PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-26


“Gu Toan, gadis ini benar. Kau boleh meminjamkan suling itu untuk selama tiga tahun. Akulah yang kelak bertanggung jawab kalau dia tidak mengembalikannya dalam waktu tiga tahun!”
“Kalau Paduka yang memerintah, hamba tidak akan membantah,” jawab Kakek itu, yang mengeluarkan suling emas dan menyerahkannya kepada Nirahai.
Puteri ini girang sekali, menerima suling kemudian berlutut di depan nenek itu. “Teecu haturkan terima kasih, locianpwe. Dan teecu bersumpah untuk mengembalikan pusaka ini selambat-lambatnya tiga tahun. Kakek Gu, terima kasih dan maafkan kekasaranku tadi.”
Kakek itu hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.
“Teecu mohon diri, hendak kembali ke selatan,” Nirahai berkata.
“Nanti dulu, Nirahai, aku masih sangsi apakah suling itu akan membawa hasil. Orang-orang kang-ouw mempunyai watak yang aneh. Sekali mereka itu mengambil keputusan untuk berjuang, mereka melupakan apa saja dan kiranya belum tentu mereka mau memandang suling itu untuk menghentikan perjuangan mereka. Sebaiknya kalau di samping mencari jalan damai, engkau pun dapat menundukkan mereka dengan kepandaian. Apakah engkau akan mampu menggunakan suling itu untuk menundukkan mereka dengan ilmu silatmu? Dapatkah engkau mainkan suling itu?”
Wajah Nirahai menjadi merah. “Teecu seorang bodoh, dan jika teecu mainkan suling pusaka ini dengan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat, kiranya tidak lebih hebat dari pada kalau teecu menggunakan pedang payung.”
“Hemmm tidak baik kalau begitu. Eh, Nirahai, bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”
Tawaran ini tentu saja diterima dengan hati girang luar biasa oleh Nirahai. “Teecu akan merasa bahagia sekali dapat menerima petunjuk locianpwe.”
“Bagus! Engkau kuambil murid, Nirahai. Dan tempat di sini cukup baik bagiku untuk menggemblengmu beberapa lama agar engkau dapat menggunakan suling itu tidak saja untuk mempengaruhi mereka, akan tetapi kalau perlu untuk mengalahkan dan menaklukkan mereka.”
Kening Nirahai berkerut. “Teecu akan suka sekali tinggal di sini mempelajari ilmu dari locianpwe, berapa lama pun. Akan tetapi, pada waktu ini teecu mempunyai tugas. Sebagai puteri Kaisar, bagaimana teecu dapat lari dari tugas? Selama pemerintah masih membutuhkan tenaga teecu, tak mungkin teecu meninggalkan kerajaan untuk waktu lama. Kalau locianpwe sudi, bagaimana kalau locianpwe saja yang ikut bersama teecu ke kota raja dan mengajar teecu di sana? Teecu percaya bahwa Ayahanda Kaisar akan menerima locianpwe dengan segala kehormatan dan rasa bangga di hati.”
Nenek itu mengangguk-angguk dan mempertimbangkan kata-kata muridnya. “Dahulu Pangeran Dorgan pernah bertemu denganku. Ayahmu tentu hanya mendengar saja namaku, akan tetapi belum pernah bertemu denganku. Baiklah, aku pun ingin sekali menyaksikan dari dekat kemajuan usaha bangsa Mancu yang mengagumkan itu, yang tak pernah dicapai oleh bangsa Khitan. Mari kita berangkat, muridku.”
Nirahai girang sekali. “Harap Subo sudi menunggang joli, biar teecu yang mengiringkan.”
Nirahai bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pemikul joli berlarian ke tempat itu.
Tanpa sungkan-sungkan lagi nenek itu yang dahulu terkenal sebagai Puteri Maya itu masuk ke dalam joli yang segera digotong oleh dua pemikulnya atas perintah Nirahai. Dua orang itu merasa heran bukan main mengapa nenek itu amat ringan, seolah-olah joli itu kosong saja! Nirahai lalu menjura kepada kakek bongkok sebagai penghormatan perpisahan, kemudian mengikuti joli yang diduduki gurunya dengan hati girang bukan main. Suling emas ia selipkan di pinggang, di sebelah dalam bajunya. Sungguh ia amat beruntung, pikirnya. Tidak saja dapat meminjam suling emas itu, bahkan ia telah bertemu dengan seorang nenek sakti luar biasa yang menjadi gurunya!
Setelah melalui perbatasan utara dan bertemu dengan dusun, Nirahai membeli seekor kuda. Kini ia mengikuti joli gurunya yang telah diganti orang lain pemikulnya, yaitu diambil dari dua orang penjaga perbatasan yang kuat.
Gurunya itu amat pendiam, kalau sudah duduk di dalam joli bersila seperti arca, tidak pernah bicara, tidak pernah menjenguk keluar sehingga diam-diam Nirahai merasa kasihan. Untuk menyenangkan hati gurunya, sepanjang jalan Nirahai berusaha untuk menghidangkan masakan-masakan lezat dan menyediakan segala kebutuhan nenek itu. Akan tetapi nenek itu menerima itu dengan sikap dingin.
Pada suatu pagi mereka tiba di luar kota raja. Tembok kota raja sudah tampak dari tempat yang agak tinggi sebelah utara itu dan hati menjadi girang sekali. Sudah beberapa lamanya ia meninggalkan kota raja, akan tetapi perjalanannya yang memakan waktu lama dan amat jauh itu ternyata tidak sia-sia belaka, bahkan hasilnya boleh dibilang melampaui semua harapannya.
Ketika kudanya berjalan perlahan mengiringkan joli yang dipikul oleh dua orang pemikulnya yang semenjak meninggalkan kuburan keluarga Suling Emas telah berganti sampai sepuluh kali itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda berjalan tergesa-gesa dari depan, agaknya baru saja wanita itu meninggalkan gerbang pintu kota raja sebelah utara.
Gadis itu amat cantik, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan tajam sinarnya, juga wajah yang lonjong dengan dagu meruncing ini menarik sekali perhatian Nirahai. Sepintas lalu saja ia tahu bahwa gadis itu tentulah mempunyai darah Mancu dan betapa besar persamaan gadis cantik itu dengan dia sendiri. Mungkin dia lebih jangkung sedikit, akan tetapi perawakan gadis itu pun ramping, dan wajahnya yang manis itu hampir sama dengan wajahnya sendiri.
Gadis itu pun berdiri sambil memandangnya dengan sinar mata tajam menyelidik. Agaknya gadis itu heran melihat dia memanggul sebuah payung, bahkan ketika rombongannya yang terdiri dari dua orang pemikul joli dan kuda yang ditungganginya lewat, gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berdiri di pinggir jalan memandang bengong.
Nirahai tidak mempedulikannya lagi saking girang hatinya sudah hampir tiba di kota raja. Akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan nyaring, “Heiii, berhenti dulu...!”
Nirahai menahan kudanya dan menoleh. Kiranya gadis manis tadi kini datang berlari-lari dan meloncat ke depan kudanya, seolah-olah hendak menghadangnya. Nirahai tersenyum, kagum setelah kini dekat melihat betapa gadis ini benar-benar cantik jelita, dengan kulit muka yang halus dan berwarna putih kemerahan, sepasang mata yang begitu indah seperti bintang pagi.
“Eh, ada keperluan apakah engkau menghentikan aku?” Nirahai tidak menjadi marah. Biar pun dia seorang puteri kaisar, namun sama sekali Nirahai tidak gila hormat. Apa lagi ia maklum bahwa gadis ini tentu belum mengenalnya, maka sikapnya yang kasar itu pun boleh dimaafkan. Sifat ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaannya merantau di dunia kang-ouw sehingga sifatnya terlepas dan ia tidak begitu mementingkan kedudukan dan kehormatan sebagai seorang puteri bangsawan tinggi.
Gadis itu bukan lain adalah Lulu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu meninggalkan lembah Sungai Huang-ho di mana selama setahun ia melatih diri dengan ilmu silatnya, di bawah petunjuk Lauw-pangcu dan terutama sekali Sin Lian yang telah menjadi kakak angkatnya.
Dia pergi menuju ke kota raja dan karena ia maklum bahwa keadaannya di kota raja berbahaya, biar pun di situ ia menyamar sebagai pria, dan ketika ia tidak berhasil mendapatkan jejak kakaknya, ia lalu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang utara. Dia baru saja datang dari selatan dan tidak pernah mendengar tentang Han Han, maka sebaiknya kini melanjutkan usahanya mencari jejak Han Han ke hutan. Akan tetapi baru saja keluar dari pintu gerbang, ia bertemu dengan Nirahai yang menunggang kuda.
Melihat Puteri Mancu yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, Lulu tertarik sekali maka ia memandang penuh perhatian. Akan tetapi ketika ia melihat payung yang dipegang Nirahai, ia teringat akan cerita para tokoh Hoa-san-pai di Pek-eng-piauwkiok tentang seorang Puteri Mancu amat lihai bernama Puteri Nirahai yang bersenjata payung, teringat akan cerita tentang Teng Lok tokoh Hoa-san-pai yang dalam penyelidikannya bertemu dengan puteri Kaisar Mancu bersenjata payung yang telah membuntungi lengan orang she Teng itu. Puteri Mancu bernama Nirahai yang telah mengadu domba tokoh Hoa-san-pai dengan tokoh Siauw-lim-pai sehingga akibatnya, Han Han yang difitnah dan menjadi korban, dimusuhi kedua pihak.
“Apakah namamu Nirahai?”
Nirahai membelalakkan matanya dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, begitu sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat. Pertanyaan dengan sikap paling kurang ajar yang pernah ia alami selama hidupnya! Ia tidak marah, bahkan tersenyum memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk, ingin mendengar suara gadis itu lebih banyak. Suara gadis itu merdu dan nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan kejujuran dan kepolosan yang mengharukan.
“Jadi engkaukah yang bernama Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, bukan?”
Kalau ia menghadapi pertanyaan seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai akan menjadi terkejut dan berhati-hati. Akan tetapi menerima pertanyaan begitu langsung dari mulut yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai untuk membohong lagi.
“Bagaimanna engkau bisa tahu?”
“Hemmm, payungmu itu adalah senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali... jahat sekali dan aku harus membunuhmu!”
Kembali hati Nirahai merasa geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan oleh seorang tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan hendak membunuhnya.
“Eh, sabar dulu. Engkau siapakah?”
“Aku Lulu. Perbuatanmu yang curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita. Engkau cantik sekali, sayang... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau jahat!”
“Nirahai, siapakah bocah ini?” Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua pemikul joli masih menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri seperti patung. Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek itu turun, akan tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di antara mereka menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa mereka menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli.
Lulu menengok, memandang nenek itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula memandang Nirahai yang kini telah meloncat turun dari kuda. “Ah, aku pernah bertemu denganmu...! Engkau ini penghuni Pulau Es... ya benar...!” Lulu menudingkan telunjuknya ke arah Nirahai.
“Apa?! Pulau Es...? Kau gila agaknya...!” Nirahai menjawab.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin dan Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan tubuh Lulu menghadapinya sambil membentak.
“Apa maksudmu? Penghuni Pulau Es? Hayo katakan apa yang kau maksudkan!”
“Lepaskan tanganmu! Jangan kau cengkeram pundakku! Nenek jahat engkau...!” Lulu berteriak meronta-ronta, akan tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah telah melekat di pundaknya!
“Lepaskan...! Kalau tidak...”
“Hem, bocah liar. Kalau tidak engkau mau apa?” Nenek itu berkata.
“Kupukul mampus kau!”
Diam-diam nenek itu kagum sekali melihat keberanian Lulu, maka ia menjawab, “Mau pukul? Boleh, pukullah!”
Karena Lulu dapat menduga bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat, terpaksa harus ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu amat lihai. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke arah perut dan dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang sudah ia latih dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sinkang-nya yang ia dapat ketika berlatih di Pulau Es.
“Desss! Desssss!”
Lulu menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air, akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dengan seribu batang jarum! Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu, matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.
“Itulah Hong-in-bun-hoat...! Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sinkang-mu itu... apakah Swat-im Sin-ciang?”
Lulu masih meringis kesakitan, akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu. “Ternyata engkau memiliki ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan. Apa itu Hong-in-bun-hoat? Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu ilmu-ilmu itu. Aku hanya belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di antara kalian ini yang kulihat patungnya di Pulau Es? Tubuhnya seperti dia...” Ia menuding Nirahai. “Akan tetapi matanya seperti matamu!” Ia melihat nenek itu. “Akan tetapi yang mana pun juga di antara kalian, semuanya jahat, memang di antara mereka bertiga di Pulau Es itu, yang satu itu paling jahat...!”
“Apa kau bilang...? Apa kau bilang...?” Nenek itu berkata dengan suara lirih gemetar, tubuhnya terhuyung.
“Subo...!” Nirahai meloncat, mendekati nenek itu.
Akan tetapi dengan tangannya nenek itu menolak Nirahai yang hendak menolongnya, kemudian setelah menghela napas tiga kali ia dapat menguasai hatinya. Sekali melangkah ia telah menggerakkan tangan menangkap tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan pandangan matanya. Ia hendak meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika nenek itu memijat-mijat kedua tangannya yang membengkak merah.
Lulu juga seorang yang cerdik dan ia mengerti bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang patungnya ia lihat di Pulau Es. Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek ini, teringatlah ia akan patung itu, hanya karena patung itu cantik dan muda seperti Nirahai, maka ia mengira bahwa Nirahai-lah orangnya yang patungnya ia lihat di sana. Kini ia mengerti bahwa biar pun ada persamaan dengan patung itu dan Nirahai, akan tetapi sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini di waktu muda.
Dan ia pun dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan keharuan besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak tentang Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua tangannya yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek. Kalau tidak mempunyai maksud demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya! Ia harus bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan ditotok dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan tetapi dia sudah memutar otak mencari akal.
“Siapakah namamu?” Nenek itu bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang tajam.
“Namaku Lulu.”
“Engkau gadis Mancu?” Kini nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu.
Lulu menjawab dalam bahasa Han, “Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka berbahasa Han.”
Nenek itu mengerutkan alisnya, “Hmmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa bicara tentang Pulau Es.”
“Aku tidak mau bicara!”
Nenek itu membelalakkan matanya dan dari mata yang lebar itu memancar -kebengisan yang membuat bulu tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa berkedip. Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun tajam, bening dan polos.
“Kalau aku paksa padamu, kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau bercerita?”
Tiba-tiba Lulu tertawa, suara ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah terdengar merdu nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum, bahkan Nirahai juga tersenyum lebar. “Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah Mancu yang diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah lama kau kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini.”
“Hemmm, jadi Ouwyang Seng manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat, kaki tanganmu pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si Setan Botak dan Si Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm... cocok sekali!”
Nirahai terkejut. “Aihhh, engkau tahu...?”
“Tentu tahu! Malah aku telah ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan pelayan istana. Akan tetapi aku lari dari istana...”
Nirahai tertawa lagi. Tak dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan tetapi wajahnya begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.
“Engkau aneh. Bukankah senang sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu, menjadi pelayan di istana Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa engkau melarikan diri?”
“Aku tidak kerasan! Aku akan mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu yang jahat!”
Nirahai mengerutkan keningnya. Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak gadis ini yang bernama Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih aneh lagi.
“Lulu, lekas kau bercerita tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan seluruh tulang di tubuhmu!” Kembali Nenek Maya menghardik.
Nirahai maklum akan kebengisan seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya mau, sekali turun tangan tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang mampu menghalanginya. “Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja.”
Akan tetapi Lulu yang sudah mengatur siasat itu menjawab, “Aku tidak peduli apakah tulang-tulangku akan dipatahkan ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu. Aku tidak takut mati. Memang aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita cantik bengis itu yang berhati jahat! Aku baru mau bercerita kalau syaratku dipenuhi.”
Nirahai memang tidak ingin mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu, ia sudah merasa suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai (ganjil) ini. “Apakah syaratnya?”
“Pertama, kalau aku dibawa ke istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena melarikan diri.”
Nirahai tersenyum. “Baiklah. Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun untukmu.”
“Ke dua, kalau kakakku tidak terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia untukku. Akan tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas dendam kepada pembunuhnya!” Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan kemarahan.
Nirahai mengangguk. “Baik-baik, itu pun sudah adil.” Diam-diam ia merasa bahwa kalau benar Han Han sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana gadis ini akan dapat membalas dendam?
“Lekas ceritakan tentang Pulau Es!” Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan sudah melangkah maju setindak ke dekat Lulu.
Melihat hal ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu cepat berkata, “Lulu, syarat-syaratmu telah dipenuhi, lekas engkau bercerita.”
“Masih ada lagi syaratku, yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun dan locianpwe ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau locianpwe suka mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya!”
“Wirrrrr...!”
Tangan nenek itu bergerak dan biar pun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya sudah disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung pada rambutnya yang dicengkeram! Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak mengeluh dan hanya membelalakkan mata, dan dengan matanya yang lebar itu dia sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor kelinci dipegang kedua telinganya.
“Bocah setan! Mengapa harus mengambilmu sebagai murid?” bentak nenek itu.
Diam-diam Lulu ngeri juga. Di tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak berdaya. Otaknya bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini ia telah cukup tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan ilmu kepandaian tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali ia dan kakaknya mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa menjadi murid nenek ini tentu ia akan menjadi amat lihai. Ia pun tahu bahwa ia boleh agak ‘menjual mahal’ karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin mendengar tentang Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal dan menahan harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bernyawa lagi. Cepat ia menjawab.
“Locianpwe yang baik, peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau Es pun tidak boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang mentaati pesan tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah bersumpah takkan membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid locianpwe, berarti locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat menceritakan tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekali pun, kalau locianpwe tidak menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?”
Cekalan rambutnya mengendur dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk. “Engkau sudah sampai di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Baiklah, engkau menjadi muridku bersama Nirahai.”
“Terima kasih, Subo!” Lulu dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
Nirahai juga girang sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata, “Sumoi yang baik!”
Akan tetapi Lulu melotot kepadanya. “Suci, awas kalau sampai Han-koko kau bunuh. Biar engkau menjadi suci-ku, engkau akan kubunuh pula!”
“Bocah kurang ajar, lekas ceritakan!” kembali nenek itu membentak.
“Subo, urusan rahasia yang sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan seperti ini? Lebih baik di dalam kamar, di istana... kalau Subo hendak ke sana.”
Saking inginnya segera mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan sekali berkelebat ia lenyap. Hanya terdengar suaranya, “Nirahai, kami menantimu di dalam istana!”
Nirahai memandang bengong dan menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian Lulu dan diam-diam ia menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat. Dia tidak akan heran kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia lalu memasuki joli dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan bengong menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli melanjutkan perjalanan ke kota raja.....
********************
Di luar kota Tai-goan terdapat sebuah dusun yang cukup ramai. Dusun itu bernama Leng-chun, letaknya di sebelah selatan kota Tai-goan dan di tepi Sungai Fen-ho yang mengalir ke selatan dari kota Tai-goan. Karena Sungai Fen-ho ini terus mengalir ke selatan sampai bergabung dengan Sungai Huang-ho yang mengalir ke timur dan sampai ke Terusan Besar, maka sungai ini merupakan sungai yang ‘hidup’, yaitu dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan umum untuk mengangkut penumpang dan barang. Selain lebih aman dan murah, juga tidak melelahkan dari pada kalau melakukan perjalanan melalui daratan yang banyak diganggu rampok dan melalui gunung-gunung yang sukar dilewati.
Karena ramainya sungai ini, maka dusun Leng-chun merupakan dusun yang makmur pula, banyak dilewati kaum pedagang dan banyak pula barang-barang hasil bumi diangkut ke timur melalui dusun ini. Banyaknya kaum pedagang dan pelancong membuat dusun ini ramai dan banyak dibuka rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan, yang sungguh pun kecil-kecil dan sederhana namun cukup memenuhi kebutuhan para saudagar dan pelancong. Dusun kecil ini dengan sendirinya menjadi pusat pertemuan orang-orang dari luar kota sehingga banyak terdapat orang asing yang bicara dengan bermacam dialek.
Pada suatu hari, seorang laki-laki yang aneh memasuki sebuah rumah makan di dusun Leng-chun. Laki-laki ini masih muda, wajahya tampan sekali, sinar matanya aneh dan tajam, namun di antara kedua alisnya banyak guratan yang menjadi tanda bahwa semenjak kecil pemuda ini sudah mengalami banyak penderitaan hidup. Pakaiannya sederhana, serba putih dengan garis-garis biru tua. Yang amat menarik perhatian orang bukanlah pakaiannya karena pakaian itu sederhana, bahkan orang-orang kang-ouw yang suka lewat di tempat ini dengan pakaian mereka yang aneh-aneh pun sudah dianggap biasa oleh penduduk di situ.
Rambut itu hitam panjang dibiarkan terurai ke atas pundak dan punggung, sama sekali tidak diikat atau digelung seperti biasa. Bahkan semenjak keluar peraturan dari pemerintah Kerajaan Ceng yang mengharuskan penduduk pribumi menguncir rambut mereka, banyak penduduk menguncir rambut lalu menyembunyikan kuncir di bawah topi agar tidak tampak. Akan tetapi pemuda ini membiarkan rambutnya terurai, dikuncir pun tidak!
Juga kakinya amat menarik perhatian karena kaki itu tinggal sebuah. Kaki kirinya buntung. Pemuda itu berjalan dibantu tongkatnya, sebatang tongkat kayu yang butut, yang dipegang dengan tangan kiri dan dipergunakan sebagai pengganti kakinya. Pemuda itu berjalan perlahan-lahan dan agaknya dia sudah mahir menggunakan tongkat, buktinya ia tidak kelihatan pincang, biar pun ia hanya berjalan dengan sebelah kaki.
Pemuda tampan berkaki buntung dan berambut panjang terurai ini bukan lain adalah Han Han. Setelah gurunya yang baru, Nenek Khu Siauw Bwee yang buntung pula kakinya menggemblengnya secara tekun dan sudah membolehkah dia keluar dari daerah tersembunyi itu, Han Han lalu muncul pula di dunia ramai dan pertama-tama yang ia kerjakan adalah mencari adiknya.
Pada pagi hari itu ia tiba di Leng-chun, dalam perjalanannya mencari Lulu yang ia mulai dari tempat di mana Lulu diculik Ouwyang Seng, yaitu ke kota raja. Ia dapat menduga bahwa Lulu setelah ditawan oleh pemuda bangsawan itu tentu dibawa ke kota raja, maka ke sanalah ia menuju dan pagi hari itu selagi melewati Leng-chun, perutnya merasa lapar dan ia lalu memasuki sebuah rumah makan. Dia tidak mempunyai uang sekeping pun, akan tetapi perutnya amat lapar dan ia bersedia menukarkan tenaganya untuk beberapa potong bakpauw atau sepiring nasi bersama semangkok arak.
“Lopek, maukah lopek memberi aku beberapa potong bakpauw itu? Perutku lapar sekali!”
Ucapan Han Han ini nyaring, tidak malu-malu sungguh pun di situ banyak duduk para tamu menghadapi meja dan ada beberapa orang tamu sudah menoleh ke arahnya ketika mendengar ini. Beberapa orang terdengar sudah mengomel.
“Hemmm... di mana-mana ada saja pengemis, seperti lalat saja!”
Han Han mendengar dengan jelas omelan ini, akan tetapi ia tidak peduli, tidak pula marah atau merasa terhina, bahkan menoleh pun tidak ke arah orang-orang yang mengomel itu. Ia hanya menghadapi koki rumah makan yang gendut, memakai topi bundar dengan kain lap di pundak dan yang sedang memanaskan bakpauw di sudut rumah makan. Tiap kali koki ini membuka penutup tumpukan bakpauw yang dimasak, bau sedap menyengat hidung, membuat Han Han menelan ludah. Sudah lama dia tidak makan masakan enak, apa lagi bakpauw. Di sepanjang jalan ia hanya makan buah-buah, daun-daun muda, dan minum air gunung.
Koki gemuk itu menoleh dan mengernyitkan hidung ketika melihat Han Han. Akan tetapi ketika bertemu dengan pandang mata yang halus namun tajam menusuk itu ia menelan kembali makian yang sudah keluar ke ujung lidah. Sambil menggerakkan kedua tangan untuk menyatakan bahwa ia tidak berdaya dalam hal itu, ia berkata.
“Wah, mana bisa, orang muda? Aku bekerja di sini untuk menjualkan bakpauw ini, kalau diminta begitu saja dan kuberi, bisa-bisa gajiku akan dipotong habis oleh majikan. Bakpauw ini bukan untuk disedekahkan kepada orang yang minta.” Dia tidak berani menyebut pengemis, karena koki ini maklum bahwa banyak orang kang-ouw berkeliaran di tempat itu dan melihat pandang mata pemuda ini, benar-benar menimbulkan rasa seram di hati.
Han Han tersenyum ramah. Koki itu makin heran dan curiga. Kalau pengemis, mengapa begini tampan dan giginya begitu putih bersih dan berderet rapi serta kelihatan kuat.
“Ucapanmu tepat sekali, Lopek. Aku pun bukan sembarangan mengemis atau minta dengan percuma. Tolong sampaikan kepada majikanmu bahwa karena perutku lapar, aku minta dan setelah kenyang, aku akan membayar makananku dengan tenaga, boleh disuruh bekerja apa saja untuk membayar makananku.”
Wah, pemuda ini ternyata benar-benar bukan pengemis, pikir si koki dengan hati lega. Ia merasa bangga akan wawasannya tadi sehingga ia tidak terburu nafsu memaki dan mengusir pemuda ini sebagai pengemis. “Ah, kalau begitu, tunggulah sebentar!”
Dengan gerak langkah kaki lucu, pantatnya yang membusung kebanyakan daging itu megal-megol seperti larinya seekor bebek, koki itu lari masuk ke dalam dan bicara kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai majikan dan yang kepalanya botak. Si botak itu menghentikan pekerjaannya menghitung-hitung dengan swipoa, lalu miringkan kepala untuk memandang ke arah pemuda kaki buntung yang berdiri di depan pintu. Matanya agak lamur dan juling sehingga kalau melihat orang di tempat agak jauh ia harus miringkan kepalanya, baru kelihatan agak jelas. Kemudian ia bangkit berdiri malas-malasan, berjalan keluar diikuti koki yang megal-megol
Sejenak majikan restoran itu memandang Han Han dari kepala sampai ke kaki, terutama pada kaki buntung itu, lalu bertanya, “Orang muda, engkau bisa bekerja apakah?”
“Apa saja, asal aku mendapat makan,” jawab Han Han sederhana sambil memandang ke arah tumpukan bakpauw yang ditutup.
“Hemmm... dengan... eh, maaf... kakimu yang buntung sebelah, engkau dapat bekerja apakah?” Majikan restoran itu mengurut-urut dagunya, berpikir-pikir. Dia mau menolong pemuda ini, akan tetapi dia pun tidak mau rugi. Segala sesuatu bagi majikan ini harus ia perhitungkan dengan swipoa, jangan sampai rugi!
“Loya, pagi ini kebetulan sekali A-ji mangkir, kabarnya sakit. Bagaimana kalau dia ini membantu melayani tamu?”
Pandang mata majikannya itu menimbang-nimbang. Biar pun kaki kirinya buntung, akan tetapi pemuda ini bersih dan menyenangkan, tidak menjijikkan. Apa lagi kakinya yang buntung itu pun tertutup celana buntung sehingga tidak kelihatan. Juga berdirinya tegak, walau pun hanya dengan kaki satu dibantu tongkat.
“Baiklah, pagi ini engkau boleh makan bakpauw sekenyangmu, siang dan malam nanti makan nasi. Akan tetapi engkau harus membantu kami menjadi pelayan selama sehari semalam. Bagaimana?”
Sebetulnya Han Han merasa keberatan di dalam hatinya. Dia hanya ingin makan pagi itu kemudian melanjutkan perjalanannya ke kota raja. Akan tetapi ketika ia melirik ke arah para tamu, ia melihat seorang laki-laki muda bertubuh tegap berwajah gagah duduk bersama seorang temannya yang juga tegap dan gagah. Dan di meja lain tampak empat orang mengelilingi meja dan tertawa-tawa sambil mengobrol, akan tetapi sikap empat orang ini seperti mengejek dua orang itu.
Mereka mengobrol sambil memandang-mandang kedua orang itu, tertawa-tawa dan pandang mata mereka menantang sekali. Hatinya tertarik. Agaknya di tempat ini banyak orang kang-ouw bertemu dan agaknya ia akan melihat banyak dan mendengar banyak. Ia lalu mengangguk. Tidak mengapalah perjalanannya terlambat sehari di tempat ini.
“Baiklah, aku terima syarat itu.”
Setelah majikan itu kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya mainkan swipoa sehingga ramai terdengar ketrokan swipoa, koki itu tersenyum lebar dan berkata, “Aku senang sekali mendapat bantuanmu. Nah, makanlah bakpauw ini!” Koki itu mengambil dua butir bakpauw dengan sumpitnya yang panjang dan meletakkannya di atas piring.
Han Han menyambar bakpauw itu dan makan dengan lahapnya. Ia makan sampai habis lima butir, barulah perutnya kenyang dan seleranya terpuaskan. Setelah minum air teh panas, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda bertubuh tegap memanggil.
“Bung pelayan!”
Koki itu memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada Han Han. Han Han lalu meletakkan mangkok tehnya dan berjalan cepat ke arah meja tamu yang dua orang itu. Si koki memandang langkahnya sejenak, kemudian menggeleng-geleng kepala sambil menggumam seorang diri, “Kasihan...!”
“Ji-wi memanggil pelayan?” Han Han bertanya dengan sikap hormat kepada dua orang itu.
Si pemuda yang bertubuh tegap memandangnya sejenak, terutama kepada kakinya yang buntung, lalu bertanya, “Engkau pelayan?”
“Benar, Kongcu, mulai saat ini sampai malam nanti. Kongcu hendak memesan apakah?”
“Tolong ambilkan tambahan sekati bakmi dan seguci arak!”
“Baik, Kongcu!” Han Han memutar tubuh dan atas isyarat koki yang memanaskan bakpauw ia lalu pergi ke tempat yang ditunjuk, yaitu ke bagian dapur di belakang.
Ternyata rumah makan yang terdiri dari dua ruangan itu penuh tamu. Ketika ia melewati meja di mana duduk empat orang kasar yang bercambang bauk, seorang di antara mereka melonjorkan kaki, seperti tidak disengaja akan tetapi sesungguhnya disengaja. Han Han tentu saja dengan mudah dapat melewati kaki itu, akan tetapi ia ingat akan kedudukannya sebagai pelayan dan berkata, “Maaf, harap suka memberi jalan, saya hendak lewat.”
Orang itu brewok dan matanya bundar besar yang kini melotot kepada Han Han. “Apa katamu? Kau tidak bisa menyebut taihiap? Kami adalah pendekar-pendekar besar, tahu?”
Han Han tersenyum. “Maaf, taihiap, karena saya tidak tahu maka....”
Orang itu menarik kakinya. “Sudah, pergilah. Memutari meja kami! Kakimu menjijikkan!”
Han Han membungkuk, lalu terpaksa mengambil jalan mengitari meja itu, berloncatan kecil dibantu tongkatnya, terus ke dapur melaporkan pesanan dua orang itu. Koki di dapur sudah tahu bahwa ada seorang pelayan baru yang menggantikan A-ji yang mangkir. Tanpa bertanya koki ini lalu menyediakan pesanan itu dan Han Han diberi sehelai kain lap yang ia sampirkan di pundak. Kemudian ia membawa baki dengan tangan kanan di atas pundak, menghampiri dua orang pemesannya sambil mengitari meja empat orang brewok. Sambil mengempit tongkatnya, dengan kedua tangan Han Han menghidangkan bakmi di meja dua orang itu.
“Kasihan!” kata pemuda tampan bertubuh tegap sambil memandang Han Han. “Kenapa untuk mendapat makan saja engkau yang buntung harus menjadi pelayan. Sobat, kalau kau perlu makan, makanlah, biar kami yang bayar. Dan ini sedikit uang untuk bekal...”
Han Han membelalakkan mata dan merasa berterima kasih sekali. Dia mengenal orang baik, akan tetapi dia juga tidak mengharapkan pertolongan orang. Ia menjura dan berkata.
“Terima kasih, Kongcu. Kongcu seorang yang baik sekali. Akan tetapi maaf, saya hanya menerima bantuan yang dapat saya balas. Majikan restoran ini memberi saya makan, tentu saja saya harus membalasnya sekuat kemampuan saya.” Ia menjura lagi untuk mengambil seguci arak yang dipesan, lalu meletakkannya di atas meja dengan sikap hormat, dipandang oleh dua orang gagah itu dengan kagum. Tamu baru datang dan Han Han cepat menyambut dan melayani pesanan mereka. Ia mulai merasa senang juga dengan pekerjaan ini.
“Sungguh mengagumkan!” kata pemuda itu kepada temannya yang juga gagah dan usianya sudah ada empat puluhan tahun. “Biar pun dia pincang kakinya, akan tetapi tidak pincang batinnya, masih mengenal budi! Alangkah banyaknya orang sekarang yang lupa akan budi, lupa akan nenek moyang, lupa akan bangsa sehingga tidak segan menjual negara!” kata-kata pemuda itu penuh semangat.
“Memang, Hiantit. Orang yang pincang dan lemah masih mempunyai semangat dan kejujuran, seperti watak patriot. Sebaliknya, betapa banyaknya orang yang kuat dan gagah akan tetapi sebetulnya lemah dan mabuk oleh harta dan kedudukan, tidak segan membantu penjajah!” kata orang yang setengah tua.
“Omongan seperti kentut!” Tiba-tiba seorang di antara empat orang kasar di meja sebelah, yang dahinya codet, menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok tergetar dan sebagian isinya tumpah di meja. “Omongan pemberontak! Di waktu kerajaan baru belum membahagiakan rakyat pura-pura menjadi patriot! Ha-ha-ha, betapa banyaknya manusia plin-plan seperti itu!”
Keadaan menjadi tegang. Biar pun tidak secara langsung saling memaki, namun omongan kedua pihak sudah saling mengejek.
“Ciang-lo-enghiong, banyak pendapat yang sesat seperti itu. Orang-orang bijaksana jaman dahulu berkata Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (membela rakyat membela negara, adalah perbuatan paling mulia). Kalau membaliknya dari pada membela negara dan memihak penjajah, itu namanya penjilat dan tidak berharga!” kata pemuda gagah tadi sambil menghirup araknya. Mukanya agak merah, mungkin karena terlalu banyak minum, mungkin juga karena marah.
“Memang demikianlah, So-hiantit. Akan tetapi bicara kepada orang yang berotak angin, apa artinya? Sama dengan berteriak di padang pasir, sayang kalau ucapan baik-baik dihamburkan saja. Gentong kosong berbunyi nyaring akan tetapi tidak ada isinya. Huhhh!” kata yang tua.
“Mulut bau busuk! Asal terbuka saja mengeluarkan bau busuk! Eh, Sam-wi Suheng, akan percumalah kita dikenal sebagai Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Besi) kalau tidak membersihkan dusun ini yang agaknya terdapat banyak lalat hijau dari Se-cuan! Yang jelas di sini bau dua ekor lalat hijau yang agaknya baru keluar dari kakus. Baunya bukan main!” kata seorang di antara empat laki-laki brewok yang hidungnya besar. Si Codet dan dua orang temannya tertawa bergelak sambil menuding-nuding ke arah dua orang itu.
Keadaan makin tegang dan banyak tamu tergesa-gesa membayar makanan yang belum habis, bahkan yang baru masuk sudah keluar lagi tidak jadi memesan makanan. Majikan restoran berjalan ke sana ke mari membawa swipoanya, wajahnya pucat. Koki gemuk berdiri di dekat tumpukan bakpauw dengan kaki menggigil.
Melihat ini, Han Han segera menghampiri meja empat orang brewok itu dan menjura sambil berkata, “Apakah Su-wi Taihiap hendak memesan makanan tambahan?”
Si Codet menoleh dan menepuk-nepuk pundak Han Han sambil tertawa. “Inilah dia seorang patriot sejati, ha-ha-ha!” Tiga orang kawannya juga terbahak.
Orang ke Tiga yang ada tahi lalatnya di ujung hidung berkata mengejek, “Eh, pelayan patriot, apakah engkau kehilangan kakimu di medan juang? Ha-ha-ha, agaknya engkau dahulu pelayan di Se-cuan dan karena kekurangan makan lalu lari ke sini!”
Orang ke empat yang matanya sipit sekali menekan perutnya saking menahan ketawa lalu berkata, “Eh, pelayan patriot. Coba katakan, kami adalah Kang-thouw Su-liong, dan kami membenci para pemberontak di Se-cuan. Pemerintah baru amat bijaksana, dapat menggunakan orang pandai untuk membikin makmur hidup rakyat. Akan tetapi para pemberontak di Se-cuan memancing-mancing perang, mengadakan kekacauan dan membikin sengsara rakyat yang sudah terlalu banyak menderita akibat perang. Katakan, kalau kami memihak kerajaan baru yang bagaikan sinar matahari sehabis hujan memberi harapan baru, tidakkah pendapat kami benar?”
“Kalau berani menyalahkan, kupatahkan lagi kakimu yang tinggal sebelah!” kata Si Hidung Besar.
Han Han berkata dengan suara tenang, “Menurut pendapat saya yang bodoh, manusia di dunia berhak memiliki pendapat masing-masing, asal ada dasar kebenarannya. Kalau Su-wi yang gagah perkasa membela pemerintah baru mengingat kepentingan rakyat, maka pendapat itu adalah benar sekali. Pendapat seseorang dapat dinilai dari dasarnya, atau pamrihnya. Kalau dasar dan pamrihnya baik, maka pendapat itu adalah baik.”
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Engkau pincang, akan tetapi pendirianmu jejeg. Untuk pendirian yang bagus itu engkau harus kami hadiahi secawan arak!” kata Si Codet sambil mengambil secawan arak, lalu diberikan kepada Han Han.
Untuk tidak menimbulkan keributan, terpaksa Han Han minum arak itu.
“Terima kasih, taihiap.” Ia lalu terpincang-pincang meninggalkan meja dan ketika lewat dekat meja dua orang gagah itu ia berhenti dan bertanya, “Apakah ji-wi membutuhkan sesuatu?”
Dua orang itu bertukar pandang, dan yang tua menyentuh lengan Han Han sambil berkata, “Orang muda, biar pun kakimu buntung, agaknya engkau bukanlah seorang yang bodoh dan suka bicara sembarangan. Juga sikapmu bukan seperti penjilat yang hanya bicara untuk menyenangkan orang karena takut.”
Ia berhenti sebentar, keadaan sunyi sekali. Empat orang di meja sebelah sama sekali tidak mengeluarkan suara, agaknya mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk meledak marah kalau ada omongan yang terang-terangan mengenai mereka. Para tamu lain yang masih berada di situ sudah pindah meja, para koki dan pelayan bersembunyi di sudut terjauh.
“Agaknya engkau memiliki pandangan luas dan tidak berat sebelah. Katakanlah, orang muda. Orang yang rela berkorban jiwa demi rakyat dan negara, yang mempertaruhkan setiap jengkal tanah airnya dari kuku penjajahan, tanpa pamrih untuk keuntungan diri sendiri dan semata-mata berjuang karena merasa bahwa hal itu merupakan panggilan tanah air, merupakan tugas kewajiban seorang gagah, bagaimana pendapatmu akan pendirian orang ini? Salahkah dia? Atau gagah perkasa?”
Dengan suara tetap tenang Han Han yang ingin meredakan api yang mulai membakar di antara dua meja itu, menjawab, “Pendirian itu pun benar dan tepat sekali, Lo-enghiong. Seorang yang berani membela negara, asal dengan dasar sebagaimana yang Lo-enghiong sebutkan tadi, bukan dasar mencari jasa dan keuntungan, dialah seorang patriot sejati yang patut dijadikan teladan selagi hidup dan patut dipuji sebagai pahlawan setelah gugur.”
“Bagus sekali! Tidak salah wawasanku bahwa engkau memang bukan pemuda sembarangan. Nah, minumlah arak bersama kami, orang muda!” Orang gagah itu lalu memberi arak secawan penuh kepada Han Han yang terpaksa menerimanya dan meminumnya.
“Ciang-lo-enghiong, marilah kita pergi dari sini. Tempat ini amat tidak menyenangkan, karena terlalu banyak penjilat-penjilat dan terlalu banyak anjing. Gonggong anjing biasa masih enak didengarkan, akan tetapi gonggong empat ekor anjing penjilat sungguh memuakkan. Yang ada di sini hanyalah sahabat buntung ini, yang ternyata berjiwa patriot dan gagah!”
“Setan!” Si Laki-laki Brewok yang bermata sipit menampar meja di depannya sambil berdiri dan menunding ke arah pemuda gagah. “Siapa yang kau maki anjing?”
Pemuda gagah itu pun bangkit berdiri, dadanya yang bidang dikembangkan dan ia pun menuding. “Siapa yang kau maki setan?”
“Aku memaki kalian setan-setan pemberontak!”
“Dan aku memaki kalian anjing-anjing penjilat!”
“Keparat!” Empat orang laki-laki brewok itu menyambar sumpit mereka dan sekali menggerakkan tangan, delapan batang sumpit menyambar ke arah dua orang gagah itu yang juga sudah bangkit berdiri. Akan tetapi dengan lincah mereka itu dapat mengelak, bahkan masing-masing telah berhasil menyambar dua batang sumpit.
“Makanlah senjata kalian!” teriak yang tua dan mereka berdua mengembalikan empat batang sumpit itu dengan sambitan kuat ke arah empat orang penyerang mereka.
Akan tetapi empat orang yang berjuluk Empat Naga Berkepala Raja itu ternyata juga lihai karena dengan miringkan tubuh sedikit saja empat batang sumpit itu tidak mengenai tubuh mereka.
“Waduhh... aduhh... telingaku...!” Majikan restoran menjerit-jerit dan memegangi telinga kirinya yang ternyata kena diserempet sebatang sumpit hingga daun telinga itu robek dan berdarah.
Han Han sudah melangkah maju dan berdiri di antara dua meja, di mana enam orang itu sudah saling serang. Bahkan, empat orang brewok sudah menghunus golok mereka, sedangkan dua orang gagah itu masih tenang-tenang saja, namun sudah siap berdiri menyambut serangan lawan.
“Cu-wi sekalian harap sabar. Ingat, bukankah cu-wi berenam ini tergolong orang-orang gagah? Adakah di antara cu-wi yang suka disebut orang jahat dan pengecut?”
“Heh? Si Buntung lancang. Siapa yang kau katakan penjahat dan pengecut?” bentak Si Mata Sipit sambil mengamangkan goloknya.
Han Han menjura. “Syukurlah kalau cu-wi taihiap tidak sudi disebut penjahat atau pengecut, dan memang saya pun yakin cu-wi adalah orang-orang gagah. Demikian pula dengan ji-wi Enghiong ini. Kalau cu-wi melanjutkan perkelahian di sini, amatlah disangsikan apakah hal itu merupakan perbuatan orang gagah, karena perkelahian itu akan merugikan banyak orang. Pertama, pemilik restoran rugi karena barang-barangnya rusak. Kedua, para tamu rugi karena tidak dapat makan. Ketiga banyak bahayanya akan jatuh korban di antara orang-orang lain seperti terbukti majikan saya daun telinganya robek. Nah, cu-wi sebagai orang-orang gagah tentu saja tidak suka main kasar dan merugikan orang lain, bukan? Kalau memang hendak berkelahi, sebagai orang-orang gagah dapat saja berunding nanti di luar dan menentukan tempat yang sunyi.”
Dua orang itu sudah duduk kembali dan yang tua berkata, ke arah majikan restoran, “Maafkan kami untuk luka itu, biarlah kami menanggung kerugian untuk biaya berobat!”
Majikan itu dengan kaki gemetar memaksa diri tersenyum. “Tidak usah... tidak usah... asal jangan berkelahi di sini... saya sudah berterima kasih sekali kepada cu-wi... ehh, tambahkan arak wangi, gratis dariku untuk terima kasihku kepada enam orang tamu agung!”
Empat orang kasar itu sejenak tercengang, kemudian tertawa bergelak dan duduk kembali di bangku masing-masing.
Han Han cepat mengambilkan arak wangi, dan ia menerima pandang mata kagum dari koki gemuk dan pelayan lain, dan pandang mata berterima kasih dari majikan restoran. Kalau tidak ada pelayan baru pincang ini, celakalah, tentu akan hancur restorannya! Ruginya jangan dibicarakan lagi, bisa bangkrut dia!
Ketika Han Han menaruh guci arak wangi di atas meja kedua orang gagah itu, ia berkata, “Ji-wi Enghiong, saya pernah mendengar kata orang bahwa keberanian tanpa perhitungan bukanlah kegagahan melainkan ketololan. Benarkah itu? Silakan minum arak!”
Dua orang gagah itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian minum arak mereka dan bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka menghampiri meja majikan restoran, setelah berhitungan lalu melemparkan uang perak di atas meja sambil berkata, “Kelebihannya harap perhitungkan untuk membayar makanan sahabat yang menjadi pelayan itu!” Setelah berkata demikian, dua orang itu segera pergi meninggalkan restoran tanpa pamit dan tanpa menoleh lagi.
Han Han menjadi lega hatinya. Ketika lewat di bekas meja dua orang itu, tangannya sambil lalu meraba permukaan meja untuk menghapus huruf-huruf yang berbunyi: ‘Berbahaya, harap pergi!’, yaitu huruf-huruf yang ia buat dengan guratan jari tangan ketika ia menghidangkan arak tadi. Memang ia melihat bahaya mengancam kedua orang itu karena ia tadi dengan pendengarannya yang tidak lumrah manusia, dari jauh mendengar bisik-bisik empat orang brewok yang mengatur siasat untuk melaporkan kepada pasukan penjaga di luar dusun untuk menangkap dua orang yang disangka pemberontak. Dengan memperlihatkan sedikit tenaga sinkang menggores huruf-huruf di atas meja, benar saja kedua orang gagah itu menjadi terkejut, mengerti bahwa pemuda buntung itu bukan sembarang pelayan, percaya kepadanya lalu pergi.
Semenjak dulu Han Han tidak pernah dipengaruhi persoalan pro atau kontra bangsa Mancu. Hal ini timbul karena keadaannya sendiri. Keluarganya terbasmi oleh perwira-perwira Mancu, akan tetapi dia mempunyai adik angkat tersayang seorang anak Mancu yang keluarganya terbasmi oleh para pejuang! Keadaan yang amat berlawanan inilah yang membuat selama ini Han Han berada di tengah-tengah dan tidak terseret, hanya ia selalu memilih pihak yang benar.
Karena itu pula, dalam pertikaian yang hampir terjadi di rumah makan itu di antara dua orang pejuang dan empat orang yang pro Kerajaan Mancu, ia tidak mau berpihak kepada satu pihak, melainkan berusaha untuk mencegah terjadinya bentrokan antara bangsa sendiri hanya karena perdebatan. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di balik perdebatan itu terdapat hal-hal yang lebih besar lagi. Memang pemuda ini masih belum mengerti dan belum dapat menyelami tentang persoalan kepatriotan.
Kini hatinya lega melihat dua orang pejuang itu telah meninggalkan restoran. Biar pun dia tidak berpihak dalam persoalan yang diperdebatkan, namun tentu saja hatinya condong kepada dua orang gagah tadi karena sikap mereka yang halus dan gagah. Sebaliknya diam-diam ia mencela di hati sikap empat orang yang kasar dan jelas menyombongkan nama julukan dan kepandaian sendiri.
“Hiiiii, pelayan buntung...!”
Han Han menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Si Brewok Berhidung Besar. Ia segera berloncatan menghampiri meja empat orang itu. “Ada yang hendak dipesan lagi, taihiap?”
“Hemmm, jadi engkau hanya mencari upah agar makananmu dibayari maka engkau tadi bersikap manis dan membela dua orang pemberontak, ya? Kalau hanya uang yang kau cari, apakah kau kira kami tidak mampu memberimu sepuluh kali lipat dari pada harga makananmu yang dibayar dua orang pemberontak tadi? Dan tidak perlu dengan membela, asal engkau suka melayani kami akan kami bayar lebih banyak lagi. Hayo kau bersihkan sepatuku yang penuh debu ini. Kalau engkau menolak, berarti memang kau lebih suka melayani Si Pemberontak. Dan berarti engkau diam-diam adalah pemberontak atau mungkin mata-mata pemberontak!”
Han Han mengerutkan alisnya. Biar pun mengaku sebagai orang-orang gagah, sikap empat orang ini benar-benar seperti perampok-perampok kasar. Akan tetapi untuk mencegah terjadinya keributan, ia yang sudah pandai mengendalikan perasaan sendiri lalu menekuk lutut kakinya yang tinggal sebelah dan menggunakan lap yang dibawanya untuk mengelap sepatu Si Hidung Besar.
“Bagus! Lain kali kalau engkau bicara manis lagi dan membela pemberontak, akan kupatahkan kakimu yang tinggal sebelah. Pergilah!” Si Hidung Besar menggerakkan kaki menendang.
“Dukkk... augghhhhh...!” Ia menyeringai dan memegangi tulang keringnya yang bertemu dengan kaki bangku!
Ternyata tendangannya yang tidak keras ke arah Han Han untuk membikin malu pelayan buntung itu bertemu dengan bangku, tepat pada tulang keringnya. Karena ia menendang tanpa pengerahan sinkang, hanya untuk mendorong si pelayang terlentang, maka begitu tulang kering kakinya bertemu kaki bangku, tentu saja terasa nyeri sekali. Saking nyerinya, Si Hidung Besar menggebrak meja dan beberapa mangkok masakan tertumpah di atas meja dan ia lupa untuk menyelidiki bagaimana tiba-tiba ada bangku yang menghalang di antara dia dan pelayan itu.
Han Han sudah melangkah mundur terpincang-pincang. Ia mengambil keputusan untuk pergi dari restoran itu. Biar pun ia tidak minta, akan tetapi dua orang gagah tadi telah membayar makanannya, dan setelah makanannya dibayar, untuk apa dia lebih lama di tempat itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan saja. Akan tetapi selagi ia hendak pergi, tiba-tiba Si Brewok bertahi lalat di hidung berseru.
“He, buntung! Pelayan macam apa engkau ini? Apakah matamu tidak melihat bahwa meja kami kotor? Hayo lekas bersihkan!”
Han Han tersenyum, Tadinya ia hendak pergi begitu saja agar tidak menimbulkan banyak keributan. Akan tetapi menyaksikan sikap empat orang itu makin lama makin kasar dan kurang ajar, ia pikir lebih baik memberi peringatan mereka untuk membuka mata mereka bahwa memandang rendah orang lain dan menyombongkan kepandaian sendiri bukanlah watak orang gagah dan hanya akan mendatangkan aib kepada diri sendiri.
“Baikiah, taihiap!” kata Han Han sambil menghampiri meja itu, berdiri dengan satu kaki, mengempit tongkatnya, kemudian tangan kirinya menekan meja sambil mengerahkan tenaga sinkang menggetarkan meja.
Di atas meja terdapat delapan buah mangkok makanan, panci-panci dan guci besar arak, cawan-cawan dan sumpit. Tiba-tiba semua benda yang berada di atas meja itu mencelat seperti bernyawa, terbang ke atas! Han Han dengan tenang mengangkat tangan kirinya dengan telapak menghadap ke atas, kemudian menggunakan tangan kanan yang memegang lap untuk mengelap meja yang kotor karena tumpahan masakan dan arak!
Empat orang brewok yang masih duduk itu tiba-tiba melongo, matanya terbelalak lebar dengan muka menengadah memandang mangkok piring sumpit panci yang terputar-putar di atas tidak dapat turun itu! Muka mereka pucat, mulut mereka ternganga sehingga Si Hidung Besar tidak merasa betapa ada dua ekor lalat hinggap di giginya yang kuning.
Setelah meja itu bersih disapunya dengan lap, Han Han lalu menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda yang terbang berputaran di atas itu lalu turun dan tanpa menerbitkan suara berisik berjatuhan di atas meja kembali, persis di tempat semula seperti tadi seolah-olah tidak pernah meninggalkan permukaan meja yang kini telah menjadi bersih!
Han Han menggantungkan lap di pundaknya, menurunkan tongkatnya dan terpincang mundur dua langkah, membungkuk dan bertanya, “Su-wi taihiap, masih ada perintah lainkah?”
Empat orang brewok itu tertegun, memandang kepada Han Han, menelan ludah dan Si Hidung Besar tersedak karena ketika menutup mulutnya tiba-tiba, seekor lalat kurang cepat terbang keluar sehingga terpaksa mencari jalan ke dalam dan kesasar memasuki terowongan gelap berupa kerongkongan orang itu.
“Ti... tidak...” Si Mata Sipit berhasil mengeluarkan suara dengan mata kedap-kedip.
Han Han lalu meninggalkan meja itu, diikuti pandang mata, bukan hanya pandang mata empat orang melainkan pandang mata semua orang yang berada di tempat itu dan yang tadi menonton peristiwa yang bagi mereka amat ajaib. Keadaan sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih belum mendapatkan napas mereka kembali, dan Han Han menyampirkan lap di atas bangku dekat koki gemuk, lalu menjura kepada koki gemuk sambil berkata.
“Lopek, terima kasih atas kebaikanmu. Karena makananku telah dibayar oleh dua orang Enghiong tadi, maafkan aku tidak dapat membantu lebih lama lagi.” Ia lalu memutar tubuhnya keluar dari restoran itu.
Empat orang brewok itu dengan muka merah sekali karena malu, segera membayar harga makanan mereka dan juga keluar tergesa-gesa. Setelah Han Han dan empat orang brewok itu pergi, gegerlah di restoran. Semua orang bicara seperti sarang tawon diganggu, semua membicarakan peristiwa luar biasa itu. Di tempat inilah pertama kali lahir julukan 'Pendekar Buntung', ada pula yang menyebutnya 'Pendekar Siluman', dan ada yang menyebutnya 'Pendekar Super Sakti'.
Memang sudah menjadi kelaziman bahwa orang paling suka melebih-lebihkan dalam menceritakan pengalaman mereka sehingga perbuatan Han Han yang bagi para ahli silat tinggi yang memiliki tenaga sinkang kuat bukanlah hal yang mengherankan, makin jauh dibawa angin makin dilebihkan dan makin aneh sehingga sebentar saja dunia kang-ouw juga mendengar berita angin tentang munculnya seorang Pendekar Super Sakti yang masih muda akan tetapi yang memiliki kepandaian setinggi langit!
Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke utara, berjalan menyusuri pantai Sungai Fen-ho yang ia tahu akan membawanya sampai ke Tai-goan. Karena keadaan di sepanjang sungai ini ramai dan banyak orang, maka Han Han berjalan seenaknya, tidak mau menggunakan kepandaiannya karena hal ini akan menarik perhatian orang. Setelah ia keluar dari dusun Leng-chun, ia pun merasa menyesal mengapa di rumah makan tadi dalam usahanya memberi peringatan kepada keempat orang brewok ia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga mengagetkan dan mengherankan banyak orang.
“Ah, betapa mudahnya mengerti pesan subo bahwa senjata ampuh yang terutama adalah menguasai nafsu dan perasaan sendiri, tetapi betapa sukarnya melaksanakan pelajaran ini,” kata Han Han dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya di sepanjang pantai sungai yang indah pemandangannya.
Kurang lebih sepuluh li dari dusun yang ditinggalkannya itu, Sungai Fen-ho memasuki hutan dan keadaan di sini sunyi. Han Han dapat melanjutkan perjalanannya dengan ilmunya yang hebat setelah digembleng Nenek Khu Siauw Bwee, akan tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya karena melihat serombongan orang berdiri menghadang jalan di depannya.
Ketika ia memandang, ternyata mereka itu adalah sepasukan prajurit Mancu terdiri dari dua puluh orang lebih, dan di depan pasukan berdiri empat orang brewok tadi bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Dari sikap mereka apa lagi melihat empat orang brewokan itu, mengertilah Han Han bahwa mereka itu telah mendahuluinya dengan menunggang kuda dan sengaja mencegatnya di tempat sunyi itu. Pasukan itu mempunyai rombongan kuda yang ditambatkan di bawah pohon-pohon, tak jauh dari situ.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han