PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-22


“Lepaskan isteriku!” Laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan tiba-tiba meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
“Pergilah!”
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.
“Ahhhh...!” Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
“Krekkk!” Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.
Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata, “Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri meninggalkan kota ini.”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira itu.”
Wajah kakek itu menjadi pucat. “Maaf, Tai-ciangkun... hal itu mana bisa dilakukan...?”
“Tentu saja bisa kalau mau!” jawab Si Perwira.
“Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu...”
“Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang berada di bawah tertawa.
“Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan, ha-ha-ha!”
Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya tegas, “Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu.”
Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan. “Apakah ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?”
Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata. “Terserah penilaian Ciangkun!”
“Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk mampus!” Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.
“Tunggu dulu...!”
Perwira hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. Sikapnya angkuh sekali seperti seorang jenderal, namun wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri. Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung. ‘Pemuda’ ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan perbuatan perwira itu.
“Eh, engkau ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?” Si Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh di depannya itu.
“Engkau yang tak tahu diri!” Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu, “Engkau ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat! Dumeh (mentang-mentang) menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan! Seharusnya prajurit menjadi pelindung rakyat! Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat! Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu!”
Tidak hanya para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja! Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.
“Eh, pemuda yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?”
“Aku rakyat biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat yang tidak berdosa!”
Sejenak perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh menggemaskan! Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai berdarah!” Ia menoleh kepada teman-teman di bawah panggung. “Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam gembira kita?”
“Akur! Akur!” teriak dua orang perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.
“Kalian orang-orang Han memang sombong! Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau apa?”
Kemarahan Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira bangsanya sendiri! Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.
“Mau apa? Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok itu!” bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher!
“Wah-wah, ganas...!” Perwira yang memandang rendah gadis itu mengejek.
Tangan kanan gadis itu datang lebih dulu ke lehernya. Cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok perutnya hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!
“Dessss...!”
Perwira itu menjerit dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua buah lubang yang penuh darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya dalam keadaan pingsan!
“Pembunuh! Pemberontak! Tangkap!” bentak dua orang perwira lainnya.
Bersama sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus. Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu memperlihatkan ‘kegagahannya’ menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas.
Kini dua belas orang prajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa ‘pemuda’ yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru, “Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!”
“Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang, Lopek?” Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang prajurit pengawal roboh kembali ke bawah panggung.
Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuh untuk berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biar pun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sinkang yang amat kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya. Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu dan kehilangan hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu. Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya. Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu terhuyung-huyung. Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan prajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika menyaksikan betapa pihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya, kakek itu berkata.
“Siauwhiap, harap melarikan diri saja. Tak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk kami...”
“Eh, omongan apa itu? Apa kau kira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang lebih banyak itu. Mereka terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para prajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu, banyak pihak tentara Mancu yang roboh.
“Lekas kalian meloncat dan memegang kuda ini!” Seorang di antara para pengemis itu berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu.
Pada saat itu puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis. Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang bertubuh tinggi kurus itu berkata, “Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!” Singkat saja ia bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua.
Mereka membagi kuda. Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan, sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap sekali. “Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui sebuah goa yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Goa itu tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu agak jauh dari goa, kemudian mereka semua memasuki goa dan tanpa banyak cakap pengemis kurus itu membuat api unggun di dalam goa, mengeluarkan roti kering dan air, mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus itu bertanya, “Ji-wi terluka?”
Kakek tukang penjual silat itu menjawab, “Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang berpengalaman itu menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka. Melihat sikap pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia diam saja dan hanya mendengarkan.
“Bagaimana Lopek sampai diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu itu?” Tiba-tiba pengemis itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh kebencian ketika menyebut ‘anjing-anjing Mancu’.
Kakek itu menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya yang kelihatan lelah dan mengantuk itu. “Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang melakukan perjalanan menyelidik, mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis dengan tenang tanpa memandang Lulu.
Tentu saja Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap? Seorang dara remaja? Ahhh, hebat... ah, maafkan mataku yang sudah lamur, Lihiap.”
Tiba-tiba terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya, “Apa kataku? Dan engkau masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kau kira semua laki-laki sejahat perwira Mancu itu?”
“Sssttttt...!” Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah sekali.
Lulu menahan hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya dan berboncengan di atas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai (Pengemis Tua), pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu yang melepas penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya terbuka.
“Tidak percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing Mancu!”
Kembali Lulu terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan belas tahun. Pekerjaan kakek ini adalah piauwsu yaitu pengawal barang-barang berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang lumayan. Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, mala petaka terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian mengajak keluarganya pesiar ke utara, apa lagi pada waktu itu perang telah selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta). Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggota pasukan. Tentu saja keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apa lagi dibantu oleh puluhan orang anak buahnya. Maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan merantau ke utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja. Apa pun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam kepada perwira keparat itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil mengepal tinju.
“Perwira mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan Golok Besar) Liok Bu Tang...!”
“Serrrrr...!”
Sebatang anak panah menyambar dari luar goa dan Lulu yang bermata tajam cepat menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api unggun dan berbisik, “Bersembunyi mepet dinding goa...!”
Dari luar goa terdengar suara ketawa bergelak, “Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh berjuluk Bu-eng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan), akan tetapi sekali ini bukan saja bayanganmu, juga orangnya akan menjadi tawananku atau malah menjadi setan penasaran. Ha-ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Goa ini sudah dikepung puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik, “Tidak ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu ke luar, dikeroyok, akan tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan ke luar sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas dari pada semua mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak-lopek, engkau dan puteri serta mantumu mengambil jalan kanan, kau pondong cucumu. Aku akan mengambil jalan depan!”
Kembali Lulu kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri sendiri!
Dari luar goa terdengar suara ketawa yang tadi. “Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam goa bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh, adikku Siok Ci... engkau... sudah mati...” Nyonya itu menangis.
Ayahnya membentak. “Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan musuh!”
Seketika nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepal tinju dan berseru, “Anjing-anjing Mancu, rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum sekali. Orang-orang Mancu itu... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut ‘pemuda hijau’, cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia berkata, “Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!” Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran.
Pengemis itu di dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum. “Lihiap, engkau tidak bersenjata?”
“Aku bisa merampas senjata dari mereka.”
“Baiklah, engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu dan cucumu mengambil jalan kanan.”
Tiba-tiba keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam goa sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing. Gak Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di lengan kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri, berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng Sin-kai itu.
“Siap! Kita menyerbu keluar. Satu, dua, tiga...!”
Meloncatlah mereka ke luar. Lulu yang memiliki ginkang istimewa itu melompat paling dulu menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap pemberontak! Bunuh...!” Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke depan.
Karena mendengar cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu terhadap perwira ini. Maka begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha, pemuda hijau berani bertingkah?” Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu terlepas.
“Heh...? Ahhhhh...!”
Ia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelak tangkisannya dan terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa ‘pemuda’ itu tidak boleh dipandang ringan.
“Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu Tang, mentang-mentang matamu tinggal satu engkau berani memandang sebelah mata kepadaku?” ejek Lulu yang menerjang terus dengan hebatnya. Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
“Setan alas! Kau kira aku takut padamu?” Biar pun mulutnya berkata demikian dan goloknya diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan membantunya.
Ada pun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak juga menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok. Ada pun mantu Kakek Gak itu biar pun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia melihat isterinya dan ayah mertuanya yang menggendong puterinya juga dikeroyok banyak orang.
Lulu marah bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang yang benar. Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, ginkang-nya jauh melebihi para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang pengeroyok dengan pengerahan tenaga sinkang-nya.
“Plakkkkk!” Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
“Keparat! Kepung, bunuh!” teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa ‘pemuda hijau’ itu ternyata demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang roboh. Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu! Ia mengertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah menjadi delapan orang, kesemuanya prajurit-prajurit Mancu yang sungguh pun tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee, lalu meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat kekuatan gerakan pedangnya berlipat ganda dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap! Kita mengadu punggung, saling melindungi!”
Lulu mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan biar pun punggung mereka tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu tidak ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada ‘pemuda’ itu. Hanya seorang gadis remaja!
Para pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau menunggu komando. Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan.
“Serbu...!” Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando pasukannya menyerbu barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring...!”
Suara bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok. Kembali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih menegangkan dari pada tadi.
“Lihiap, berapa ekor kau robohkan?”
Lulu hampir tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu, terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan untuk mengusir ketegangan.
“Lima... ekor!” jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang prajurit bangsanya.
“Aku hanya empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan serang terus sampai hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok.
Kembali terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat. Pihak pengeroyok terlalu banyak dan biar pun sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka menjadi lelah sekali. Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya.
Mereka berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar darah lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka bekas bacokan senjata para pengeroyok.
Paha kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya. Lulu juga terluka, pundaknya tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul, kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula. Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan khawatir, Lihiap. Biar pun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita sudah untung besar!” demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum bukan main. “Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa seperti engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada seorang prajurit. Akan tetapi ketika ia mencabut pedangnya, terdengar suara....
“Krekkk!” dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
“Bukan main! Gerakanmu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!” Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan dari para pengeroyok yang mengepungnya.
Biar pun napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya. Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang dan untuk berloncatan.
Saking lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati dan penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu.
Liok Bu Tang kini menyerang Lulu. Seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguh pun kekuatan sinkang gadis ini sebetulnya lebih hebat, akan tetapi karena tenaganya habis, pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
“Jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik itu... ah, dia sendiri yang akan ‘menanganinya’.
Perintah Si Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andai kata tidak ada perintah itu, dalam keadaan bertangan kosong dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata, dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama. Kini para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan kosong.
Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan main, apa lagi seorang di antara mereka, seorang kakek jembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan lagi itu.
“Tranggggg...!” Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur.
Kakek tua renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar tubuh Lulu yang sudah pingsan. Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua pengeroyok lari tunggang langgang!
********************
Kita tinggalkan dulu Lulu yang ditolong oleh para pengemis dan dibawa pergi untuk dirawat luka-lukanya dan mari kita mengikuti pengalaman Han Han bersama Kim Cu. Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang muda itu diajak pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san. Agaknya nenek yang memiliki watak sadis ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui lereng-lereng gunung yang terjal dan sukar.
Tentu saja Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah, menderita kurang darah dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu melalui jalan yang sukar. Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung di sampingnya ada Kim Cu yang selalu menggandeng dan membantunya apa bila melalui jalan yang amat sukar. Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam sikap dan pembelaannya, benar-benar amat mengharukan hati Han Han.
Ketika mereka tiba di sebelah hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti, menenggak araknya dan menarik napas panjang. “Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati di sini...!”
Han Han dan Kim Cu yang juga berhenti, memandang nenek itu dan mengira bahwa tentu nenek itu akan turun tangan membunuh mereka di tempat sunyi itu. Mereka hanya menanti nasib, karena maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Akan tetapi di dalam hati dua orang muda itu terkandung tekad yang sama. Han Han mengambil keputusan untuk menggunakan sisa hidupnya ini untuk membela Kim Cu dan kalau nenek itu turun tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan melawannya, biar pun kakinya tinggal satu. Demikian pula Kim Cu, dia akan membela Han Han kalau hendak dibunuh gurunya dan ia akan melawan gurunya!
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara itu halus dan terdengar seperti amat jauh, akan tetapi kata-katanya jelas terdengar oleh mereka bertiga.
Cinta...!
Betapa besar kekuasaanmu
menyelimuti seluruh alam mayapada
menunggang angin menyelam air
terkandung dalam api tanah dan kayu
engkaulah penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah imbangan Im-yang!
Cinta bertahta di langit
langit hanya memberi tanpa meminta
nafsu bertahta di bumi
awalnya memberi sedikit
akhirnya minta kembali seluruhnya!

Mendengar kata-kata dalam nyanyian itu, diam-diam Han Han terkejut. Kata-kata yang luar biasa, dan tidak merupakan pelajaran apa pun juga. Seorang tosukah orang itu? Ataukah seorang hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu yang mendengar suara itu pun terheran dan memandang gurunya, jelas bahwa gadis ini pun tidak mengenal suara siapa yang bernyanyi itu.
Toat-beng Ciu-sian-li menghentikan langkahnya, memandang ke depan dengan kening berkerut. Sepasang mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak dari gucinya sebelum berkata dengan suara melengking tinggi.
“Bukankah Im-yang Seng-cu di depan itu? Kalau benar, lekas keluar jika ada urusan dengan aku, jangan sembunyi-sembunyi seperti tikus!”
Terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang wajahnya kelihatan berseri dan bersih karena tidak ada kumis jenggotnya. Pakaiannya kuning sederhana namun bersih, kakinya telanjang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga. Han Han terkejut dan girang ketika mendengar disebutnya nama kakek ini, karena ia teringat kepada sahabat-sahabat baik yang dijumpainya di rumah Pek-eng-piauwkiok di kota Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li. Maka tanpa disadarinya ia berseru.
“Ah, jadi locianpwe inikah Guru Sin Kiat dan Soan Li?”
Mendengar seruan ini, kakek itu memandang Han Han, kelihatan tercengang dan meneliti Han Han dari atas sampai ke bawah, pandang matanya berhenti pada kaki buntung itu. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu kepada Han Han, bahkan dia lalu menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan berkata.
“Sian-li, apakah selama belasan tahun ini Sian-li baik-baik saja?”
Nenek itu mendengus dan mengerutkan kening, kemudian memandang tajam dan bertanya, “Im-yang Seng-cu, mau apa engkau berkeliaran di sini?” Nadanya penuh teguran dan jelas bahwa pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.
Im-yang Seng-cu tertawa dan merogoh bajunya, mengeluarkan sebungkus hioswa sambil berkata, “Kebetulan saja aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam perjalananku hendak menjenguk dan menyembahyangi kuburan sahabatku Jai-hwa-sian.”
“Jai-hwa-sian...? Dia... dia... Kongkong-ku!” Han Han berseru, terheran-heran. Benarkah kongkong-nya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah mati dan kuburannya berada di tempat ini?
Ucapan Han Han ini sungguh pun tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun ternyata mengejutkan Toat-beng Ciu-sian-li dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini memandang Toat-beng Ciu-sian-li dan suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.
“Sian-li, apa artinya ini? Kulihat pemuda ini baru saja menderita buntung kakinya dan kalau dia cucu Jai-hwa-sian engkau hendak apakan dia?”
“Im-yang Seng-cu, berani engkau mencampuri urusanku?” Toat-beng Ciu-sian-li membentak, suara dan pandang matanya mengancam, rantai panjang di kedua telinganya bergerak-gerak seperti hidup.
“Mana berani aku lancang mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi urusan yang menyangkut diri cucu sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus kucampuri. Kalau aku diam saja, aku malu bertemu dengan kuburannya!”
“Im-yang Seng-cu, dengar baik-baik. Aku sama sekali tidak tahu bahwa bocah ini adalah cucunya, dan dia ini adalah muridku yang murtad, melarikan diri dari perguruan maka telah menerima hukuman. Ada pun gadis ini juga muridku yang membelanya, maka kini keduanya harus dihukum mati.”
Im-yang Seng-cu memandang Kim Cu dan Han Han bergantian. Pantas saja begitu bertemu dengan Han Han tadi ia tercengang menyaksikan persamaan pemuda itu dengan sahabatnya yang telah tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu Jai-hwa-sian! Dan mata kakek ini yang awas dapat pula melihat kenekatan di dalam sikap dua orang muda itu, melihat pula pandang mata penuh cinta kasih. Ia tersenyum dan menjawab.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau tahu bahwa aku cukup menghormatimu sebagai golongan lebih tua, akan tetapi engkau pun cukup maklum bahwa tak mungkin aku membiarkanmu mengulangi perbuatanmu dahulu terhadap cucu sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah berkaki buntung! Siapakah namamu?”
Han Han tidak mengharapkan pertolongan siapa pun juga, dia mengaku cucu Jai-hwa-sian tadi pun karena tanpa disadari dan saking kagetnya mendengar disebutnya nama itu. Kini mendengar pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia dapat mengenal orang dan biar pun kakek ini bertanya secara kasar, namun ia dapat menangkap maksudnya yang baik, maka dengan tenang ia menjawab, “Namaku Sie Han, locianpwe.”
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh mengejek. “Dia she Sie dan mengaku cucu Jai-hwa-sian, hi-hi-hik! Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah!”
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi, “Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau sebut Kong-kongmu itu?”
“Namanya Sie Hoat.”
“Hi-hi-hi, he-heh! Kebohongan yang dipaksakan, sungguh menggelikan!” kembali nenek itu mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.
“Dan siapa nama Ayahmu?” Im-yang Seng-cu bertanya lagi.
Han Han mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biar pun Jai-hwa-sian itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.
“Dengarlah, locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai cucunya! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama kudengar dari Enci-ku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enci-ku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian. Dan biar pun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang namanya.”
Im-yang Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han. Teringatlah ia akan sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.
“Tak salah lagi... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma... akan tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam...! Sian-li, terpaksa aku menentang kalau engkau hendak membunuh mereka!”
Toat-beng Ciu-sian-li mendengus. “Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri! Andai kata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?”
“Bukan setan, melainkan akulah yang akan menentangmu, Ciu-sian-li!” Tiba-tiba Han Han berkata. “Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu!”
“Jika Subo hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan Subo untuk membelanya!” Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu.
Toat-beng Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang Seng-cu.
“Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar kekuasaanmu...!” Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata, “Sian-li, apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?”
Kemarahan Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang sudah masak itu penuh dengan perhitungan.
Ia mengenal siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biar pun merupakan tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di bawah tingkat supek-nya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai.
Andai kata ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar kepandaiannya. Belum dihitung lagi Han Han yang biar pun buntung tapi sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa.
Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia bertanding melawan Han Han di kota raja. Pemuda itu dapat ‘memecah diri’ menjadi tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng See-yu! Kalau mereka ini maju dan dirinya sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata.
“Im-yang Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal bulus! Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah seorang bocah yang menjadi sahabat dari Suma Hoat, satu-satunya anak yang dikasihi mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, aku khawatir apakah? Han Han telah buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya dari pada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi berkerincingan.
Setelah nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia bertanya, “Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?”
“Engkau mau tahu? Mari ikut bersamaku.” Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah pergi menuju ke selatan.
Han Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti kakek itu dan Kim Cu cepat menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang merasakan sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka berpandangan sejenak dan Han Han melihat betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata kebahagiaan bahwa mereka telah bebas dari pada bencana! Betapa dengan kasih sayang yang mesra mata gadis itu memandang kepadanya. Han Han sangat terharu, sejenak jari tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa pernah menengok kepada mereka.
Kakek itu keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio (dupa), menyalakannya dan bersembahyang. Bungkusan itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan yang sederhana.
“Inilah kuburan Jai-hwa-sian,” katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal kuburannya saja itu masih hidup.
Semenjak ia mendengar cerita enci-nya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga enci-nya sendiri mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada kakeknya. Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf itu dan membaca: MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.
Berdebar jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat! Dan teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah ke mana!
Melihat wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil berkata, “Ahhh... ini kuburan Supek yang menjadi putera Sukong Suma Kiat! Kiranya sudah meninggal dan dikubur di sini!”
“Ini bukanlah kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma!” kata Han Han, penasaran.
Im-yang Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri tersenyum. Kakek ini lalu menundingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata, “Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan tetapi Suma Han!”
Wajah Han Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba kepada pemuda ini. “Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han.”
Han Han dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya, sedangkan Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas panjang, mengangguk-angguk dan berkata.
“Benar, engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu.” Han Han mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.
“Akan tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama keturunan Sie?” ia membantah, ragu-ragu.
“Hal itu tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguh pun seorang jantan gagah perkasa, ditakuti lawan, namun memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apa bila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oteh nafsu birahi sehingga ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biar pun puteri dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik! Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang ber-she Suma itu banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.”
Kakek itu lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk mencangkok ilmu dari lain cabang.
Mereka bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin. Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu birahi ini yang sering kali menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya, baik wanita itu gadis, janda mau pun isteri orang!
“Darah Suma yang mewariskan watak seperti itu,” kata pula Im-yang Seng-cu. “Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas. Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja kalau terjadi pertempuran dalam sanubarimu antara kedua darah keturunan ini, watak Keluarga Kam yang akan menang.”
Han Han tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam hatinya, apa lagi kalau dia mengerahkan sinkang, seolah-olah ia menjadi buas kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya itulah dorongan watak Suma. Terkutuk!
“Kalau dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?”
“Kelemahannya hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu birahinya, dia seorang pendekar yang gagah. Karena itu, sungguh pun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri.”
Han Han penasaran. “Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang menasehatinya seperti locianpwe sekarang menasehati saya?”
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu. Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis! Belum pernah ia melihat mata orang seperti mata pemuda ini.
Celaka, pikirnya. Kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)