PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-04
Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah
Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata, “Lauw-pangcu harap jangan
khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini!”
Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.
“Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.
Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”
“Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.
“Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.
“Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek!
Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan.
Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis, tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu.
Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang barulah patut melayani aku beberapa jurus.”
Ucapan ini amat takabur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.
Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka ‘main keroyok’ secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti.
Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.
“Krakkk! Brettttt...! Ha-ha-ha-ha!”
Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupi baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.
“Iblis tua bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.
Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.
“Ayaaa...!” Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.
Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.
“Tar-tar...!” Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.
“Cringgg...!” Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggota Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sinkang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya!
Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, ada pun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.
“Ayah..., Ayahhh...!”
Biar pun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.
“Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang menyebut ‘locianpwe’ karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu.
Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
“Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari sebagai penebus nyawa kalian!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biar pun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!
“Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggota Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!”
“Sute...!” Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.
“Bagus... bagus... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoi-mu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan....
“Kraaakkkkk!” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!
Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera pangeran itu.
Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beberapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu.
********************
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggotanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
“Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggota Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”
“Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
“Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.”
Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Ada pun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.
“Berhenti di sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.
“Di sinikah tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.
Si Setan Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”
Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”
Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang.
Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cici-nya sendiri yang telah lenyap, sungguh pun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cici-nya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
“Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”
“Han Han, tutup mulutmu yang busuk!” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.
“Demi iblis...! Matamu mata iblis...! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah kulakukan?”
Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!”
Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan.
Kemarahan Han Han memuncak. Dengan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak, “Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”
Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku... aku...”
Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhu-nya ini, maka ia berseru keras dan heran, “Suhu...! Apa artinya ini...?”
Sesungguhnya pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh! Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya.
Selain itu Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu terguling dan rebah miring tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguh pun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.
“Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”
Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apa lagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.
“Ayahku bernama Sie Bun An.”
“Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”
“Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia berterus terang dengan suara keras.
Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!
Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran. “Matamu itu... hemmm... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”
“Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat...”
Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat...? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas... pantas...”
Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya. Biar pun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.
“Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”
“Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”
“Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan...?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.
Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.
“Locianpwe tidak boleh...!”
Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”
Han Han terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya. Ia mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang batu bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.
“Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.
“Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng.
Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.
Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang. Karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.
“Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”
Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya. “Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?”
“Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”
“Bagai mana caranya?”
“Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?”
“Ah, masa...?” Tentu saja Han Han tidak percaya.
Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya se-hingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagai mana kuat sekali pun!”
Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!
“Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?”
Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhu-ku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”
Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan ‘sopan santun’ yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.
“Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”
Berseri wajah Ouwyang Seng. “Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”
Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis.
“Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu, ho-ho-ha-ha!”
Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.
“Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”
Tubuh kakek botak yang tadinya duduk tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”
Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.
Menjelang malam tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!
“Rumah siapa ini...?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak. Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.
“Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!”
“Rumahmu...?” Han Han makin kagum.
“Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!” Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malam pun tiba.
Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ. Betapa pun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas dari pada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya.
Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa. “Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?”
Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersemedhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu.
Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia dan muridnya melatih diri untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia.
Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.
Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekali pun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati!”
Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak-senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak-senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya.
“Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini,” pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng.
Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kuali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali! Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kuali besar yang airnya mulai mendidih.
Pada saat itu muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat.
“Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya.
“Hemmm... masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kuali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur!”
Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kuali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kuali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kuali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.
“Aduh, terlalu panas...!” serunya.
“Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apa lagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kuali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!”
Ouwyang Seng memandang ke arah suhu-nya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kuali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.
“Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (semedhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.
“Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dan ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.
Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan semedhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!
“Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?”
Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi. Cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kuali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.
“Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”
Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersemedhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kuali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan ‘dapur’ dari lian-bu-thia ini.
Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas.
Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini.
Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai mana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.
“Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”
Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguh pun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri.
“Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.”
“Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”
Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai dari pada mereka!”
Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kali karena ingin menggunakannya untuk berkelahi, memukul, apa lagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kuali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?
“Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apa lagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”
Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.
“Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?”
“Hush! Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersemedhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup... hihhh... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi suhu menguasai semua setan-setan yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya itu.”
Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersemedhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.....
********************
Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasnya yang tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.
Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan golonga sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggota perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguh pun belum pernah ada yang bertemu, apa lagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya hati mereka lega ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.
Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang.
Semenjak pagi, sudah banyak anggota-anggota Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai.
Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat.
Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Ada pun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah).
Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.
“Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya!”
Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apa lagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggota-anggota Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.
“Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apa bila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang.
Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang. “Kami bukanlah anggota-anggota Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Memang Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apa lagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguh pun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”
Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersemedhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sinkang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggota Pek-lian Kai-pang.
Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan.
“Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh... murid saya sendiri... sungguh perih sekali perasaan hatiku...” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata.
Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biar pun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar.
Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang, “Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapa pun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.
Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apa lagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.
Para anggota Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan.....
Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya.
“Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.
Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”
“Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.
“Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.
“Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek!
Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan.
Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis, tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu.
Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang barulah patut melayani aku beberapa jurus.”
Ucapan ini amat takabur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.
Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka ‘main keroyok’ secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti.
Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas.
“Krakkk! Brettttt...! Ha-ha-ha-ha!”
Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupi baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.
“Iblis tua bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.
Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.
“Ayaaa...!” Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.
Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya.
“Tar-tar...!” Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk.
“Cringgg...!” Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggota Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sinkang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya!
Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, ada pun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.
“Ayah..., Ayahhh...!”
Biar pun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.
“Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang menyebut ‘locianpwe’ karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu.
Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
“Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari sebagai penebus nyawa kalian!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biar pun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!
“Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggota Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!”
“Sute...!” Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak.
“Bagus... bagus... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoi-mu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu!” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan....
“Kraaakkkkk!” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!
Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera pangeran itu.
Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beberapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu.
********************
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggotanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
“Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggota Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”
“Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
“Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.”
Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Ada pun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.
“Berhenti di sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.
“Di sinikah tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.
Si Setan Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”
Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”
Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang.
Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cici-nya sendiri yang telah lenyap, sungguh pun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cici-nya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
“Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”
“Han Han, tutup mulutmu yang busuk!” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.
“Demi iblis...! Matamu mata iblis...! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah kulakukan?”
Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!”
Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan.
Kemarahan Han Han memuncak. Dengan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak, “Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”
Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku... aku...”
Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhu-nya ini, maka ia berseru keras dan heran, “Suhu...! Apa artinya ini...?”
Sesungguhnya pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh! Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya.
Selain itu Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu terguling dan rebah miring tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguh pun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.
“Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”
Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apa lagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.
“Ayahku bernama Sie Bun An.”
“Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”
“Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia berterus terang dengan suara keras.
Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!
Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran. “Matamu itu... hemmm... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”
“Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat...”
Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat...? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas... pantas...”
Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya. Biar pun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.
“Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”
“Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”
“Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan...?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran.
Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha!” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.
“Locianpwe tidak boleh...!”
Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”
Han Han terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya. Ia mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang batu bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.
“Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.
“Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng.
Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.
Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang. Karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang.
“Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”
Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya. “Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?”
“Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”
“Bagai mana caranya?”
“Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?”
“Ah, masa...?” Tentu saja Han Han tidak percaya.
Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya se-hingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagai mana kuat sekali pun!”
Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!
“Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?”
Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhu-ku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”
Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan ‘sopan santun’ yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.
“Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”
Berseri wajah Ouwyang Seng. “Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”
Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis.
“Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu, ho-ho-ha-ha!”
Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak.
“Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”
Tubuh kakek botak yang tadinya duduk tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”
Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.
Menjelang malam tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!
“Rumah siapa ini...?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak. Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah.
“Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!”
“Rumahmu...?” Han Han makin kagum.
“Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja!” Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malam pun tiba.
Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ. Betapa pun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas dari pada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya.
Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa. “Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?”
Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersemedhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu.
Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia dan muridnya melatih diri untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia.
Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.
Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekali pun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati!”
Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak-senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak-senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya.
“Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini,” pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng.
Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kuali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali! Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kuali besar yang airnya mulai mendidih.
Pada saat itu muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat.
“Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya.
“Hemmm... masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kuali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur!”
Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kuali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kuali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kuali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.
“Aduh, terlalu panas...!” serunya.
“Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apa lagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kuali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!”
Ouwyang Seng memandang ke arah suhu-nya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kuali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.
“Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (semedhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.
“Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dan ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.
Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan semedhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!
“Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?”
Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi. Cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kuali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.
“Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”
Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersemedhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kuali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan ‘dapur’ dari lian-bu-thia ini.
Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas.
Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini.
Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai mana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.
“Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”
Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguh pun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri.
“Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.”
“Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”
Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai dari pada mereka!”
Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kali karena ingin menggunakannya untuk berkelahi, memukul, apa lagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kuali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?
“Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apa lagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”
Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.
“Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?”
“Hush! Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersemedhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup... hihhh... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi suhu menguasai semua setan-setan yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya itu.”
Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersemedhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.....
********************
Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasnya yang tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.
Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan golonga sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggota perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguh pun belum pernah ada yang bertemu, apa lagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya hati mereka lega ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.
Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang.
Semenjak pagi, sudah banyak anggota-anggota Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai.
Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat.
Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Ada pun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah).
Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.
“Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya!”
Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apa lagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggota-anggota Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.
“Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apa bila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang.
Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang. “Kami bukanlah anggota-anggota Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Memang Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apa lagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguh pun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”
Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersemedhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sinkang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggota Pek-lian Kai-pang.
Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan.
“Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh... murid saya sendiri... sungguh perih sekali perasaan hatiku...” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata.
Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biar pun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar.
Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang, “Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapa pun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.
Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apa lagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.
Para anggota Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan.....
Komentar
Posting Komentar