PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-25
“Bagaimana kau lihat?”
Han Han menjatuhkan diri berlutut. “Hebat luar biasa... akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat mempelajari ilmu sehebat itu, Subo?”
“Bisa, tentu saja bisa, apa lagi engkau memiliki kemauan keras dan memiliki sinkang yang lebih dari cukup.”
“Teecu amat bodoh, subo. Dua buah kitab dari Suhu dan Subo Siang-mo-kiam yang sudah teecu hafalkan di luar kepala saja, hanya dapat teecu petik tentang pelajaran sinkang-nya, sedangkan pelajaran ilmu silat pedangnya teecu sama sekali tidak dapat melatihnya,” kata Han Han menggeleng kepala.
“Karena engkau belum punya dasar, Han-ji (Anak Han). Akan tetapi setelah engkau berlatih dengan ilmuku, kelak engkau akan dapat mempelajari ilmu silat yang bagaimana pun juga. Dengar baik-baik. Ilmu ciptaanku ini kuberi nama Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat). Aku menciptakannya menjadi gerakan-gerakan kilat yang berdasarkan ilmu gaya yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh orang buntung berkaki satu seperti kita. Karena kaki kita buntung dan hanya sebuah, tiap kali kita bergerak lalu menghentikan gerakan, kita tidak dapat langsung berdiri tegak seperti orang berkaki utuh. Kita akan terdorong oleh gerakan kita sendiri sehingga terhuyung ke depan, ke belakang atau ke kanan kiri menurut gerak dorongan dari mana kita datang, selalu bergoyang-goyang untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Sebuah bola pun akan lama sekali baru dapat diam, dan begitu bergerak, bola itu akan bergoyang-goyang ke kanan kiri sampai dapat keseimbangan baru diam. Nah, gaya inilah yang kupakai sebagai landasan sehingga terciptalah Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun ini. Ilmu ini hanya dapat dikuasai dan dirasakan oleh manusia kaki satu, sukar diselami dan dipelajari oleh orang yang kakinya utuh.”
Han Han mengangguk-angguk. Pemuda ini memang pada dasarnya sudah memiliki kecerdikan yang menonjol, apa lagi perubahan mukjizat dalam dirinya membuat ia memiliki kekuatan otak yang tidak lumrah manusia, maka sekali mendengarkan ia telah dapat menangkap inti sari yang dimaksudkan oleh penjelasan Khu Siauw Bwee.
“Karena ada tenaga mendorong oleh gerakan pertama, maka timbullah daya tolak yang dapat kita pergunakan untuk bergerak lagi, atau menyambung gerakan pertama kita itu. Gerakan berlandaskan daya tolak ini lebih hebat karena kita dapat meminjam gerak dorongan ditambah ginkang kita sendiri, maka begitu kita menggunakan daya tolak untuk melakukan gerakan kedua, gerakan kita akan menjadi lebih cepat. Gerakan ketiga, keempat dan selanjutnya akan makin cepat. Seperti sebuah bola karet yang kita ketukkan ke atas lantai dengan tangan, makin lama akan melambung makin cepat, demikian pula gerak silat dari Soan-hong-lui-kun ini memiliki kecepatan yang tak terbatas. Karena itu, hal yang paling sukar dan paling penting dikuasai adalah penggunaan jurus-jurus yang akan menahan gerakan daya tolak berantai ini. Karena kalau hal ini tidak kau kuasai benar-benar, engkau akan menjadi permainan dari kekuatan daya tolak berantai itu sehingga engkau sendiri takkan dapat menghentikan gerakanmu. Akibatnya tentu saja engkau akan mudah celaka di tangan lawan! Soan-hong-lui-kun ini kubagi menjadi tujuh puluh dua jurus, dan nanti mulai jurus ke tiga puluh tujuh, separuh dari ilmu silat ini, engkau akan mulai kulatih dengan penguasaan gerakan yang timbul dari daya tolak berantai ini.”
Demikianlah, mulai saat itu Han Han digembleng oleh nenek buntung yang luar biasa itu, sedikit demi sedikit, sejurus demi sejurus. Han Han memiliki kemauan yang hebat dan ketekunan yang menakjubkan. Walau pun nenek itu sendiri amat bersemangat melatih muridnya, ia masih kadang-kadang menggeleng kepala penuh kagum menyaksikan ketekunan dan keuletan muridnya.
Seperti juga dalam hal kekuatan sinkang, ia harus mengakui bahwa dalam hal kebulatan tekad dan besarnya kemauan, ia tidak dapat menandingi muridnya ini! Makin sayanglah ia kepada Han Han, apa lagi ketika ia minta muridnya itu menceritakan riwayatnya, ia merasa betapa riwayat hidup muridnya itu malah lebih mengenaskan dari pada riwayatnya sendiri. Ia melihat munculnya seorang manusia yang lebih besar dari pada dia, dan bertekad untuk menurunkan semua kepandaiannya kepada Han Han.
Makin lama Han Han berlatih di bawah gemblengan Khu Siauw Bwee, makin terbukalah matanya bahwa sebetulnya, sebelum ia berlatih silat di bawah bimbingan gurunya yang baru, ia telah mempunyai banyak ilmu, hanya ilmu-ilmu itu terpendam dan hanya diketahui teorinya belaka. Kini ia mulai dapat melatih semua ilmu yang penah ia pelajari, bahkan permainan pedang dari kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis yang bernama Siang-mo Kiam-sut, yaitu penggabungan dari ilmu Pedang Iblis Jantan dan Iblis Betina, kini dapat ia mainkan dengan tongkatnya!
Setahun lamanya Han Han tekun melatih diri dengan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Ketekunannya sungguh tidak lumrah manusia. Dia tidak peduli akan siang atau malam, pagi mau pun sore, terus berlatih, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar, hanya tidur kalau matanya sudah tak mau dibuka, dan hanya mengaso kalau tubuhnya sudah tidak dapat digerakkannya lagi saking lelahnya. Dengan semangat dan ketekunan seperti ini, tidaklah mengherankan kalau dalam waktu setahun saja sudah dapat menguasai ilmu silat itu.
Pada pagi hari itu tubuhnya sudah tampak berkelebatan dari batu ke batu dan dia sudah berlatih Ilmu Silat Soan-hong-liu-kun. Tubuhnya yang berkelebatan seperti hampir tidak tampak karena terlalu cepat. Baru saja tampak di atas batu sini, tahu-tahu sudah lenyap dan berada di batu sebelah sana, terus bergerak dan terus berpindah. Cara ia meloncat seperti terbang saja, makin lama makin cepat.
Biar pun dia sedung berlatih dengan gerakan-gerakan kilat, pandang matanya yang amat tajam dapat melihat berkelebatnya bayangan yang telah berdiri di atas batu dan memperhatikan gerakan-gerakannya. Han Han makin bersemangat dan ia mulai bersilat lagi, mengulang dari jurus pertama sampai jurus terakhir, seluruh tujuh puluh dua jurus ia mainkan sebaik-baiknya.
Diam-diam Khu Siauw Bwee kagum dan terkejut bukan main. Pemuda yang menjadi muridnya itu benar-benar amat luar biasa! Ilmu yang ia ciptakan selama puluhan tahun, kini dapat dikuasai muridnya dalam waktu setahun saja!
“Bagus, muridku Han Han! Bagus sekali! Engkau telah berhasil menguasai Soan-hong-lui-kun hanya dalam waktu setahun! Dengan ilmu ini, kiranya akan jarang dapat ditemukan orang yang akan mampu menandingimu. Betapa pun juga, di dunia terdapat banyak orang lihai dan sayanglah kalau semua ilmu yang pernah kau pelajari teorinya tidak kau latih prakteknya. Karena itu, mulai sekarang kau latihiah semua ilmu yang kau ketahui, ditambah ilmu silat yang pernah kau pelalari, agar kau menguasai semua silat tinggi sehingga kelak tidak canggung menghadapi lawan berat.”
Han Han berlutut di depan gurunya. “Terima kasih atas semua petunjuk Subo dan teecu akan mentaati semua perintah Subo.”
Demikianlah, mulai hari itu Han Han melatih ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es, juga Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut ia sempurnakan latihannya di bawah petunjuk gurunya.
********************
Daerah Mancuria bagian timur laut adalah menjadi pusat suku bangsa Khitan yang pada masa itu telah hampir musnah dan masuk menjadi bangsa Mancu yang makin berkembang dan berkuasa. Banyak di antara keluarga bekas Kerajaan Khitan menjadi pembesar-pembesar Mancu, dan karena kaum wanita Khitan banyak yang cantik jelita, maka sebagian besar di antara mereka ini menikah, sebagian besar secara paksa, dengan para Pangeran Mancu. Betapa pun juga, diam-diam suku bangsa Khitan, terutama sekali kaum bangsawannya yang masih berdarah keluarga bekas Kerajaan Khitan, masih memiliki keangkuhan dan mengangkat tinggi derajat mereka sebagai bangsa Khitan!
Di kaki Pegunungan Cang-kwang-cai-san, di mana mengalir air Sungai Sungari yang bersumber dari gunung itu, terdapatlah sebidang tanah pekuburan yang berisi kuburan keluarga Kerajaan Khitan. Di sini pula dikubur jenazah tokoh-tokoh besar, bukan hanya besar bagi bangsa Khitan, melainkan juga tokoh-tokoh besar yang dikenal di dunia kang-ouw.
Di sinilah terdapat kuburan pendekar-pendekar sakti Suling Emas dan isterinya yang bernama Yalina, Ratu Khitan. Bahkan di situ pula kuburan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, puteri Suling Emas dan Ratu Yalina, di samping kuburan keluarga kerajaan dan para tokoh terpenting dari Kerajaan Khitan. Akan tetapi, di antara semua kuburan kuno, yang paling menyeramkan adalah kuburan ayah ibu dan puteri mereka, yaitu kuburan Suling Emas, Ratu Yalina dan Mutiara Hitam. Hanya kuburan keluarga Suling Emas inilah yang masih terpelihara baik-baik, sekali pun kini suku bangsa Khitan telah lenyap dan dilebur menjadi bangsa Mancu.
Sunyi sekali keadaan di tanah kuburan itu. Tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya kelihatan gundul dan di mana-mana mulai tampak air membeku keputihan karena musim salju hampir tiba. Air Sungai Sungari yang mengalir tepat di depan tanah kuburan kelihatan malas karena hampir membeku oleh hawa dingin. Keadaan amat sunyi, tidak ada tampak seekor pun burung, seolah-olah alam di sekeliling kuburan ikut mati seperti mereka yang dikubur di situ. Salju yang mulai terbentuk mengecat seluruh tempat menjadi keputih-putihan, putih bersih menambah sunyi.
Dilihat sepintas lalu, semua orang tentu akan mengira bahwa tempat sunyi seperti itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi kadang-kadang tampak asap mengepul dari genteng pondok yang cukup kokoh dan megah, yang berdiri di antara batu-batu nisan di tanah kuburan itu. Dan melihat dupa yang selalu berkelap-kelip di depan bongpai (batu nisan) keluarga Suling Emas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di situ tidaklah tanpa penghuni seperti orang kira.
Dan sesungguhnyalah, pondok itu dahulu dibuat oleh keluarga Kerajaan Khitan menjadi tempat para penjaga tanah kuburan. Bahkan tanah kuburan itu sendiri tidak selalu sunyi ketika Kerajaan Khitan masih jaya. Akan tetapi, semenjak bangsa Khitan terdesak dan dilebur menjadi bangsa Mancu yang makin berkuasa sehingga Kerajaan Khitan pun lenyap, di tempat ini tidak dilakukan penjagaan lagi seperti dahulu, tidak pula dikunjungi keluarga raja yang berziarah. Bahkan kuburan itu tentu akan terlantar dan rusak kalau saja tidak muncul seorang kakek tua bongkok yang menjaga tanah pekuburan keluarga Suling Emas itu.
Semenjak kakek bongkok ini menjaga di sana, kuburan keluarga Suling Emas menjadi terawat baik dan tidak pernah sedetik pun kakek itu meninggalkan tanah pekuburan yang dijaganya dengan penuh kesetiaan. Kakek ini menjadi satu-satunya orang yang tinggal di daerah dingin bersalju ini, dan asap yang kadang-kadang nampak berkepul adalah asap dari dapur di kala ia memasak makanan.
Semenjak kakek bongkok menjaga tanah kuburan itu, tempat itu menjadi tempat angker dan keramat, ditakuti orang karena kakek bongkok itu ternyata amat galak dan juga amat lihai sehingga siapa pun yang berani mendatangi tanah kuburan tentu akan dibunuhnya!
Mula-mula, begitu mendengar akan runtuhnya suku bangsa Khitan dan tanah kuburan keluarga Suling Emas itu tidak terjaga lagi oleh tentara Khitan, banyak orang-orang kang-ouw mencoba datang ke tanah kuburan itu karena mereka mendengar bahwa pusaka peninggalan keluarga Suling Emas berupa kitab-kitab dan senjata-senjata, terutama senjata Suling Emas sendiri berupa sebatang suling terbuat dari pada emas dan sebuah kitab, berada di tempat itu. Mereka ini berusaha untuk mendapatkan pusaka peninggalan. Akan tetapi banyak sekali tokoh kang-ouw datang ke tempat itu untuk mengantar nyawa. Banyak yang tewas di tangan kakek bongkok dan banyak pula yang dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri membawa luka-luka berat.
Semenjak itu, tidak ada lagi orang yang berani coba-coba mengganggu kuburan keluarga Suling Emas, bahkan bangsa Mancu dan suku bangsa lainnya tidak ada yang berani mendekati tempat itu. Selama puluhan tahun ini, hanya ada dua buah tempat yang selalu menarik perhatian orang-orang kang-ouw, yaitu Pulau Es, dan kuburan keluarga Suling Emas. Akan tetapi kedua-duanya amat sukar didatangi.
Yang pertama, Pulau Es, sungguh pun kabarnya menjadi tempat tinggal Koai-lojin yang tak mau mengganggu orang, bahkan suka membagi ilmu kepada siapa saja, namun amat sukar dicari karena tersembunyi di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di utara, di samping sukarnya pelayaran di lautan yang kadang-kadang penuh es dan salju itu. Yang ke dua adalah tanah kuburan ini yang biar pun lebih mudah dicari, namun dijaga oleh kakek bongkok yang memiliki kesaktian yang sukar dilawan dan galaknya melebihi harimau menjaga anak-anaknya!
Akan tetapi, pada suatu pagi yang cerah, tampak sebuah joli (tandu) yang dipikul dua orang laki-laki tinggi besar berlari cepat menempuh hujan salju rintik-rintik menuju ke tanah kuburan di tepi Sungai Sungari. Dari jauh sudah tampak tanah pekuburan keluarga Suling Emas yang sunyi. Dua orang pemikul tandu itu adalah orang-orang Mancu yang bertubuh kuat, namun mereka kelihatan lelah dan napas mereka terengah-engah ketika mereka tiba di tepi sungai, masih agak jauh dari tanah kuburan.
“Berhenti di sini!” Terdengar suara nyaring merdu dari dalam joli.
Dua orang pemanggul joli berhenti dan menurunkan joli. Tirai joli tersingkap dan tampaklah wajah seorang gadis yang amat cantik jelita, berhidung kecil mancung dengan dagu meruncing dan sepasang mata lebar terbelalak indah dan bening.
Tubuh yang ramping itu keluar dan ternyata dia seorang dara jelita yang masih amat muda, tubuhnya yang ramping berpakaian indah, pakaian seorang Mancu dengan baju panjang berlengan pendek sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sebatas siku. Rambutnya yang hitam panjang dan subur tertutup sebuah topi putih dari bulu beruang, dan di atas topi terhias sehelai bulu burung, tanda bahwa dia adalah seorang pemimpin pengawal Kerajaan Mancu. Rambutnya diikat dengan pita kuning di belakang tengkuk, dan sepasang telinganya terhias anting-anting emas, demikian pula kedua pergelangan tangannya.
Ketika turun, dara ini membawa sebatang payung yang gagangnya melengkung dan ujungnya runcing mengkilap. Dara ini bukan lain adalah Puteri Nirahai, Puteri Mancu yang amat lihai sehingga dia menjadi pimpinan para pengawal istana! Kalau melihat mata yang lebar indah, bibir yang tipis merah basah, gerak-geriknya yang lemah gemulai, takkan ada orang mengira bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Kalian berdua pergilah sembunyi di balik batu gunung itu dan jangan sekali-kali berani menampakkan diri sebelum kupanggil,” kata pula Nirahai dalam bahasa Mancu kepada dua orang itu.
Dua orang tinggi besar itu adalah ahli-ahli petunjuk jalan yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian tinggi, kakak beradik yang merupakan tokoh-tokoh terkenal pula di daerah utara ini. Akan tetapi ketika menerima perintah dari ‘Sang Puteri’ untuk mengantarnya ke pekuburan keluarga Suling Emas, mereka ketakutan setengah mati dan dengan hati berat mereka terpaksa mengantarkan Nirahai. Kini, pada saat rasa takut mereka membuat wajah mereka pucat dan napas mereka terengah, mendengar perintah Nirahai agar mereka bersembunyi, hati mereka lega dan girang sekali. Setelah memberi hormat mereka berdua lalu melompat dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar, meninggalkan joli di dekat sungai.
Nirahai bersikap hati-hati dan dia tidak berani lancang menuju ke tanah kuburan. Dengan bersembunyi di balik sebuah batu yang menonjol di pinggir sungai, ia mengintai ke arah pondok di tengah kuburan. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba pandang mata Nirahai yang tajam sekali dapat melihat munculnya sebuah perahu kecil yang melawan arus air sungai. Karena air sungai yang dingin hampir membeku itu arusnya lambat sekali, maka perahu itu bergerak cepat, didayung oleh dua pasang tangan yang kuat. Mereka itu adalah dua orang kakek bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Nirahai tidak mengenal mereka, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka itu tentu bangsa Mongol Utara, melihat dari pakaian mereka yang tebal terbuat dari bulu binatang dan cara mereka menggelung rambut mereka.
Diam-diam Puteri Mancu ini memperhatikan dan ia melihat betapa dua orang Mongol itu tiba-tiba melompat ke darat, seorang di antara mereka memegang sehelai tali panjang yang mengikat ujung perahu. Setelah keduanya mendarat dengan sebuah loncatan cepat dan jauh yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pandai, si pemegang tali menggerakkan tenaganya dan perahu itu seperti dilontarkan oleh angin menuju ke arah mereka. Kakek kedua mengangkat tangan kiri menyambut perahu itu dengan mudah, lalu meletakkan perahu ke atas tanah. Melihat gerakan mereka, Nirahai maklum bahwa kedua orang kakek Mongol itu memiliki tenaga yang besar.
“Haiiiii... Setan Bongkok...! Keluarlah! Kami datang menagih hutangmu sepuluh tahun yang lalu!” Seorang di antara dua orang kakek itu berseru, suaranya nyaring bergema dan ia menggunakan bahasa Mongol yang dimengerti baik oleh Nirahai.
Suara yang keras itu menggema sampai lama, kemudian terdengar suara orang batuk-batuk dari dalam pondok di tengah tanah pekuburan, disusul suara orang yang menggunakan bahasa Mongol yang kaku.
“Hemmm, Sepasang Anjing Hitam padang pasir Go-bi! Pergilah sebelum terlambat. Aku tidak suka mengotorkan tempat suci ini dengan darah kalian. Pergilah!”
Mendengar suara itu, Nirahai merasa tegang hatinya, jantungnya berdebar. Dia belum pernah melihat kakek bongkok penjaga tanah kuburan keluarga Suling Emas, akan tetapi sudah mendengar tentang kakek itu yang kabarnya memiliki kesaktian hebat, galak dan mati-matian menjaga dan membela kuburan itu. Kini, baru mendengar suaranya saja sudah menyatakan bahwa kakek itu seorang yang keras, juga tinggi hati, namun amat menghormati kuburan itu.
Nama Sepasang Anjing Hitam dari padang pasir Go-bi juga amat terkenal. Dua orang jagoan Mongol itu merupakan datuk-datuk di daerah padang pasir Go-bi yang amat disegani sehingga setiap rombongan kafilah yang melalui daerah ini tentu akan meninggalkan ‘tanda persahabatan’ di depan goa-goa di kaki bukit kecil yang disebut Bukit Anjing Hitam untuk menghormati dua orang tokoh itu sehingga rombongan mereka takkan terganggu. Akan tetapi, sekarang kedua orang datuk padang pasir itu tidak dipandang mata sama sekali oleh penjaga kuburan keluarga Suling Emas, dan mendengar ucapan kakek dari dalam pondok, jelas bahwa dua orang Mongol tinggi besar itu pernah dikalahkan sepuluh tahun yang lalu.
“Heh, Si Bongkok setan tua bangka yang sombong! Selain sombong, engkau pun pelit sekali. Untuk apakah sekalian pusaka dan kitab peninggalan Keluarga Suling Emas untukmu? Engkau sudah hampir mampus! Berikan kepada kami sebuah dua buah pusaka sebagai pengganti nyawamu. Kalau engkau masih pelit, sekali ini kami tidak akan memberi ampun kepadamu!” Kakek Mongol yang ada tahi lalatnya di ujung hidung dan bertubuh tinggi besar berkata dengan suara keras. Sedangkan orang kedua yang lebih tinggi memandang tajam ke arah pondok, siap menghadapi kakek penjaga kuburan.
Setelah ucapan itu keluar dari mulut orang Mongol penuh tantangan, keadaan sunyi sekali dan kemudian terdengar suara....
“Kerrriiittttt...!” disusul terbukanya pintu pondok.
Suara pintu terbuka ini memecah kesunyian dan terdengar menyeramkan, seolah-olah yang terbuka adalah sebuah peti mati. Kemudian muncullah seorang kakek bongkok di ambang pintu. Setibanya di depan pintu pondok, ia berhenti sebentar dan mengangkat mukanya.
Nirahai bergidik ketika melihat betapa sepasang mata tua itu seolah-olah merupakan sinar yang menerangi tempat-tempat yang dipandang mata itu, bahkan ia merasa seolah-olah tempat persembunyiannya ketahuan ketika pandang mata kakek bongkok itu menyapu ke arah batu besar di mana ia bersembunyi. Nirahai cepat-cepat menarik diri untuk bersembunyi lebih baik, akan tetapi ia mengintai terus.
Kakek itu sebetulnya bertubuh tinggi, akan tetapi karena di punggungnya terdapat punuk yang membuat dia tidak dapat berdiri tegak dan membongkok, maka kelihatan pendek. Pakaiannya serba putih dan sederhana, juga sepatunya berwarna putih. Pakaian itu potongannya seperti pakaian pelayan, akan tetapi putih dan bersih.
Wajahnya tampak kurus, alisnya tebal, kumisnya melintang ke kanan kiri dan jenggotnya menutupi dagu. Baik rambutnya, mau pun rambut yang tumbuh di pelipis menjuntai ke bawah, sampai kumis dan jenggotnya, sudah hampir putih semua. Dia berdiri dengan kedua tangan kosong, dan kini perhatiannya ditujukan kepada dua orang Mongol yang melangkah datang menghampiri kakek bongkok.
Mereka saling berhadapan, sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling memandang. Sikap kakek bongkok itu tenang, akan tetapi pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan juga memandang rendah. Sedangkan dua orang Mongol itu biar pun memaksa diri bersikap tenang, masih saja kelihatan bahwa mereka sebetulnya jeri terhadap kakek bongkok itu.
Nirahai diam-diam merasa heran. Kakek bongkok itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang sakti, bahkan kelihatan lebih pantas menjadi seorang pelayan tua yang sudah patut dipensiun! Dara Mancu ini tidak ingat bahwa dia sendiri pun tidak pantas menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, lebih patut menjadi seorang puteri yang lemah lembut dan menggairahkan!
“Orang tua, benar-benarkah engkau mempertahankan semua pusaka itu? Engkau telah mendengar nama Siang-hek-sin-kauw (Sepasang Anjing Hitan Sakti) yang menjadi sahabat seluruh orang gagah di utara dan barat! Kami mengulangi permintaan kami sepuluh tahun yang lalu, hanya ingin meminjam sebuah dua buah kitab peninggalan Keluarga Suling Emas, meminjam selama beberapa bulan saja, pasti akan kami kembalikan!” Orang Mongol yang lebih jangkung berkata. Mendengar nadanya, jelas kini bahwa setelah berhadapan, dua orang Mongol itu bersikap lebih lunak.
“Selagi aku hidup, tak seorang pun manusia boleh menjamah pusaka-pusaka keluarga majikanku. Setelah aku mati pun, rohku akan tetap menjaga di sini. Pergilah!”
Ngeri hati Nirahai mendengar ucapan itu, dan diam-diam gadis ini mencari akal bagaimana ia dapat berhasil menghadapi kakek bongkok yang galak itu. Ia mengintai terus dan ingin lebih dulu menyaksikan kelihaian kakek bongkok seperti yang sudah ia dengar akan tetapi belum pernah ia saksikan.
“Setan Bongkok keparat! Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak orang Mongol bertahi lalat di hidung. Bersama adiknya, dia lalu siap untuk menyerang.
Tubuh yang bongkok itu makin bongkok, mukanya tunduk, matanya terbuka dan melirik ke atas sehingga dipandang dari depan, sikap kakek itu seperti seekor lembu marah memasang tanduk siap menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.
“Kalian yang akan mati. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup!” jawab kakek itu.
“Setan Bongkok, sambutlah!” Tiba-tiba orang Mongol yang bertahi lalat di hidungnya berseru.
Tubuhnya merendah sampai hampir berjongkok, dan kedua lengannya didorongkan ke depan ke arah kakek bongkok. Terdengar bunyi tulang berkerotokan dan angin yang kuat menyambar ke arah kakek bongkok.
Nirahai terkejut sekali. Ia dapat menduga bahwa pukulan atau dorongan kedua lengan orang Mongol itu amat lihai, merupakan pukulan tenaga sinkang yang kuat sekali. Belum pernah ia melihat atau mendengar pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti sampai mengeluarkan bunyi berkerotokan seperti itu!
Kakek bongkok kelihatan tercengang juga, akan tetapi dengan tenang sekali tubuhnya sudah bergerak ke kiri, tahu-tahu tubuhnya sudah miring mengelak dan lengannya bergerak menangkis, yaitu dengan sambaran angin pukulan menangkis serangan lawan.
“Hemmm... bukankah ini Thai-lek-kang...?” Terdengar kakek bongkok berseru heran.
“Setan Bongkok mampuslah!” bentak lawan ke dua yang bertubuh tinggi.
Tubuh orang Mongol kedua ini sudah bergerak ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu tubuh itu berpusing, makin lama makin cepat, sambil berpusingan cepat sekali tubuh itu menerjang ke arah kakek bongkok. Tubuh orang Mongol itu lenyap, yang tampak hanya bayangan yang berpusing dan kadang-kadang tampak kaki tangannya bergerak keluar dari bayangan yang berputar cepat seperti kitiran angin itu!
“Ayaaaaa, bukankah ini pun ilmu dari Thai-lek Kauw-ong yang disebut Soan-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai)?” Kakek bongkok itu berseru kaget dan kembali tubuhnya bergerak, dan kini Nirahai merasa kagum karena kakek bongkok itu ternyata dapat bergerak amat lincahnya.
“Ha-ha-ha, Setan Bongkok. Apa kau kira kami selama sepuluh tahun ini tinggal diam saja? Ha-ha-ha!” Orang Mongol bertahi lalat di hidung menerjang lagi dengan pukulan sakti Thai-lek-kang sambil berjongkok, sedangkan adiknya tetap menyerang dengan ilmu silat yang aneh itu, yaitu sambil memutar-mutar tubuh amat cepatnya.
Sejenak kakek bongkok itu terdesak dan menghindar ke sana ke mari sambil mengomel, “Hemmm, Thai-lek Kauw-ong sudah lama mampus, kini ilmu-ilmunya yang jahat muncul lagi! Kim-siauw Locianpwe (Orang Sakti Suling Emas), maaf, terpaksa boanpwe (aku yang rendah) mengotorkan pusaka locianpwe!”
Dua orang Mongol itu sudah merasa girang karena serangan-serangan mereka yang benar-benar amat luar biasa dan dahsyat itu berhasil mendesak kakek bongkok. Mereka ingin membunuh penjaga kuburan ini agar mereka dapat menggeledah dan mencari pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas di tempat itu. Dengan penuh kepercayaan akan kelihaian ilmu-ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu pukulan Thai-lek-kang (Tenaga Sakti Halilintar) dan ilmu Silat Soan-hong-sin-ciang, mereka mendesak lebih keras lagi.
Kedua macam ilmu ini sebetulnya memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Dahulu ilmu-ilmu ini dimiliki oleh Thai-lek Kauw-ong yang pernah bertanding melawan Suling Emas dan dikalahkan, dan semenjak Thai-lek Kauw-ong lenyap dari dunia persilatan, ilmu-ilmunya pun turut lenyap. Akan tetapi ternyata kini ilmu-ilmu yang lihai itu telah terjatuh ke tangan Sepasang Anjing Hitam gurun pasir Go-bi dan begitu melihat ilmu-ilmu ini terus mengenalnya membuktikan pengetahuan yang luas kakek bongkok yang lihai itu.
Kedua orang Mongol yang merasa girang karena yakin akan menang itu tiba-tiba mengeluarkan suara kaget disusul jerit melengking yang keluar dari mulut mereka ketika berkelebat sinar kuning menyilaukan mata. Tubuh mereka roboh terpelanting dan ternyata kedua orang Mongol itu telah tewas! Nirahai terbelalak memandang, penuh kagum. Tangan kiri kakek bongkok itu memegang sebatang suling emas, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah kipas. Itulah sepasang senjata dari pendekar sakti Suling Emas seperti ia dengar dari dongeng-dongeng lama!
Kakek bongkok sejenak berdiri memandang dua sosok mayat bekas lawannya, lalu mencium kipas dan suling bergantian sambil berkata, “Kim-siauw Locianpwe, sampai sekarang pun senjata-senjata pusaka locianpwe masih terlalu ampuh bagi orang-orang jahat!”
Setelah berkata demikian kakek bongkok itu menggerakkan kedua tangan dan lenyaplah suling dan kipas itu di balik baju pelayannya. Kemudian ia mengempit mayat dua orang Mongol itu, membawanya ke dekat perahu mereka tadi. Tali tambang perahu ia gunakan untuk mengikat dua sosok mayat bersama perahunya erat-erat, kemudian sekali angkat dan melontarkan, perahu dengan dua sosok mayat itu terlempar jauh ke tengah sungai dan perlahan-lahan perahu itu terbawa arus sungai yang lamban. Kakek bongkok memandang sejenak, kemudian ia kembali ke depan pondok tempat pertempuran tadi, menggunakan sepatunya menggosok-gosok sampai bersih tetesan darah yang mengotori tempat itu.
Melihat kakek itu menggosok-gosok dan membersihkan tanah yang terkena darah dengan teliti dan hati-hati sekali, Nirahai memperhatikan dan menjenguk dari balik batu. Kakek itu berdiri membelakanginya, maka ia berani menjenguk ke luar. Ia tidak tahu betapa kakek bongkok itu sejak tadi sudah menduga akan kehadirannya dan betapa kakek itu kini sambil membelakanginya dan menghapus darah dengan sepatu, sebenarnya memperhatikan belakang penuh selidik.
Tiba-tiba tubuh kakek bongkok yang membelakanginya itu bergerak melayang ke belakang seperti seekor burung garuda menyambar kelinci, kakinya menendang dan kedua tangannya mencengkeram. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang mengintai itu seorang dara, ia berteriak kaget dan tubuhnya membalik cepat, membuat gerakan poksai (salto) beberapa kali dan meloncat turun ke atas tanah, memandang dengan mata terbelalak kepada Nirahai yang berdiri tenang sambil tersenyum. Mata kakek itu menjelajahi muka dan pakaian Nirahai, kemudian mengerling ke arah joli kosong yang indah akan tetapi tanpa pemanggul itu.
“Nona, mau apakah Nona datang ke tempat terlarang ini?” Kakek itu marah sekali melihat ada orang berani mendatangi tempat yang baginya suci itu, akan tetapi karena pelanggarnya seorang dara muda, ia menjadi tidak enak untuk bersikap kasar. Hanya pandang matanya yang bengis.
Nirahai tersenyum manis. “Orang tua, bukankah engkau penjaga kuburan keluarga pendekar besar Suling Emas? Aku datang untuk berziarah, untuk bersembahyang di depan kuburan para pendekar.”
“Hemmm, sudah bertahun-tahun tempat suci ini menjadi tempat terlarang, mana mungkin tempat suci ini dikotorkan sembarang orang yang hendak berziarah? Engkau ini gadis muda berani lancang mendatangi tempat terlarang di sini, siapakah engkau?”
Nirahai masih tersenyum, sikapnya sabar akan tetapi sebetulnya matanya ingin sekali dapat menembus baju kakek itu untuk melihat suling emas yang tadi ia lihat sekelebatan ketika kakek ini mempergunakannya untuk merobohkan dua orang Mongol. Suling itulah yang ingin ia dapatkan. Jauh-jauh ia datang dengan susah payah hanya untuk mendapatkan suling itu. Senjata pusaka dari pendekar sakti Suling Emas! Dengan pusaka itu, agaknya akan mudah baginya menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang masih belum mau tunduk, bahkan yang kini berpusat di barat, di Secuan, membantu Bu Sam Kwi!
“Kakek yang baik, aku adalah Puteri Nirahai.”
“Puteri? Puteri Mancu? Masih ada hubungan apa dengan mendiang Pangeran Dorgan?” Kakek ini bertanya, alisnya yang banyak putihnya itu berkerut, matanya memandang tajam.
“Mendiang Pangeran Dorgan adalah masih Kakekku, Paman Kakekku. Aku adalah puteri Kaisar yang sekarang.”
Makin tidak enak hati kakek itu dan terpaksa ia lalu membungkuk dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Paduka ini puteri Kaisar Kang Hsi? Maaf, saya tidak dapat menyambut Paduka sepantasnya karena tempat ini adalah kuburan, tempat suci. Akan tetapi, sungguh saya merasa heran, mengapa Paduka hendak berziarah di tanah kuburan ini? Yang terkubur di sini adalah keluarga Kerajaan Khitan, keluarga pendekar sakti Suling Emas...”
“Engkau benar, orang tua. Ayahku, Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu, memang tidak mempunyai hubungan dengan tanah pekuburan ini. Akan tetapi ketahuilah, Ibuku adalah seorang puteri Khitan! Ibuku termasuk seorang di antara puteri-puteri Khitan yang dipersembahkan kepada Kaisar Mancu sehingga biar pun aku puteri Kaisar Mancu, namun aku pun mempunyai darah keturunan Khitan! Karena itu sudah sepatutnya kalau aku berziarah dan bersembahyang di depan kuburan suci ini, Kakek yang baik.”
Kakek bongkok itu mengerutkan alisnya makin dalam dan ia menggeleng-geleng kepala. “Kalau Paduka benar puteri Kaisar Mancu, mengapa Paduka datang sendiri tanpa pengiring? Bagaimana saya dapat membuktikan bahwa Paduka ini puteri Kaisar Mancu dan keturunan keluarga Kerajaan Khitan?”
Nirahai tersenyum. “Orang tua, andai kata engkau menjadi seorang keluarga raja, apakah engkau juga akan suka setiap keluar dari pintu dikawal banyak orang sehingga gerakanmu tidak bebas, selalu diawasi?”
Kakek bongkok itu memandang sejenak, tidak menjawab karena ia agaknya bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
“Orang-orang seperti kita yang sudah biasa bergerak bebas lepas seperti burung di udara dan seperti ikan di samudera, mana bisa merasa senang kalau selalu dikawal orang? Itulah sebabnya aku tidak pernah membawa pengawal biar pun aku puteri kaisar. Memang aku tidak bisa membuktikan bahwa aku puteri kaisar, akan tetapi orang tua yang baik, aku sungguh seorang yang berdarah Khitan, dan lebih dari pada itu, akulah yang mewarisi ilmu kepandaian pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang kuburannya berada di sini pula.”
Kakek itu mengerutkan keningnya dan memandang tajam. “Harap Paduka tidak main-main. Kalau yang datang ke sini adalah Sepasang Pedang Iblis, saya tentu tidak akan ragu-ragu menerima sepasang manusia sinting itu sebagai pewaris ilmu mendiang Mutiara Hitam. Sudahlah, Nona. Lebih baik lekas Nona panggil dua orang pemanggul joli Nona dan cepat pergi dari tempat ini. Tempat ini bukanlah tempat pesiar bagi seorang puteri seperti Nona. Kalau orang lain yang berani datang, tentu sudah saya bunuh.”
“Hemmm, seperti yang kau lakukan kepada Sepasang Anjing Hitam dari Go-bi, dua orang Mongol tadi?” Nirahai mengejek.
“Ahhh, Paduka melihatnya?”
“Tentu saja. Sudah kukatakan bahwa aku pun seorang tokoh kang-ouw, bukan seorang puteri lemah yang doyan pelesir dan pesiar. Aku mewarisi ilmu-ilmu Mutiara Hitam, dan kedatanganku ke sini untuk merundingkan sesuatu denganmu.”
“Bagaimana saya dapat yakin bahwa Paduka benar-benar pewaris ilmu mendiang pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam yang mulia?” Kakek itu berkeras tidak mau percaya.
“Crekkk!” Tangan Nirahai bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menyambar sebatang payung berujung runcing yang tadi ia taruh di dalam joli, kakinya memasang kuda-kuda dan ia berkata sambil tersenyum.
“Bukalah matamu lebar-lebar, orang tua yang keras kepala! Kenalkah engkau dengan senjata ini?”
“Sebuah Tiat-mo-kiam...” kata kakek itu. “Bukan merupakan bukti...”
“Memang bukan, akan tetapi lihat gerakan pedang payung ini!” Nirahai menggerakkan tubuh dan payungnya, bersilat dengan gerakan lincah dan dari ujung payungnya keluar angin yang berbunyi bercuitan ketika menyambar ke depan, terus mengitari sebatang pohon yang sudah kehabisan daun karena dirontokkan hawa dingin dan tinggal cabang-cabang dan rantingnya saja. Sinar terang ujung payung yang menyambar-nyambar mengitari pohon tiga kali dan terdengar suara keras ketika cabang dan ranting pohon itu tumbang semua sehingga pohon itu kini kelihatan seperti raksasa dibuntungi tangannya.
“Pat-mo Kiam-hoat...!” Kembali kakek itu berkata.
“Dan engkau mengenal ini?” Nirahai melakukan gerakan dengan tangan kirinya. Lengan kirinya bergerak seperti menari, atau lebih tepat lengan yang kecil penuh berkulit halus itu melenggang-lenggok seperti ular, kemudian dengan telapak tangan terbuka tiba-tiba ia memukul atau mendorong arah pohon yang sudah buntung cabang-cabangnya itu.
“Kraaaaakkkkk... bruuuuukkk...!” Pohon itu tumbang terjebol dengan akar-akarnya!
“Sin-coa-kun...!” Si Kakek Bongkok memandang terbelalak.
Nirahai tertawa. “Kakek tua yang keras kepala, engkau tentu tidak akan merasa yakin benar kalau tidak mengujinya sendiri. Hayo, keluarkan suling emas dan kipas peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang kau pergunakan untuk membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi, dan hadapi payungku!”
Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya yang berujung runcing. Ujung payung yang seruncing ujung pedang itu tahu-tahu sudah berubah menjadi sinar menyilaukan yang menusuk ke arah leher kakek bongkok.
“Hemmm...!” Kakek itu mengeluarkan suara, dan dengan mudahnya miringkan tubuh ke kiri mengelak.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba payung itu terbuka dan jari-jari payung yang terbuat dari pada baja itu menyerangnya didahului sambaran angin yang meniup ketika payung terbuka tiba-tiba. Inilah serangan yang hebat! Kakek itu biar pun sudah tua dan bongkok, ternyata masih mampu bergerak cepat dan ia sudah menggulingkan tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari sambaran jari-jari payung.
“Lihat senjata rahasia...!” Nirahai berseru, tangan kirinya bergerak.
“Wir-wir-wir... ciat-ciat-ciat...!”
Kakek itu terpaksa bergulingan ke kanan kiri untuk mengelak sambaran sinar hijau dari jarum-jarum yang menyambar susul-menyusul itu. Ketika melihat sinar hijau dan mencium bau harum, ia meloncat bangun sambil berseru.
“Siang-tok-ciam...!”
Nirahai tersenyum ketika melihat kakek itu sudah meloncat sambil mencabut sepasang senjata pusaka peninggalan Suling Emas itu, yaitu sebuah kipas dipegang di tangan kanan sedangkan sebatang suling emas dipegang di tangan kiri. Gadis ini sambil tersenyum memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lututnya ditekuk sedikit, tubuhnya miring menghadapi kakek itu, mengerling ke kanan, mulut tersenyum, tangan kanannya yang memegang gagang payung bengkok itu menodongkan payung ke depan dada, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring berada di depan muka, ibu jarinya hampir menyentuh hidung.
Dilihat begitu saja, kuda-kuda dara ini seperti orang yang sedang mengejek dan mempermainkan lawan, akan tetapi kakek bongkok itu mengenal kuda-kuda dari Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan diam-diam ia mengkirik. Ilmu Pedang Delapan Iblis ini adalah ilmu pedang yang amat hebat dan ganas, dan dahulu menjadi ilmu dari seorang tokoh sakti wanita yang menggemparkan dunia persilatan yang hanya didengar oleh kakek bongkok itu dari dongeng, yaitu wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setan Cilik Beracun (Tok-siauw-kwi) ini bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas (baca cerita Suling Emas) yang amat lihai ilmunya dan amat ganas sepak terjangnya.
Dan kini ternyata ilmu yang hebat ini telah terjatuh ke tangan gadis puteri Kaisar Mancu yang mengaku masih berdarah Khitan ini! Memang hatinya sudah mulai percaya, keraguannya menipis, apa lagi ketika ia tadi menyaksikan ilmu pukulan tangan kosong Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti) dan senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Wangi). Betapa pun juga, kalau belum mengujinya, kakek ini masih belum yakin.
“Marilah, Kakek yang keras kepala! Engkau hendak menguji apakah benar-benar ilmu yang kau lihat tadi berisi, dan aku pun ingin melihat apakah sepasang senjata yang kau keluarkan itu benar-benar asli!” Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali.
“Wuuuttttt, singgggg...!” Pedang yang berbentuk payung itu menusuk.
“Cringgggg...!” Suling di tangan kiri kakek itu menangkis ujung pedang payung dan tampak bunga api berpijar.
Keduanya tergetar ke belakang. Nirahai memeriksa ujung payungnya dan terkejut melihat ujung payung yang terbuat dari baja pilihan itu agak lecet! Diam-diam ia memuji suling emas itu yang ternyata benar-benar sebuah senjata pusaka yang amat ampuh, sesuai dengan nama pemiliknya dahulu, yaitu Pendekar Suling Emas.
Sudah menjadi watak kebanyakan ahli silat kalau bertemu lawan tangguh timbul kegembiraannya. Demikian pula dengan Nirahai. Sudah lama dia tidak bertemu lawan yang tangguh dan kini bertemu kakek penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai, ia menjadi gembira, dan cepat ia melanjutkan serangannya dengan tusukan bertubi-tubi, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Kakek bongkok ini dahulunya adalah bekas kacung dari keluarga putera Suling Emas yang bernama Kam Liong, kakak tiri Mutiara Hitam. Kam Liong inilah yang mewarisi senjata kipas dan suling ayahnya. Kacung keluarga Kam Liong ini mengabdi sampai tua dan setelah kuburan keluarga Suling Emas tidak dijaga lagi oleh pengawal-pengawal Kerajaan Khitan yang sudah runtuh, dia lalu turun gunung di mana ia bertapa melewatkan hari tuanya, dan menjaga tanah kuburan itu dengan penuh kesetiaan.
Nama bekas kacungnya yang kini menjadi kakek bongkok itu adalah Gu Toan. Dia seorang buta huruf akan tetapi berkat kesetiaannya mengabdi keluarga Suling Emas, keluarga itu menyayanginya dan melatihnya dengan ilmu-ilmu silat keluarga pendekar besar itu. Gu Toan amat rajin dan tekun. Sungguh pun ia buta huruf dan terhitung golongan orang yang kurang cerdas otaknya, namun ketekunannya membuat ia dapat menguasai semua ilmu silat keluarga itu. Akan tetapi tentu saja latihannya tidak sempurna benar.
Betapa pun juga, kalau menghadapi lawan dari luar, kakek ini sukar dicari tandingnya. Kini bertemu dengan Nirahai yang mewarisi ilmu keluarga Suling Emas dan telah melatihnya dengan sempurna, tentu saja kakek itu terdesak hebat. Ia mengenal Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan pedang payung, mengenal pula pukulan Sin-coa-kun yang dilakukan sebagai selingan alam penyerangan Nirahai, akan tetapi karena dia tidak pernah melatih ilmu-ilmu itu secara mendalam, menghadapi terjangan Nirahai itu ia menjadi repot sekali.
“Nona, hentikanlah...!” Tiba-tiba kakek itu mencelat ke belakang dan memandang kagum. “Paduka benar-benar puteri Kaisar yang amat lihai, dan saya mengakui bahwa Paduka telah mewarisi ilmu dari Keluarga Suling Emas. Paduka berhak untuk berziarah dan bersembahyang di kuburan ini. Silakan!”
Nirahai memanggul senjatanya yang kini hanyalah sebuah payung biasa, sama sekali tidak tampak seperti sebuah senjata yang ampuh. Dia memandang kakek bongkok itu. Mulutnya yang selalu tersenyum itu kini kelihatan ditarik keras sehingga wajahnya yang manis nampak sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, siapakah engkau ini, Kakek yang lihai?”
“Nama saya Gu Toan dan dahulu saya adalah kacung dari putera Suling Emas. Hanya itu yang dapat saya ceritakan. Silakan kalau hendak bersembahyang, Nona.”
“Begini, Kakek Gu. Selain hendak berziarah dan memberi hormat kepada kuburan keluarga besar ini, aku pun hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu.”
Kakek itu masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan tubuh membungkuk, kedua tangan tergantung di kanan kiri pinggang setelah menyimpan kembali sepasang senjatanya. Kini ia mengangkat muka memandang wajah cantik itu penuh selidik dan bertanya.
“Permintaan apakah itu, Nona? Apakah yang dapat saya lakukan untuk Paduka?”
“Engkau tentu telah tahu bahwa Kerajaan Mancu berhasil menguasai semua daratan di selatan. Akan tetapi, masih ada daerah di barat yang belum mau tunduk, yaitu daerah Se-cuan yang dikuasai oleh Bu Sam Kwi. Kedudukan musuh ini amat kuat dan hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh bantuan orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Kami mengalami kemacetan dan kesulitan untuk menaklukkan daerah itu, yang merupakan daerah terakhir. Kalau Se-cuan sudah takluk, berarti seluruh daratan Tiongkok berada di kekuasaan Kerajaan Ceng kita...”
“Bukan kerajaan kita, Nona. Ingat, saya adalah seorang bangsa Han...”
Nirahai mengerutkan keningnya. “Hemmm..., apakah engkau anti Mancu dan memihak kepada Bu Sam Kwi?”
Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Saya tidak mengenal Bu Sam Kwi, dan saya tidak peduli akan urusan negara, saya hanya bertugas menjaga kuburan suci ini. Dahulu, mendiang pendekar sakti Suling Emas menghilangan semua bentuk permusuhan antar suku bangsa, bahkan Kerajaan Khitan berdarah Han pula. Akan tetapi sekarang... ah, saya tidak tahu tentang urusan kerajaan. Teruskan, apakah yang Paduka kehendaki?”
“Kami ingin menaklukkan Se-cuan tanpa menimbulkan banyak korban di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kaisar kami membutuhkan tenaga orang-orang pandai itu, maka kami ingin menaklukkan mereka tanpa membunuh, bahkan kalau bisa hendak menarik mereka untuk bekerja sama demi negara dan bangsa seluruhnya. Karena itu, kedatanganku ke sini untuk minta pinjam senjata pusaka dari mendiang Suling Emas. Dengan suling sakti milik Suling Emas, kiranya aku akan dapat mempengaruhi para orang gagah itu untuk menakluk dengan damai. Berikanlah suling emas itu padaku, Kakek Gu, untuk kupinjam beberapa lamanya. Kalau sudah selesai tugasku dengan hasil baik, aku bersumpah untuk mengembalikannya kepadamu.”
“Tidak mungkin!” Kakek itu berseru. “Pusaka-pusaka itu adalah benda keramat, yang tidak boleh dibawa pergi oleh siapa pun juga dari sini. Nona sudah menyaksikan sendiri, terpaksa saya membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi yang hendak merampas pusaka. Dan entah sudah berapa banyak orang-orang yang tewas di tangan saya karena menghendaki pusaka-pusaka itu. Harap Nona membuang jauh keinginan itu dan meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
“Kakek yang keras kepala! Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan? Engkau tahu sendiri betapa lihainya Pat-mo Kiam-hoat-ku yang tidak akan dapat kau lawan!” Nirahai sudah menggerakkan payungnya.
“Srettt!” Payung yang tadi dipanggulnya itu kini telah menodong dari depan dadanya ke arah kakek itu.
“Wuuuttttt... singgggg!” Kipas dan suling emas sudah tercabut keluar oleh kakek itu sambil berkata, “Nona, memang Pat-mo Kiam-hoat amat hebat. Di dunia ini terdapat dua ilmu mukjizat yang dimiliki mendiang pendekar sakti Suling Emas, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dulu diciptakan untuk mengatasi Pat-sian Kiam-hoat, akan tetapi betapa pun juga, ilmu yang bersih tak mungkin dapat dikalahkan ilmu yang sesat. Dewa yang suci takkan dapat dikalahkan Iblis yang jahat. Saya tidak akan dapat menyerahkan suling ini selama nyawaku masih berada di tubuh ini.”
“Bagus! Engkau memang keras kepala!” Nirahai berseru marah dan payungnya sudah menerjang hebat.
Akan tetapi kini kakek itu mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emasnya, dan kipasnya mainkan ilmu Silat Lo-hai San-hoat yang dahsyat. Angin keras bertiup dari kebutan kipas, menyambar-nyambar muka Nirahai dan setiap kali gadis ini terpaksa miringkan muka atau mengelak oleh sambaran kipas, sinar kuning emas dari suling sudah meluncur, mengarah bagian tubuh berbahaya, disusul dengan totokan-totokan gagang kipas.
“Aiiih...!” Nirahai menggunakan ginkang-nya, tubuhnya melesat ke atas dalam usahanya untuk menghindarkan diri.
Keringat dingin keluar dari jidatnya, dan gadis ini harus mengakui bahwa kakek bongkok itu benar-benar lihai sekali. Ia bersilat dengan hati-hati, menggunakan payungnya sebagai senjata pedang yang menyerang, juga sebagai senjata perisai yang melindungi tubuh. Pertandingan berlangsung seru sekali. Kakek itu menang pengalaman dan juga menang ilmu silat, akan tetapi kalah lincah dan kalah dalam hal perkembangan, taktik dan kecerdikan.
Pertandingan berlangsung seratus jurus lebih dan diam-diam Nirahai harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat memang kalah hebat oleh Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Kalau saja kakek itu menguasai ilmunya dengan sempurna, kiranya tadi-tadi ia sudah dirobohkan lawan.
“Ser-ser-serrr...!” Nirahai tiba-tiba menyambit dengan jarum-jarumnya.
Karena jarak di antara mereka dekat, kakek itu terkejut, memutar kipas dan mengebut jarum-jarum runtuh ke tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nirahai untuk mengirim tusukan kilat dengan ujung payungnya. Kipas itu terbuka, menangkis dan tiba-tiba tertutup, kedua gagang kipas menjepit ujung pedang. Nirahai kaget sekali karena tiba-tiba payungnya tak dapat digerakkan dan tampak sinar kuning emas berkelebat depan matanya. Tahulah puteri ini bahwa nyawanya terancam suling yang ampuh itu.
“Plak-plak...!” Tubuh Nirahai dan tubuh kakek bongkok itu terlempar ke belakang oleh dorongan telapak tangan yang memiliki tenaga hebat tak tertahankan.
Mereka cepat meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang membuat mereka terhuyung dan memandang ke depan. Nirahai terbelalak heran melihat bahwa di situ telah berdiri seorang nenek yang masih memiliki wajah cantik sekali, pakaiannya pun indah dan bersih berdiri dengan sikap agung melebihi keagungan permaisuri kaisar sendiri.
“Ya Tuhan... be... benarkah Paduka ini...?” Kakek bongkok bergoyang-goyang tubuhnya, matanya terbelalak, wajahnya pucat seolah-olah ia melihat setan di tengah hari.
“Gu Toan, apakah matamu telah menjadi lamur karena usia tua dan tidak mengenal aku?” Wanita itu berkata, suaranya dingin melebihi salju.
“Benarkah... benarkah Paduka ini... Maya-siocia (Nona Maya)...?”
Nenek itu tersenyum, bukan dengan mulutnya melainkan dengan matanya. Mata yang amat indah dan sama sekali tidak membayangkan usia tua. “Gu Toan, biar sudah menjadi kakek tua, engkau masih bodoh. Masa aku yang sudah jadi nenek-nenek kau sebut siocia? Sungguh pun aku selamanya tidak pernah menikah dan masih seorang Nona, akan tetapi Nona tua...” Ucapan terakhir ini terdengar bernada duka sehingga Nirahai menjadi heran.
“Ahhh... ampunkan hamba...” Kakek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu. “Hamba kira... hamba dengar bahwa Paduka...” Ia tidak berani melanjutkan.
“Kau kira aku sudah mati?” Nenek itu melanjutkan dan melihat kakek bongkok yang berlutut itu mengangguk, ia menghela napas panjang. “Memang sudah mati..., apakah bedanya dengan mati kalau batin ini sudah kosong dan semangat ini sudah padam? Hanya tubuh yang tak tahu diri ini yang masih belum juga mau mati...”
Ucapan ini terdengar perlahan kemudian tiba-tiba ia sadar dan melanjutkan dengan suara halus namun amat dingin dan penuh wibawa, “Eh, Gu Toan, aku melihat engkau sampai menggunakan sepasang pusaka keramat dan mainkan ilmu simpanan melawan gadis ini. Siapakah dia?” Ia bertanya kepada Gu Toan akan tetapi menoleh kepada Nirahai dan sejenak ia terpesona melihat wajah Nirahai, karena ia seakan-akan melihat bayangannya sendiri dalam air yang jernih.
“Kau... kau seorang gadis Khitan...?”
Nirahai yang sejak tadi masih memandang dengan hati tegang dan heran menggangguk tanpa mengalihkan pandang matanya. Ia dapat mengenal orang sakti, yang sekali bergerak dapat membuat dia dan kakek bongkok terpental ke belakang. “Saya seorang dara Mancu yang berdarah Khitan pula.”
“Dia adalah puteri Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu,” Kakek bongkok itu menerangkan, “akan tetapi berdarah Khitan dan telah mewarisi Pat-mo Kiam-hoat, Sin-coa-kun-hoat dan Siang-tok-ciam. Datang ke sini untuk meminjam suling emas guna menaklukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang membantu Bu Sam Kwi yang belum mau takluk kepada Kerajaan Ceng. Terpaksa hamba menolak dan kami bertempur...”
Nenek itu masih memandang Nirahai penuh selidik. Mendadak tangan kanannya bergerak ke depan. Nirahai tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tangan itu telah meraih ke arah payung yang dipegangnya. Tentu saja ia cepat menggerakkan payungnya untuk mengelak, akan tetapi payungnya itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya, seolah-olah payungnya berubah menjadi seekor burung yang amat kuat dan yang terbang melepaskan diri dari tangannya. Saat ia memandang, ternyata nenek itu telah memegang payungnya dan memeriksanya, membuka menutup dan mencobanya dengan beberapa gerakan menusuk. Nenek itu mengangguk-angguk dan berkata.
“Lumayan juga senjata ini. Sudah memiliki senjata seperti ini, sudah memiliki ilmu-ilmu ampuh peninggalan Keluarga Suling Emas, mengapa masih ingin meminjam suling emas?” Pertanyaan ini bagaikan ujung pedang ditodongkan di depan dada Nirahai yang masih belum kehilangan kaget dan herannya menyaksikan betapa dengan mudahnya nenek itu merampas senjatanya!
Karena maklum bahwa nenek ini amat sakti, dan tahu pula bahwa kalau ia salah jawab dan nenek itu menghendaki, sekali pukul saja ia akan tewas dan ia tidak akan dapat melindungi dirinya dari tangan nenek yang luar biasa ini. Maka Nirahai yang cerdik dan juga yang merasa amat kagum segera menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu, seperti kakek bongkok, dan berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya kepada locianpwe kalau teecu bersalah dalam hal ini. Sesungguhnya teecu secara terpaksa sekali mohon pinjam suling emas itu, karena tugas teecu sebagai pimpinan pasukan pengawal yang bertugas menandingi tokoh-tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng dan membantu pemberontak Bu Sam Kwi. Kerajaan Ceng menghendaki agar orang-orang gagah itu ditaklukkan dengan jalan damai, karena untuk membangun negara yang banyak menderita karena perang, pemerintah membutuhkan bantuan orang-orang gagah itu...”
“Maka sedapat mungkin, penaklukan Se-cuan akan dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban di antara orang-orang gagah yang membelanya. Untuk keperluan itulah maka teecu terpaksa mohon pinjam suling keramat, karena senjata pusaka itu amat besar pengaruhnya terhadap para tokoh kang-ouw yang tentu akan menjunjungi tinggi senjata peninggalan Pendekar Suling Emas dan akan suka berdamai dan menakluk. Bukan sekali-kali teecu hendak memusuhi Kakek Gu, akan tetapi karena dia kukuh tidak mau memberikan, dan teecu terpaksa didorong tugas, maka terjadilah bentrokan tadi... baiknya locianpwe melerai, karena kalau tidak tentu teecu sudah menjadi korban kekerasan Kakek itu.”
“Hemmm... hemmm...” beberapa kali nenek itu menggumam dan memandang lebih teliti, kini matanya yang indah menyinarkan rasa kagum dan suka, akan tetapi mulutnya yang dulu di waktu mudanya tentu menggairahkan itu masih saja membayangkan sifat dingin mengejek dan memandang rendah dunia ini.
“Engkau masih muda sekali, cantik jelita dan jelas membayangkan darah Khitan di tubuhmu yang ramping padat. Ilmu kepandaianmu sudah lumayan dan kiranya di dunia ramai agak sukar mencari tandingan. Senjatamu pun baik, tanda bahwa engkau dapat menyelami kitab-kitab peninggalan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dengan sempurna. Bicaramu lancar dan dapat melihat gelagat, tanda bahwa engkau pun memiliki kecerdikan yang mengagumkan. Eh, Puteri yang manis, siapakah namamu?”
Hati Nirahai girang sekali mendengar suara nenek itu dan besar kemungkinan ia akan berhasil meminjam suling emas. “Nama teecu Nirahai, locianpwe.”
“Engkau puteri Kaisar Mancu yang sekarang?” Ia berhenti sebentar lalu menyambung, “Pangeran Dorgan itu apamukah?”
“Benar, locianpwe, teecu puteri Kaisar yang terlahir dari selir. Ibuku adalah Puteri Khitan, masih gadis telah menjadi selir Pangeran yang sekarang menjadi kaisar. Mendiang Pangeran Dorgan adalah Paman Kakekku. Karena itu, biar pun sudah amat jauh, darah Ibuku sedikitnya masih ada keturunan dari Kerajaan Khitan, dan pendekar sakti Mutiara Hitam masih Nenek Buyutku...”
“Hemmm, semua manusia di dunia ini kalau ditelusur, tentu masih ada hubungan keluarga. Tahukah engkau bahwa Mutiara Hitam itu adalah Bibiku sendiri, Bibi Luar? Saudara kembarnya yang menjadi Kaisar Khitan adalah Paman Luarku...”
“Ohhh... harap maafkan, locianpwe, karena teecu tidak tahu maka bersikap kurang hormat.”
“Sudahlah, tak perlu banyak peradatan, kita tidak dapat membanggakan keturunan Khitan yang sudah ambruk! Engkau masih lebih beruntung karena keturunan Kaisar Mancu yang kini berkembang dan mulai jaya. Sekarang ceritakan keadaan kerajaan dan gerakannya ke selatan. Aku sudah mendengar hal itu dan karena tertarik melihat kejayaan Mancu, aku sampai keluar dari tempat pertapanku. Kebetulan bertemu dengan engkau seorang puteri Kaisar sendiri yang memimpin pasukan pengawal. Nah, ceritakan!”
Nirahai girang bukan main. Dengan gaya bicaranya yang lancar ia lalu menceritakan keadaan pemerintah Mancu yang dapat menaklukkan daerah selatan dengan mudah, akan tetapi kini menghadapi kesulitan karena Se-cuan yang dipimpin Bu Sam Kwi masih belum dapat ditaklukkan.
“Akan tetapi teecu percaya,” Nirahai menutup penuturannya, “kalau teecu di-perbolehkan meminjam suling emas, teecu akan dapat mempengaruhi para tokoh kang-ouw yang membela Bu Sam Kwi. Teecu kira, partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain, yang sekarang belum mau membantu Ceng, tentu akan tunduk kalau melihat bahwa teecu mendapat kehormatan memiliki suling keramat peninggalan Suling Emas yang mereka junjung tinggi.”
Nenek itu mengangguk-angguk, dan tiba-tiba ia bertanya kepada kakek bongkok, “Eh, Gu Toan, kau lihat baik-baik bocah ini dan katakan, wajah dan bentuk tubuhnya seperti siapakah enam puluhan tahun yang lalu?”
Kakek itu memandang Nirahai dan berkata, “Tadi pun ketika pertama kali dia muncul, hamba sudah kaget dan teringat betapa serupa puteri ini dengan Paduka dahulu. Seperti buah pinang dibelah dua!”
Nenek itu menghela napas. “Benar, akan tetapi betapa buruk nasibku. Ahhh, kuharap saja engkau yang memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti aku, tidak akan mengalami nasib seburuk nasibku, Puteri Nirahai!” Ketika Nirahai memandang, nenek itu sejenak kehilangan sifat dingin yang membayang di wajahnya, terganti sinar kedukaan yang mendalam. Memang nenek itu sedang mengenangkan semua pengalamannya puluhan tahun yang lalu, di waktu ia masih muda, semuda Nirahai.....
Han Han menjatuhkan diri berlutut. “Hebat luar biasa... akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat mempelajari ilmu sehebat itu, Subo?”
“Bisa, tentu saja bisa, apa lagi engkau memiliki kemauan keras dan memiliki sinkang yang lebih dari cukup.”
“Teecu amat bodoh, subo. Dua buah kitab dari Suhu dan Subo Siang-mo-kiam yang sudah teecu hafalkan di luar kepala saja, hanya dapat teecu petik tentang pelajaran sinkang-nya, sedangkan pelajaran ilmu silat pedangnya teecu sama sekali tidak dapat melatihnya,” kata Han Han menggeleng kepala.
“Karena engkau belum punya dasar, Han-ji (Anak Han). Akan tetapi setelah engkau berlatih dengan ilmuku, kelak engkau akan dapat mempelajari ilmu silat yang bagaimana pun juga. Dengar baik-baik. Ilmu ciptaanku ini kuberi nama Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat). Aku menciptakannya menjadi gerakan-gerakan kilat yang berdasarkan ilmu gaya yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh orang buntung berkaki satu seperti kita. Karena kaki kita buntung dan hanya sebuah, tiap kali kita bergerak lalu menghentikan gerakan, kita tidak dapat langsung berdiri tegak seperti orang berkaki utuh. Kita akan terdorong oleh gerakan kita sendiri sehingga terhuyung ke depan, ke belakang atau ke kanan kiri menurut gerak dorongan dari mana kita datang, selalu bergoyang-goyang untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Sebuah bola pun akan lama sekali baru dapat diam, dan begitu bergerak, bola itu akan bergoyang-goyang ke kanan kiri sampai dapat keseimbangan baru diam. Nah, gaya inilah yang kupakai sebagai landasan sehingga terciptalah Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun ini. Ilmu ini hanya dapat dikuasai dan dirasakan oleh manusia kaki satu, sukar diselami dan dipelajari oleh orang yang kakinya utuh.”
Han Han mengangguk-angguk. Pemuda ini memang pada dasarnya sudah memiliki kecerdikan yang menonjol, apa lagi perubahan mukjizat dalam dirinya membuat ia memiliki kekuatan otak yang tidak lumrah manusia, maka sekali mendengarkan ia telah dapat menangkap inti sari yang dimaksudkan oleh penjelasan Khu Siauw Bwee.
“Karena ada tenaga mendorong oleh gerakan pertama, maka timbullah daya tolak yang dapat kita pergunakan untuk bergerak lagi, atau menyambung gerakan pertama kita itu. Gerakan berlandaskan daya tolak ini lebih hebat karena kita dapat meminjam gerak dorongan ditambah ginkang kita sendiri, maka begitu kita menggunakan daya tolak untuk melakukan gerakan kedua, gerakan kita akan menjadi lebih cepat. Gerakan ketiga, keempat dan selanjutnya akan makin cepat. Seperti sebuah bola karet yang kita ketukkan ke atas lantai dengan tangan, makin lama akan melambung makin cepat, demikian pula gerak silat dari Soan-hong-lui-kun ini memiliki kecepatan yang tak terbatas. Karena itu, hal yang paling sukar dan paling penting dikuasai adalah penggunaan jurus-jurus yang akan menahan gerakan daya tolak berantai ini. Karena kalau hal ini tidak kau kuasai benar-benar, engkau akan menjadi permainan dari kekuatan daya tolak berantai itu sehingga engkau sendiri takkan dapat menghentikan gerakanmu. Akibatnya tentu saja engkau akan mudah celaka di tangan lawan! Soan-hong-lui-kun ini kubagi menjadi tujuh puluh dua jurus, dan nanti mulai jurus ke tiga puluh tujuh, separuh dari ilmu silat ini, engkau akan mulai kulatih dengan penguasaan gerakan yang timbul dari daya tolak berantai ini.”
Demikianlah, mulai saat itu Han Han digembleng oleh nenek buntung yang luar biasa itu, sedikit demi sedikit, sejurus demi sejurus. Han Han memiliki kemauan yang hebat dan ketekunan yang menakjubkan. Walau pun nenek itu sendiri amat bersemangat melatih muridnya, ia masih kadang-kadang menggeleng kepala penuh kagum menyaksikan ketekunan dan keuletan muridnya.
Seperti juga dalam hal kekuatan sinkang, ia harus mengakui bahwa dalam hal kebulatan tekad dan besarnya kemauan, ia tidak dapat menandingi muridnya ini! Makin sayanglah ia kepada Han Han, apa lagi ketika ia minta muridnya itu menceritakan riwayatnya, ia merasa betapa riwayat hidup muridnya itu malah lebih mengenaskan dari pada riwayatnya sendiri. Ia melihat munculnya seorang manusia yang lebih besar dari pada dia, dan bertekad untuk menurunkan semua kepandaiannya kepada Han Han.
Makin lama Han Han berlatih di bawah gemblengan Khu Siauw Bwee, makin terbukalah matanya bahwa sebetulnya, sebelum ia berlatih silat di bawah bimbingan gurunya yang baru, ia telah mempunyai banyak ilmu, hanya ilmu-ilmu itu terpendam dan hanya diketahui teorinya belaka. Kini ia mulai dapat melatih semua ilmu yang penah ia pelajari, bahkan permainan pedang dari kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis yang bernama Siang-mo Kiam-sut, yaitu penggabungan dari ilmu Pedang Iblis Jantan dan Iblis Betina, kini dapat ia mainkan dengan tongkatnya!
Setahun lamanya Han Han tekun melatih diri dengan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Ketekunannya sungguh tidak lumrah manusia. Dia tidak peduli akan siang atau malam, pagi mau pun sore, terus berlatih, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar, hanya tidur kalau matanya sudah tak mau dibuka, dan hanya mengaso kalau tubuhnya sudah tidak dapat digerakkannya lagi saking lelahnya. Dengan semangat dan ketekunan seperti ini, tidaklah mengherankan kalau dalam waktu setahun saja sudah dapat menguasai ilmu silat itu.
Pada pagi hari itu tubuhnya sudah tampak berkelebatan dari batu ke batu dan dia sudah berlatih Ilmu Silat Soan-hong-liu-kun. Tubuhnya yang berkelebatan seperti hampir tidak tampak karena terlalu cepat. Baru saja tampak di atas batu sini, tahu-tahu sudah lenyap dan berada di batu sebelah sana, terus bergerak dan terus berpindah. Cara ia meloncat seperti terbang saja, makin lama makin cepat.
Biar pun dia sedung berlatih dengan gerakan-gerakan kilat, pandang matanya yang amat tajam dapat melihat berkelebatnya bayangan yang telah berdiri di atas batu dan memperhatikan gerakan-gerakannya. Han Han makin bersemangat dan ia mulai bersilat lagi, mengulang dari jurus pertama sampai jurus terakhir, seluruh tujuh puluh dua jurus ia mainkan sebaik-baiknya.
Diam-diam Khu Siauw Bwee kagum dan terkejut bukan main. Pemuda yang menjadi muridnya itu benar-benar amat luar biasa! Ilmu yang ia ciptakan selama puluhan tahun, kini dapat dikuasai muridnya dalam waktu setahun saja!
“Bagus, muridku Han Han! Bagus sekali! Engkau telah berhasil menguasai Soan-hong-lui-kun hanya dalam waktu setahun! Dengan ilmu ini, kiranya akan jarang dapat ditemukan orang yang akan mampu menandingimu. Betapa pun juga, di dunia terdapat banyak orang lihai dan sayanglah kalau semua ilmu yang pernah kau pelajari teorinya tidak kau latih prakteknya. Karena itu, mulai sekarang kau latihiah semua ilmu yang kau ketahui, ditambah ilmu silat yang pernah kau pelalari, agar kau menguasai semua silat tinggi sehingga kelak tidak canggung menghadapi lawan berat.”
Han Han berlutut di depan gurunya. “Terima kasih atas semua petunjuk Subo dan teecu akan mentaati semua perintah Subo.”
Demikianlah, mulai hari itu Han Han melatih ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es, juga Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut ia sempurnakan latihannya di bawah petunjuk gurunya.
********************
Daerah Mancuria bagian timur laut adalah menjadi pusat suku bangsa Khitan yang pada masa itu telah hampir musnah dan masuk menjadi bangsa Mancu yang makin berkembang dan berkuasa. Banyak di antara keluarga bekas Kerajaan Khitan menjadi pembesar-pembesar Mancu, dan karena kaum wanita Khitan banyak yang cantik jelita, maka sebagian besar di antara mereka ini menikah, sebagian besar secara paksa, dengan para Pangeran Mancu. Betapa pun juga, diam-diam suku bangsa Khitan, terutama sekali kaum bangsawannya yang masih berdarah keluarga bekas Kerajaan Khitan, masih memiliki keangkuhan dan mengangkat tinggi derajat mereka sebagai bangsa Khitan!
Di kaki Pegunungan Cang-kwang-cai-san, di mana mengalir air Sungai Sungari yang bersumber dari gunung itu, terdapatlah sebidang tanah pekuburan yang berisi kuburan keluarga Kerajaan Khitan. Di sini pula dikubur jenazah tokoh-tokoh besar, bukan hanya besar bagi bangsa Khitan, melainkan juga tokoh-tokoh besar yang dikenal di dunia kang-ouw.
Di sinilah terdapat kuburan pendekar-pendekar sakti Suling Emas dan isterinya yang bernama Yalina, Ratu Khitan. Bahkan di situ pula kuburan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, puteri Suling Emas dan Ratu Yalina, di samping kuburan keluarga kerajaan dan para tokoh terpenting dari Kerajaan Khitan. Akan tetapi, di antara semua kuburan kuno, yang paling menyeramkan adalah kuburan ayah ibu dan puteri mereka, yaitu kuburan Suling Emas, Ratu Yalina dan Mutiara Hitam. Hanya kuburan keluarga Suling Emas inilah yang masih terpelihara baik-baik, sekali pun kini suku bangsa Khitan telah lenyap dan dilebur menjadi bangsa Mancu.
Sunyi sekali keadaan di tanah kuburan itu. Tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya kelihatan gundul dan di mana-mana mulai tampak air membeku keputihan karena musim salju hampir tiba. Air Sungai Sungari yang mengalir tepat di depan tanah kuburan kelihatan malas karena hampir membeku oleh hawa dingin. Keadaan amat sunyi, tidak ada tampak seekor pun burung, seolah-olah alam di sekeliling kuburan ikut mati seperti mereka yang dikubur di situ. Salju yang mulai terbentuk mengecat seluruh tempat menjadi keputih-putihan, putih bersih menambah sunyi.
Dilihat sepintas lalu, semua orang tentu akan mengira bahwa tempat sunyi seperti itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi kadang-kadang tampak asap mengepul dari genteng pondok yang cukup kokoh dan megah, yang berdiri di antara batu-batu nisan di tanah kuburan itu. Dan melihat dupa yang selalu berkelap-kelip di depan bongpai (batu nisan) keluarga Suling Emas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di situ tidaklah tanpa penghuni seperti orang kira.
Dan sesungguhnyalah, pondok itu dahulu dibuat oleh keluarga Kerajaan Khitan menjadi tempat para penjaga tanah kuburan. Bahkan tanah kuburan itu sendiri tidak selalu sunyi ketika Kerajaan Khitan masih jaya. Akan tetapi, semenjak bangsa Khitan terdesak dan dilebur menjadi bangsa Mancu yang makin berkuasa sehingga Kerajaan Khitan pun lenyap, di tempat ini tidak dilakukan penjagaan lagi seperti dahulu, tidak pula dikunjungi keluarga raja yang berziarah. Bahkan kuburan itu tentu akan terlantar dan rusak kalau saja tidak muncul seorang kakek tua bongkok yang menjaga tanah pekuburan keluarga Suling Emas itu.
Semenjak kakek bongkok ini menjaga di sana, kuburan keluarga Suling Emas menjadi terawat baik dan tidak pernah sedetik pun kakek itu meninggalkan tanah pekuburan yang dijaganya dengan penuh kesetiaan. Kakek ini menjadi satu-satunya orang yang tinggal di daerah dingin bersalju ini, dan asap yang kadang-kadang nampak berkepul adalah asap dari dapur di kala ia memasak makanan.
Semenjak kakek bongkok menjaga tanah kuburan itu, tempat itu menjadi tempat angker dan keramat, ditakuti orang karena kakek bongkok itu ternyata amat galak dan juga amat lihai sehingga siapa pun yang berani mendatangi tanah kuburan tentu akan dibunuhnya!
Mula-mula, begitu mendengar akan runtuhnya suku bangsa Khitan dan tanah kuburan keluarga Suling Emas itu tidak terjaga lagi oleh tentara Khitan, banyak orang-orang kang-ouw mencoba datang ke tanah kuburan itu karena mereka mendengar bahwa pusaka peninggalan keluarga Suling Emas berupa kitab-kitab dan senjata-senjata, terutama senjata Suling Emas sendiri berupa sebatang suling terbuat dari pada emas dan sebuah kitab, berada di tempat itu. Mereka ini berusaha untuk mendapatkan pusaka peninggalan. Akan tetapi banyak sekali tokoh kang-ouw datang ke tempat itu untuk mengantar nyawa. Banyak yang tewas di tangan kakek bongkok dan banyak pula yang dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri membawa luka-luka berat.
Semenjak itu, tidak ada lagi orang yang berani coba-coba mengganggu kuburan keluarga Suling Emas, bahkan bangsa Mancu dan suku bangsa lainnya tidak ada yang berani mendekati tempat itu. Selama puluhan tahun ini, hanya ada dua buah tempat yang selalu menarik perhatian orang-orang kang-ouw, yaitu Pulau Es, dan kuburan keluarga Suling Emas. Akan tetapi kedua-duanya amat sukar didatangi.
Yang pertama, Pulau Es, sungguh pun kabarnya menjadi tempat tinggal Koai-lojin yang tak mau mengganggu orang, bahkan suka membagi ilmu kepada siapa saja, namun amat sukar dicari karena tersembunyi di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di utara, di samping sukarnya pelayaran di lautan yang kadang-kadang penuh es dan salju itu. Yang ke dua adalah tanah kuburan ini yang biar pun lebih mudah dicari, namun dijaga oleh kakek bongkok yang memiliki kesaktian yang sukar dilawan dan galaknya melebihi harimau menjaga anak-anaknya!
Akan tetapi, pada suatu pagi yang cerah, tampak sebuah joli (tandu) yang dipikul dua orang laki-laki tinggi besar berlari cepat menempuh hujan salju rintik-rintik menuju ke tanah kuburan di tepi Sungai Sungari. Dari jauh sudah tampak tanah pekuburan keluarga Suling Emas yang sunyi. Dua orang pemikul tandu itu adalah orang-orang Mancu yang bertubuh kuat, namun mereka kelihatan lelah dan napas mereka terengah-engah ketika mereka tiba di tepi sungai, masih agak jauh dari tanah kuburan.
“Berhenti di sini!” Terdengar suara nyaring merdu dari dalam joli.
Dua orang pemanggul joli berhenti dan menurunkan joli. Tirai joli tersingkap dan tampaklah wajah seorang gadis yang amat cantik jelita, berhidung kecil mancung dengan dagu meruncing dan sepasang mata lebar terbelalak indah dan bening.
Tubuh yang ramping itu keluar dan ternyata dia seorang dara jelita yang masih amat muda, tubuhnya yang ramping berpakaian indah, pakaian seorang Mancu dengan baju panjang berlengan pendek sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sebatas siku. Rambutnya yang hitam panjang dan subur tertutup sebuah topi putih dari bulu beruang, dan di atas topi terhias sehelai bulu burung, tanda bahwa dia adalah seorang pemimpin pengawal Kerajaan Mancu. Rambutnya diikat dengan pita kuning di belakang tengkuk, dan sepasang telinganya terhias anting-anting emas, demikian pula kedua pergelangan tangannya.
Ketika turun, dara ini membawa sebatang payung yang gagangnya melengkung dan ujungnya runcing mengkilap. Dara ini bukan lain adalah Puteri Nirahai, Puteri Mancu yang amat lihai sehingga dia menjadi pimpinan para pengawal istana! Kalau melihat mata yang lebar indah, bibir yang tipis merah basah, gerak-geriknya yang lemah gemulai, takkan ada orang mengira bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Kalian berdua pergilah sembunyi di balik batu gunung itu dan jangan sekali-kali berani menampakkan diri sebelum kupanggil,” kata pula Nirahai dalam bahasa Mancu kepada dua orang itu.
Dua orang tinggi besar itu adalah ahli-ahli petunjuk jalan yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian tinggi, kakak beradik yang merupakan tokoh-tokoh terkenal pula di daerah utara ini. Akan tetapi ketika menerima perintah dari ‘Sang Puteri’ untuk mengantarnya ke pekuburan keluarga Suling Emas, mereka ketakutan setengah mati dan dengan hati berat mereka terpaksa mengantarkan Nirahai. Kini, pada saat rasa takut mereka membuat wajah mereka pucat dan napas mereka terengah, mendengar perintah Nirahai agar mereka bersembunyi, hati mereka lega dan girang sekali. Setelah memberi hormat mereka berdua lalu melompat dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar, meninggalkan joli di dekat sungai.
Nirahai bersikap hati-hati dan dia tidak berani lancang menuju ke tanah kuburan. Dengan bersembunyi di balik sebuah batu yang menonjol di pinggir sungai, ia mengintai ke arah pondok di tengah kuburan. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba pandang mata Nirahai yang tajam sekali dapat melihat munculnya sebuah perahu kecil yang melawan arus air sungai. Karena air sungai yang dingin hampir membeku itu arusnya lambat sekali, maka perahu itu bergerak cepat, didayung oleh dua pasang tangan yang kuat. Mereka itu adalah dua orang kakek bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Nirahai tidak mengenal mereka, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka itu tentu bangsa Mongol Utara, melihat dari pakaian mereka yang tebal terbuat dari bulu binatang dan cara mereka menggelung rambut mereka.
Diam-diam Puteri Mancu ini memperhatikan dan ia melihat betapa dua orang Mongol itu tiba-tiba melompat ke darat, seorang di antara mereka memegang sehelai tali panjang yang mengikat ujung perahu. Setelah keduanya mendarat dengan sebuah loncatan cepat dan jauh yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pandai, si pemegang tali menggerakkan tenaganya dan perahu itu seperti dilontarkan oleh angin menuju ke arah mereka. Kakek kedua mengangkat tangan kiri menyambut perahu itu dengan mudah, lalu meletakkan perahu ke atas tanah. Melihat gerakan mereka, Nirahai maklum bahwa kedua orang kakek Mongol itu memiliki tenaga yang besar.
“Haiiiii... Setan Bongkok...! Keluarlah! Kami datang menagih hutangmu sepuluh tahun yang lalu!” Seorang di antara dua orang kakek itu berseru, suaranya nyaring bergema dan ia menggunakan bahasa Mongol yang dimengerti baik oleh Nirahai.
Suara yang keras itu menggema sampai lama, kemudian terdengar suara orang batuk-batuk dari dalam pondok di tengah tanah pekuburan, disusul suara orang yang menggunakan bahasa Mongol yang kaku.
“Hemmm, Sepasang Anjing Hitam padang pasir Go-bi! Pergilah sebelum terlambat. Aku tidak suka mengotorkan tempat suci ini dengan darah kalian. Pergilah!”
Mendengar suara itu, Nirahai merasa tegang hatinya, jantungnya berdebar. Dia belum pernah melihat kakek bongkok penjaga tanah kuburan keluarga Suling Emas, akan tetapi sudah mendengar tentang kakek itu yang kabarnya memiliki kesaktian hebat, galak dan mati-matian menjaga dan membela kuburan itu. Kini, baru mendengar suaranya saja sudah menyatakan bahwa kakek itu seorang yang keras, juga tinggi hati, namun amat menghormati kuburan itu.
Nama Sepasang Anjing Hitam dari padang pasir Go-bi juga amat terkenal. Dua orang jagoan Mongol itu merupakan datuk-datuk di daerah padang pasir Go-bi yang amat disegani sehingga setiap rombongan kafilah yang melalui daerah ini tentu akan meninggalkan ‘tanda persahabatan’ di depan goa-goa di kaki bukit kecil yang disebut Bukit Anjing Hitam untuk menghormati dua orang tokoh itu sehingga rombongan mereka takkan terganggu. Akan tetapi, sekarang kedua orang datuk padang pasir itu tidak dipandang mata sama sekali oleh penjaga kuburan keluarga Suling Emas, dan mendengar ucapan kakek dari dalam pondok, jelas bahwa dua orang Mongol tinggi besar itu pernah dikalahkan sepuluh tahun yang lalu.
“Heh, Si Bongkok setan tua bangka yang sombong! Selain sombong, engkau pun pelit sekali. Untuk apakah sekalian pusaka dan kitab peninggalan Keluarga Suling Emas untukmu? Engkau sudah hampir mampus! Berikan kepada kami sebuah dua buah pusaka sebagai pengganti nyawamu. Kalau engkau masih pelit, sekali ini kami tidak akan memberi ampun kepadamu!” Kakek Mongol yang ada tahi lalatnya di ujung hidung dan bertubuh tinggi besar berkata dengan suara keras. Sedangkan orang kedua yang lebih tinggi memandang tajam ke arah pondok, siap menghadapi kakek penjaga kuburan.
Setelah ucapan itu keluar dari mulut orang Mongol penuh tantangan, keadaan sunyi sekali dan kemudian terdengar suara....
“Kerrriiittttt...!” disusul terbukanya pintu pondok.
Suara pintu terbuka ini memecah kesunyian dan terdengar menyeramkan, seolah-olah yang terbuka adalah sebuah peti mati. Kemudian muncullah seorang kakek bongkok di ambang pintu. Setibanya di depan pintu pondok, ia berhenti sebentar dan mengangkat mukanya.
Nirahai bergidik ketika melihat betapa sepasang mata tua itu seolah-olah merupakan sinar yang menerangi tempat-tempat yang dipandang mata itu, bahkan ia merasa seolah-olah tempat persembunyiannya ketahuan ketika pandang mata kakek bongkok itu menyapu ke arah batu besar di mana ia bersembunyi. Nirahai cepat-cepat menarik diri untuk bersembunyi lebih baik, akan tetapi ia mengintai terus.
Kakek itu sebetulnya bertubuh tinggi, akan tetapi karena di punggungnya terdapat punuk yang membuat dia tidak dapat berdiri tegak dan membongkok, maka kelihatan pendek. Pakaiannya serba putih dan sederhana, juga sepatunya berwarna putih. Pakaian itu potongannya seperti pakaian pelayan, akan tetapi putih dan bersih.
Wajahnya tampak kurus, alisnya tebal, kumisnya melintang ke kanan kiri dan jenggotnya menutupi dagu. Baik rambutnya, mau pun rambut yang tumbuh di pelipis menjuntai ke bawah, sampai kumis dan jenggotnya, sudah hampir putih semua. Dia berdiri dengan kedua tangan kosong, dan kini perhatiannya ditujukan kepada dua orang Mongol yang melangkah datang menghampiri kakek bongkok.
Mereka saling berhadapan, sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling memandang. Sikap kakek bongkok itu tenang, akan tetapi pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan juga memandang rendah. Sedangkan dua orang Mongol itu biar pun memaksa diri bersikap tenang, masih saja kelihatan bahwa mereka sebetulnya jeri terhadap kakek bongkok itu.
Nirahai diam-diam merasa heran. Kakek bongkok itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang sakti, bahkan kelihatan lebih pantas menjadi seorang pelayan tua yang sudah patut dipensiun! Dara Mancu ini tidak ingat bahwa dia sendiri pun tidak pantas menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, lebih patut menjadi seorang puteri yang lemah lembut dan menggairahkan!
“Orang tua, benar-benarkah engkau mempertahankan semua pusaka itu? Engkau telah mendengar nama Siang-hek-sin-kauw (Sepasang Anjing Hitan Sakti) yang menjadi sahabat seluruh orang gagah di utara dan barat! Kami mengulangi permintaan kami sepuluh tahun yang lalu, hanya ingin meminjam sebuah dua buah kitab peninggalan Keluarga Suling Emas, meminjam selama beberapa bulan saja, pasti akan kami kembalikan!” Orang Mongol yang lebih jangkung berkata. Mendengar nadanya, jelas kini bahwa setelah berhadapan, dua orang Mongol itu bersikap lebih lunak.
“Selagi aku hidup, tak seorang pun manusia boleh menjamah pusaka-pusaka keluarga majikanku. Setelah aku mati pun, rohku akan tetap menjaga di sini. Pergilah!”
Ngeri hati Nirahai mendengar ucapan itu, dan diam-diam gadis ini mencari akal bagaimana ia dapat berhasil menghadapi kakek bongkok yang galak itu. Ia mengintai terus dan ingin lebih dulu menyaksikan kelihaian kakek bongkok seperti yang sudah ia dengar akan tetapi belum pernah ia saksikan.
“Setan Bongkok keparat! Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak orang Mongol bertahi lalat di hidung. Bersama adiknya, dia lalu siap untuk menyerang.
Tubuh yang bongkok itu makin bongkok, mukanya tunduk, matanya terbuka dan melirik ke atas sehingga dipandang dari depan, sikap kakek itu seperti seekor lembu marah memasang tanduk siap menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.
“Kalian yang akan mati. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup!” jawab kakek itu.
“Setan Bongkok, sambutlah!” Tiba-tiba orang Mongol yang bertahi lalat di hidungnya berseru.
Tubuhnya merendah sampai hampir berjongkok, dan kedua lengannya didorongkan ke depan ke arah kakek bongkok. Terdengar bunyi tulang berkerotokan dan angin yang kuat menyambar ke arah kakek bongkok.
Nirahai terkejut sekali. Ia dapat menduga bahwa pukulan atau dorongan kedua lengan orang Mongol itu amat lihai, merupakan pukulan tenaga sinkang yang kuat sekali. Belum pernah ia melihat atau mendengar pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti sampai mengeluarkan bunyi berkerotokan seperti itu!
Kakek bongkok kelihatan tercengang juga, akan tetapi dengan tenang sekali tubuhnya sudah bergerak ke kiri, tahu-tahu tubuhnya sudah miring mengelak dan lengannya bergerak menangkis, yaitu dengan sambaran angin pukulan menangkis serangan lawan.
“Hemmm... bukankah ini Thai-lek-kang...?” Terdengar kakek bongkok berseru heran.
“Setan Bongkok mampuslah!” bentak lawan ke dua yang bertubuh tinggi.
Tubuh orang Mongol kedua ini sudah bergerak ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu tubuh itu berpusing, makin lama makin cepat, sambil berpusingan cepat sekali tubuh itu menerjang ke arah kakek bongkok. Tubuh orang Mongol itu lenyap, yang tampak hanya bayangan yang berpusing dan kadang-kadang tampak kaki tangannya bergerak keluar dari bayangan yang berputar cepat seperti kitiran angin itu!
“Ayaaaaa, bukankah ini pun ilmu dari Thai-lek Kauw-ong yang disebut Soan-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai)?” Kakek bongkok itu berseru kaget dan kembali tubuhnya bergerak, dan kini Nirahai merasa kagum karena kakek bongkok itu ternyata dapat bergerak amat lincahnya.
“Ha-ha-ha, Setan Bongkok. Apa kau kira kami selama sepuluh tahun ini tinggal diam saja? Ha-ha-ha!” Orang Mongol bertahi lalat di hidung menerjang lagi dengan pukulan sakti Thai-lek-kang sambil berjongkok, sedangkan adiknya tetap menyerang dengan ilmu silat yang aneh itu, yaitu sambil memutar-mutar tubuh amat cepatnya.
Sejenak kakek bongkok itu terdesak dan menghindar ke sana ke mari sambil mengomel, “Hemmm, Thai-lek Kauw-ong sudah lama mampus, kini ilmu-ilmunya yang jahat muncul lagi! Kim-siauw Locianpwe (Orang Sakti Suling Emas), maaf, terpaksa boanpwe (aku yang rendah) mengotorkan pusaka locianpwe!”
Dua orang Mongol itu sudah merasa girang karena serangan-serangan mereka yang benar-benar amat luar biasa dan dahsyat itu berhasil mendesak kakek bongkok. Mereka ingin membunuh penjaga kuburan ini agar mereka dapat menggeledah dan mencari pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas di tempat itu. Dengan penuh kepercayaan akan kelihaian ilmu-ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu pukulan Thai-lek-kang (Tenaga Sakti Halilintar) dan ilmu Silat Soan-hong-sin-ciang, mereka mendesak lebih keras lagi.
Kedua macam ilmu ini sebetulnya memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Dahulu ilmu-ilmu ini dimiliki oleh Thai-lek Kauw-ong yang pernah bertanding melawan Suling Emas dan dikalahkan, dan semenjak Thai-lek Kauw-ong lenyap dari dunia persilatan, ilmu-ilmunya pun turut lenyap. Akan tetapi ternyata kini ilmu-ilmu yang lihai itu telah terjatuh ke tangan Sepasang Anjing Hitam gurun pasir Go-bi dan begitu melihat ilmu-ilmu ini terus mengenalnya membuktikan pengetahuan yang luas kakek bongkok yang lihai itu.
Kedua orang Mongol yang merasa girang karena yakin akan menang itu tiba-tiba mengeluarkan suara kaget disusul jerit melengking yang keluar dari mulut mereka ketika berkelebat sinar kuning menyilaukan mata. Tubuh mereka roboh terpelanting dan ternyata kedua orang Mongol itu telah tewas! Nirahai terbelalak memandang, penuh kagum. Tangan kiri kakek bongkok itu memegang sebatang suling emas, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah kipas. Itulah sepasang senjata dari pendekar sakti Suling Emas seperti ia dengar dari dongeng-dongeng lama!
Kakek bongkok sejenak berdiri memandang dua sosok mayat bekas lawannya, lalu mencium kipas dan suling bergantian sambil berkata, “Kim-siauw Locianpwe, sampai sekarang pun senjata-senjata pusaka locianpwe masih terlalu ampuh bagi orang-orang jahat!”
Setelah berkata demikian kakek bongkok itu menggerakkan kedua tangan dan lenyaplah suling dan kipas itu di balik baju pelayannya. Kemudian ia mengempit mayat dua orang Mongol itu, membawanya ke dekat perahu mereka tadi. Tali tambang perahu ia gunakan untuk mengikat dua sosok mayat bersama perahunya erat-erat, kemudian sekali angkat dan melontarkan, perahu dengan dua sosok mayat itu terlempar jauh ke tengah sungai dan perlahan-lahan perahu itu terbawa arus sungai yang lamban. Kakek bongkok memandang sejenak, kemudian ia kembali ke depan pondok tempat pertempuran tadi, menggunakan sepatunya menggosok-gosok sampai bersih tetesan darah yang mengotori tempat itu.
Melihat kakek itu menggosok-gosok dan membersihkan tanah yang terkena darah dengan teliti dan hati-hati sekali, Nirahai memperhatikan dan menjenguk dari balik batu. Kakek itu berdiri membelakanginya, maka ia berani menjenguk ke luar. Ia tidak tahu betapa kakek bongkok itu sejak tadi sudah menduga akan kehadirannya dan betapa kakek itu kini sambil membelakanginya dan menghapus darah dengan sepatu, sebenarnya memperhatikan belakang penuh selidik.
Tiba-tiba tubuh kakek bongkok yang membelakanginya itu bergerak melayang ke belakang seperti seekor burung garuda menyambar kelinci, kakinya menendang dan kedua tangannya mencengkeram. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang mengintai itu seorang dara, ia berteriak kaget dan tubuhnya membalik cepat, membuat gerakan poksai (salto) beberapa kali dan meloncat turun ke atas tanah, memandang dengan mata terbelalak kepada Nirahai yang berdiri tenang sambil tersenyum. Mata kakek itu menjelajahi muka dan pakaian Nirahai, kemudian mengerling ke arah joli kosong yang indah akan tetapi tanpa pemanggul itu.
“Nona, mau apakah Nona datang ke tempat terlarang ini?” Kakek itu marah sekali melihat ada orang berani mendatangi tempat yang baginya suci itu, akan tetapi karena pelanggarnya seorang dara muda, ia menjadi tidak enak untuk bersikap kasar. Hanya pandang matanya yang bengis.
Nirahai tersenyum manis. “Orang tua, bukankah engkau penjaga kuburan keluarga pendekar besar Suling Emas? Aku datang untuk berziarah, untuk bersembahyang di depan kuburan para pendekar.”
“Hemmm, sudah bertahun-tahun tempat suci ini menjadi tempat terlarang, mana mungkin tempat suci ini dikotorkan sembarang orang yang hendak berziarah? Engkau ini gadis muda berani lancang mendatangi tempat terlarang di sini, siapakah engkau?”
Nirahai masih tersenyum, sikapnya sabar akan tetapi sebetulnya matanya ingin sekali dapat menembus baju kakek itu untuk melihat suling emas yang tadi ia lihat sekelebatan ketika kakek ini mempergunakannya untuk merobohkan dua orang Mongol. Suling itulah yang ingin ia dapatkan. Jauh-jauh ia datang dengan susah payah hanya untuk mendapatkan suling itu. Senjata pusaka dari pendekar sakti Suling Emas! Dengan pusaka itu, agaknya akan mudah baginya menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang masih belum mau tunduk, bahkan yang kini berpusat di barat, di Secuan, membantu Bu Sam Kwi!
“Kakek yang baik, aku adalah Puteri Nirahai.”
“Puteri? Puteri Mancu? Masih ada hubungan apa dengan mendiang Pangeran Dorgan?” Kakek ini bertanya, alisnya yang banyak putihnya itu berkerut, matanya memandang tajam.
“Mendiang Pangeran Dorgan adalah masih Kakekku, Paman Kakekku. Aku adalah puteri Kaisar yang sekarang.”
Makin tidak enak hati kakek itu dan terpaksa ia lalu membungkuk dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Paduka ini puteri Kaisar Kang Hsi? Maaf, saya tidak dapat menyambut Paduka sepantasnya karena tempat ini adalah kuburan, tempat suci. Akan tetapi, sungguh saya merasa heran, mengapa Paduka hendak berziarah di tanah kuburan ini? Yang terkubur di sini adalah keluarga Kerajaan Khitan, keluarga pendekar sakti Suling Emas...”
“Engkau benar, orang tua. Ayahku, Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu, memang tidak mempunyai hubungan dengan tanah pekuburan ini. Akan tetapi ketahuilah, Ibuku adalah seorang puteri Khitan! Ibuku termasuk seorang di antara puteri-puteri Khitan yang dipersembahkan kepada Kaisar Mancu sehingga biar pun aku puteri Kaisar Mancu, namun aku pun mempunyai darah keturunan Khitan! Karena itu sudah sepatutnya kalau aku berziarah dan bersembahyang di depan kuburan suci ini, Kakek yang baik.”
Kakek bongkok itu mengerutkan alisnya makin dalam dan ia menggeleng-geleng kepala. “Kalau Paduka benar puteri Kaisar Mancu, mengapa Paduka datang sendiri tanpa pengiring? Bagaimana saya dapat membuktikan bahwa Paduka ini puteri Kaisar Mancu dan keturunan keluarga Kerajaan Khitan?”
Nirahai tersenyum. “Orang tua, andai kata engkau menjadi seorang keluarga raja, apakah engkau juga akan suka setiap keluar dari pintu dikawal banyak orang sehingga gerakanmu tidak bebas, selalu diawasi?”
Kakek bongkok itu memandang sejenak, tidak menjawab karena ia agaknya bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
“Orang-orang seperti kita yang sudah biasa bergerak bebas lepas seperti burung di udara dan seperti ikan di samudera, mana bisa merasa senang kalau selalu dikawal orang? Itulah sebabnya aku tidak pernah membawa pengawal biar pun aku puteri kaisar. Memang aku tidak bisa membuktikan bahwa aku puteri kaisar, akan tetapi orang tua yang baik, aku sungguh seorang yang berdarah Khitan, dan lebih dari pada itu, akulah yang mewarisi ilmu kepandaian pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang kuburannya berada di sini pula.”
Kakek itu mengerutkan keningnya dan memandang tajam. “Harap Paduka tidak main-main. Kalau yang datang ke sini adalah Sepasang Pedang Iblis, saya tentu tidak akan ragu-ragu menerima sepasang manusia sinting itu sebagai pewaris ilmu mendiang Mutiara Hitam. Sudahlah, Nona. Lebih baik lekas Nona panggil dua orang pemanggul joli Nona dan cepat pergi dari tempat ini. Tempat ini bukanlah tempat pesiar bagi seorang puteri seperti Nona. Kalau orang lain yang berani datang, tentu sudah saya bunuh.”
“Hemmm, seperti yang kau lakukan kepada Sepasang Anjing Hitam dari Go-bi, dua orang Mongol tadi?” Nirahai mengejek.
“Ahhh, Paduka melihatnya?”
“Tentu saja. Sudah kukatakan bahwa aku pun seorang tokoh kang-ouw, bukan seorang puteri lemah yang doyan pelesir dan pesiar. Aku mewarisi ilmu-ilmu Mutiara Hitam, dan kedatanganku ke sini untuk merundingkan sesuatu denganmu.”
“Bagaimana saya dapat yakin bahwa Paduka benar-benar pewaris ilmu mendiang pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam yang mulia?” Kakek itu berkeras tidak mau percaya.
“Crekkk!” Tangan Nirahai bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menyambar sebatang payung berujung runcing yang tadi ia taruh di dalam joli, kakinya memasang kuda-kuda dan ia berkata sambil tersenyum.
“Bukalah matamu lebar-lebar, orang tua yang keras kepala! Kenalkah engkau dengan senjata ini?”
“Sebuah Tiat-mo-kiam...” kata kakek itu. “Bukan merupakan bukti...”
“Memang bukan, akan tetapi lihat gerakan pedang payung ini!” Nirahai menggerakkan tubuh dan payungnya, bersilat dengan gerakan lincah dan dari ujung payungnya keluar angin yang berbunyi bercuitan ketika menyambar ke depan, terus mengitari sebatang pohon yang sudah kehabisan daun karena dirontokkan hawa dingin dan tinggal cabang-cabang dan rantingnya saja. Sinar terang ujung payung yang menyambar-nyambar mengitari pohon tiga kali dan terdengar suara keras ketika cabang dan ranting pohon itu tumbang semua sehingga pohon itu kini kelihatan seperti raksasa dibuntungi tangannya.
“Pat-mo Kiam-hoat...!” Kembali kakek itu berkata.
“Dan engkau mengenal ini?” Nirahai melakukan gerakan dengan tangan kirinya. Lengan kirinya bergerak seperti menari, atau lebih tepat lengan yang kecil penuh berkulit halus itu melenggang-lenggok seperti ular, kemudian dengan telapak tangan terbuka tiba-tiba ia memukul atau mendorong arah pohon yang sudah buntung cabang-cabangnya itu.
“Kraaaaakkkkk... bruuuuukkk...!” Pohon itu tumbang terjebol dengan akar-akarnya!
“Sin-coa-kun...!” Si Kakek Bongkok memandang terbelalak.
Nirahai tertawa. “Kakek tua yang keras kepala, engkau tentu tidak akan merasa yakin benar kalau tidak mengujinya sendiri. Hayo, keluarkan suling emas dan kipas peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang kau pergunakan untuk membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi, dan hadapi payungku!”
Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya yang berujung runcing. Ujung payung yang seruncing ujung pedang itu tahu-tahu sudah berubah menjadi sinar menyilaukan yang menusuk ke arah leher kakek bongkok.
“Hemmm...!” Kakek itu mengeluarkan suara, dan dengan mudahnya miringkan tubuh ke kiri mengelak.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba payung itu terbuka dan jari-jari payung yang terbuat dari pada baja itu menyerangnya didahului sambaran angin yang meniup ketika payung terbuka tiba-tiba. Inilah serangan yang hebat! Kakek itu biar pun sudah tua dan bongkok, ternyata masih mampu bergerak cepat dan ia sudah menggulingkan tubuh ke atas tanah sehingga terbebas dari sambaran jari-jari payung.
“Lihat senjata rahasia...!” Nirahai berseru, tangan kirinya bergerak.
“Wir-wir-wir... ciat-ciat-ciat...!”
Kakek itu terpaksa bergulingan ke kanan kiri untuk mengelak sambaran sinar hijau dari jarum-jarum yang menyambar susul-menyusul itu. Ketika melihat sinar hijau dan mencium bau harum, ia meloncat bangun sambil berseru.
“Siang-tok-ciam...!”
Nirahai tersenyum ketika melihat kakek itu sudah meloncat sambil mencabut sepasang senjata pusaka peninggalan Suling Emas itu, yaitu sebuah kipas dipegang di tangan kanan sedangkan sebatang suling emas dipegang di tangan kiri. Gadis ini sambil tersenyum memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lututnya ditekuk sedikit, tubuhnya miring menghadapi kakek itu, mengerling ke kanan, mulut tersenyum, tangan kanannya yang memegang gagang payung bengkok itu menodongkan payung ke depan dada, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring berada di depan muka, ibu jarinya hampir menyentuh hidung.
Dilihat begitu saja, kuda-kuda dara ini seperti orang yang sedang mengejek dan mempermainkan lawan, akan tetapi kakek bongkok itu mengenal kuda-kuda dari Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan diam-diam ia mengkirik. Ilmu Pedang Delapan Iblis ini adalah ilmu pedang yang amat hebat dan ganas, dan dahulu menjadi ilmu dari seorang tokoh sakti wanita yang menggemparkan dunia persilatan yang hanya didengar oleh kakek bongkok itu dari dongeng, yaitu wanita sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setan Cilik Beracun (Tok-siauw-kwi) ini bukan lain adalah ibu kandung Suling Emas (baca cerita Suling Emas) yang amat lihai ilmunya dan amat ganas sepak terjangnya.
Dan kini ternyata ilmu yang hebat ini telah terjatuh ke tangan gadis puteri Kaisar Mancu yang mengaku masih berdarah Khitan ini! Memang hatinya sudah mulai percaya, keraguannya menipis, apa lagi ketika ia tadi menyaksikan ilmu pukulan tangan kosong Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti) dan senjata rahasia Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Wangi). Betapa pun juga, kalau belum mengujinya, kakek ini masih belum yakin.
“Marilah, Kakek yang keras kepala! Engkau hendak menguji apakah benar-benar ilmu yang kau lihat tadi berisi, dan aku pun ingin melihat apakah sepasang senjata yang kau keluarkan itu benar-benar asli!” Setelah berkata demikian, Nirahai sudah menerjang maju dengan payungnya. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali.
“Wuuuttttt, singgggg...!” Pedang yang berbentuk payung itu menusuk.
“Cringgggg...!” Suling di tangan kiri kakek itu menangkis ujung pedang payung dan tampak bunga api berpijar.
Keduanya tergetar ke belakang. Nirahai memeriksa ujung payungnya dan terkejut melihat ujung payung yang terbuat dari baja pilihan itu agak lecet! Diam-diam ia memuji suling emas itu yang ternyata benar-benar sebuah senjata pusaka yang amat ampuh, sesuai dengan nama pemiliknya dahulu, yaitu Pendekar Suling Emas.
Sudah menjadi watak kebanyakan ahli silat kalau bertemu lawan tangguh timbul kegembiraannya. Demikian pula dengan Nirahai. Sudah lama dia tidak bertemu lawan yang tangguh dan kini bertemu kakek penjaga kuburan keluarga Suling Emas yang lihai, ia menjadi gembira, dan cepat ia melanjutkan serangannya dengan tusukan bertubi-tubi, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Kakek bongkok ini dahulunya adalah bekas kacung dari keluarga putera Suling Emas yang bernama Kam Liong, kakak tiri Mutiara Hitam. Kam Liong inilah yang mewarisi senjata kipas dan suling ayahnya. Kacung keluarga Kam Liong ini mengabdi sampai tua dan setelah kuburan keluarga Suling Emas tidak dijaga lagi oleh pengawal-pengawal Kerajaan Khitan yang sudah runtuh, dia lalu turun gunung di mana ia bertapa melewatkan hari tuanya, dan menjaga tanah kuburan itu dengan penuh kesetiaan.
Nama bekas kacungnya yang kini menjadi kakek bongkok itu adalah Gu Toan. Dia seorang buta huruf akan tetapi berkat kesetiaannya mengabdi keluarga Suling Emas, keluarga itu menyayanginya dan melatihnya dengan ilmu-ilmu silat keluarga pendekar besar itu. Gu Toan amat rajin dan tekun. Sungguh pun ia buta huruf dan terhitung golongan orang yang kurang cerdas otaknya, namun ketekunannya membuat ia dapat menguasai semua ilmu silat keluarga itu. Akan tetapi tentu saja latihannya tidak sempurna benar.
Betapa pun juga, kalau menghadapi lawan dari luar, kakek ini sukar dicari tandingnya. Kini bertemu dengan Nirahai yang mewarisi ilmu keluarga Suling Emas dan telah melatihnya dengan sempurna, tentu saja kakek itu terdesak hebat. Ia mengenal Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan pedang payung, mengenal pula pukulan Sin-coa-kun yang dilakukan sebagai selingan alam penyerangan Nirahai, akan tetapi karena dia tidak pernah melatih ilmu-ilmu itu secara mendalam, menghadapi terjangan Nirahai itu ia menjadi repot sekali.
“Nona, hentikanlah...!” Tiba-tiba kakek itu mencelat ke belakang dan memandang kagum. “Paduka benar-benar puteri Kaisar yang amat lihai, dan saya mengakui bahwa Paduka telah mewarisi ilmu dari Keluarga Suling Emas. Paduka berhak untuk berziarah dan bersembahyang di kuburan ini. Silakan!”
Nirahai memanggul senjatanya yang kini hanyalah sebuah payung biasa, sama sekali tidak tampak seperti sebuah senjata yang ampuh. Dia memandang kakek bongkok itu. Mulutnya yang selalu tersenyum itu kini kelihatan ditarik keras sehingga wajahnya yang manis nampak sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, siapakah engkau ini, Kakek yang lihai?”
“Nama saya Gu Toan dan dahulu saya adalah kacung dari putera Suling Emas. Hanya itu yang dapat saya ceritakan. Silakan kalau hendak bersembahyang, Nona.”
“Begini, Kakek Gu. Selain hendak berziarah dan memberi hormat kepada kuburan keluarga besar ini, aku pun hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu.”
Kakek itu masih berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan tubuh membungkuk, kedua tangan tergantung di kanan kiri pinggang setelah menyimpan kembali sepasang senjatanya. Kini ia mengangkat muka memandang wajah cantik itu penuh selidik dan bertanya.
“Permintaan apakah itu, Nona? Apakah yang dapat saya lakukan untuk Paduka?”
“Engkau tentu telah tahu bahwa Kerajaan Mancu berhasil menguasai semua daratan di selatan. Akan tetapi, masih ada daerah di barat yang belum mau tunduk, yaitu daerah Se-cuan yang dikuasai oleh Bu Sam Kwi. Kedudukan musuh ini amat kuat dan hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh bantuan orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Kami mengalami kemacetan dan kesulitan untuk menaklukkan daerah itu, yang merupakan daerah terakhir. Kalau Se-cuan sudah takluk, berarti seluruh daratan Tiongkok berada di kekuasaan Kerajaan Ceng kita...”
“Bukan kerajaan kita, Nona. Ingat, saya adalah seorang bangsa Han...”
Nirahai mengerutkan keningnya. “Hemmm..., apakah engkau anti Mancu dan memihak kepada Bu Sam Kwi?”
Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Saya tidak mengenal Bu Sam Kwi, dan saya tidak peduli akan urusan negara, saya hanya bertugas menjaga kuburan suci ini. Dahulu, mendiang pendekar sakti Suling Emas menghilangan semua bentuk permusuhan antar suku bangsa, bahkan Kerajaan Khitan berdarah Han pula. Akan tetapi sekarang... ah, saya tidak tahu tentang urusan kerajaan. Teruskan, apakah yang Paduka kehendaki?”
“Kami ingin menaklukkan Se-cuan tanpa menimbulkan banyak korban di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kaisar kami membutuhkan tenaga orang-orang pandai itu, maka kami ingin menaklukkan mereka tanpa membunuh, bahkan kalau bisa hendak menarik mereka untuk bekerja sama demi negara dan bangsa seluruhnya. Karena itu, kedatanganku ke sini untuk minta pinjam senjata pusaka dari mendiang Suling Emas. Dengan suling sakti milik Suling Emas, kiranya aku akan dapat mempengaruhi para orang gagah itu untuk menakluk dengan damai. Berikanlah suling emas itu padaku, Kakek Gu, untuk kupinjam beberapa lamanya. Kalau sudah selesai tugasku dengan hasil baik, aku bersumpah untuk mengembalikannya kepadamu.”
“Tidak mungkin!” Kakek itu berseru. “Pusaka-pusaka itu adalah benda keramat, yang tidak boleh dibawa pergi oleh siapa pun juga dari sini. Nona sudah menyaksikan sendiri, terpaksa saya membunuh Sepasang Anjing Hitam tadi yang hendak merampas pusaka. Dan entah sudah berapa banyak orang-orang yang tewas di tangan saya karena menghendaki pusaka-pusaka itu. Harap Nona membuang jauh keinginan itu dan meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
“Kakek yang keras kepala! Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan? Engkau tahu sendiri betapa lihainya Pat-mo Kiam-hoat-ku yang tidak akan dapat kau lawan!” Nirahai sudah menggerakkan payungnya.
“Srettt!” Payung yang tadi dipanggulnya itu kini telah menodong dari depan dadanya ke arah kakek itu.
“Wuuuttttt... singgggg!” Kipas dan suling emas sudah tercabut keluar oleh kakek itu sambil berkata, “Nona, memang Pat-mo Kiam-hoat amat hebat. Di dunia ini terdapat dua ilmu mukjizat yang dimiliki mendiang pendekar sakti Suling Emas, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dulu diciptakan untuk mengatasi Pat-sian Kiam-hoat, akan tetapi betapa pun juga, ilmu yang bersih tak mungkin dapat dikalahkan ilmu yang sesat. Dewa yang suci takkan dapat dikalahkan Iblis yang jahat. Saya tidak akan dapat menyerahkan suling ini selama nyawaku masih berada di tubuh ini.”
“Bagus! Engkau memang keras kepala!” Nirahai berseru marah dan payungnya sudah menerjang hebat.
Akan tetapi kini kakek itu mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emasnya, dan kipasnya mainkan ilmu Silat Lo-hai San-hoat yang dahsyat. Angin keras bertiup dari kebutan kipas, menyambar-nyambar muka Nirahai dan setiap kali gadis ini terpaksa miringkan muka atau mengelak oleh sambaran kipas, sinar kuning emas dari suling sudah meluncur, mengarah bagian tubuh berbahaya, disusul dengan totokan-totokan gagang kipas.
“Aiiih...!” Nirahai menggunakan ginkang-nya, tubuhnya melesat ke atas dalam usahanya untuk menghindarkan diri.
Keringat dingin keluar dari jidatnya, dan gadis ini harus mengakui bahwa kakek bongkok itu benar-benar lihai sekali. Ia bersilat dengan hati-hati, menggunakan payungnya sebagai senjata pedang yang menyerang, juga sebagai senjata perisai yang melindungi tubuh. Pertandingan berlangsung seru sekali. Kakek itu menang pengalaman dan juga menang ilmu silat, akan tetapi kalah lincah dan kalah dalam hal perkembangan, taktik dan kecerdikan.
Pertandingan berlangsung seratus jurus lebih dan diam-diam Nirahai harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat memang kalah hebat oleh Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Kalau saja kakek itu menguasai ilmunya dengan sempurna, kiranya tadi-tadi ia sudah dirobohkan lawan.
“Ser-ser-serrr...!” Nirahai tiba-tiba menyambit dengan jarum-jarumnya.
Karena jarak di antara mereka dekat, kakek itu terkejut, memutar kipas dan mengebut jarum-jarum runtuh ke tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nirahai untuk mengirim tusukan kilat dengan ujung payungnya. Kipas itu terbuka, menangkis dan tiba-tiba tertutup, kedua gagang kipas menjepit ujung pedang. Nirahai kaget sekali karena tiba-tiba payungnya tak dapat digerakkan dan tampak sinar kuning emas berkelebat depan matanya. Tahulah puteri ini bahwa nyawanya terancam suling yang ampuh itu.
“Plak-plak...!” Tubuh Nirahai dan tubuh kakek bongkok itu terlempar ke belakang oleh dorongan telapak tangan yang memiliki tenaga hebat tak tertahankan.
Mereka cepat meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang membuat mereka terhuyung dan memandang ke depan. Nirahai terbelalak heran melihat bahwa di situ telah berdiri seorang nenek yang masih memiliki wajah cantik sekali, pakaiannya pun indah dan bersih berdiri dengan sikap agung melebihi keagungan permaisuri kaisar sendiri.
“Ya Tuhan... be... benarkah Paduka ini...?” Kakek bongkok bergoyang-goyang tubuhnya, matanya terbelalak, wajahnya pucat seolah-olah ia melihat setan di tengah hari.
“Gu Toan, apakah matamu telah menjadi lamur karena usia tua dan tidak mengenal aku?” Wanita itu berkata, suaranya dingin melebihi salju.
“Benarkah... benarkah Paduka ini... Maya-siocia (Nona Maya)...?”
Nenek itu tersenyum, bukan dengan mulutnya melainkan dengan matanya. Mata yang amat indah dan sama sekali tidak membayangkan usia tua. “Gu Toan, biar sudah menjadi kakek tua, engkau masih bodoh. Masa aku yang sudah jadi nenek-nenek kau sebut siocia? Sungguh pun aku selamanya tidak pernah menikah dan masih seorang Nona, akan tetapi Nona tua...” Ucapan terakhir ini terdengar bernada duka sehingga Nirahai menjadi heran.
“Ahhh... ampunkan hamba...” Kakek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu. “Hamba kira... hamba dengar bahwa Paduka...” Ia tidak berani melanjutkan.
“Kau kira aku sudah mati?” Nenek itu melanjutkan dan melihat kakek bongkok yang berlutut itu mengangguk, ia menghela napas panjang. “Memang sudah mati..., apakah bedanya dengan mati kalau batin ini sudah kosong dan semangat ini sudah padam? Hanya tubuh yang tak tahu diri ini yang masih belum juga mau mati...”
Ucapan ini terdengar perlahan kemudian tiba-tiba ia sadar dan melanjutkan dengan suara halus namun amat dingin dan penuh wibawa, “Eh, Gu Toan, aku melihat engkau sampai menggunakan sepasang pusaka keramat dan mainkan ilmu simpanan melawan gadis ini. Siapakah dia?” Ia bertanya kepada Gu Toan akan tetapi menoleh kepada Nirahai dan sejenak ia terpesona melihat wajah Nirahai, karena ia seakan-akan melihat bayangannya sendiri dalam air yang jernih.
“Kau... kau seorang gadis Khitan...?”
Nirahai yang sejak tadi masih memandang dengan hati tegang dan heran menggangguk tanpa mengalihkan pandang matanya. Ia dapat mengenal orang sakti, yang sekali bergerak dapat membuat dia dan kakek bongkok terpental ke belakang. “Saya seorang dara Mancu yang berdarah Khitan pula.”
“Dia adalah puteri Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu,” Kakek bongkok itu menerangkan, “akan tetapi berdarah Khitan dan telah mewarisi Pat-mo Kiam-hoat, Sin-coa-kun-hoat dan Siang-tok-ciam. Datang ke sini untuk meminjam suling emas guna menaklukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang membantu Bu Sam Kwi yang belum mau takluk kepada Kerajaan Ceng. Terpaksa hamba menolak dan kami bertempur...”
Nenek itu masih memandang Nirahai penuh selidik. Mendadak tangan kanannya bergerak ke depan. Nirahai tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tangan itu telah meraih ke arah payung yang dipegangnya. Tentu saja ia cepat menggerakkan payungnya untuk mengelak, akan tetapi payungnya itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya, seolah-olah payungnya berubah menjadi seekor burung yang amat kuat dan yang terbang melepaskan diri dari tangannya. Saat ia memandang, ternyata nenek itu telah memegang payungnya dan memeriksanya, membuka menutup dan mencobanya dengan beberapa gerakan menusuk. Nenek itu mengangguk-angguk dan berkata.
“Lumayan juga senjata ini. Sudah memiliki senjata seperti ini, sudah memiliki ilmu-ilmu ampuh peninggalan Keluarga Suling Emas, mengapa masih ingin meminjam suling emas?” Pertanyaan ini bagaikan ujung pedang ditodongkan di depan dada Nirahai yang masih belum kehilangan kaget dan herannya menyaksikan betapa dengan mudahnya nenek itu merampas senjatanya!
Karena maklum bahwa nenek ini amat sakti, dan tahu pula bahwa kalau ia salah jawab dan nenek itu menghendaki, sekali pukul saja ia akan tewas dan ia tidak akan dapat melindungi dirinya dari tangan nenek yang luar biasa ini. Maka Nirahai yang cerdik dan juga yang merasa amat kagum segera menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu, seperti kakek bongkok, dan berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya kepada locianpwe kalau teecu bersalah dalam hal ini. Sesungguhnya teecu secara terpaksa sekali mohon pinjam suling emas itu, karena tugas teecu sebagai pimpinan pasukan pengawal yang bertugas menandingi tokoh-tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng dan membantu pemberontak Bu Sam Kwi. Kerajaan Ceng menghendaki agar orang-orang gagah itu ditaklukkan dengan jalan damai, karena untuk membangun negara yang banyak menderita karena perang, pemerintah membutuhkan bantuan orang-orang gagah itu...”
“Maka sedapat mungkin, penaklukan Se-cuan akan dilakukan tanpa menimbulkan banyak korban di antara orang-orang gagah yang membelanya. Untuk keperluan itulah maka teecu terpaksa mohon pinjam suling keramat, karena senjata pusaka itu amat besar pengaruhnya terhadap para tokoh kang-ouw yang tentu akan menjunjungi tinggi senjata peninggalan Pendekar Suling Emas dan akan suka berdamai dan menakluk. Bukan sekali-kali teecu hendak memusuhi Kakek Gu, akan tetapi karena dia kukuh tidak mau memberikan, dan teecu terpaksa didorong tugas, maka terjadilah bentrokan tadi... baiknya locianpwe melerai, karena kalau tidak tentu teecu sudah menjadi korban kekerasan Kakek itu.”
“Hemmm... hemmm...” beberapa kali nenek itu menggumam dan memandang lebih teliti, kini matanya yang indah menyinarkan rasa kagum dan suka, akan tetapi mulutnya yang dulu di waktu mudanya tentu menggairahkan itu masih saja membayangkan sifat dingin mengejek dan memandang rendah dunia ini.
“Engkau masih muda sekali, cantik jelita dan jelas membayangkan darah Khitan di tubuhmu yang ramping padat. Ilmu kepandaianmu sudah lumayan dan kiranya di dunia ramai agak sukar mencari tandingan. Senjatamu pun baik, tanda bahwa engkau dapat menyelami kitab-kitab peninggalan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dengan sempurna. Bicaramu lancar dan dapat melihat gelagat, tanda bahwa engkau pun memiliki kecerdikan yang mengagumkan. Eh, Puteri yang manis, siapakah namamu?”
Hati Nirahai girang sekali mendengar suara nenek itu dan besar kemungkinan ia akan berhasil meminjam suling emas. “Nama teecu Nirahai, locianpwe.”
“Engkau puteri Kaisar Mancu yang sekarang?” Ia berhenti sebentar lalu menyambung, “Pangeran Dorgan itu apamukah?”
“Benar, locianpwe, teecu puteri Kaisar yang terlahir dari selir. Ibuku adalah Puteri Khitan, masih gadis telah menjadi selir Pangeran yang sekarang menjadi kaisar. Mendiang Pangeran Dorgan adalah Paman Kakekku. Karena itu, biar pun sudah amat jauh, darah Ibuku sedikitnya masih ada keturunan dari Kerajaan Khitan, dan pendekar sakti Mutiara Hitam masih Nenek Buyutku...”
“Hemmm, semua manusia di dunia ini kalau ditelusur, tentu masih ada hubungan keluarga. Tahukah engkau bahwa Mutiara Hitam itu adalah Bibiku sendiri, Bibi Luar? Saudara kembarnya yang menjadi Kaisar Khitan adalah Paman Luarku...”
“Ohhh... harap maafkan, locianpwe, karena teecu tidak tahu maka bersikap kurang hormat.”
“Sudahlah, tak perlu banyak peradatan, kita tidak dapat membanggakan keturunan Khitan yang sudah ambruk! Engkau masih lebih beruntung karena keturunan Kaisar Mancu yang kini berkembang dan mulai jaya. Sekarang ceritakan keadaan kerajaan dan gerakannya ke selatan. Aku sudah mendengar hal itu dan karena tertarik melihat kejayaan Mancu, aku sampai keluar dari tempat pertapanku. Kebetulan bertemu dengan engkau seorang puteri Kaisar sendiri yang memimpin pasukan pengawal. Nah, ceritakan!”
Nirahai girang bukan main. Dengan gaya bicaranya yang lancar ia lalu menceritakan keadaan pemerintah Mancu yang dapat menaklukkan daerah selatan dengan mudah, akan tetapi kini menghadapi kesulitan karena Se-cuan yang dipimpin Bu Sam Kwi masih belum dapat ditaklukkan.
“Akan tetapi teecu percaya,” Nirahai menutup penuturannya, “kalau teecu di-perbolehkan meminjam suling emas, teecu akan dapat mempengaruhi para tokoh kang-ouw yang membela Bu Sam Kwi. Teecu kira, partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain, yang sekarang belum mau membantu Ceng, tentu akan tunduk kalau melihat bahwa teecu mendapat kehormatan memiliki suling keramat peninggalan Suling Emas yang mereka junjung tinggi.”
Nenek itu mengangguk-angguk, dan tiba-tiba ia bertanya kepada kakek bongkok, “Eh, Gu Toan, kau lihat baik-baik bocah ini dan katakan, wajah dan bentuk tubuhnya seperti siapakah enam puluhan tahun yang lalu?”
Kakek itu memandang Nirahai dan berkata, “Tadi pun ketika pertama kali dia muncul, hamba sudah kaget dan teringat betapa serupa puteri ini dengan Paduka dahulu. Seperti buah pinang dibelah dua!”
Nenek itu menghela napas. “Benar, akan tetapi betapa buruk nasibku. Ahhh, kuharap saja engkau yang memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti aku, tidak akan mengalami nasib seburuk nasibku, Puteri Nirahai!” Ketika Nirahai memandang, nenek itu sejenak kehilangan sifat dingin yang membayang di wajahnya, terganti sinar kedukaan yang mendalam. Memang nenek itu sedang mengenangkan semua pengalamannya puluhan tahun yang lalu, di waktu ia masih muda, semuda Nirahai.....
Komentar
Posting Komentar