PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-12


"Awas, semua siap sedia! Dua orang di depan itu mencurigakan!"
Demikianlah, rombongan piauwsu itu lewat dan ketika mereka melihat bahwa yang mereka curigai itu hanyalah seorarg pemuda sederhana dan seorang gadis remaja yang cantik, mereka tertawa-tawa dan memandang ke arah Lulu dengan kagum dan tentu saja timbul sifat-sifat kurang ajar mereka, sungguh pun di depan Lie Cit San dan Ok Sun para anak buah itu tidak berani mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan.
Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu, mendadak muncul sembilan orang laki-laki yang gagah sikapnya dan mereka ini sengaja menghadang di tengah jalan. Usia sembilan orang ini dari dua puluh sampai empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi dan seperti biasa dipakai orang-orang yang pandai ilmu silat, mereka itu seperti bukan golongan perampok. Seorang di antara mereka, yang paling tua, sudah mengangkat tangan ke atas dan berseru.
"Pek-eng-piauwsu yang mengawal kereta, berhenti dulu!"
Lie Cit San yang menunggang kuda, segera mengajukan kudanya, mengerutkan kening dan matanya yang tajam memandang penuh selidik, kemudian bertanya.
"Sahabat-sahabat yang berada di depan siapakah dan apa maksudnya menghentikan kami? Hendaknya diketahui bahwa kami mewakili Suheng kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal barang-barang dalam kereta menuju ke Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka minggir dan membiarkan kami lewat!"
Sembilan orang laki-laki itu mengeluarkan suara marah dan yang tertua di antara mereka segera mengangkat tangan memberi isyarat agar teman-temannya bersikap tenang. Kemudian ia berkata kepada Lie Cit San.
"Orang-orang Hoa-san-pai amat sombongnya sehingga seperti buta, tidak membedakan orang! Kami bukanlah golongan perampok rendah yang menjadi sahabat para piauwsu! Kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai yang sengaja mencegat kalian di sini untuk membalas dendam!"
Lie Cit San terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Dia memang tahu bahwa beberapa bulan yang lalu terjadi bentrokan antara beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dengan anak murid Hoa-san-pai, akan tetapi bentrokan itu terjadi antara orang-orang muda yang masih kurang pengalaman dan hal itu telah dibereskan oleh golongan tua.
Urusannya hanya kecil karena terjadi hubungan cinta antara seorang murid wanita Hoa-san-pai dengan seorang murid pria Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara seperguruan lain sehingga terjadilah bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun hanya mengakibatkan luka-luka tak berarti di kedua pihak. Mengapa hal yang sudah padam itu kini hendak digali dan dipanaskan kembali oleh sembilan orang anak murid Siauw-lim-pai yang tidak dapat dikatakan orang-orang muda ini?
Lie Cit San bukan seorang anak muda yang berdarah panas, maka ia menyabarkan hatinya dan mengangkat kedua tangan setelah meloncat turun dari atas kuda. Sute-nya, Ok Sun yang tadinya berada di atas kereta juga meloncat turun dengan gerakan gesit, berdiri di dekat suheng-nya dalam keadaan siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang berangasan ini sudah meraba-raba gagang senjata.
"Maafkan kalau kami salah menyangka," kata Lie Cit San. "Kiranya Cu-wi adalah para Enghiong dari Siauw-lim-pai! Lebih baik lagi kalau begitu. Hendaknya Cu-wi suka memberi tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian menahan kami?"
Ok Sun yang marah menyambung, "Biar pun anak-anak murid Siauw-lim-pai namun lagaknya seperti perampok, menghadang perjalanan orang. Suheng, kurasa mereka ini telah menjadi antek-antek Mancu dan sekarang mereka diperalat oleh gadis Mancu itu!"
"Tutup mulutmu!" bentak seorang pemuda di antara sembilan orang murid Siauw-lim-pai itu.
Lie Cit San dan pemimpin rombongan Siauw-lim-pai segera menghardik saudara masing-masing agar suka diam. Kemudian orang Siauw-lim-pai itu berkata, "Aku Liong Tik adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang menjunjung kebenaran dan keadiIan! Maksud kami sembilan orang murid Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya untuk bertanya apa isinya kereta yang kalian kawal!"
"Ada sangkut-paut apakah hal itu dengan kamu orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong?" bentak Ok Sun yang memang berangasan. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai tentu saja hatinya masih panas oleh bentrokan antara murid-murid keponakannya dengan murid-murid Siauw-lim-pai beberapa bulan lalu.
Akan tetapi kembali Lie Cit San yang masih sabar itu menyambung. "Mengapakah para sahabat gagah dari Siauw-lim-pai ingin mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi sekalian tahu bahwa kami sendiri hanya bertugas untuk mengawal barang dan sama sekali tidak tahu apa isinya dua buah peti yang kami kawal, bahkan kami pun tidak ingin mengetahui barang milik orang lain."
“Dua buah peti...?” Sembilan orang Siauw-lim-pai itu saling pandang penuh arti, kemudian memandang marah ke arah kereta.
Liong Tik yang tertua di antara saudara-saudaranya mengimbangi kesabaran Lie Cit San. Kini ia berkata, suaranya masih halus namun nadanya memaksa, "Kami percaya bahwa dua orang saudara Hoa-san-pai yang gagah tidak mengetahui isinya, akan tetapi kami minta agar kedua buah peti itu dibuka agar kita bersama dapat melihat isinya!"
"Perampok-perampok berkedok Siauw-lim-pai! Kalau ternyata isinya emas permata tentu kalian akan merampoknya!" bentak Ok Sun sambil mencabut golok besarnya. Para anak murid Siauw-lim-pai juga sudah mencabut senjata masing-masing dengan sikap marah.
Lie Cit San menggeleng kepala. "Tidak mungkin hal itu dilakukan,” katanya. “Kami harus menjaga nama baik kami sebagai piauwsu, tidak akan membuka peti kiriman barang orang lain, juga tidak memperbolehkan siapa juga membukanya."
"Twa-suheng, sudah jelas bahwa mereka hendak menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan, mau menanti apa lagi?" bentak seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai yang paling berangasan sambil meloncat maju dengan pedang di tangan.
Ok Sun menggereng dan kedua orang itu sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie Cit San dan Liong Tik maklum bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa mereka pun maju. Lie Cit San mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang cambuk besi yang kecil panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata sepasang tombak bercagak dan kedua orang ini pun sudah bertanding hebat.
Tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah menyerbu ke arah kereta dan mereka disambut oleh lima belas orang anak buah piauwsu sehingga sebentar saja di situ terjadi pertandingan yang seru, terdengar bunyi senjata-senjata bertemu diseling teriakan marah mereka.
Pertandingan antara dua orang murid Hoa-san-pai melawan dua orang murid Siauw-lim-pai terjadi seru dan berimbang, akan tetapi lima belas orang anak buah rombongan piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Setelah lewat belasan jurus, mulailah pihak piauwkiok terdesak dan empat orang sudah roboh terjungkal mandi darah.
Tiba-tiba terdengar bentakan yang amat keras, "Semua berhenti!!"
Aneh sekali. Bentakan itu selain keras dan penuh wibawa, juga mengandung tenaga mukjizat yang membuat mereka yang sedang bertempur itu serentak meloncat mundur dengan kaget dan gentar, menahan senjata masing-masing dan memandang terbelalak kepada seorang pemuda rambut riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di tengah antara mereka. Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat memilih pihak karena melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan ada empat orang di antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh, membelakangi para piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak marah.
"Perampok-perampok laknat, berani kalian mengganggu orang lewat? Orang-orang jahat macam kalian ini patut dibasmi!"
Para piauwsu yang mengenal Han Han sebagai pemuda yang tadi mereka lewati memandang heran namun juga geli. Pemuda hijau macam ini mana mungkin dapat menakuti hati para anak murid Siauw-lim-pai yang lihai itu. Dan betul saja dugaan mereka, murid-murid Siauw-lim-pai marah sekali karena mengira bahwa pemuda liar yang bermata setan ini pasti seorang anak murid Hoa-san-pai pula. Maka seorang di antara mereka yang termuda, yang tidak memandang mata kepada Han Han, sudah menerjang sambil membentak.
"Bocah setan, mampuslah!"
Pemuda Siauw-lim-pai itu bersenjata sebuah toya yang memang merupakan sebuah di antara senjata kaum Siauw-lim-pai yang ampuh. Begitu toya digerakkan, segera terdengar bunyi mengaung dan ujung toya itu tergetar menimbulkan bayangan belasan batang banyaknya. Kini toya itu rneluncur ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya. Han Han sama sekali tidak bergerak.
"Krakkk!!"
Toya itu dengan tepat menyodok ulu hati Han Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak bergeming, sebaliknya toya itu patah-patah menjadi tiga potong! Anak murid Siauw-lim-pai itu terdorong tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han Han. Pemuda ini mengangkat tangan kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk lawannya.
"Krekkk!" murid Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher patah dan tewas seketika!
Peristiwa ini menimbulkan geger. Delapan orang anak murid Siauw-lim-pai menjadi marah sekali dan mereka maju dengan senjata mereka menerjang Han Han. Saking marahnya menyaksikan seorang saudara mereka tewas, mereka itu lupa akan sifat kegagahan dan delapan orang jagoan Siauw-lim-pai dengan senjata di tangan kini menerjang dan mengeroyok seorang pemuda tanggung yang tak terkenal dan bertangan kosong!
Pada saat itu Lulu juga sudah tiba di situ dan gadis ini dengan mata berkilat dan muka berseri berteriak-teriak, "Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu!"
Akibat pengeroyokan itu sungguh hebat! Han Han kaku sekali gerakannya dan ia tidak mempunyai ilmu silat tertentu untuk dimainkan menghadapi pengeroyokan itu. Biar pun ia sudah mempelajari gerak kaki, namun gerak tangannya hanya ia pelajari sepintas lalu saja karena selama enam tahun ini ia hanya memusatkan ketekunannya untuk memupuk tenaga sinkang. Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda Chi-ma-se, kedua kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua lengannya dikembangkan dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para pengeroyok.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua pihak yang bermusuhan melihat akibat pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya dengan dorongan atau kibasan tangannya dan... si penyerang terguling, senjatanya patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus terbakar!
Dalam keadaan tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han telah ‘mengisi’ lengan kiri dengan tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan kanannya mengandung tenaga inti Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap gerak tangannya tidak kalah oleh ilmu pukulan Swat-im Sinkang mau pun Hwi-yang Sinkang! Karena dia tidak menyerang, hanya memapaki mereka yang menyerang saja, maka dalam gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang sute-nya yang lebih tinggi ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar dari bahaya maut, akan tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa pukulan yang keluar dari tangan Han Han.
Pada saat itu keadaan Han Han benar-benar mengerikan sekali. Ia masih berdiri seperti tadi karena ia telah merobohkan tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan tak mengubah kedudukan kaki sama sekali. Ia berdiri menghadapi Liong Tik dan sute-nya, siap menerima serangan. Matanya mengeluarkan cahaya yang tajam sekali, mulutnya tersenyum mengerikan seperti senyum setan mengejek sehingga wajahnya yang tampan itu kelihatan menyeramkan, kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri. Karena pihak lawan yang tinggal dua orang itu terbelalak dan tidak menyerangnya, maka ia pun diam tak bergerak dan sesaat keadaan di situ menjadi sunyi karena Lie Cit San, Ok Sun dan semua anggota piauw-su juga terbelalak dengan hati ngeri.
Derap kaki kuda terdengar jelas di saat yang sunyi itu dan Lulu menengok ke kanan. Seekor kuda hitam datang seperti terbang cepatnya dan di atas kuda itu duduk seorang gadis cantik. Bukan duduk, lebih tepat berdiri karena gadis itu memang berdiri dengan kaki di kanan kiri perut kuda, di atas tempat kaki. Dapat berdiri seperti itu selagi kuda membalap dengan miring membuktikan betapa pandainya gadis cantik ini menunggang kuda. Akan tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan dan kegelisahan.
Melihat betapa anak murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang membawa dua buah peti berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para piauwsu tadi menyambut penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda dan tahu-tahu ia telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan dua kali.
"Brakkkkk! Brakkkkk!!"
Dua buah peti itu terpukul bagian atasnya oleh dua tangan yang kecil halus, seketika bagian tutupnya remuk dan terbukalah kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke dalam peti-peti itu dan terdengar teriakannya menyayat hati.
"Liok-suhu...! Chit-suhu...!!" Dan gadis itu menangis tersedu-sedu.
Para piauwsu tercengang keheranan, apa lagi setelah Liong Tik dan seorang sute-nya berlari menghampiri kereta, menjenguk isi peti dan menjatuhkan diri berlutut pula sambil menangis. Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti para piauwsu lari pula mendekat dan mereka terbelalak ketika melihat isi peti,.
"Aihhhhh...!!" Lie Cit San dan Ok Sun terhuyung ke belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya di dalam dua buah peti itu terisi dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam!
Gadis cantik itu sudah menghentikan tangisnya lalu bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali, penuh hawa amarah meluap-luap, penuh dendam sakit hati yang harus dilampiaskan. Ia bertanya kepada Liong Tik dan sute-nya.
"Siapa yang membunuh saudara-saudaramu itu?"
"Sukouw (Bibi Guru)... mohon bantuan... para Sute dibunuh oleh bocah iblis itu...!" Liong Tik menuding ke arah Han Han yang masih berdiri seperti arca.
Tadi Han Han seperti kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa gembira sekali ketika kedua tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Namun kini ia memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan bengong. Ia baru sadar ketika ada suara wanita membentak di depannya.
"Siapa engkau yang begini kejam telah membunuh tujuh orang murid keponakanku?"
Tiba-tiba Lulu yang berdiri di belakang Han Han tertawa geli sehingga suasana tegang itu menjadi terpecah. "Hi-hi-hi, aneh sekali! Melihat muka dan tubuhmu, usiamu tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku, akan tetapi engkau mempunyai keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan lucu, hi-hi-hik!"
Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikannya, bahkan seperti tidak mendengarnya karena gadis itu kini sedang memandang Han Han penuh perhatian, bahkan wajahnya yang cantik kini menjadi agak pucat, sinar matanya penuh keheranan dan tidak percaya.
Han Han yang sadar akan teguran suara wanita, mengangkat muka dan begitu ia memandang wajah gadis cantik di depannya itu, ia terbelalak dan sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Kedua orang ini saling pandang, kadang-kadang meragu, kemudian merasa yakin dan Han Han berkata lirih.
“... Suci...!!”
"Engkau...? Engkau... Han Han...? Dan engkau membantu Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah Mancu...?”
“Suci... sama sekali tidak...”
"Kau bukan Sute-ku lagi! Kau musuh yang harus mati di tangankuI" Gadis itu menyerang dengan dahsyat sekali. Biar pun dia menyerang dengan pukulan tangan ke arah dada Han Han, namun tangan kosong gadis cantik ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan senjata para murid Siauw-lim-pai tadi. Datangnya antep, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat.
"Dukkkkk…!” Han Han yang tidak menangkis itu terpukul dadanya, terhuyung mundur dua langkah.
Akan tetapi gadis itu sendiri terbanting roboh! Gadis yang sesungguhnya adalah Lauw Sin Lian ini terkejut dan meloncat bangun. Tangan kanannya yang memukul itu menjadi kebiruan dan tubuhnya menggigil kedinginan! Cepat-cepat ia menahan napas dan mengerahkan hawa dari pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua orang murid keponakannya sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.
"Naikkan jenazah para Sute itu ke atas kereta."
Dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera melaksanakan perintah ini dengan air mata bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke atas kereta, diikuti dua orang murid keponakannya, kemudian setelah sekali lagi menoleh ke arah Han Han dengan pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik nyaring dan menarik kendali kuda. Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, lalu membalap. Para piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih terkejut dan bingung menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.
"Suci...!" Han Han mengeluh perlahan, kemudian ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, menghadapi anak murid Hoa-san-pai yang masih berdiri pucat. Pandang mata Han Han mengandung sesuatu yang membuat dua orang ini bergidik.
“Kalian... Kalian…… manusia-manusia iblis! Kiranya kalianlah yang jahat, dan kalian membuat aku membunuh mereka yang tak berdosa...!" Suara Han Han perlahan seperti mendesis, namun hal ini bahkan menambah keseramannya.
Dua orang murid Hoa-san-pai itu menggeleng kepala. "Tidak... tidak...!"
Akan tetapi kedua tangan Han Han sudah menyambar, melakukan gerakan menampar ke depan. Jarak antara mereka masih jauh, ada dua meter, namun tamparan ini mengandung hawa sinkang yang hebat, mengandung hawa pukulan yang biasa ia latih di Pulau Es, pukulan-pukulan yang dapat membuat air membeku menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak lembu!
Dua orang murid Hoa-san-pai itu roboh tanpa dapat bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku membeku dan tewas seketika! Para anak buah piauwsu menjadi pucat sekali, akan tetapi Han Han sudah menghadapi mereka dan berkata.
"Kalian hanya anak buah, tidak tahu apa-apa... !" Tanpa berkata apa-apa lagi Han Han lalu menyambar tangan adiknya dan ditariknya lalu diajak pergi cepat-cepat dari tempat itu.
Sebentar saja kedua orang muda ini lenyap dari tempat itu dan barulah para anggota piauwkiok itu sibuk mengurus jenazah kedua orang pimpinan mereka dan empat orang jenazah itu. Dengan penuh duka dan masih menggigil kalau teringat kepada pemuda yang mereka anggap iblis itu, mereka kembali ke Kwan-teng untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
“Eh-eh, berhenti dulu, Han-ko...!" Lulu merenggut tangannya dan terpaksa Han Han berhenti. Wajah pemuda ini keruh tanda bahwa pikirannya kalut dan hatinya terganggu oleh peristiwa dalam hutan tadi.
"Han-ko, semua peristiwa tadi amatlah mengherankan hatiku. Siapakah gadis cantik yang kau sebut Suci tadi? Benarkah dia itu Kakak Seperguruanmu?"
Han Han yang masih kalut pikirannya itu mengangguk. "Dia Suci-ku, dia Puteri guruku yang pertama. Dia puteri Lauw-pangcu…" Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia hendak menelan kembali semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat karena Lulu sudah mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu membalikkan tubuh dan lari secepatnya.
“Eh, Moi-moi..., tunggu dulu...!!” Han Han meloncat dan cepat mengejar. Sebentar saja ia dapat menyusul dan memegang tangan Lulu. Akan tetapi Lulu merenggutkan tangannya dan dengan cemberut memandang Han Han dengan muka merah dan air mata memmbasahi pipinya.
"Jangan dekat-dekat! Jangan pegang-pegang! Kau kiranya murid musuh besarku! Apakah kau hendak membelanya? Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan denganmu!"
"Eh, Lulu jangan begitu. Aku tetap Kakakmu, dan aku tidak akan membela siapa pun juga kecuali engkau Adikku..."
"Bohong! Mana mungkin membelaku kalau musuh besarku adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat she Lauw itu adalah Gurumu, baru puterinya saja sudah kau bela tadi! Sudahlah, karena kau murid musuh besarku, berarti engkau musuhku juga. Nah, kau lekas serang dan bunuh aku..., lekas bunuh aku... Tak mungkin aku dapat membalas kematian keluargaku karena engkau murid musuhku. Bunuh aku, engkau murid musuh besarku!" Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi kacau-balau tidak karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya. Sepasang matanya yang lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang matahari kembar itu kini menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti mutiara menggantung di bulu matanya yang lentik.
Han Han melangkah maju dan memegang kedua pundak Lulu, tersenyum duka dan berkata, "Baiklah, lulu. Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini dadaku sudah terbuka di depanmu. Kau hantamlah aku sampai mati, kalau kau tetap menganggap aku musuhmu."
Sepasang mata yang lebar indah itu memandang ke arah dada Han Han, dada kakaknya yang selama ini menjadi tempat ia bersandar. Ia bergidik, tetapi mulutnya masih mencela. "Kau mengejek! Kau tahu bahwa betapa pun keras aku memukul, takkan melukai dadamu, engkau kuat dan kebal..."
"Adikku yang manis. Sekali ini aku tidak akan melawan, dan aku akan senang mati di tanganmu, kalau hal itu memang kau kehendaki dan akan menyenangkan hatimu. Apakah akan senang hatimu kalau kau dapat memukul mati Kakakmu ini, Moi-moi?"
Lulu menengadahkan mukanya, mereka berpandangan dan Lulu terisak menangis sambil menubruk kakaknya, menyembunyikan mukanya di dada yang ditawarkan untuk ia pukul itu. Air matanya membasahi baju dan dada Han Han yang mengelus-elus kepala adiknya penuh kasih sayang.
"Lulu, sudahlah jangan menangis. Aku bukan musuhmu melainkan Kakakmu."
"Akan tetapi kau murid Lauw-pangcu, musuh besarku."
"Sekarang tidak lagi, Lulu. Itu dahulu ketika aku masih kecil. Engkau mendengar sendiri betapa puterinya tadi mengatakan demikian pula, bahwa dia bukan Suci-ku dan aku bukan Sute-nya. Puterinya itu pun kini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang hebat..."
Lulu mengangkat mukanya memandang. Mukanya masih agak basah, kulit muka yang halus itu kemerahan dan kemarahan sudah menghilang dari pandang matanya yang kini menatap wajah kakaknya penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Koko, engkau... mencinta dia…?"
"Siapa?"
“Dia, puteri musuh besarku itu...”
"Aha! Kau maksudkan Lauw Sin Lian tadi? Dia bekas Suci-ku, ahhh... tidak, aku tidak tahu tentang cinta, jangan bertanya yang bukan-bukan!"
"Syukurlah, aku akan bingung sekali kalau sampai engkau mencinta puteri musuh besarku. Akan bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh besarku akan tetapi juga... eh calon So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati namanya!"
"Hussh, kau memang nakaI, Moi-moi. Apakah lupa baru saja kau mengamuk dan menangis? Sekarang sudah menggoda orang!"
Lulu tersenyum, giginya yang rapi dan putih berkilat di balik kemerahan bibirnya. "Tapi aku girang, tak mungkin kau menikah dengan Lauw Sin Lian. Dia sudah marah dan benci kepadamu karena kau telah membunuh murid-murid keponakannya!"
Han Han menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Lulu, jangan menganggap hal itu seperti main-main! Aku tadi telah salah membunuh orang. Kusangka tadinya orang-orang Siauw-lim-pai itu yang jahat dan menjadi perampok, kiranya piauwsu-piauwsu anak murid Hoa-san-pai itu yang jahat, menyembunyikan dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang mereka bunuh di dalam peti-peti itu."
Seketika wajah Lulu menjadi serius dan membayangkan kekhawatiran. "Wah, kalau begitu engkau akan dimusuhi oleh Siauw-lim-pai, Koko?"
Han Han tersenyum dan pandang matanya membayangkan ejekan. "Aku tidak takut! Mengapa mesti takut karena memang aku membunuh mereka karena salah sangka? Juga sikap mereka itu sendiri yang mendorongku membunuh mereka. Bahkan aku akan pergi ke Siauw-lim-pai, mencari Sin Lian untuk menjelaskan peristiwa itu."
"Bagus sekali! Mari kita ke sana, Koko. Engkau ingin memberi penjelasan kepada Sin Lian dan aku akan bertanya di mana adanya Ayahnya agar aku dapat membalas dendam! Engkau tentu akan membantuku membunuh Lauw-pangcu, bukan?"
Han Han merasa serba salah, akan tetapi dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Kurasa sekarang engkau telah cukup lihai untuk mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu. Bagaimana mungkin aku dapat turun tangan terhadap dia yang dahulu amat baik kepadaku? Aku hanya berjanji akan melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan tetapi untuk membantumu membunuhnya..., wah, berat juga."
"Tidak apalah tidak kau bantu juga! Kalau aku kalah, aku dapat belajar lagi darimu dan lain kali kucari lagi dia dia. Mari kita ke Siauw-lim-pai mencari Sin Lian, Koko!"
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala. "Tidak sekarang, Moi-moi. Aku akan pergi dulu mencari pusat Pek-eng-piauwkiok itu! Aku telah kesalahan tangan membunuh murid Siauw-lim-pai dan semua itu hanya karena kejahatan dan kepalsuan orang-orang Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang piauwsu yang mengawal dua peti terisi mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam itu pun hanya petugas saja. Tentu ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab. Dia yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku menghukum orang yang menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi pembunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu pergi ke Slauw-lim-pai."
“Tapi, ke mana kau akan mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko? Kita tidak mengenal mereka..."
"Wah, kau bodoh sekali, Lulu! Kita pergi saja ke jurusan dari mana mereka datang, kemudian kita bertanya-tanya orang, apa sukarnya?" Tanpa memberi kesempatan kepada adiknya yang cerewet itu membantah lagi, Han Han menyambar tangan Lulu dan digandengnya, kemudian mengajak dara itu pergi meninggalkan tempat itu.
Biar pun cukup lama berada di Putau Es, namun Han Han masih belum kehilangan kecerdikannya, kalau tak dapat dikatakan dia makin cerdik, karena ada sesuatu yang aneh dalam dirinya yang membuat otaknya dapat bekerja lebih cepat. Tepat seperti yang diduganya, dengan mudah mereka dapat mencari keterangan tentang Pek-eng-piauwkiok.
Piauwkiok yang besar dan terkenal ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang muda itu segera pergi ke kota Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata keheranan dan kagum dari orang-orang yang berjumpa dengan mereka. Heran melihat Han Han yang aneh dan rambutnya riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik jelita. Pandang mata heran dan kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka.
Di dalam hatinya, Han Han mengambil keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang ia lakukan di hutan tadi, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di luar kesadarannya. Entah bagaimana, sekali bertemu tanding ia mendapat perasaan gembira dan senang sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar apa-apa! Dan begitu keluar pulau, dia telah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar! Karena itu, dia harus membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi biang keladinya.
********************
Memang tidak salah pendapat Han Han bahwa Hoa-san-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal, sungguh pun tidaklah sebesar partai Siauw-lim-pai yang seolah-olah menjadi sumber partai persilatan di Tiongkok. Hoa-san-pai yang berpusat di puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai banyak sekali anak murid yang pandai-pandai dan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anak murid Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan.
Pek-eng-piauwkiok dipimpin oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya. Di dalam anak tangga tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong menduduki tingkat lima. Di samping para sute-nya yang tentu saja lebih rendah tingkatnya, dia telah berhasil membuat nama besar, tidak hanya mengakibatkan kemajuan dan keuntungan piauwkiok yang ia pegang, akan tetapi juga sekaligus mengangkat nama besar Hoa-san-pai. Apa lagi karena di samping perusahaannya ini, diam-diam Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat pertemuan tersembunyi di antara para patriot yang melakukan gerakan menentang pemerintah penjajah Mancu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pek-eng-piauwkiok didatangi seorang gadis Mancu yang cantik jelita dan juga aneh, yang mengirimkan dua buah peti panjang dengan biaya amat mahal itu. Setelah dua buah peti itu diberangkatkan, hati Tan Bu Kong yang menjaga di rumah menjadi amat tidak enak dan selalu gelisah. Dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan hatinya makin tidak enak ketika sampai sore sute-nya yang ia suruh mengikuti dan menyelidiki gadis Mancu itu belum juga kembali. Sute-nya itu, Teng Lok, memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dan terutama sekali ginkang-nya amat tinggi, tidak kalah oleh dia sendiri. Mengapa sampai sore belum juga sute-nya itu kembali?
Menjelang malam, Tan-piauwsu mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia meloncat dan berlari keluar dengan jantung berdebar, siap menghadapi segala kemungkinan karena agaknya para anak buahnya ribut-ribut oleh sesuatu yang tentunya tidak beres. Ketika ia tiba di luar dan memandang, wajahnya menjadi pucat dan cepat ia menyongsong ke depan dan berseru.
"Teng-sute...!"
Adik seperguruannya itu sedang digotong oleh anak buahnya dan agaknya begitu tiba di depan gedung piauwkiok, adik seperguruannya itu roboh pingsan. Tidak aneh kalau melihat keadaannya yang demikian mengerikan. Lengan kanannya buntung sebatas siku dan lehernya terluka mengeluarkan darah. Cepat orang she Teng ini digotong masuk direbahkan di atas dipan dalam kamar. Setelah menerima perawatan, akhirnya dia mengerang dan siuman. Luka di lehernya tidak membahayakan, hanya lengannya yang buntung itu benar-benar mengerikan. Ketika ia menengok dan memandang suheng-nya duduk di situ menjaganya, ia mengeluh.
"Ahhh, Suheng..., untung siauwte masih hidup... dan dapat bercerita kepada Suheng..."
Tan Bu Kong menekan pundak sute-nya dan dengan terharu berkata, "Tenanglah, Sute dan ceritakan perlahan-lahan dan seenaknya, engkau masih amat menderita...”
"Tidak, harus sekarang juga Suheng dengar. Gadis Mancu itu bukan manusia! Dia seperti iblis! Ketika aku mengikuti keretanya, kusangka tidak ada yang tahu dan aku terus membayanginya sampai kereta itu berhenti di luar kota raja di mana terdapat sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah punya siapa, yang jelas tentu milik seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu menyelidik dan akhirnya aku dapat membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan di bawah ancaman, dia mengaku bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri Nirahai yang katanya adalah puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah berada di situ tanpa kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi membayangi keretanya dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku menyatakan bahwa sebagai pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat pengirim barang. Dia tidak peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan kananku dengan pedang sendiri!"
“Ah..., terang dia bersikap tidak baik terhadap kita!" kata Tan Bu Kong marah.
"Bukan hanya tidak baik, bahkan telah direncanakannya, Suheng! Aku tentu saja tidak mau dan hendak pergi, akan tetapi aku selalu terguling roboh setiap kali tangannya bergerak mendorongku. Agaknya dia memiliki sinkang yang luar biasa dan dengan pukulan jarak jauh selalu merobohkan aku setiap aku hendak pergi. Aku menjadi marah, mencabut pedang dan menyerang gadis penjajah laknat itu!" Muka Teng Lok menjadi merah karena ia masih penasaran dan marah terhadap gadis bangsa Mancu itu.
"Lalu bagaimana, Sute?"
"Dia lihai sekali. Entah bagaimana aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba pedangku telah dirampasnya dan di lain saat, lenganku telah terbabat buntung dan leherku terluka. Hanya dengan mengandalkan ginkang saja aku dapat melarikan diri untuk melapor kepadamu, Suheng."
Pucat wajah Tan Bu Kong, pucat karena kaget dan marah. Dia maklum akan gawatnya persoalan. Andai kata gadis itu bukan puteri Mancu, apa lagi puteri kaisar sendiri, tentu dia akan mengerahkan tenaga untuk mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi gadis itu adalah puteri Mancu, kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang terbuka menentang Pemerintah Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai!
“Itu belum semua, Suheng," kata pula Teng Lok sambil memandang wajah suheng-nya yang berkerut. "Ketika aku lari, aku tahu bahwa jika dia menghendaki, tentu dia akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan orang-orang Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir sekali, Suheng. Gadis itu seperti iblis betina dan entah pekerjaan terkutuk apa yang sedang dia lakukan..."
"Hemmm..., tentu ada hubungannya dengan peti-peti itu. Baik kita tunggu saja dan engkau beristirahatlah, Sute sambil merawat diri. Kelak, karena kini lenganmu buntung, tentu Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus untukmu. Sementara ini aku akan memperkuat penjagaan, bersiap menanti datangnya bahaya yang terasa benar olehku sedang mengancam kita."
Semenjak sore hari itu sampai tiga hari tiga malam lamanya Tan Bu Kong makin gelisah. Duduk salah berdiri pun tak enak, makan tak sedap tidur tak nyenyak, dan selalu menanti-nanti kembalinya rombongan sute-nya yang pergi mengawal dua buah peti itu ke selatan.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan kemudian, rombongan anak buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa membawa kereta piauwkiok dan tanpa dipimpin oleh dua orang sute-nya yang bertugas mengantar dua buah peti itu. Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang bercerita simpang-siur dan amat gaduh, lalu memerintahkan seorang yang tertua di antara mereka untuk menceritakan semua pengalamannya.
Piauwsu tua itu bercerita sambil mencucurkan air mata, menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa kereta mereka dihadang oleh serombongan anak murid Siauw-lim-pai yang hendak memaksa membuka dua buah peti itu, kemudian betapa mereka bertanding melawan anak-anak murid Siauw-lim-pai dan munculnya seorang pemuda aneh yang rambutnya riap-riapan bersama seorang dara remaja jelita yang secara mengerikan telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai, kemudian betapa muncul seorang gadis anak murid Siauw-lim-pai yang lihai dan yang membuka dua buah peti dengan secara paksa.
"Dibuka? Apa isinya...?" Tan-piauwsu bertanya dengan suara keras saking tegang hatinya.
"Isinya adalah dua mayat manusia, mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam...”
"Hayaaa...!!!" Tan Bu Kong mencelat bangun dari kursinya dengan muka pucat sekali. “Celaka...!"
Piauwsu itu lalu melanjutkan ceritanya. Betapa gadis murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si Pemuda aneh namun dapat dikalahkan dan kemudian gadis itu membawa pergi jenazah-jenazah dalam peti dan jenazah para anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian dengan suara terengah-engah dia menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi marah kepada para piauwsu, dan dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun!
"Ahhh! Siapakah pemuda yang ganas dan kejam itu?" Tan-piauwsu berseru dengan alis berdiri.
"Entahlah, kami hanya mendengar gadis murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan pemuda itu malah menyebut Suci kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu menyebut namanya Han Han..."
Akan tetapi, biar pun kedua orang sute-nya tewas, hal ini tidak mengurangi kekhawatiran hati Tan-piauwsu dan kemarahannya terhadap Si Puteri Mancu. Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa pihaknya, yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu saja dapat juga dianggap mewakili Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin dan keji sekali oleh Puteri Mancu yang lihai itu! Pantas saja puteri itu menyindir kepada sute-nya, Teng Lok bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk menghadapi penyerbuan Siauw-Hm-pai!
Kini jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, kedua orang dari Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang kemudian memasukkan dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh Pek-eng-piauwkiok mengawalnya ke selatan. Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu pihak Siauw-lim-pai secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga mereka menghadang kereta dan minta lihat isi peti! Hal ini kalau dipikirkan amat sederhana, sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya! Tentu saja pihak Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu terbunuh oleh Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat antara kedua partai besar ini.
Tan-piauwsu termenung. Si pembuat urusan ini adalah puteri Mancu itu, tak salah lagi, sungguh pun ia bergidik kalau mengingat betapa dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam sampai dapat terbunuh! Padahal dia tahu bahwa Siauw-lim Chit-kiam adalah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, yang memiliki tingkat ilmu kepandaian amat hebatnya, masing-masing merupakan tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga!
Kalau biang keladinya adalah puteri Mancu, dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, dua buah partai yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga sebabnya! Tentu pihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar dua partai yang memusuhi Mancu ini menjadi lemah dan saling gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya!
Malam hari itu juga Tan Bu Kong menyuruh seorang sute-nya untuk pergi ke Hoa-san, miengabarkan peristiwa hebat ini kepada pimpinan Hoa-san-pai agar dapat mengambil langkah-langkah seperlunya untuk-mencegah terjadinya pertentangan hebat antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang akan timbul sebagai akibat taktik adu domba yang amat keji itu. Juga mengundang tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai untuk diajak mengambil tindakan terhadap puteri Mancu yang amat sakti dan aneh itu.
Dia maklum bahwa dia sendiri takkan mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah berhasil membunuh dua orang sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam. Atau, andai kata bukan puteri itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya seorang puteri remaja seperti itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu ada orang sakti di belakang puteri itu yang tentu akan melindungi Sang Puteri.
Pada keesokan harinya, tanpa disangka-sangka muncullah seorang pemuda tinggi besar yang gagah dan tampan bersama seorang gadis baju kuning yang cantik manis. Kedatangan dua orang ini sedikit menghibur hati Tan Bu Kong karena mereka itu, biar pun terhitung sute dan sumoi-nya, namun murid-murid dari supek-nya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampauinya!
Sute-nya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi besar, usianya dua puluh tahun lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang dan peramah, tetapi sesungguhnya dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoo-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san)! Ada pun gadis cantik manis berusia antara delapan belas tahun itu pun bukan sembarang orang karena dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi Pedang Hoa-san)! Biar pun masih muda, dua orang pendekar Hoa-san ini telah membuat nama besar dengan perbuatan-perbuatan mereka yang menggemparkan dalam membela kebenaran dan keadilan.
Ketika melihat wajah suheng mereka yang keruh, pemuda dan dara ini cepat bertanya apa yang terjadi sehingga menyusahkan hati Tan-piauwsu.
"Kami berdua menerima pesan Suhu untuk datang membantu usaha Suheng menghimpun orang-orang gagah yang bergerak menentang kekuasaan penjajah Mancu," kata pemuda tampan itu. "Mengapa Suheng kelihatan tidak bersemangat dan berduka?”
Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang muda perkasa itu ketika tiba-tiba Tan-piauwsu mengeluh, menarik napas panjang dan matanya menjadi basah dengan air mata! Suheng mereka, yang gagah perkasa dan banyak pengalaman di dunia kang-ouw itu menangis! Tentu terjadi sesuatu yang amat hebat!
"Sute dan Sumoi, kedatangan kalian ini merupakan cahaya penerang bagi hatiku yang sedang gelap, akan tetapi aku membutuhkan bantuan para Locianpwe, para Susiok dan Suhu kita di Hoa-san-pai karena tanpa mereka, kiranya sukar untuk membikin terang perkara yang amat gelap in!" Tan Bu Kong lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi semenjak puteri Mancu itu menitipkan dua buah peti untuk dikirim ke selatan.
Mendengar semua itu, Hoa-san Gihiap mengepalkan tinjunya. "Ah, jelas Puteri Mancu itulah yang mengatur semua rencana terkutuk itu! Biarlah aku akan pergi menangkapnya, kemudian menyeretnya ke Siauw-lim-pai, memaksanya mengaku akan semua perbuatannya. Hanya dengan jalan itu semua perkara dapat dlbereskan, Suheng."
"Betul pendapat Wan-suheng!" kata Hoa-san Kiam-li penuh semangat. "Biar aku membantu Wan-suheng menangkap iblis betina yang palsu itu!"
Tan Bu Kong mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Bukan aku kurang percaya akan kesanggupan Sute dan Sumoi, akan tetapi sungguh sembrono sekali kalau hal itu dilakukan. Pertama, ada kemungkinan puteri itu memiliki kelihaian yang amat luar biasa kalau benar dia yang membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam. Kelihaiannya telah dirasakan oleh Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan lebih hebat lagi kalau dia dapat membunuh dua orang Locianpwe dari Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia mempunyai kawan-kawan yang berilmu tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau diingat betapa datuk-datuk besar golongan hitam banyak yang menghambakan diri kepada penjajah Mancu. Hal itu saja sudah menjadi sebab yang harus kita perhatikan dan sama sekali tidak boleh dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus dipikirkan masak-masak sebelum kalian mengambil keputusan untuk menangkap puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri, sungguh pun puteri selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga kalau sampai dia kita tawan, tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan diserang secara terang-terangan oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu Sute dan Sumoi jauh melampaui aku, namun dalam hal pengalaman, aku jauh lebih tua dan lebih banyak mengalami hal-hal yang sulit. Sebaiknya Sute dan Sumoi secara diam-diam melakukan penyelidikan terhadap Puteri itu. Tentu saja kalian harus berhati-hati, jangan sampai terjadi hal yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar belakang puteri itu, apakah ada orang-orang sakti di sana, dan siapa sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai itu."
Mau tidak mau kedua orang muda perkasa itu harus tunduk dan merasa kagum akan pandangan yang luas dari suheng mereka itu. Mereka menyanggupi dan pertemuan antara murid-murid seperguruan itu dilanjutkan dengan makan minum dalam suasana prihatin.
"Sebaiknya Sute dan Sumoi melakukan penyelidlkan di waktu siang saja agar tidak berbahaya. Kita menanti kembalinya utusanku ke Hoa-san. Setelah para Locianpwe dari Hoa-san tiba, barulah kita mengambil keputusan berdasarkan pendapat beliau-beliau itu agar sepak terjang kita tidak simpang-siur." Demikian pesan Tan Bu Kong yang dipatuhi oleh dua orang adik seperguruannya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda perkasa itu sudah meninggalkan piauwkiok dan melakukan penyelidikan ke tempat yang ditunjuk oleh Teng Lok, yaitu di luar kota raja yang tidak begitu jauh dari situ, hanya dalam jarak perjalanan seperempat hari saja.
Pada sore harinya menjelang senja, selagi Tan-piauwsu dan para anak buahnya duduk menanti kedua orang sute-nya itu, juga menanti berita dari Hoa-san, tiba-tiba muncul dua orang muda di depan pintu gerbang piauwkiok. Melihat mereka ini, para pengawal yang tempo hari ikut mengawal dua peti jenazah menjadi pucat dan gugup. Ada yang berbisi-bisik.
“Dia datang…! Dia datang...!!”
Ketika Tan Bu Kong menengok dan melihat seorang pemuda yang berambut panjang riap-riapan, berwajah tampan dan aneh, sinar matanya tajam sekali dengan sikap tenang muncul di depan pintu menggandeng tangan seorang dara remaja yang cantik jelita, kemudian mendengar suara orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda aneh yang telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai dan membunuh pula dua orang sute-nya, yaitu Lie Cit San dan Ok Sun. Sejenak Tan-piauwsu terbelalak keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang dikabarkan amat aneh dan amat lihai itu hanyalah seorang pemuda remaja yang kelihatannya terlalu tenang dan terlalu lemah, bahkan terlalu sederhana mendekati tidak normal! Yang membiarkan rambutnya terurai seperti itu biasanya hanyalah kaum pertapa yang tidak peduli lagi akan keadaan dirinya!
"Apakah di sini Pek-eng-piauwkiok?" Han Han, pemuda itu, bertanya sambil memandang ke arah Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam dengan langkah lebar.
Tan Bu Kong mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan sambil menjawab, "Benar, di sini adalah kantor Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong (Pemuda Gagah) ada keperluan, silakan masuk, kita bicara di dalam!"
Betapa pun juga, Han Han yang sudah hafal akan sopan santun dan belajar tentang kebudayaan dan kesusastraan semenjak kecil, menjadi kikuk juga dan terpaksa ia pun membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil melangkah masuk, diantar oleh tuan rumah memasuki ruangan dalam yang luas. Di belakang Tan-piauwsu, para pengawal mengikuti dengan wajah tegang. Teng Lok masih beristirahat di dalam kamarnya dan di situ hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu yang tingkat kepandaiannya belum dapat diandalkan, sungguh pun tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai jauh lebih lihai dari pada semua pengawal yang bekerja di Pek-eng-piauwkiok.
"Siauw-enghiong dan Lihiap, silakan duduk," kata Tan-piauwsu.
Akan tetapi Han Han tetap berdiri dan Lulu juga berdiri karena melihat kokonya tidak duduk. Gadis ini hanya memandang ke kanan kiri, mengagumi perabot rumah yang biar pun tidak seindah perabot di Istana Pulau Es, namun jauh berbeda. Han Han berkata dengan kening dikerutkan.
"Harap tidak usah repot-repot karena saya datang untuk mencari pemimpin Pek-eng-piauwkiok."
Tan-piauwsu memandang tajam, lalu menjawab, “Saya Tan Bu Kong adalah pemimpin Pek-eng-piauwkiok. Enghiong siapakah dan ada keperluan apa mencari saya?" Sebagai seorang yang berpengalaman, piauwsu ini tidak langsung menyatakan mengenai pemuda ini, melainkan pura-pura bertanya akan maksud kedatangan pemuda itu yang memang belum dapat diduganya.
"Bagus sekali! Jadi engkau pemimpin piauwkiok ini? Tan-piauwsu, tidak perlu main sandiwara lagi! Tentu orang-orangmu telah menceritakan betapa aku telah membunuh kedua orang pembantumu. Engkau tentu yang bertanggung jawab tentang pengiriman dan pembunuhan dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Karena itu, aku datang untuk membunuhmu sebagai tebusan kejahatanmu. Bersiaplah!" Han Han sudah bergerak hendak memukul.
"Nanti dulu, Siauw-enghiong! Yang kau bunuh itu adalah dua orang Sute-ku, justeru aku ingin bertanya mengapa engkau membunuh mereka? Dan mengapa pula engkau hendak membunuhku?”
"Sudah jelas, kalian telah membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan jenazah mereka dalam peti. Karena salah sangka, aku membantu orang-orangmu dan kesalahan tangan membunuh orang-orang Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung jawab. Aku bukan algojo, tukang bunuh orang tanpa sebab, maka engkau yang menjadi biang keladinya harus menebus dosa!" Setelah berkata demikian, Han Han menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan dengan jari tangan terbuka.
"Wesssss...!" Angin pukulan yang amat dingin menyambar.
Tan-piauwsu mengenal tenaga sakti yang menyambar ganas. Ia berseru kaget dan cepat ia meloncat ke kanan untuk mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter di belakangnya menggantikannya kena sambaran tenaga pukulan itu dan pecah berantakan, terlempar sampai jauh!
Tan Bu Kong merasa ngeri, dan cepat ia melompat mundur sambil berseru, "Nanti dulu, Siauw-enghioog! Aku sama sekali tidak mengerti tentang jenazah-jenazah itu. Bukan kami yang bertanggung jawab, kami pun terperosok dalam perangkap musuh..."
“Sudah ada bukti hendak menyangkal lagi? Koko, orang ini pintar mainkan lidah, jangan kena dibohongi. Sikat saja!” kata Lulu yang ingin agar urusan ini cepat selesai sehingga ia dapat mengajak kakaknya mencari Lauw Sin Lian agar dapat ia bertanya tentang musuh besarnya, ayah dari gadis itu.
Han Han juga berpendapat seperti Lulu. Sudah jelas buktinya bahwa peti-peti yang berisi jenazah itu diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok, dan jelas pula bahwa ketika orang-orang Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti itu dibuka, para pengawal Pek-eng-piauwkiok rnencegahnya mati-matian. Andai kata bukan orang Siauw-lim Chit-kiam, setidaknya Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu untuk merahasiakannya.
"Tidak perlu banyak cakap lagi!" katanya karena hatinya amat kesal kalau ia teringat betapa ia telah membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan karenanya Sin Lian, gadis yang dahulu amat baik terhadap dirinya, yang telah berkali-kali menolongnya, dan yang dengan rajin sekali memberi petunjuk-petunjuk kepadanya ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi marah-marah dan membenci kepadanya.
Ia memukul lagi dengan tangan kirinya. Sejak tadi Tan-piauwsu sudah siap sedia, dan melihat gerakan pemuda aneh itu ia maklum betapa pemuda itu gerakannya kaku namun memiliki hawa sakti yang menggiriskan. Sebab itu begitu tangan kiri Han Han bergerak, ia telah berkelebat cepat, mempergunakan ginkang-nya meloncat tinggi dan melewati tubuh Han Han sambil mengayun tangan menotok pundak pemuda itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san), dan julukan ini saja menunjukkan bahwa dia dapat bergerak tangkas dan cepat seperti seekor burung garuda putih. Kecepatannya yang luar biasa ini membuat Han Han tak dapat menghindarkan totokan sehingga dua jari tangan piauwsu itu dengan keras menotok pundaknya.
"Dukkk!"
"Aduhhhhh...!" Bukan Han Han yang mengaduh, melainkan Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua jari tangannya hampir patah ketika ia menotok pundak yang keras dan panas seperti besi membara!
Han Han menjadi marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua kakinya bersilang, tangan kanan diayun ke depan mendorong ke arah tubuh Tan-piauwsu yang baru saja turun ke atas lantai.
"Aihhh...!!" Tan Bu Kong cepat meloncat lagi ke atas.
"Byarrr...!!" Pukulan tangan kanan Han Han mengandung tenaga sakti Yang-kang, dan karena pukulannya dielakkan maka hawa pukulannya terdorong terus menghantam tiang balok besar. Separuh dari tiang kayu itu rontok dan mengepulkan asap, sebagian besar gosong seperti terbakar api!
Tan-piauwsu dan para sute-nya yang menyaksikan kehebatan pukulan ini menahan napas dan mereka telah bersiap-siap untuk mengeroyok. Namun Han Han tidak mempedulikan mereka, terus mengejar Tan-piauwsu yang mempergunakan gerakan-gerakan ginkang untuk menghindarkan diri dari setiap pukulan jarak jauh.
Betapa pun cepat gerakan Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han Han yang memiliki tingkat sinkang jauh lebih kuat masih menang cepat! Pemuda ini mulai meloncat-loncat pula sehingga dalam belasan kali serangan saja, Tan-piauwsu telah kehilangan lubang untuk mengelak, sehingga ketika ia untuk ke sekian kalinya meloncat ke atas untuk menghindarkan diri, ia kurang cepat dan pundak kirinya masih terkena sambaran hawa sakti dari dorongan tangan kiri Han Han. Biar pun tidak tepat kenanya, hanya diserempet saja, namun tubuh Tan-piauwsu terguling dan dia menggigil karena kedinginan. Namun piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini masih sempat mencegah sute-sute-nya dengan teriakan.
"Sute, mundur semua!" Dan ia sendiri lalu meloncat ke atas karena dorongan tangan kanan Han Han telah menyusulnya.
"Desssss!"
Lantai menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika terkena sambaran hawa yang keluar dari tangan kanan pemuda sakti itu. Ia mulai merasa penasaran dan ketika ia hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih melambung itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, kemudian tahu-tahu tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali pukulan Han Han luput!
Ternyata yang datang dan sempat menolong Tan-piauwsu dari bahaya maut itu adalah seorang pemuda tampan sekali, bertubuh tinggi besar dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang telah mencabut pedang dan sikap kereng berdiri memandang Han Han.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han