PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-07


“Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama Supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Ada pun Supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada Supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!”

Semua murid termasuk Han Han mendengarkan dengan kagum.

“Dan suhu sendiri?” tanya Han Han.

“Aku membantu Sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, Sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw, termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Mungkin karena petualangan Supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian Sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya. Namun Sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah Sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apa lagi karena Supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagai pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apa lagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja, mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar seperti Gak Liat itu rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!”

Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.

Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.

Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagai mana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentukan Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!

Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda. Bukan muda usia, tetapi muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-suci-nya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suheng-nya. Di antara mereka hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.

Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Kedua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ketiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda dari pada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih.

Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai dari pada mereka berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supek-nya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!

Sering kali ia termenung, dan kalau sudah demikian Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.

“Kenapa kau selalu murung, Sute?” Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

“Tidak apa-apa, Suci. Hanya... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan ke luar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya...”

“Tunggulah sebulan lagi, Sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”

“Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”

Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sute-nya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, Sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku... sudah tidak mempunyai keluarga seorang pun.”

“Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”

“Apakah yang dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang Mancu. Ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong Suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”

“Dan semua Suci dan Suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”

“Benar.”

“Dan semua ditolong Suhu?”

“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut Suhu, kelak engkaulah yang paling hebat di antara kita.”

“Wah, jangan memuji, Suci.”

“Sesungguhnyalah, Sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han Han. “Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai, akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, Sute.”

Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

“Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”

“Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”

“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu? Kumaksudkan, Suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan Suhu ketika Suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sahabat Suhu.”

“Wah...!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”

“Aku.”

“Hah...?” Han Han memandang suci-nya dengan mata terbelalak.

Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”

“Kau... kau tega melakukan itu...? Kau... mengapa begitu kejam...?”

Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, Sute. Aku hanya mentaati perintah Suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”

“Dia... tidak mendendam kepadamu?”

“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”

“Dan... yang lengannya buntung?”

“Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik Suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”

“Yang buntung kakinya?”

“Lai-suheng? Ia hendak minggat, tetapi lalu tertangkap. Karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.”

Han Han bergidik.

Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena Suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”

“Hemmm..., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan Suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.”

Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jeri dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan kata Suhu ilmunya melampaui tingkat Suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari Suhu...”

“Apa...? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu...?”

Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk Suhu bercerita bahwa Sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan Suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...”

“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”

Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid Suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut Suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”

Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”

“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, Sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw...”

“Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, Suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali Supek yang disebut-sebut oleh Suhu, putera dari Sukong itu.”

“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal Suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut Suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat Sukong. Akan tetapi banyak sekali tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal Suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu.”

“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut Suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”

Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih mau pun golongan yang disebut golongan sesat.”

“Kita ini masuk golongan mana?”

Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!

“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan Suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”

Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, Suci.”

“Menurut suhu, dia itu merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk Suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”

“Seperti dongeng saja...” kata Han Han kagum.

“Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman Sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut Suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”

“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng Suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagai mana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga dengan Pendekar sakti Suling Emas, tapi entah bagai mana.”

Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?

“Heiiii, Sute dan Sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

“Sie Han Sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan Suhu,” kata Kim Cu.

Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, Sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”

“Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, Sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya Sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.”

Han Han diam saja. Akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan menarik tangannya dan berkata menghibur, “Sudahlah, Sute. Jika kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan Suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus. “Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!”

Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw...!”

Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian.

Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan selalu tersenyum, senyum mengejek dan memikat.

Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguh pun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!

“Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee...! Ke sinilah kamu...!”

Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya. Kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

“Teecu datang menghadap...!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

“Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.”

Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar-benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat dari pada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!

“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”

Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.”

“Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”

Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu?! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”

“Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting, sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

“Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.

Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.

“Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.

Empat orang anak itu mengangguk.

“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biar pun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?”

Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali, akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.

“Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sinkang, karena dengan kuatnya sinkang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?”

Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sinkang yang hebat!” Ia duduk kembali.

Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biar pun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!

“Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sinkang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekali pukul, biar pun tangan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”

Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan... berdetakanlah butir-butir es keluar dari perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai!

“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar semedhi untuk menghimpun Im-kang.”

Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan semedhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih semedhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!

Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biar pun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira.

Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan semedhi yang akan dapat menghimpun sinkang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan ‘mengisi’ mereka dengan sinkang-nya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.

Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han, nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.

Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan semedhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai.

Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet’ dan berhenti penyalurannya.

“Aihhhhh...! Di mana kau belajar mengerahkan sinkang untuk melawanku?”

Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”

“Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”

Kim Cu dan teman-teman lain pada dasarnya belum memiliki sinkang sehingga dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar. Berbeda dengan Han Han yang merasa tersiksa sekali, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

“Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri,” akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya.

Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang, hawa yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.

Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersemedhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersemedhi sambil menunggang naga sakti.

Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam semedhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguh pun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.

Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran semedhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal semedhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam semedhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali: Gwan-si-thian-cun, Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera: Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera: Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.

Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersemedhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

“Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”

Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan dari pada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!

Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.

Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.

Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apa lagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.

Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru, kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.

Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apa lagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!

Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.

Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul berdiri dengan muka merah di atas anak tangga. Tangan kanannya bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kirinya menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.

“Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”

Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku... tidak mencuri apa-apa...”

“Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”

“Aku... aku ingin makan buahnya... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”

“Setan alas! Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas.

Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.

Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih...! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar.

“Ah, masih terlalu kecil... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm... hebat juga...!”

“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Anak itu meronta-ronta.

“Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.

Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.

“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han memaki.

Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.

“Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”

“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.

Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”

“Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”

“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.

“Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!”

“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”

Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.

“Krakkk...! Aauggghhh...!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!

“Tidak lekas minta ampun?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cici-nya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.

“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biar pun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya.

Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biar pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han, biar pun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.

“Prokkk...!” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah!

Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.

Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan jembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.

“Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya

Berlari-larianlah kedua orang anak itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-cia tidak ada yang mempedulikan mereka. Dalam suasana pesta seperti itu, memang tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Pada saat itu tidak terasa keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel.

“Aduhhh... aduhhh... kakiku... aahhh, berhenti dulu... napasku mau putus...!” Anak perempuan jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.

Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.

“Engkau bocah cengeng benar!” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang jembel berkeliaran tanpa teman.

Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han. Air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”

Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.

“Tentu saja tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”

Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.

“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatang-kara, bukan? Kehilangan keluargamu?”

Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.

“Nah, aku pun sebatang-kara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?”

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening.

Han Han tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?”

Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!

“Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagai mana kau sampai sebatang-kara dan tiba di tempat ini?”

Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.

“Koko... Han-ko (Kakak Han)... Koko...!”

Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan selalu ketakutan dan kengerian, lalu tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata.

Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata, “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?”

“Lulu...”

Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”

“Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja...”

“Haaahhh...?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?

“Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.

Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko...?”

Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Ko-ko, engkau kenapakah?”

“Aku benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh.

Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.

“Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...”

“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”

“Tapi, kenapa...? Tentu ada alasannya. Apakah engkau... pemberontak?”

Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.

“Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”

“Membenci aku juga?”

“Kalau kau orang Mancu, ya!”

“Tapi aku Adikmu!”

“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”

Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.

“Han-ko, jangan... jangan membenci aku. Aku Adikmu... jangan membenci aku. Aku Adikmu..., dan aku... aku pun sebatang-kara. Ayah bundaku, biar pun juga orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel...! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan... dan... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”

Han Han tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Perasaannya tertusuk melihat kenyataan bahwa gadis cilik yang keluarganya dibasmi ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apa lagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.

“Maafkan aku, Moi-moi...” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han.

Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajak Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andai kata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?

“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”

Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.

“Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu Ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku. Aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang disebut Lauw-pangcu itu!”

Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.

“Hemmm..., dia...?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!

“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”

“Ya, begitulah.”

“Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”

“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke mana pun aku pergi.”

Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi. Wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”

Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.

“Sute...!”

Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yang indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.

“Wah, Sute! Setengah mati aku mencarimu!”

“Ada apakah, Suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”

“Ada perubahan, Sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena Suhu hendak pergi jauh. Juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan... eh, siapakah dia ini?”

Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.

“Aku hendak membawa dia menghadap Suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”

“Wah, agaknya tidak akan mudah, Sute. Siapa sih anak ini?”

“Namanya Lulu, seorang bocah Mancu... Heee, tahan, Suci...!”

“Dukkk!” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.

“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.

“Tidak, Suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”

“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”

“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, Suci. Sebaliknya keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, Suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, Suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, Suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biar pun dia anak seorang perwira Mancu.”

Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sute-nya ini amat pandai, betapa pikiran sute-nya amat luas dan sute-nya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sute-nya dan tingkat sute-nya masih lebih rendah dari pada tingkat murid lainnya.

Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.

“Agaknya engkau benar dalam hal ini, Sute. Akan tetapi salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada Suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu Suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, Sute.”

“Tidak bisa, Suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh Suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.”

“Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, Sute? Jangan bodoh...”

“Dia ini Adikku!”

“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini... mana mungkin Adikmu...?”

“Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, Suci,” kata Han Han, suaranya tetap.

Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali... bagai mana dengan aku? Aku akan kehilangan...”

“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa, dia harus ikut bersamaku. Dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, Suci. Harap Suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”

Kim Cu termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, Suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari Suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap... ah, hukumannya mengerikan, Sute.”

“Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”

Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji...!”

Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”

“Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, Suci.”

Kim Cu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, Sute. Tapi... ah...”

“Sudahlah, Suci. Harap Suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”

Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.

“Sute...! Tunggu dulu...!” Kim Cu meloncat dan berlari mengejar.

Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?”

Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.

“Tidak sama sekali, Sute. Aku... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.

“Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han Sute.”

Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...”

“Cihhhhh...! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”

“Engkau mencinta Han-ko, Enci...”

“Hush! Sudahlah...!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.

Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagai mana?”

Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”

“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagai mana, sungguh pun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.”

Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.

“Kita ke mana, Koko?”

“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”

“Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.”

Maka pergilah kedua anak ini dengan tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.

Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biar pun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.....

selanjutnya »»»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han