PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-06
“Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan
untuk Suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang
cukup banyak!” Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan
percakapan mereka tadi memerintah karena betapa pun juga ia merasa tidak
senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhu-nya seolah-olah jeri
terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian.
Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi ia ingin menyaksikan kota raja. Ia juga tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring.
“... heiiiiit... siaaat... heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis, menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan.
Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil. Gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Ada pun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi dari pada puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali...!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik! Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Han, membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga. Tanpa berkata-kata ia menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa ia bertanya.
“Untuk apa ini...?”
“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan...”
“Aku bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apa lagi pengemis!
“Kau... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kau katakan di sini tidak ada dusun, bagai mana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhu-ku dan siapa pun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik bagai mana?”
“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa mala petaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat...”
“Kalau tidak bisa, bagai mana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han. “Wah, celaka...! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu...?”
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi...”
“Ihhhh...?”
Pada saat itu terdengar bentakan. “Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan...!”
Kim Cu sudah melepaskan tangannya, dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
“Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.
“Kau yang membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng!
Akan tetapi murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun segera dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biar pun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika.
Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat. Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan dari pada murid Setan Botak itu.
“Rebahlah, manusia sombong!” Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk...! Aduuuhhhhh...!”
Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlatih sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biar pun ilmu silatnya lebih unggul dan ginkangnya lebih tinggi dari pada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina, engkau sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah.
Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu...!” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhu-nya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk...! Augghhhh...!”
Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kalinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan...!” Han Han cepat loncat mendekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss...!”
“Aiiihhhhh...!”
Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut...!” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah.
Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biar pun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.
“Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.
“Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhu-nya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali.
Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!
Ouwyang Seng belum pernah melihat suhu-nya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhu-nya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andai kata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!
“Darrr...!”
Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh...! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk...!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.
“Siangkoan Lee, kau sambutlah ini...!”
Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya.
Biar pun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula.
Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.
Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.
“Suhu... suhu... tolong...!”
Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.
“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”
Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”
Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali!”
Pada saat itu Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.
“Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!”
Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!”
Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.
“Desssss...!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan!
Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia...!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas dari pada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!
“Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
“Desssss...!”
Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi dari padamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”
“Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.”
Gak Liat makin marah. “Mengapa?”
“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”
“Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku...”
“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apa lagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguh pun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.
“Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.
“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dan dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.
“Nanti saja kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”
Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah-gunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan peri-kemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.
Biar pun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok.
Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah, memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berperi-kemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu.
Anak perempuan ini tertawa lalu berkata, “Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid Suhu.”
Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”
Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”
“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau...!”
Di luar kesadarannya, dalam kemarahannya Han Han kembali telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat.
Anak laki-laki itu menjadi pucat. Tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya... aku... akulah yang pengecut...”
“Heiii, Sute! Mengapa kau ini...?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu.
Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi...? Ahhh... apakah aku mimpi...?”
“Ehhh... tak mungkin...!”
Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Han, memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan ‘kosong’. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.
“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya dari pada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan ke luar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.
“Teecu Sie Han menerima kebaikan Suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh...! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.
Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.
“Nah, berceritalah, muridku.”
“Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han Sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar! Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.
“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam...”
“Aaahhh, aku juga begitu...!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu...!”
Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapa pun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.
“Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.
“Benar, suhu.”
“Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersemedhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apa bila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan Suhu di sini...”
“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”
“Sama sekali tidak, suhu.”
“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagai mana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa...”
“Perlihatkan lenganmu!”
Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap ke luar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali.
Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut. “Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.”
“Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah.
Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.”
Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”
Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagai mana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuri pun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!”
Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini?
Betapa pun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
“Coba ceritakan bagai mana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang...” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.
“Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak menggunakannya? Di mana ia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. “Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagai mana? Teruskan...!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagai mana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi, sesungguhnya teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku.”
“Bersumpah...?” Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat kubuatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kau sukai?”
“Putih...” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?
“Lekas kau pakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air...”
Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.
“Lekas kau mandi dan tukar pakaian, Sute.”
Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah suci-nya (kakak perempuan seperguruan)!
“Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han tertawa. “Engkau... engkau baik sekali, Suci.”
“Tentu saja! Bagai mana seorang Suci tidak baik kepada Sute-nya? Kau pun harus baik dan taat kepada Suci-mu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.
“Eh, Suci. Harap jangan memandang ke sini...”
“Mengapa sih?”
“Malu ah...”
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena Suhu sudah menunggu!”
Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian, kemudian membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi.
Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil. Akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apa lagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.
“Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!”
Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.
“Han Han, muridku yang baik. Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”
“Baik, Suhu.”
Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya kereng, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.
“Arca siapakah itu...?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)...”
Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah, Suhu. Teecu siap,” jawab Han Han.
Bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, apa lagi dengan asap hio yang mengepul dan berbau harum, dan ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan Suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar Suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah Suhu.”
Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang?
Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
“Han Han dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat pribadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”
Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagai mana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?
“Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakanlah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo.
Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapa pun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhu-nya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah Suhu ini, bagai mana riwayat Suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?”
Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu!
Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.
“Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng-ku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek-mu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.....
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian.
Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi ia ingin menyaksikan kota raja. Ia juga tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring.
“... heiiiiit... siaaat... heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis, menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan.
Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil. Gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Ada pun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi dari pada puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali...!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik! Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Han, membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga. Tanpa berkata-kata ia menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa ia bertanya.
“Untuk apa ini...?”
“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan...”
“Aku bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apa lagi pengemis!
“Kau... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kau katakan di sini tidak ada dusun, bagai mana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhu-ku dan siapa pun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”
“Eh, baik bagai mana?”
“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa mala petaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”
Anak perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat...”
“Kalau tidak bisa, bagai mana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han. “Wah, celaka...! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu...?”
Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi...”
“Ihhhh...?”
Pada saat itu terdengar bentakan. “Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan...!”
Kim Cu sudah melepaskan tangannya, dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”
“Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.
“Kau yang membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng!
Akan tetapi murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun segera dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biar pun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika.
Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat. Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan dari pada murid Setan Botak itu.
“Rebahlah, manusia sombong!” Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk...! Aduuuhhhhh...!”
Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlatih sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biar pun ilmu silatnya lebih unggul dan ginkangnya lebih tinggi dari pada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina, engkau sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah.
Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu...!” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhu-nya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk...! Augghhhh...!”
Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kalinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan...!” Han Han cepat loncat mendekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss...!”
“Aiiihhhhh...!”
Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut...!” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah.
Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biar pun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.
“Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.
“Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhu-nya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali.
Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!
Ouwyang Seng belum pernah melihat suhu-nya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhu-nya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andai kata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!
“Darrr...!”
Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh...! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk...!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.
“Siangkoan Lee, kau sambutlah ini...!”
Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya.
Biar pun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula.
Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya.
Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.
“Suhu... suhu... tolong...!”
Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.
“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”
Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”
Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali!”
Pada saat itu Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.
“Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!”
Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!”
Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.
“Desssss...!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan!
Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia...!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas dari pada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!
“Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
“Desssss...!”
Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi dari padamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”
“Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.”
Gak Liat makin marah. “Mengapa?”
“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”
“Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku...”
“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apa lagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguh pun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah.
“Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.
“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dan dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.
“Nanti saja kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”
Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah-gunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat.
Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan peri-kemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.
Biar pun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok.
Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah, memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berperi-kemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu.
Anak perempuan ini tertawa lalu berkata, “Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid Suhu.”
Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”
Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”
“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau...!”
Di luar kesadarannya, dalam kemarahannya Han Han kembali telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat.
Anak laki-laki itu menjadi pucat. Tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya... aku... akulah yang pengecut...”
“Heiii, Sute! Mengapa kau ini...?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu.
Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi...? Ahhh... apakah aku mimpi...?”
“Ehhh... tak mungkin...!”
Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Han, memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan ‘kosong’. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.
“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya dari pada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan ke luar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.
“Teecu Sie Han menerima kebaikan Suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh...! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali.
Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.
“Nah, berceritalah, muridku.”
“Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han Sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar! Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.
“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam...”
“Aaahhh, aku juga begitu...!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu...!”
Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapa pun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.
“Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.
“Benar, suhu.”
“Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersemedhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apa bila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan Suhu di sini...”
“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”
“Sama sekali tidak, suhu.”
“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagai mana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa...”
“Perlihatkan lenganmu!”
Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap ke luar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali.
Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut. “Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.”
“Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah.
Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.”
Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”
Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagai mana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuri pun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!”
Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini?
Betapa pun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.
“Coba ceritakan bagai mana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang...” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.
“Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak menggunakannya? Di mana ia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. “Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagai mana? Teruskan...!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagai mana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi, sesungguhnya teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku.”
“Bersumpah...?” Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat kubuatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kau sukai?”
“Putih...” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?
“Lekas kau pakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air...”
Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.
“Lekas kau mandi dan tukar pakaian, Sute.”
Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah suci-nya (kakak perempuan seperguruan)!
“Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han tertawa. “Engkau... engkau baik sekali, Suci.”
“Tentu saja! Bagai mana seorang Suci tidak baik kepada Sute-nya? Kau pun harus baik dan taat kepada Suci-mu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.
“Eh, Suci. Harap jangan memandang ke sini...”
“Mengapa sih?”
“Malu ah...”
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena Suhu sudah menunggu!”
Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian, kemudian membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi.
Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil. Akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apa lagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.
“Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!”
Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.
“Han Han, muridku yang baik. Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”
“Baik, Suhu.”
Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya kereng, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.
“Arca siapakah itu...?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)...”
Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah, Suhu. Teecu siap,” jawab Han Han.
Bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, apa lagi dengan asap hio yang mengepul dan berbau harum, dan ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan Suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar Suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah Suhu.”
Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang?
Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
“Han Han dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat pribadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”
Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagai mana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?
“Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakanlah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo.
Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapa pun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhu-nya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah Suhu ini, bagai mana riwayat Suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?”
Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu!
Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.
“Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng-ku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek-mu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.....
selanjutnya »»˙
Komentar
Posting Komentar