluarkan api, akan tetapi dari pelupuk matanya menetes-netes air mata! Pemuda yang terluka ini tidak hanya terluka pahanya yang robek oleh tusukan tombak Bhong Lek, melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah luka di dalam dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung Hantu. Napasnya makin sesak dan seluruh dada terasa panas. Setengah mati ia mencari Lulu, bertahun-tahun lamanya dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran. Sekarang setelah bertemu, kegirangan hatinya ternoda oleh kenyataan bahwa adiknya telah memimpin pasukan Mancu!
“Koko... Han-ko... kau... kau menangis...? Kenapakah...?” Dengan jari tangan gemetar Lulu mengusap air mata yang mengalir di atas pipi yang pucat itu.
Gerakan Lulu yang penuh kasih sayang ini memancing naiknya sedu-sedan dari dada Han Han. Tangan kirinya merangkul dan mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi tangan kanannya mengepal keras sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam perasaan bertanding dalam hatinya sendiri.
“Koko..., Koko... bicaralah... kau kenapakah? Kakimu...” Lulu masih terisak, “siapa yang membuntungi kakimu...?”
“Buk! Buk! Bukkk!”
Tiga kali kepalan tangan kanan Han Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah yang diinjak tergetar. Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan kedua mata terbelalak lebar.
“Han-ko! Kenapa...?”
“Lulu! Buntungnya kakiku bukan hal penting!” Akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata dengan napas terengah. “Urusan diriku tidak perlu dibicarakan! Akan tetapi engkau...! Engkau...!”
Lulu mengerutkan keningnya, memandang wajah kakaknya penuh selidik, kemudian memegang kedua pundak kakaknya. “Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku...?”
Tiba-tiba Han Han menggunakan kedua tangan mendorong sepasang lengan adiknya sehingga Lulu terjengkang ke belakang. “Ada apa dengan engkau? Masih hendak bertanya lagi? Engkau... menjadi pemimpin pasukan Mancu terkutuk!”
Seketika pucat wajah Lulu. Air mata yang tadi telah berhenti mengalir kini bercucuran dari sepasang mata yang tak pernah berkedip menatap wajah kakaknya. Perlahan ia bangkit kembali, merangkak menghampiri Han Han dan menubruk kakaknya sambil menangis sesenggukan.
“Han-koko... lupakah engkau bahwa aku adalah seorang gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu bangsaku menghadapi para pemberontak...?”
“Plak! Plak!” Kedua tangan Han Han menyambar dan sepasang pipi yang pucat itu ditamparnya.
Lulu terpekik dan mundur ke belakang sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua pipinya yang terasa panas dan sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri yang pecah. Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di kedua pipinya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk masuk di hatinya. Ia ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah memperlakukan dia seperti ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun belum!
Han Han ikut pula berdiri, bersandar pada tongkatnya. Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya juga terbelalak ketika ia melihat darah di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai menutupi muka, ia sibakkan dengan gerakan kepala, akan tetapi rambut itu terurai kembali menutupi sebelah mukanya.
“Lulu...! Adikku...! Ahh... apa yang telah kulakukan...?” Suaranya gemetar, mengandung isak, penuh penyesalan seolah-olah ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.
Namun wajah adiknya yang biasanya berseri-seri, yang biasanya jenaka, yang biasarya selalu cerah seperti sinar matanari di siang hari, kini berubah, dingin dan seperti muka mayat, amat pucat, matanya tidak bersinar, bahkan suaranya berubah ketika bibir itu bergerak bicara.
“Han-koko...!” Ia berhenti dan terisak, susah payah menahan isak agar dapat bicara. “Kau tidak adil...! Memang aku membantu bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang aku telah bersalah, akan tetapi karena engkau tidak berada di sampingku, aku menjadi bimbang dan akhirnya terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau sendiri? Bukankah engkau menjadi seorang panglima Bu Sam Kwi yang mempertahankan Se-cuan? Sudah lama kami mendengar akan adanya panglima kaki buntung dari pihak musuh yang lihai. Tak kusangka engkaulah orangnya! Engkau seorang berbangsa Han membela bangsamu menghadapi Mancu, sebaliknya aku seorang berbangsa Mancu membela bangsaku menghadapi musuh. Siapakah yang benar di antara kita? Siapa yang bersalah? Engkau... telah menamparku, bukan hanya menampar pipi, tetapi menampar dan menghancurkan hatiku. Ahhh, Han-koko, engkau tidak adil...!” Lulu mendekap muka dengan kedua tangan dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
“Lulu..., Moi-moi adikku... kau ampunkan aku....”
Han Han melangkah maju hendak memegang lengan adiknya. Akan tetapi sentuhan jari tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu yang cepat menarik tangannya, memandang dengan mata basah penuh penyesalan, kemudian terisak dan gadis ini membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.
“Lulu...!”
“...engkau tidak adil...! Engkau kejam... tidak adil...!”
Suara Lulu yang bercampur tangis itu terdengar oleh Han Han seperti tusukan pedang menembus jantungnya. Ia meloncat dan mengejar sambil berteriak-teriak seperti orang gila, “Lulu...! Lulu adikku...!” Akan tetapi ia terguling roboh.
Pertemuan dengan adiknya yang mengakibatkan pukulan batin hebat itu membuat luka di dadanya makin parah. Ia masih memanggil-manggil nama Lulu sambil merangkak, kemudian bangkit perlahan-lahan dan berjalan terhuyung-huyung menyeret tongkat, berloncatan tanpa mempedulikan pahanya yang mengucurkan darah. Namun Lulu telah jauh, telah lenyap dari situ. Biar pun bayangan gadis itu tidak tampak lagi, namun masih terngiang di telinga Han Han, merupakan tusukan-tusukan yang membikin hatinya perih, jeritan adiknya tadi, “Engkau tidak adil...! Tidak adil... tidak adil...!”
Han Han hampir tak kuat menahan. Ia merangkul sebatang pohon dan menangis, mengguguk seperti anak kecil. Ia sadar akan kesalahannya terhadap Lulu tadi. Memang dia tidak adil terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah dia mendengar bahwa Lulu telah menjadi adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut pula membantu gerakan para pejuang? Mengapa kini Lulu menjadi pemimpin pasukan Mancu? Benarkah dia tidak adil? Siapa yang tidak adil? Siapa yang salah? Siapa yang benar?
Han Han menggeleng kepala dan berbisik, “Tidak ada yang salah kecuali perang! Yang tidak adil adalah perang! Terkutuklah perang!”
Dan pemuda ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, terus memasuki hutan tanpa tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah hidup. Pikirannya pun kosong, dan ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan secara otomatis. Akhirnya, di dalam jantung hutan yang lebat, ia terguling pingsan.....
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han