PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-11


Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar pedang dan....
“Tranngggg...!!” Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat.
Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang penting. "Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan kuatnya..."
Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan mendapat. Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.”
Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata, “Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar."
Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ tidak berani membantah lagi, termasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti iblis.
Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali, yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap.
Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun akhirnya tidak berhasil juga, dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan.
Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek nelayan:
Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa...!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia...!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari...!

Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi andai kata ada yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar!
********************
"Han-ko...! Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!" Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya beruang es sedang menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia mencium ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han, usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah. Tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat, membayangkan tenaga sakti yang amat kuat.
Ada pun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang dan pinggangnya kecil. Tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu.
Dia sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat menakjubkan. Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar! Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin dari pada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya sampai membeku!
"Koko! Terlalu sekali kau! Masa aku kau diamkan sampai tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel!
Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam semedhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya, dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali.
Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia telah mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam semedhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apa bila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko... Han-ko... tolong.... Paman Beruang diserang ular...!”
Kalau Lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan semedhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musuhnya sudah mulai terang, ia menoleh.
Dilihatnya Lulu sedang menarik seekor ular dari leher beruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa beruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi menggigit leher beruang dan membelit leher itu.
Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan sinkang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh beruang. Ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali. Ular merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu!
Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli. Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.
"Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan Lulu. Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!" Lulu mengomel.
"Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat Paman Beruang itu!" Han Han menunjuk ke bawah.
Lulu menengok ke arah beruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan Lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh beruang sambil memekik-mekik memanggil.
"Paman Beruang... Paman....!”
Akan tetapi beruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah.
Sampai lama Lulu menangisi beruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut menangisi beruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.
"Apa yang kau lakukan itu, Koko?" Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak.
Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit! Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andai kata ular itu dapat bersuara, tentu sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko, kenapa tidak kau bunuh saja dia?”
"Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Beruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum!"
"Ihhh, jijik! Aku tidak mau!"
"Mengapa, Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman Beruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian paman, Beruang?"
"Tentu saja! Biar kuhancurkan kepalanya!"
"Eiiiiit, jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Beruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Beruang." Berkata demikian, sinar mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.
"Koko, kau tidak menengok... dia...?" Lulu menuding ke arah tubuh beruang yang sudah menjadi mayat.
"Perlu apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Beruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini."
Setelah berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah menetes, makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat beruang di mana Lulu berlutut sambil membelai bulu beruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Beruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular." Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu.
Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai. "Ihhh, aku... jijik..., Koko!”
"Lulu," kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya. "Rasanya manis dan enak pula. Apakah kau tidak mau menyenangkan arwah Paman Beruang? Dia saat ini mungkin sedang menggereng marah melihat ketidak-setiaanmu."
Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai beruang itu. Beruang itu mati dengan mata terbuka, dan kebetulan sekali muka beruang itu menghadapnya. Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata beruang yang sudah mati itu mendelik marah kepadanya! Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
"Koko... badanku... menjadi panas...!"
"Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kau bantu aku memanggang daging ular. Kita makan di depan mayat Paman Beruang sebagai upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Beruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Beruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal kepalanya saja."
Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki depan beruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu. ‘Upacara’ makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu!
Setelah itu mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur mayat beruang bersama kepala ular. Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk lubang itu. Teringat kepada beruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali dan terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan beruang.
Han Han membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan kuburan beruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat ukir-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian membaca huruf-huruf terukir itu.
Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?
Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat! Kalau begitu, suheng dari Ma-bin Lo-mo itukah penghuni Pulau Es? Patung pria yang tampan itu adakah itu Suma Hoat? Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah membunuh beruang?
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik hatinya, apa lagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan beruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh di bawah agar tidak tampak!
Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat tangis Lulu makin keras sampai gadis ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya, kemudian setengah memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di taman.
"Sudahlah, Adikku. Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekali pun, Paman Beruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya.!"
Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian beruang jadi teringat akan kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali, seolah-olah ada ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat dari pada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.
Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam bulan purnama dan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh!
"Han-ko.... ah, Han-ko...."
Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan. Tubuhnya panas dan telinganya mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali!
“Lulu...!”
"Han-koko...!" Suara gadis itu seperti mengerang lirih.
Muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium bau harum yang selamanya tak pernah ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan mulutnya! Gilakah dia?
Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
“Aku... aku... panas sekali...,” dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.
"Aku pun... begitu.... Koko...," Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan bertemu.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh. "Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih baik kubuka bajuku!"
Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.
"Lulu! Kau kenapa?" Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia sengaja membentak marah untuk menutupi perasaannya.
Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk. "Entahlah... aku... pun merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko...." Gadis itu seperti dalam keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian dalamnya yang tipis.
Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mukjizat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh dan terhuyung-huyung.
"Han-ko...., kau kenapa.... hati-hati, kau bisa jatuh!" Lulu meloncat bangun dan memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling.
Akan tetapi sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu mendatangkan getaran yang mukjizat. Mereka akhirnya berpelukan dan kembali mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau setengah sadar! Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata dipejamkan.
Ketika Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi Lulu yang tidak melawan, bahkan membantunya penuh gairah nafsu birahi, ia terkejut seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh lebih besar dari pada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas terengah-engah dan mata terpejam, tubuh dara itu menggeliat-geliat.
"Lulu! Ini tidak benar! Engkau Adikku!!" Han Han berkata, berteriak dengan suara nyaring.
"Han-ko.... ahhh, Han-ko.... jangan tinggalkan aku... aku bukan Adikmu, Han-ko....!"
"Gila!" Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk gadis itu, melanjutkan hasrat birahi yang memenuhi benak dan hatinya. "Kita keracunan! Ular merah itu! Keparat...!"
Terlintas dalam benaknya bunyi tulisan pada batu, dan kini mengertilah ia mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu birahi seperti ini. Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat ke luar dari dalam pondok itu.
Ia berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok. Ketika ia tiba di pantai yang berbatu-batu, ia lalu mengamuk. Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul, menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia menggunakan tenaga Im-kang.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila. Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga sinkang-nya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur berantakan itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan memanggil-manggil.
"Han-koko... Han-ko.... jangan tinggalkan aku....! Han-ko....!!"
Han Han membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.
"Han-ko, kau kenapa?" Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi kedua pipinya.
Han Han menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang dara ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan membingungkannya, sungguh pun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.
"Tidak apa... Aku... aku hanya mimpi buruk... tanpa sadar, kuhantami batu-batu ini...," ia melihat kaki dan tangannya yang lecet-lecet.
"Aku pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah sekali...."
"Mimpi apa?" Han Han memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri mengapa kini Lulu tampak lain dalam pandangannya.
"Aku tadi pagi terbangun di pondok taman dan.... dan pakaianku tidak karuan, aku mimpi.... engkau seperti bukan Kakakku, melainkan... ah, sungguh aneh akan tetapi aku aku senang sekali, Koko..." Dan gadis itu menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke telinganya.
"Hushhh! Kau gila! Kita keracunan ular keparat itu!"
Lulu memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya, "Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi..., setelah mimpi itu, aku... heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku…”
"Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita harus meninggalkan pulau ini." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam hatinya Han Han maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar bahayanya dan ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan.
Ia mengeraskan hatinya, memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk mengambil keputusan bahwa gadis ini adalah adiknya, adiknya! Ia merasa kuat kini dan mulai berani memandang wajah Lulu lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati dan pikirannya bahwa Lulu adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak boleh ia mencinta Lulu seperti perasaannya malam tadi. Lulu adiknya! Lulu adiknya! Kekuatan kemauan Han Han memang luar biasa dan ia sudah tenang kembali. Sambil tertawa ia menangkap tangan Lulu, diajak bangkit berdiri dan sambil berkelakar ia berkata.
"Kita harus membuat perahu, kita akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin! Kau bocah malas, harus membantu!"
Kekuatan kemauan yang terpancar ke luar dari mata Han Han mempengaruhi Lulu pula. Gadis itu pun menjadi biasa dan bertanya keras.
"Pergi ke mana, Koko?"
"Eh, anak bodoh dan pelupa. Apakah kau selamanya akan tinggal di pulau ini sampai menjadi nenek-nenek? Apakah kau tidak ingin mencari musuh besarmu?"
Lulu menjadi bersemangat. "Betul! Kita harus pergi mencari musuh besar kita!"
Demikianlah, kedua orang muda itu lalu mulai membuat perahu. Han Han bukan seorang ahli maka tentu saja membuat perahu amatlah sukar baginya. Namun berkat tenaga dan kemauannya yang kuat, tiga hari kemudian selesailah dia membuat sebuah rakit dari kain dan bambu seadanya, menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang cukup kuat. Ia menyediakan dua buah cabang pohon untuk mendayung.
Baru saja selesai ia mengikat sambungan terakhir, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras sekali dan terdengar Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit. "Ular...! Ular....! Banyak sekali ular....!"
Han Han terkejut dan menengok. Dilihatnya Lulu beriari-lari menghampirinya dengan wajah pucat penuh jijik. Dari jauh tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah mendatangi sambil mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
"Cepat! Naikkan bekal makanan dan air itu ke atas perahu!" teriak Han Han dan sibuklah mereka mengangkuti bekal makanan dan minuman ke atas perahu.
Beberapa ekor ular merah sudah datang dekat dan Han Han membunuhnya dengan injakan-injakan kakinya pada kepala ular-ular itu. Setelah semua bekal diangkut ke perahu, Han Han lalu mendorong perahu rakit itu ke air dan bersama Lulu ia mendayung perahunya ke tengah laut.
Ular-ular itu agaknya tidak takut air, buktinya mereka itu terus mengejar dan berenang sambil terus mendesis-desis. Lulu yang merasa geli itu memukuli ular-ular terdekat dengan dayungnya. Tenaga pukulan gadis ini sudah kuat sekali sehingga dalam waktu singkat puluhan ekor ular mati dengan kepala remuk.
Han Han mengerahkan tenaga mendayung perahu yang meluncur cepat sehingga mereka dapat meninggalkan ular-ular yang mengejar. Dari jauh, kedua orang anak muda itu memandang ke arah pulau dengan pandang mata sayu. Betapa pun juga, selama enam tahun mereka hidup di pulau itu, Pulau Es yang tadinya amat indah, namun yang kini menjadi pulau ular yang menyeramkan. Dari jauh tampak warna merah ular-ular itu seolah-olah pulau itu penuh dengan bunga-bunga merah yang mulai mekar.
"Arah mana yang kita tuju ini, Han-ko?" tanya Lulu sambil membantu kakaknya mendayung.
"Arah selatan. Pulau Es adanya hanya di utara, maka kita harus kembali ke selatan."
"Bagaimana kau tahu bahwa arah yang kita tempuh ini menuju ke selatan?"
"Ha-ha, kau bodoh sekali! Kau tahu dari mana munculnya matahari?"
"Dari timur."
"Nah, kau lihat. Matahari yang baru muncul itu berada di sebelah kiri kita, berarti kita kini maju ke arah selatan."
Mulailah Han Han dan Lulu menuju kepada pengalaman-pengalaman baru dengan hati penuh ketegangan, juga kegembiraan karena mereka kini akan memasuki dunia ramai yang sudah enam tahun mereka tinggalkan. Bekal yang mereka bawa cukup banyak, juga mereka membawa bekal pakaian. Han Han tidak lupa untuk membawa kantung karet berisikan surat-surat peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es, karena sesuai dengan pesan di luar sampul, ia hendak menyampaikan surat-surat peninggalan itu kepada yang berhak sebagai tanda terima kasih dan tanda bakti kepada penghuni Pulau Es. Tentu saja ia tidak tahu kepada siapa surat itu akan diberikan, akan tetapi hal ini akan dia selidiki kelak.
Sungguh pun kedua orang muda itu, terutama sekali Han Han, kini telah merupakan seorang yang memiliki tenaga luar biasa dan jauh sekali bedanya dengan ketika dahulu menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo, namun perjalanan pulang ini bukanlah merupakan perjalanan yang mudah. Apa lagi kalau diingat bahwa perahu mereka bukanlah perahu biasa, melainkan hanya batang-batang kayu dan bambu disambung-sambung sehingga biar pun mereka dapat mendayung dengan kuat dan cepat, namun perahu yang melaju di laut bebas itu sering kali mundur lagi karena terbawa ombak.
Dalam perjalanan selama belasan hari ini tiga kali mereka diserang badai yang ganas sehingga kalau saja mereka tidak kuat-kuat berpegang kepada rakit itu, tentu mereka sudah terlempar ke laut dan binasa. Perbekalan mereka hanya sedikit saja yang dapat diselamatkan selama mereka diserang badai dan akhirnya mereka harus berjuang melawan ombak selama tiga hari tiga malam, tanpa makan dan minum! Untung bahwa mereka berdua telah memiliki daya tahan yang luar biasa sehingga mereka hanya merasa lelah sekali ketika akhirnya mereka berhasil mendarat di pantai yang sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dapat dibayangkan betapa gembira hati mereka setelah dapat mendarat, melihat tanah dan pohon-pohon berdaun hijau. Selama enam tahun mereka tidak pernah melihat tanah karena daratan di Pulau Es itu seluruhnya tertutup salju dan es membatu. Juga di Pulau Es hanya ada beberapa macam tanaman saja yang dapat hidup dan berdaun, dan sekarang mereka melihat pohon-pohon raksasa yang hidup subur dengan daun-daun hijau.
Sambil tertawa-tawa kedua orang muda itu lalu mencari buah-buah yang dapat mereka makan dan ketika mereka menemukan buah-buah apel yang dapat dimakan dan sudah masak, mereka makan buah-buahan seperti seorang kelaparan! Han Han juga menangkap seekor rusa yang mereka panggang dagingnya dan sehari itu mereka berdua berpesta-pora dan makan dengan lahap sampai perut mereka penuh kekenyangan.
"Kita mendarat di mana, Koko?"
"Siapa tahu? Dan aku tidak peduli, pokoknya mendarat di tanah! Ah, Lulu, aku merasa seolah-olah hidup kembali! Mari kita melanjutkan perjalanan terus ke selatan. Akhirnya tentu kita bertemu manusia yang menuju ke kota raja!"
"Keluarga Ayahku dahulu tinggal di kota raja!" kata Lulu dengan suara terharu, teringat akan keluarganya yang sudah terbasmi habis.
"Dan musuh-musuhku tentu berada di kota raja pula!" kata Han Han penuh semangat.
Terbayanglah wajah-wajah para perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya. Dengan penuh semangat dan kegembiraan, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke barat, menjauhi pantai taut. Mereka melakukan perjalanan sampai belasan hari, naik turun gunung, masuk keluar hutan dan belum juga mereka bertemu dengan dusun yang ada manusianya. Namun mereka tidak menjadi putus asa dan terus melakukan perjalanan seenaknya. Mereka tidak tergesa-gesa karena tidak ada sesuatu yang memaksa mereka tergesa-gesa.....
********************
Kurang lebih dua bulan kemudian, setelah Han Han dan Lulu bertemu dengan dusun dan mendapat keterangan bahwa kota raja tidak jauh lagi berada di sebelah selatan, pada suatu pagi mereka memasuki sebuah hutan besar. Mereka mengikuti jalan yang masuk ke hutan itu, sebuah jalan umum yang biasa dipergunakan oleh orang yang melakukan perjalanan jauh. Ada tapak-tapak kereta menjalur panjang di jalan itu dan dengan hati gembira Han Han dan Lulu berjalan sambil melihat-lihat burung yang beterbangan di antara dahan-dahan pohon menyambut datangnya pagi dengan kicau dan tarian mereka dari dahan ke dahan.
Keadaan Han Han mengherankan orang-orang yang melihatnya. Pemuda ini bertubuh tegap dan jangkung, pakaiannya cukup bersih dan terbuat dari kain mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Yang amat menarik adalah rambutnya yang dibiarkan terurai ke punggungnya, rambut yang hitam dan kaku mengkilap, tak pernah disisir karena Han Han memang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersolek.
Lebih hebat lagi adalah sepasang matanya. Mata itu kini merupakan dua buah benda yang mengeluarkan sinar aneh. Kadang-kadang tenang seperti air telaga, seperti orang termenung kehilangan semangat, kadang-kadang secara tiba-tiba menjadi amat tajam dan panas seperti mengandung bara api. Tidak pernah ada orang yang berani menentang pandang mata Han Han dan setiap orang yang beradu pandang menjadi ngeri mengkirik karena pandang mata itu seolah-olah menelanjangi mereka dan dapat menembus terus ke lubuk hati.
Lulu juga amat menarik perhatian orang, akan tetapi bukan karena anehnya, melainkan karena cantik jelitanya dan karena sikapnya yang polos dan tidak pernah malu-malu seperti gadis-gadis biasa. Sepasang mata gadis remaja inilah yang menjadi daya penarik luar biasa, sepasang mata yang lebar dan jeli, yang pandang matanya dapat membuat segala sesuatu di dunia ini tampak lebih cemerlang, lebih indah.
Pakaian Lulu termasuk mewah dan indah karena gadis ini memang mengenakan pakaian-pakaian indah yang ia dapatkan di dalam kamarnya. Bahkan ia memakai pula sebuah anting-anting bermata mutiara yang amat besar dan mahal. Namun hanya sepasang anting-anting dan pita rambut sutera merah saja yang menghias tubuhnya, dengan ikat pinggang kuning emas, baju berwarna merah muda dan sepatu putih.
Gadis remaja ini benar cantik jelita mengagumkan semua pria yang memandangnya. Akan tetapi setiap orang pria yang memandang kagum, begitu bertemu pandang dengan kakak gadis itu, seketika mengkeret dan mundur teratur karena merasa ngeri.
"Koko, apakah kau mengetahui nama musuh-musuhmu, para perwira yang membunuh orang tuamu?"
Sebetulnya Han Han tidak pernah merasa suka membicarakan tentang musuh-musuhnya dengan adik angkatnya ini. Bukankah Lulu seorang anak perwira Mancu pula? Bicara tentang perwira-perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya tentu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati Lulu.
"Tidak, Lulu. Aku tidak tahu," jawabnya singkat.
"Tapi kau mengenal wajah mereka? Aku ingin sekali melihat mereka yang begitu kejam terhadap keluargamu, Koko. Engkau seorang yang begini baik. Kalau Ayahku masih ada, tentu perwira-perwira yang kejam itu akan dilaporkan dan dijatuhi hukuman! Aku masih ingat betapa Ayah dahulu mencela keras prajurit-prajurit yang melakukan perampokan.”
Han Han diam saja. “Hemm, benarkah ayah Lulu perwira yang baik? Adakah perwira Mancu yang baik?”
Ma-bin Lo-mo dan semua murid In-kok-san mengutuk semua orang Mancu. Demikian banyaknya anak-anak yang menjadi murid Ma-bin Lo-mo adalah korban-korban kebiadaban orang-orang Mancu, termasuk Kim Cu. Bahkan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak itu, baru menjadi kaki tangan Mancu saja sudah begitu kejamnya!
Orang-orang Mancu dan kaki tangannya adalah orang-orang yang seperti iblis! Akan tetapi Han Han membantah sendiri pendapat ini. Ma-bin Lo-mo adalah seorang yang anti Mancu, akan tetapi mengapa kekejamannya tidak kalah oleh Gak Liat! Apakah semua orang yang berkepandaian tinggi di dunia ini adalah orang-orang berwatak iblis? Han Han menjadi bingung dan ia mengambil keputusan untuk menentang semua orang-orang yang berilmu tinggi!
"Bagaimana, Koko?"
“Ha...? Apa....?”
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau mengenal wajah mereka?"
Han Han mengangguk dan terbayanglah wajah tujuh orang perwira Mancu itu, terutama Si Muka Kuning dan Si Brewok. Yang lima lainnya juga akan dikenalinya setiap saat dan tujuh orang ini harus ia bunuh, lebih-lebih dua orang perwira yang telah memperkosa ibunya dan kakaknya!
"Aku mengenal mereka, akan tetapi sukar dikatakan.... sudahlah, Lulu. Aku tidak suka membicarakan mereka."
"Baiklah, Han-ko. Memang sebuah kenang-kenangan yang tidak enak. Akan tetapi aku akan mencari Lauw-Pangcu...”
“Sukar, Lulu...”
"Mengapa sukar?" tanya Lulu dan memandang penuh selidik.
“Dia seorang pejuang...”
"Pemberontak, maksudmu?"
"Ya, pemberontak bagi pihak Mancu, pejuang bagi rakyat. Sama saja. Kalau tidak dia sudah mati, tentu dia selalu bersembunyi, sukar ditemukan...."
"Aku tidak khawatir. Ada engkau di sampingku, masa tidak dapat mencarinya? Kau tentu akan membantuku, Koko."
"Tentu saja, Moi-moi. Hanya, kurasa sukar melawan dia. Kau takkan menang, dia lihai sekali."
"Kalau kau membantuku, tentu akan menang!" kata pula Lulu dengan suara mengandung penuh kepercayaan.
"Belum tentu. Kawan-kawannya banyak sekali dan amat lihai..."
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dan bunyi roda kereta. Terpaksa Lulu menghentikan percakapan itu dan hati Han Han menjadi lega. Bagaimana ia dapat bicara dengan enak hati kalau pembicaraan itu mengenai permusuhan dengan Lauw-pangcu, gurunya yang pertama? Bagaimana nanti sikap Lauw Sin Lian puteri Lauw-pangcu kalau dia membantu Lulu memusuhi Lauw-pangcu?
Kereta yang lewat tak lama kemudian menyusul mereka itu adalah sebuah kereta besar ditarik oleh empat ekor kuda dan di dalamnya tidak ada penumpangnya, melainkan dua buah peti yang panjangnya ada dua meter, tinggi dan lebarnya satu meter. Dua buah peti itu ditaruh berjajar di dalam kereta dan di atas kereta hanya ada seorang kusir dan seorang laki-laki bersenjata golok.
Di kanan kiri dan belakang kereta ada belasan orang berpakaian piauwsu (pengawal) yang dikepalai oleh seorang laki-laki berjenggot panjang. Mereka ini semua menunggang kuda, sikap mereka kereng dan gerak-gerik mereka membayangkan bahwa para piauwsu ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah. Ketika para piauwsu ini lewat, semua mata mereka ditujukan kepada Lulu dan mereka tertawa-tawa, pandang mata mereka kagum sekali.
Han Han tidak mempedulikan hat ini, dan Lulu malah tersenyum, sama sekali dia tidak tahu bahwa mereka itu bersikap kurang ajar. Han Han hanya memperhatikan sebuah bendera di atas kereta, bendera yang bersulam gambar seekor burung garuda putih di atas dasar biru, dan empat huruf besar yang berbunyi HOA SAN PEK ENG (Garuda Putih dari Hoa-san) sedangkan di bawahnya terdapat dua huruf kecil yang berbunyi Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Barang).
"Mereka itu ramah!" kata Lulu setelah rombongan piauwsu ini lewat.
Han Han tidak menjawab. Dia juga tidak tahu bahwa seperti kebanyakan kaum pria kalau melihat wanita cantik, para piauwsu tadi tertawa-tawa dengan sikap kurang ajar. Hanya ia harus mengakui bahwa mereka itu ramah, sungguh pun keramahan mereka tidak menyenangkan hatinya.
"Hoa-san Pek-eng Piauwkiok! Apa artinya itu, Koko?"
"Mereka itu adalah rombongan piauwsu, yaitu pengawal-pengawal barang kiriman dan nama itu adalah merknya. Mungkin piauwkiok itu dipimpin oleh orang dari Hoa-san atau... ah, benar juga. Agaknya pemimpinnya adalah seorang anak murid Hoa-san-pai."
"Kalau begitu, mereka itu adalah orang-orang kang-ouw, Koko! Kenapa tidak kau katakan dari tadi?”
"Kalau mereka orang-orang kang-ouw, habis mau apa?"
"Ah, kita harus berkenalan dengan mereka. Tentu mereka dapat bercerita banyak tentang dunia kang-ouw. Bukankah engkau menjadi buronan In-kok-san? Dan engkau pun mencari tahu tentang penghuni Pulau Es, bukankah kau ingin menyampaikan surat-surat peninggalan manusia sakti itu? Mungkin sekali para piauwsu yang tentu banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, akan dapat memberi keterangan kepada kita."
"Wah, kau benar juga, Moi-moi. Mari kita kejar mereka!" Han Han lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan Lulu juga cepat mengejarnya.
Biar pun Lulu tidak dapat bergerak secepat Han Han, namun dibandingkan dengan orang biasa, gadis ini dapat berlari amat cepat karena ia memiliki keringanan tubuh, tenaga sinkang, dan napasnya tidak kalah panjang oleh napas kuda. Lebih dari seperempat jam mereka berlari cepat dan hutan itu makin lebat. Ketika mereka tiba di bagian yang berbatu-batu, mereka mendengar suara ribut-ribut dan sayup-sayup terdengar pula suara beradunya senjata berdencing-dencing.
"Koko, ada orang bertempur...!"
"Hemmm, agaknya para piauwsu itu menghadapi musuh. Mari kita percepat lari kita!" Han Han mengerahkan tenaganya meloncat dan tentu saja Lulu tertinggal jauh.
Akan tetapi Lulu sekarang bukan seperti Lulu enam tahun yang lalu. Dahulu ia penakut, akan tetapi sekarang Lulu menjadi seorang yang tabah dan pemberani. Biar pun tertinggal di belakang ia tidak takut dan mempercepat juga larinya agar dapat sampai ke tempat pertempuran itu.
Dugaan Han Han ketika dia bicara dengan Lulu tadi memanglah tepat. Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok yang kenamaan di kota Kwan-teng. Terkenal sebagai piauwkiok yang boleh dipercaya dan yang dapat menjamin keamanan semua barang kiriman sehingga tidak hanya para saudagar besar menjadi langganannya, bahkan para bangsawan yang mengirimkan barang-barang berharga selalu minta diantar dan dikawal oleh perusahaan pengawalan barang Garuda Putih ini. Hal ini bukan hanya karena Pek-eng-piauwkiok mempunyai banyak sekali piauwsu yang cakap dan kosen, melainkan terutama sekali karena piauwkiok itu dipimpin oleh seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ketua atau pemimpin piauwkiok ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, seorang bekas pendekar perantauan yang gagah perkasa bernama Tan Bu Kong yang berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san). Setelah ia bosan merantau dan sudah berusia lima puluh tahun, juga mengingat bahwa sebagai seorang kepala keluarga tidak baik kalau dia menjadi perantau terus, ia membuka piauwkiok itu yang ia beri nama mengambil dari julukannya yang sudah terkenal. Dalam masa sepuluh tahun saja, nama piauwkiok itu menjadi terkenal sekali dan setiap pengiriman barang yang diberi tanda bendera piauwkiok ini, tentu akan lewat dengan aman sampai ke tempat tujuan karena para perampok dan penjahat merasa segan untuk memusuhi Pek-eng-piauwkiok.
Setelah perusahaannya menjadi besar, Tan-piauwsu lalu mendatangkan adik-adik seperguruannya, yaitu anak-anak murid Hoa-san-pai yang masih menganggur untuk membantunya bekerja, mewakilinya mengantar barang-barang yang penting. Kiriman barang yang tidak begitu penting cukup dikawal oleh orang-orangnya yang kesemuanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Dengan demikian, selain ia dapat menjamin nafkah hidup para sute-nya, juga mereka dapat berkumpul dan dapat melanjutkan cita-cita yang dipesankan oleh guru besar Hoa-san-pai, yaitu diam-diam membantu perjuangan para patriot yang menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Akan tetapi, perjuangan ini selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu kekuasaan pemerintah Mancu sudah terlalu meluas dan hampir seluruh pedalaman telah diduduki sehingga perlawanan berupa perang terbuka takkan ada gunanya dan pasti akan mengalami kekalahan dan kegagalan. Dengan demikian, di samping tugasnya menjadi piauwkiok, Pek-eng-piauwkiok juga menjadi tempat rahasia dari para patriot untuk mengadakan pertemuan, perundingan, pengiriman barang-barang rahasia, dan juga pembantu dalam bidang pembiayaan.
Beberapa hari yang lalu, kantor pusat Pek-eng-piauwkiok di Kwan-teng kedatangan seorang wanita yang cantik jelita dan berpakaian mewah. Wanita ini datang berkuda dan melihat pakaiannya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang gadis Mancu yang berpengaruh dan berkuasa. Kedatangannya saja dikawal oleh selosin prajurit Mancu yang bersenjata lengkap.
Ada pun gadis cantik ini sendiri menunjukkan bahwa dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Hal ini dapat dilihat dari cara melompat turun dari kuda, dari gerak-geriknya yang gesit, dan dari cara bicaranya. Gadis bangsawan Mancu ini dengan suara keras menyatakan kepada para penjaga piauwkiok bahwa dia ingin berjumpa dengan ketua Pek-eng-piauwkiok!
Hati Tan-piauwsu merasa tidak enak, akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, ia keluar dengan sikap tenang dan dengan sikap hormat ia menyambut gadis Mancu yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu. Ia memberi hormat, mempersilakannya duduk, menghidangkan air teh kemudian menanyakan maksud kedatangannya.
Biar pun gadis itu masih berpegang kepada kebiasaan lama, yaitu berpakaian sebagai seorang wanita bangsawan Mancu, namun setelah membuka mulut bicara, ternyata ia dapat berbicara bahasa Han dengan fasih sekali.
"Apakah saya berhadapan dengan Tan Bu Kong Piauwsu sendiri yang berjuluk Hoa-san Pek-eng?"
Tan-piauwsu tidak menjadi heran menyaksikan lagak gadis muda ini. Dalam pengalamannya ia sudah banyak menyaksikan wanita-wanita yang berkepandaian, dan sudah mendengar bahwa di antara para tokoh Mancu banyak terdapat wanita-wanita yang berilmu tinggi. Apa lagi wanita-wanita yang berasal dari bangsa Khitan dan yang kini banyak masuk dalam pasukan Mancu sehingga pasukan itu merupakan pasukan gabungan yang amat kuat. Maka ia lalu menjura dan menjawab.
"Tidak salah dugaan Nona. Saya adalah Tan Bu Kong yang memimpin piauwkiok ini. Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Nona?"
"Pek-eng-piauwkiok adalah sebuah piauwkiok kenamaan yang katanya dapat menjamin keamanan setiap barang kiriman. Sampai di manakah kebenaran berita itu?"
"Saya tidak perlu bersombong, Nona. Namun kenyataannya, selama sepuluh tahun ini tidak ada barang kiriman yang tidak sampai di tempat tujuannya. Sungguh pun ada terjadi gangguan-gangguan di tengah jalan, namun semua gangguan dapat diatasi dan kami belum pernah merugikan para langganan kami."
Gadis itu tersenyum mengejek. Senyumnya manis sekali dan pasti akan mudah merobohkan hati setiap orang pria. Akan tetapi, di balik senyum ini membayang kekerasan hati yang dingin membeku sehingga diam-diam Tan-piauw-su bergidik. Wanita muda ini amat berbahaya, pikirnya.
"Hemmm, bagus kalau begitu. Saya memiliki dua buah peti kiriman yang harus dibawa ke Nam-keng. Apakah engkau berani menjamin bahwa barang-barang itu akan sampai ke tempat tujuan dengan selamat, Tan-piauwsu?"
"Menjamin sampainya barang kiriman ke tempat tujuan dengan selamat adalah kewajiban mutlak setiap piauwkiok, Nona, karena itu, saya berani menjamin!"
Kembali senyum mengejek itu menghias bibir gadis itu sehingga Tan-piauwsu menjadi mendongkol, akan tetapi segera ditutupnya dengan sikap hati-hati dan waspada.
"Bagaimana andai kata kiriman itu dirampok di tengah jalan?"
"Akan kami bela mati-matian!”
"Bagaimana andai kata.... hemmm, maaf, piauwsu. Bagaimana andai kata kalian gagal mempertaruhkan keselamatan barang-barang itu dan kemudian sampai terampas orang?"
"Hah! Tak mungkin! Dan kalau terjadi demikian... hal ini.... tak ada lain jalan kecuali mengganti harga barang-barang kiriman itu."
Gadis itu tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara. "Barang-barangku dalam dua peti itu biar pun diganti dengan seluruh benda milikmu ditambah milik penduduk kota ini masih takkan cukup, Tan-piauwsu! Dengar baik-baik. Aku menghendaki dua buah peti mati itu dikirimkan sekarang juga dan berapa pun kau minta untuk biayanya akan kubayar! Akan tetapi, kalau sampai hilang di jalan, tanggungannya adalah nyawamu! Engkau akan ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak!"
Berubah wajah Tan-piauwsu. Dia memandang gadis muda itu dengan alis terangkat. "Mengapa begitu?"
"Tentu saja! Selama sepuluh tahun engkau mengawasi barang, kesemuanya selamat, akan tetapi sekarang mengawal benda penting dari seorang Puteri Mancu, kalau sampai hilang maka ini berarti bahwa kau sengaja membikin hilang dan berarti kau memusuhi pemerintah Mancu! Nah, sekarang kutanya engkau, Tan-piauwsu. Beranikah engkau mengawal barang-barangku ini ke Nam-keng?"
Ditanya begitu, Tan-piauwsu merasa tersinggung kehormatannya. Juga piauwsu yang berpengalaman luas ini berpikir bahwa kalau ia menolak, akan menimbulkan kesan bahwa dia anti kepada pemerintah Mancu. Ia percaya bahwa para tokoh kang-ouw tidak ada yang akan mengganggunya, apa lagi di daerah selatan ia memiliki banyak sahabat dan namanya sudah terkenal. Siapa yang akan berani dan mau mengganggu barang kiriman yang dikawalnya?
"Baiklah! Akan tetapi karena jaminannya adalah nyawa, maka biaya pengirimannya tentu harus lipat sepuluh kali dari biasa!"
"Hi-hik! Jangankan sepuluh kali lipat, biar dua puluh kali pun kubayar sekarang juga. Nih, cukupkah?" Gadis itu mengeluarkan sebuah pundi-pundi uang dan melemparkannya di atas meja.
Tan-piauwsu mengambilnya dan membuka. Matanya terbelalak melihat bahwa pundi-pundi itu isinya potongan-potongan emas belaka yang menurut taksirannya berharga tiga empat puluh kali dari pada tarip biasa!
"Terlalu banyak! Saya tidak setamak itu dan nyawa saya yang tua pun tidak semahal ini," katanya tersenyum.
"Engkau benar-benar jujur dan gagah, Tan-piauwsu. Saya boleh berlapang dada kalau dua buah petiku itu dilindungi oleh Pek-eng-piauw-kiok. Biarlah semua emas itu kuserahkan kepada Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi kuminta hari ini juga barang-barangku dikirim."
"Di manakah dua peti itu?"
Gadis itu kembali tersenyum. "Sudah tersedia di luar pintu piauwkiok ini!" Ia bertepuk tangan tiga kali dan selosin pengawalnya memberi hormat di depan pintu. "Bawa masuk dua peti itu ke sini."
Para pengawal mundur dan tak lama kemudian mereka masuk lagi menggotong dua buah peti yang panjangnya dua meter, lebar dan tingginya satu meter. Peti-peti itu terbuat dari kayu besi yang kuat dan keras, dicat keemasan dan selain kokoh kuat, juga rapi dan halus. Batas antara peti dan tutupnya tidak tampak sehingga agaknya untuk membuka peti itu jalan satu-satunya hanya merusaknya, yaitu membukanya secara paksa. Agaknya hal ini sengaja dilakukan untuk mencegah orang luar yang ingin tahu membuka peti-peti itu.
"Agaknya Nona tidak akan memberi tahu apa isi kedua buah peti ini?" Tan-piauwsu memancing.
"Perlukah itu? Tugasmu hanya mengawal dan mengantar sampai ke tempat tujuan. Tentang isinya adalah rahasiaku, Tan-piauwsu."
"Baiklah, dalam waktu paling lama sebulan dua buah peti ini tentu akan tiba di tempat tujuannya di Nam-keng. Harap Nona suka memberi alamat penerimanya.”
Gadis Mancu itu lalu menuliskan alamat penerimanya dengan gerakan tangan cepat dan ternyata huruf-huruf tulisannya amat indah dan halus. Alamat di Nam-keng itu adalah alamat sebuah rumah penginapan!
"Eh, mengapa tidak ada nama penerimanya? Hanya nama penginapan."
"Tidak perlu karena penerimanya adalah aku sendiri yang tentu akan berada di rumah penginapan itu pada saat barang-barang itu tiba."
Tan-piauwsu tidak mau banyak bertanya lagi, padahal merupakan hal yang aneh kalau gadis ini menyatakan dapat berada di sana lebih dulu dari pada rombongan piauwsu yang melakukan perjalanan cepat! Dia mulai menaruh curiga, akan tetapi untuk menjaga keselamatan diri dan piauwkiok-nya, dia tidak dapat menolak kiriman itu.
"Nah, sampai bertemu kembali, Tan-piauwsu! Hati-hati, kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menangkapmu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu tertawa dan meninggalkan piauwkiok, dikawal oleh selosin orang prajurit. Suara derap kaki kuda mereka meninggalkan kesan yang menyeramkan bagi para piauwsu yang berada di situ, seolah-olah derap kaki kuda itu mendendangkan peringatan yang mengerikan.
Setelah gadis Mancu yang tidak memperkenalkan namanya bersama para prajurit Mancu itu pergi, Tan-piauwsu cepat berkata kepada seorang di antara sute-nya yang bertubuh kurus tinggi.
"Teng-sute, lekas kau selidiki ke mana mereka itu pergi!”.
Orang she Teng yang kurus itu mengangguk dan sekali berkelebat ia sudah lari keluar dari tempat itu. Dia memang ahli ginkang yang dapat berlari cepat sekali, maka dialah yang disuruh oleh Tan-piauwsu untuk mengejar rombongan gadis itu dan mengetahui di mana tempat tinggal dan siapa gerangan gadis aneh itu. Kemudian Tan-piauwsu mengumpulkan lima orang sute-nya yang lain dan diajaknya masuk ke ruangan dalam untuk berunding.
"Sute sekalian, gadis Mancu tadi amat mencurigakan. Aku dapat merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Tentu dia mengandung maksud tertentu di balik pengiriman ini."
"Aku pun berpikir demikian, Suheng. Mengapa Suheng tidak menolak saja tadi?" berkata sute-nya yang tertua, seorang berusia lima puluh tahun lebih, berjenggot panjang dan bertubuh kecil pendek, namun bermata tajam. Dia ini adalah seorang Hoa-san-pai yang bernama Lie Cit San dan dialah merupakan orang ke dua di Pek-eng-piauwkiok karena tingkat kepandaiannya pun paling tinggi di antara para sute dari Tan-piauwsu.
"Tidak bisa menolak, Sute. Dia sudah sengaja memilih kita dan kalau aku menolak, dia memiliki alasan untuk mengecap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak mau mengawal barang milik seorang Puteri Mancu. Aku khawatir kalau-kalau rahasia perjuangan kita tercium oleh mereka dan sekarang ini mereka menggunakan ujian di balik pengiriman barang."
"Dugaanmu bagaimana, Suheng?"
"Ada dua kemungkinan. Kalau dia mau mengganggu kita, mungkin dia sendiri yang akan mempersiapkan orang-orangnya untuk merampas peti-peti itu di tengah jalan sehingga dengan mudah akan menghancurkan kita."
"Keji sekali! Akan tetapi kita akan lawan dia, Suheng!" kata Ok Sun, sute-nya yang berangasan, seorang berusia tiga puluh lebih yang bertubuh kekar dan di pinggangnya tergantung sebuah golok besar.
"Tentu saja akan kita lawan, akan tetapi ada kemungkinan lain yang lebih melegakan hati. Yaitu mungkin ini hanya merupakan ujian bagi kesetiaan kita terhadap Pemerintah Mancu. Kalau benar demikian, kita akan selamat."
"Jangan-jangan dua peti itu terisi peralatan untuk menghancurkan kawan-kawan seperjuangan kita!" kata seorang sute lain.
"Hal itu tidak penting dan kurasa tidak demikian. Untuk menjaga kemungkinan pertama, yaitu gadis aneh itu mengerahkan orang-orang untuk mengganggu kita di jalan, aku sendiri akan mengawalnya!" kata Tan-piauwsu sambil mengepal tinju. Dia harus unjuk gigi, dan untuk menjaga nama baik Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan mati-matian setiap usaha untuk merampas dua buah peti itu.
Tiba-tiba Kwee Twan Giap, sute-nya yang paling muda akan tetapi terkenal paling cerdik, berkata. "Suheng, justeru inilah yang kukhawatirkan. Agaknya justeru pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini yang sudah diperhitungkan mereka!"
“Apa maksudmu, Kwee-sute?"
"Bukan lain, tipu muslihat memancing harimau keluar dari sarang!"
Tan-piauwsu dan empat orang sute-nya yang lain terkejut dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu meninju meja di depannya. "Ah, tepat sekali, Sute! Mengapa hal yang mungkin sekali ini kulupakan? Memancing harimau keluar dari sarang! Ah, bisa jadi itulah inti dari rahasia pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan itu!”
"Sebaiknya begini saja, Twa-suheng," kata pula sute termuda yang cerdik itu. "Pengawalan barang ini diserahkan saja kepada seorang di antara kami, karena untuk menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat berat. Apa lagi kalau diingat bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah sepanjang perjalanan ke selatan penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga kalau terjadi sesuatu, banyak sahabat yang dapat membantu. Ada pun Suheng sendiri bersama para Suheng lainnya menjaga di sini untuk menghalau setiap gangguan dan juga untuk dapat melihat perkembangan, kalau perlu merundingkan dengan kawan-kawan seperjuangan yang datang dan lewat di kota ini."
Usul ini dapat diterima dan akhirnya Tan Bu Kong menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun sebagai wakilnya mengawal dua buah peti itu, membawa pasukan piauwsu pilihan sebanyak lima belas orang. Hari itu juga berangkatlah dua orang piauwsu dan lima belas orang anak buahnya, mengawal dua buah peti yang dimasukkan ke dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda besar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han