PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-28


Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).
Dahulu jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu.
Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.
Ada pun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.
Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang suci-nya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, Suci. Sebaliknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya, dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Suci-nya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”
Nirahai menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi adikku yang nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, Suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh..., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt, sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah, sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
“Nah, nah... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang Sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah, Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang termenung seperti orang bingung.
“Ti... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”
Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka.....
********************
Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung, akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan banyak mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.
Pada malam harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat enci-nya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici, aku datang...”
Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
“Adik Han... kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).
“Dia... dia sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”
Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.
“Sekarang pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...! Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...! Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana mereka?”
Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah... sudah buntung begini...”
“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh... biar pun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu.
Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.
Han Han keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biar pun kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting. Kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang telah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!
Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.
Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas segera berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba, setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu ialah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak lalu bertanya.
“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan paham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapa pun juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan dari pada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apa lagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng. Kalau ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka Bopeng ini tentulah lihai.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu selama ia merantau sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han