PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID 21


Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid-murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!”
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le... lehernya, subo...?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik. “Lehernya, kau dengar? Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!” Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan sungguh-sungguh mengangkat golok itu ke atas mukanya dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya. Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras.
“Haiiittttt...!”
Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan...!” Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu. Gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg...!” Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu...!”
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu...! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu...!” Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu...!” Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya.
Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut. Hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa suci-nya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Kedua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ketiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?” tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu...?” Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah.
Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!” Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata, “Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening. “Hemmm... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula?”
“Subo, betapa pun juga, Han Han adalah bekas Sute-ku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini? Teecu... merasa kasihan...”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah, Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya.
Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk. “Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacat yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk ke kamarmu dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han sejenak, lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh bagian tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia pejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sinkang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat dari pada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu, ada pun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangan menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus ke luar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus. Jika hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahannya, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li, sudah empat hari empat malam dia tidak makan. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh dari pada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapa daksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli.
Apa lagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biar pun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cici-nya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apa lagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasehat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasehatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung. Tidak usah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung, maka menasehatinya agar membuntungi kakinya sendiri dari pada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasehat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baiklah, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguh pun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu membalas dendam.
Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini.
Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis.
Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apa bila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han Han...!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu... engkau... datang ke sini...?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah...”
Kim Cu berlutut dekat Han Han dan berkata, “Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu...”
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, lalu menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu...” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan.
Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han... kau... kau menangis...?” Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu...,” suara Han Han menggetar. “Mengapa...?”
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai, “Kau hendak berkata apa...?”
“Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?”
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah... makanlah dulu, baru nanti kita bicara...”
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya. Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau tidak makan? Marilah...”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan. “Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan...”
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju. “Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini...”
“Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata, “Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu...”
“Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?”
Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat cabang pohon.
“Aaahhhhh, harapan apa lagi yang ada padaku? Aku telah menjadi murid tapa daksa... tiada gunanya....” Kembali ada dua titik air mata meloncat ke luar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu. “Ahhh, Han Han, kasihan sekali engkau...” Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya. Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan harum itu.
“Kim Cu...” Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau... mencintaku?”
Gadis itu tak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang matanya. Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
“Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada di samping seorang pria yang menjijikkan...”
“Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian?” Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan, kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.
“Han Han, kenapa kau menjadi putus asa? Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Ke mana perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dulu engkau begitu keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan! Setelah kakimu bun... eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi? Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau dapat berbuat lebih baik dari pada manusia yang utuh tanpa cacat! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacat tidak boleh dihina! Jangan menjadi melempem, Han Han!”
Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia yang berakal budi! Biar pun cacat, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang berguna?
“Aduh, Kim Cu..., terima kasih...!” Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han merangkul gadis itu dan menciumnya.
Dia belum pernah berciuman didasari cinta kasih. Biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap, “Han Han, aku... aku mencintamu...”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu. “Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu? Bukankah... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh guru dan suheng-mu kalau engkau pulang nanti...!” Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, “Aku sudah lari dari kamarku. Aku... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”
Han Han terkejut sekali. “Tidak...! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu... kakimu dibuntungi seperti aku...”
“Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!
“Hmmm... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini?”
“Subo, aku mencinta Han Han!” kata Kim Cu dengan berani.
“Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kau anggap suatu pelanggaran!” kata Han Han.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
“Kalian saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!” Nenek itu berkata dengan bengis.
Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya, berkata kepada Han Han, “Marilah, Han Han. apa pun yang akan terjadi, aku rela asal bersamamu.” Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya.
Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu tidak berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang sedang diamuk cinta.
Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguh pun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan Kim Cu. Betapa pun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
********************
Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.
“Dengarlah, bocah binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan gadis itu dari totokan.
“Beginikah orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu bergerak?”
Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.
“Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut denganku ke kota raja dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.”
Lulu mengangguk dan berkata. “Baiklah. Bebaskan aku.” Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, “Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku, dan kau apakan Koko-ku Han Han?”
“Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu?”
“Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama?”
Ouwyang Seng gemas. Kalau saja bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang lincah itu.
“Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa namamu.”
“Namaku Lulu. Sie Lulu!”
Kembali Ouwyang Seng tertawa. “Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang tuamu she Sie? Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu di pinggir jalan!”
“Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.
“Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke istana.”
Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa dirinya kecil.
Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biar pun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang pelatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana. Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguh pun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Biar di dalam istana indah sekali pun, bagaimana mungkin ia dapat hidup senang kalau ia jauh dari kakaknya?
Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu. Pada keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biar pun telah menyamar sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya?
Pada suatu sore ia memasuki kota Tiong-bun dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota. Ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis. Gadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya, lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain pedang.
Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang baik. Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah dari pada gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan besar, sungguh pun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan penghormatan, kemudian tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.
“Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini bukan semata-mata untuk mencari dana, sungguh pun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cu-wi sekalian. Terima kasih.”
Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat. Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan sopan. “Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik.”
Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat menjadi gentar melihat dasar gerakan wanita itu. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apa lagi oleh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang mengerti ilmu silat.
Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba melayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
“Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin belajar kenal!” Ketika mengucapkan kata-kata ‘belajar kenal’ matanya bermain dan sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.
“Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali. Silakan!” Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang sekali.
“Nyonya, lihat seranganku!” Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti.
Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh. Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apa lagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apa lagi dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan tubuh, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar. Kaki Si Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri. Karena ia menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran, apa lagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.
“Aku belum kalah!” bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya itu sudah menang. “Jagalah seranganku!”
Ia menerjang lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
“Hyaaatttt...!”
Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan. Ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan. Sambil mengelak kakinya menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lweekang ke arah lutut Si Muka Hitam.
“Krekkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai itu.
“Ayaaa... hwaduhhh... uggghhh...!” Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai ke jantung.
Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan, bahkan menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
“Maafkan saya, Louw-enghiong.” Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
“Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”
Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring, amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura dengan sikap tenang. “Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat. Kami persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah prajurit-prajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh Lulu, seorang di antara para perwira itu, yaitu yang hidungnya melengkung seperti hidung burung kakatua, meloncat ke atas panggung dengan gerakan ringan.
Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai ‘pelanggar hukum’.
Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.
“Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”
Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring, “Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah melanggar hukum?”
Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.
“Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.”
“Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu?”
Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa. Apa lagi mereka yang merasa telah ‘melanggar hukum’.
Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus ‘mencontoh’ pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan hukum ini.
“Maaf, Tai-ciangkun,” Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguh pun tidak menjilat, “kami mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Ada pun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”
Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh perhatian. “Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihaiannya. Bagaimana?”
Kakek itu mengerutkan keningnya, “Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan main-main.” Kakek itu tersenyum.
“Siapa main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”
Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.
“Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya. Kalau dia yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.
Akan tetapi perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat, matanya melotot. “Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu, kenapa aku tidak? Apakah kau anggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu.”
Wanita itu melangkah maju dan berkata, “Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.”
Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng. Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus, “Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran silat kepada saya? Silakan.”
Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan asli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.
“Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu.” Ia sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang sebab perwira ini maklum bahwa seorang wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau disebut nyonya.
Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab, “Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu adalah anak saya.”
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah. “Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!”
Ia lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.
“Aihhhhh, cepat sekali!” Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan ke arah muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya!
Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
“Ohhh... le... lepaskan tanganku...!” Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han