PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-20


“Engkau akan cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat kehormatan besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi kaisar sendiri,” demikian antara lain Giam-ciangkun membujuk adik iparnya.
Han Han menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau pekerjaannya hanya membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai cita-cita menjadi pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar Mancu karena aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”
Giam-ciangkun mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu, Han Han?”
Han Han memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua dengan cihu-nya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk membunuh tujuh orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuaku. Cihu sendiri karena sudah menjadi suami Cici-ku dan kulihat memang Cihu saling mencinta dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang perwira lainnya, terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh mendiang Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum aku dapat membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas kaisar.”
Wajah panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah pucat. “Aihhhhh, Adik Han Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu? Apakah engkau tidak dapat menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa dalam perang yang lazim terjadi?”
Han Han menggeleng kepalanya. “Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan bagaimana yang jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas dalam pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh untuk mencari pembunuh-pembunuhnya. Akan tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan dibasmi secara keji tanpa alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang perwira yang lain!”
Giam-ciangkuan tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihu-nya tersinggung, akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya, karena ia telah menaruh curiga akan sikap cihu-nya yang ia tahu menaruh ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan kepandaiannya Han Han dapat menyelinap mendekati jendela kamar cici-nya dan mendengar percakapan lirih yang terjadi di dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang tinggi sehingga daya tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan percakapan di dalam kamar yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.
“Sungguh celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan mala petaka besar. Dia masih mendendam kepada Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh mereka.”
“Aih, anak itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu dibunuh, akan tetapi kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia akan dikejar-keiar dan ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”
“Satu-satunya jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar cepat-cepat meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han pergi dari kota raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada di sini akhirnya pasti akan timbul mala petaka. Wataknya aneh sekali.”
Cici-nya menghela napas panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan saudara kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu benar sekali dan terserahlah apa yang hendak kau lakukan, asal Han Han terbebas dari pada bahaya.”
“Aku akan mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang kawan lain itu melarikan diri.”
Han Han cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar ucapan cici-nya, juga ia percaya bahwa cihu-nya tidak akan mencelakainya. Akan tetapi mendengar bahwa cihu-nya hendak mengirim surat kepada perwira yang bernama Giam Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang lain itu berada di kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam orang perwira itu.
Perwira rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia tidak tahu sama sekali bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki halaman istana Panglima Giam Kok Ma, dan bayangan yang bukan lain adalah Han Han itu menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.
Bahkan ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang membaca surat itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di atas genteng. Sinar mata Han Han berapi-api ketika mengenali panglima yang mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa ibunya!
Mukanya terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga melompat ke dalam kamar dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han menahan kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul, pikirnya. Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang lainnya dan hal itu tidak akan mudah. Apa lagi cihu-nya sama sekali tidak suka membantunya dalam hal pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihu-nya tentu saja akan memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya untuk melarikan diri.
Han Han memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapa pun juga dia hanya seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat menandingi kecerdikan tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan tidak menduga sedikit pun bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan direncanakan oleh para tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Tidak tahu bahwa semua itu adalah pelaksanaan siasat mereka.
Karena Giam-ciangkun maklum bahwa di dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda ini merupakan ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana bersama Ouwyang Cin Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka menanti kembalinya Gak Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu. Apa pun yang dilakukannya, pasti menimbulkan kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.
Kebetulan sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan cici-nya, muncul seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung istana Pangeran Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah berada di ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga. Kehadirannya baru diketahui hanya setelah dia lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek saja.
“Rebahlah!” Tiba-tiba nenek itu mendengar suara kaku di belakangnya.
Nenek itu merasa betapa ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari belakang. Nenek ini bukan lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada orang berkepandaian tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya. Pemutaran tubuhnya ini didahului oleh menyambarnya anting-anting panjang berbentuk rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke depan menangkis pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.
“Tranggggg...!”
Pukulan yang dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang. Dari kedua telapak tangannya mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah tubuh Si Burung Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!
Kedua orang tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika tangkisan senjatanya yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia membuat gelang itu meluncur menyerang lawan sambil meloncat mundur. Ada pun Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat ampuh itu selain dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik menyerang dengan senjata rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan mulutnya yang runcing meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!
Mendengar suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang mengepung nenek itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu berseru dengan kaget, “Ah, kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”
Nenek yang tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek, kini memandang kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh, agaknya kedua Tikus Kuburan juga kesasar sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku memenuhi undangan Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok membutuhkan bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang mukanya seperti burung sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus saja mendengar ucapan menghina itu.
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang telah bangun pula tadi bersembunyi di tempat rahasia. Ketika mendengar bahwa nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah berada di situ, kini berani muncul dan ia segera berkata.
“Ah, harap locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa memberi tahu dan pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka orang-orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan duduk.”
Toat-beng Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum araknya dari guci arak yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa lagi sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang besar dan amat panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.
“He-he-he, Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya, anjingmu ini selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?” Ia menudingkan telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan sebelah kaki.
“Apakah locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”
Nenek itu membelalakkan kedua matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar biasa sekali, pantas dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu. Aku ingin sekali mencoba kepandaianmu!”
“Hemmm, nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat? Aku pun ingin mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana saja!”
Mendengar ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang sakti yang wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan rumahnya menjadi arena perkelahian di antara pembantu-pembantunya sendiri. Bisa berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.
“Harap ji-wi suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat penting yang kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara di dalam ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”
Demikianlah pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan ini merupakan siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai membayangi pemuda ini, terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa surat Giam-ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.
Ini sudah termasuk rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok Ma, tentu ia akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan pemuda ini mengikuti Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka persiapkan untuk menyambut pemuda itu!
Ketika Han Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh besarnya itu berkata.
“Baiklah, sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan besok pagi-pagi aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”
Mendengar ini Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon sambil menjaga. Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya itu meninggalkan gedung menunggang kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia cepat meloncat turun dan mempergunakan ginkang-nya mengikuti dari jauh. Larinya cepat sekali sehingga biar pun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu membalapkan kuda, ia masih dapat mengikuti mereka.
Jauh di luar kota, rombongan itu memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat sebuah bangunan yang indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda dan masuk di bagian belakang gedung itu.
Han Han cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak melihat bayangan musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya karena khawatir kalau-kalau kehilangan musuhnya, ia meloncat turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba di sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak lantai, sebuah pintu terbuka dan yang muncul adalah... Giam Cu cihu-nya.
“Eh, Adik Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan wajah kaget dan heran.
“Cihu, ini rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi kereng dan dingin.
“Ini rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihu-nya. “Dan sungguh kebetulan sekali kedatanganmu, Adikku. Memang aku sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”
“Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”
“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau suka memandang mukaku dan mengingat Encimu. Jika engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan mala petaka kepadaku.”
“Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”
“Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau dengan para pengawal.”
Pada saat itu beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihu-nya.
“Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mem-persiapkan tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Ada pun kedua orang locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian berkata.
“Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah mulutnya.
“Heh, segala macam lalat mengganggu saja!” kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua!
Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku. Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!”
“Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?” tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada ‘telur’-nya.
Giam-ciangkun menarik napas panjang. “Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han, pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang pandai.”
Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. “Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!”
“Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti dulu! Apa kau kira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!” Sin-tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat seperti burung, maju mendekati Han Han.
“Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan? Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.
Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali. “Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”
Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab, “Engkaulah yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan membiarkan engkau membunuh orang, apa lagi hendak membunuh enam orang panglima. Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar?”
Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan percakapan antara cihu-nya dan cici-nya, kemudian teringat akan perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihu-nya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur lebih dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka membusungkan dada.
“Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Jika ada yang ingin menghalangi, dia itu pun harus kuenyahkan!”
“Heh-heh, orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biar pun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian apakah?
Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.
“Hayaaaaa...!” Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sinkang mereka yang mereka pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
“Hmmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara ketawa.
“Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.
Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan hormat sambil berkata, “Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!”
“Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku.”
Sin-tiauw-kwi tertawa. “Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali akan pengajaranmu!”
Toat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai. “Bocah iblis murid durhaka. Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”
Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihu-nya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han menduga bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
“Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”
“Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!”
Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan putih mau pun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia marah dan nekat.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekali pun, akan kulawan!”
“Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.
“Tutup mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kau kira aku tidak dapat menguasai muridku? Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”
“Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”
Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada. Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.
“Plak-plak!”
“Bukkk!”
Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
“Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li?” Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali.
Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat ini Han Han maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lebih lihai dari pada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...! Plak-plak...!” dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang dan bergulingan.
Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali, “Luar biasa... luar biasa...!”
Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat dari pada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!
“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung Hantu mengejek sambil tertawa.
Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.
Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja mereka menjadi kagum sekali. Ada pun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya dan membawanya pergi.
Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.
Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu. Han Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu.
Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat dari pada akar pohon yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.
“Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya seperti tikus mengejek.
“Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik mengejek pula.
Mendengar ini, nenek itu terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekali pun aku masih sanggup mempermainkannya!”
Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan suaranya yang mengandung khikang kuat itu didasari kekuatan kemauan mukjizat yang amat berpengaruh.
“Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?” Sambil berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang tongkat dan menyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
“Hehhh...! Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.
“Demi segala iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.
“Ajaib... se... se... setan...!” Adiknya juga berseru.
“Ilmu hitam apakah ini...?” Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.
“Ayaaaaa...!” Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman tongkat.
Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguh pun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang ‘Han Han’ yang berada di belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.
“Pranggg...!” Sambil memegang tongkat dengan tangan kiri, dengan telapak tangan kanannya Han Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-pecah. Dalam pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang ‘Han Han’ yang lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.
“Eh... hiiihhhhh...!”
Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa itu selain menjadi ‘perhiasan’ dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.
“Trakkk...!”
Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang ‘bayangannya’ juga patah dan remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong.
Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah bayangan!”
Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sinkang yang menakjubkan.
Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!
“Ihhhhh...!”
Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap.
Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mukjizat dan tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat ke luar dari lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!
“Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Han Han merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan biar pun tubuhnya dilindungi sinkang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.
“Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.
Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan menarik napas panjang. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit tubuh Han Han yang lemas dan hendak pergi.
“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.
Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin, “Siapa hendak bicara tentang Pulau Es? Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada murid-murid lain!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.
Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu.
“Aaahhhhh, sungguh berbahaya...,” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya.
Pintu terbuka dan muncullah Giam Kok Ma. Mukanya yang kuning kini berubah putih dan ia bertanya terengah-engah, “Be... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia... iblis cilik itu... berubah menjadi tiga? Celaka... jangan-jangan hanya satu yang dibawa pergi, yang dua lagi...” Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh ruangan dengan mata jelalatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi di tempat itu yang pasti akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata, “Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li. Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”
“Syukurlah kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.
“Tenaga sinkang-nya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.
Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini. Koai-lojin!
“Ehmmm... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!” tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.
“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku.”
“Boleh! Sekarang pun boleh!” kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik baunya yang apek dan tengik.
Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapa pun lalat itu hendak terbang, ia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya! Demonstrasi sinkang yang seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung Hantu sudah menguasai sinkang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin halus seperti itu!
“Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!” Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan... hangus!
“Huh!” Sin-tiauw-kwi mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!” katanya menantang.
Melihat ini Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka. Hatinya kesal menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan locianpwe?”
“Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita. Biar pun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”
“Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi Se-cuan saja.”
“Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja, kemudian minum arak sampai terdengar bunyi menggelogok di tenggorokannya. “Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!”
Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan. Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.
“Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu?”
Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. “Mengapa tidak benar? Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang Mancu. Ia membawa murid itu ke In-kok-san. Selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”
“Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”
“Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik dari pada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya Ouwyang-kongcu.”
“Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”
“Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”
“Belum,” jawab Giam-ciangkun. “Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm... tak tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.”
Giam Kok Ma berkata, “Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik?”
Giam Cu mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”
Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari itu ia dapat tidur, setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han, ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak.....
********************
Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi dua jalan darahnya telah ditotok, biar pun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han berkata.
“Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!”
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata. “Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?”
Han Han tersenyum pahit. “Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”
“Benar, benar...!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.”
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain!
Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andai kata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es!
Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es! Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi? Biar pun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang mempertahankan kebenaran dari pada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!
“Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!” Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.
“Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!”
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.....
********************
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani. Walau pun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu. In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di sana. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik. Dia tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan.
Biar pun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apa lagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.
Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada semua murid Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu?
Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.
Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja. Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja, kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san.
Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es. Akan tetapi setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Mancu.
Ada pun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paling baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, “Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
“Ikat kedua tangannya!” Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.
Han Han tidak berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya. Ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati!
Apakah artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir barulah ada hidup, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada. Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami keadaan sesudah mati?
Betapa pun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa takut mati?
Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan semedhi karena memang dia bersemedhi untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apa bila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
“Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!” Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid.
Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sinkang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sinkang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
“Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apa bila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.
“Han Han... kau bicaralah...!”
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)