PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-03
Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya
merupakan gabungan dari pada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang
diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima
unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan
im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya
kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga yang
berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya
barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat.
Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.
Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini?
Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu.
Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.
“Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan suara berbisik.
“Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang.
“Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin, Sute.”
Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai. Perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Baru pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.
Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggota kedua ‘tin’ ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya.
Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja, lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Ada pun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah ‘diterima’ oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!
“Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.
Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk?
Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!
Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu.
Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya.
Keadaan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar. Perang sampyuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan ‘inti’ dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi dari pada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang ke luar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!
Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja! Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian!
Namun semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu harus dipuji. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah empat orang pihak sendiri roboh pula!
Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggota Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggota Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biar pun lawannya sudah roboh semua. Wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang!
Tapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Biar pun kecil, tongkatnya yang hitam itu mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.
“Desssss...!” dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.
“It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
“Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa. Ilmu ini diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai,
Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan lama dan menerima kawan-kawan baru, lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.
Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!
It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.
“Krakkk...!” It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
“Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!” Setelah berkata demikian It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
“Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang di antara mereka.
“Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”
Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi serta merawat yang luka.
“Han Han, engkau di mana...?” teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton anak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
“Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?”
Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.”
Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas.
Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andai kata mereka itu merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu.
Apa lagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin ‘ong-ya’ di barat. Ia menjadi makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti.
Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat ke luar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.
Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.
Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep. Buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh.
Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah.
“Kau bocah sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul orang!”
Melihat datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi...!”
Ada pun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul.
Bocah berpakaian mewah yang membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apa lagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.
“Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apa lagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcu-mu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.”
“Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak diterapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”
Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!
“Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel yang tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?”
“Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?”
“Kau tidak tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”
Han Han tertarik, jantungnya berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”
“Eh, engkau tahu tempatnya?”
“Tentu saja! Aku muridnya!”
Ouwyang Seng terbelalak memandang. “Kau...? Muridnya...? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia!”
“Mau apa sih?”
Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda kuda yang pernah dilatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.
Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Di sekeliling kepala bagian bawah, tumbuh sedikit rambut yang kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil.
Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguh pun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini!”
Memang aneh kalau seorang guru menyebut ‘kongcu’ atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar!”
“Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”
Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak. “Namaku Han Han, dan biar pun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh dijadikan pelayan.”
Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti dari pada setan sendiri!
Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi ‘pelindung’ Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya!
Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik.
Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena ‘gengsi’ pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu.
Namun karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi ‘hajaran’ kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhu-ku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?”
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya ‘berani atau tidak’, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagai mana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”
“Boleh!” Han Han menjawab.
Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?” tanya Ouwyang Seng.
“Siap!” jawab Han Han.
“Mulai!” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong.
Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya.
“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang dari pada Han Han.
Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.
“Kau kepala batu!” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat.
Akan tetapi daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekali pun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa...!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran!
Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenaga mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran. Putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhu-nya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”
Han Han amat cerdik. Biar pun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagai mana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apa lagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya ber-debar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!”
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
“Kenapa...? Kenapa aku berlutut...?”
“Ajaib... ajaib...!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel.
Tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda. Kakek botak yang memegangi tengkuk bajunya itu mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib... bocah ajaib... matamu ini... ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sinkang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak.
Ada pun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja ‘diperintah’ oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.
“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng...!”
“Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”
“Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.”
“Setan pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar...!”
Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk melepaskan bungkusan itu yang jatuh berdebuk ke atas tanah. Biar pun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apa lagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak.
Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
“Han Han...!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sute-nya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda dengan sikap tenang sekali.
Semua anggota kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguh pun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggota Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggota Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya, karena tidak tahu lebih dahulu kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Mendengar ucapan itu, para anggota Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.
“Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,” jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!”
Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apa lagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhu-nya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhu-nya! Karena girang, tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhu-nya dan membuka tali pengikatnya.
Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung. Matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggota Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggota Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!
“Aihhh...!” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engkau akan mampus di tanganku lebih dulu!”
Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andai kata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekali pun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari pada serangan maut ini.
Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagai mana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.
Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekali pun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri!
Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apa lagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh! Ada pun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi.
Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
“Ayahhhhh...!” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sute-nya, maka tanpa disadari ia menjerit.
Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat masih di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?”
Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagai mana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping?
Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia! Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggota Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu ‘terangkat’ oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggota Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.
“Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang, perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggota-anggotamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.”
Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggota pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka terdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biar pun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian. “Suci, mari hajar bocah setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki. “Engkau murid murtad!”
Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.
Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.
Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat dari pada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apa lagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dia menganggap bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan, lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati!
Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.
“Heh-heh-heh...!” Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggota Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!
Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggota Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh.
Namun kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak.
Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan....
“Prak-prak-prak!” terdengar suara berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Ada pun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.
“Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak.
Tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Han yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya terhuyung ke belakang, akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!
Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagai mana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian. Ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi dan sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den menangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
“Kau bocah galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.
Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki. “Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"
Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tiba-tiba tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus, “Anak, kau minggirlah.”
Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah ada di situ dan melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir.....
Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.
Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini?
Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu.
Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.
“Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan suara berbisik.
“Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang.
“Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin, Sute.”
Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai. Perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Baru pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.
Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggota kedua ‘tin’ ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya.
Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja, lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Ada pun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah ‘diterima’ oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!
“Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.
Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk?
Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!
Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu.
Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya.
Keadaan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar. Perang sampyuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan ‘inti’ dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi dari pada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang ke luar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!
Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja! Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian!
Namun semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu harus dipuji. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah empat orang pihak sendiri roboh pula!
Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggota Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggota Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biar pun lawannya sudah roboh semua. Wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang!
Tapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Biar pun kecil, tongkatnya yang hitam itu mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.
“Desssss...!” dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.
“It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
“Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa. Ilmu ini diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai,
Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan lama dan menerima kawan-kawan baru, lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.
Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!
It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.
“Krakkk...!” It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
“Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!” Setelah berkata demikian It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
“Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang di antara mereka.
“Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”
Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi serta merawat yang luka.
“Han Han, engkau di mana...?” teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton anak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
“Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?”
Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.”
Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas.
Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andai kata mereka itu merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu.
Apa lagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin ‘ong-ya’ di barat. Ia menjadi makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti.
Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat ke luar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.
Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.
Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep. Buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh.
Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah.
“Kau bocah sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul orang!”
Melihat datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi...!”
Ada pun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul.
Bocah berpakaian mewah yang membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apa lagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.
“Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apa lagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcu-mu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.”
“Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak diterapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”
Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!
“Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel yang tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?”
“Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?”
“Kau tidak tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”
Han Han tertarik, jantungnya berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”
“Eh, engkau tahu tempatnya?”
“Tentu saja! Aku muridnya!”
Ouwyang Seng terbelalak memandang. “Kau...? Muridnya...? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia!”
“Mau apa sih?”
Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda kuda yang pernah dilatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.
Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Di sekeliling kepala bagian bawah, tumbuh sedikit rambut yang kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil.
Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguh pun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini!”
Memang aneh kalau seorang guru menyebut ‘kongcu’ atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar!”
“Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”
Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak. “Namaku Han Han, dan biar pun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh dijadikan pelayan.”
Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti dari pada setan sendiri!
Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi ‘pelindung’ Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya!
Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik.
Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena ‘gengsi’ pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu.
Namun karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi ‘hajaran’ kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhu-ku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?”
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya ‘berani atau tidak’, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagai mana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”
“Boleh!” Han Han menjawab.
Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?” tanya Ouwyang Seng.
“Siap!” jawab Han Han.
“Mulai!” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong.
Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya.
“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang dari pada Han Han.
Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.
“Kau kepala batu!” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat.
Akan tetapi daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekali pun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa...!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran!
Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenaga mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran. Putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhu-nya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”
Han Han amat cerdik. Biar pun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagai mana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apa lagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya ber-debar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!”
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
“Kenapa...? Kenapa aku berlutut...?”
“Ajaib... ajaib...!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel.
Tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda. Kakek botak yang memegangi tengkuk bajunya itu mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib... bocah ajaib... matamu ini... ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sinkang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak.
Ada pun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja ‘diperintah’ oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.
“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng...!”
“Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”
“Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.”
“Setan pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar...!”
Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk melepaskan bungkusan itu yang jatuh berdebuk ke atas tanah. Biar pun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apa lagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak.
Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
“Han Han...!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sute-nya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda dengan sikap tenang sekali.
Semua anggota kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguh pun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggota Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggota Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya, karena tidak tahu lebih dahulu kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Mendengar ucapan itu, para anggota Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.
“Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,” jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!”
Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apa lagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhu-nya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhu-nya! Karena girang, tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhu-nya dan membuka tali pengikatnya.
Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung. Matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggota Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggota Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!
“Aihhh...!” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engkau akan mampus di tanganku lebih dulu!”
Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andai kata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekali pun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari pada serangan maut ini.
Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagai mana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.
Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekali pun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri!
Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apa lagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh! Ada pun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi.
Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
“Ayahhhhh...!” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sute-nya, maka tanpa disadari ia menjerit.
Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat masih di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?”
Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagai mana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping?
Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia! Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggota Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu ‘terangkat’ oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggota Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.
“Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang, perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggota-anggotamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.”
Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggota pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka terdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biar pun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian. “Suci, mari hajar bocah setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki. “Engkau murid murtad!”
Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.
Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.
Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat dari pada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apa lagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dia menganggap bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan, lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati!
Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.
“Heh-heh-heh...!” Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggota Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!
Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggota Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh.
Namun kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak.
Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan....
“Prak-prak-prak!” terdengar suara berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Ada pun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.
“Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak.
Tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Han yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya terhuyung ke belakang, akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!
Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagai mana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian. Ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi dan sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den menangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
“Kau bocah galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.
Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki. “Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"
Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tiba-tiba tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus, “Anak, kau minggirlah.”
Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah ada di situ dan melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir.....
Komentar
Posting Komentar