PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-24
Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu. Setelah ilmu silatnya
dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin
Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga
kalau menghadapi lawan, kiranya dia lebih berbahaya dari pada
Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan dari pada Sin Lian sendiri. Hal
ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda dengan ilmu
silat Sin Lian yang merupakan ilmu asli dari Siauw-lim-pai.
Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biar pun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan, di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah hingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Sungai Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan enci-nya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, kegagahannya, ketampanannya, kepandaiannya, dan kebaikan budinya.
“Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu.
“Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. “Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”
Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?”
“Akan tetapi, dia betul-betul memujimu. Agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah. Di samping segala kebaikannya hal ini membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”
“Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit enci-nya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”
“Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab. Pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.” Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.
“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apa lagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya. “Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis mana pun juga, biar puteri kaisar sendiri!”
Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya, “Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya, “Siapa... siapa dia, Adikku?”
Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab, “Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku...”
“Aduuhhhh... Aduuuhhhhh... tobaaat, Enci...!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu...!” Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah kelewat batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Enci-mu?”
Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu. “Enci Lian, Enci-ku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biar pun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa... bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya tanpa menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.
“Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus... bagus...! Wah, aku girang sekali! Engkau Enci-ku menjadi Soso-ku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu. “Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekali pun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biar pun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan... dan... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, mulai detik ini kuminta jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu mengangguk. “Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”
“Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.
“Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguh pun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguh pun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah sungguh pun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata, “Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhu-ku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”
Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua, ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Semenjak kedua orang puterinya pergi, ia kini tekun bersemedhi bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Ada pun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhu-nya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.
“Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci Lian. Aku pasti akan ada di sana bersama kakakku!”
Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang enci-nya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.....
********************
Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh dari pada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apa lagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biar pun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam mala petaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguh pun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat dari pada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras dari pada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pingsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sinkang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas.
Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar.
Tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.
Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan goa-goa atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang!
Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air.
Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.
“Kim Cu...” Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula.
“Kim Cu...!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat...!”
“Orang muda yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku!”
Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sinkang-nya, sekarang menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu!
Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan mata Han Han amat tajam, dia dapat mengenal orang pandai. Akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.
“Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani datang ke tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi... saya... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya.
Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr...!” Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini!”
Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!” Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe, tahan...!” Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah ‘bertemu’ dengan nenek itu.
“Locianpwe...!”
Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.
“Desssss...! Aihhhhh...!”
Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang dibuntungi, apa lagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh.
Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?”
Akan tetapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa amat pening. “Locianpwe... saya pernah bertemu dengan locianpwe... di Istana Pulau Es...”
Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya telah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau bilang...? Pulau Es...? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es...!”
Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh, “Beruang Es itu telah mati... mati digigit ular merah...” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.
“Beruang... beruang es...? Mati...?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar biasa...! Kakinya juga buntung sebelah...!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah.
Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda yang keadaannya sudah lemah ini ternyata sanggup menangkis pukulan Im-kang-nya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Kedua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki obat selagi pingsan. Teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian.
Melihat nenek itu Han Han maklum bahwa walau pun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.
“Aduhhh...!” Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.
“Huh, canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru... baru beberapa hari, locianpwe.”
Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.
“Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan pernah bertemu denganku? Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apa lagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau Es secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi... ataukah kemarin... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang... eh, seperti locianpwe...”
“Buntung kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang.
Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapa pun juga, apa lagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biar pun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khikang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri ingin membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apa lagi karena locianpwe adalah seorang anggota keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!” Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.
“Plakkk...! Aihhhhh...!”
Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sinkang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan ginkang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh... Suheng..., Han Ki Koko... (Kanda Han Ki)...!” Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han melongo, apa lagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!
“Kakanda Han... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang...? Kalau benar engkau mencinta aku seorang... ahhh, kalau aku tahu... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku...? Aduh, Han-koko... Han-suheng... betapa kejamnya engkau...!”
Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila. Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor.
Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.
Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.
“Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe... kalau saya tahu... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...”
Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah paham! Dia mencintaku seorang...! Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis!
“Ahhhhh! Apa artinya semua ini?” Tiba tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya.
Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.
“Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi namamu?”
Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai ‘Kanda Han’, nama yang sama benar dengan namanya sungguh pun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya Sie Han, locianpwe.”
“Hmmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau telah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sinkang-mu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, lalu melarikan diri darinya. Setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”
“Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”
Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
“Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, tetapi dia masih berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?!” Nenek itu membentak, agaknya marah karena penasaran.
Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggap dirinya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
“Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekali pun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suheng-ku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguh pun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es?”
Han Han terkejut. “Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin...”
“Dialah suhu-mu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suheng-ku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh...!” Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengarlah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Ada pun orang ketiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee....”
Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suci-ku Maya, apa lagi suheng-ku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es...!” Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang mala petaka yang ditimbulkan nafsu.
“Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Ketika Han Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh, seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang menulis itu, Sie Han, dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah. Kasihan Han Ki Suheng!”
“Apakah yang terjadi di antara Subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe melainkan menyebut Subo!
“Apa yang terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap menjadi rahasia kami.”
“Ahhhh...!” Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...”
“Yang mana, subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi ‘beku’ di luarnya, mungkin karena penderitaan batin yang hebat.
“Yang kiri, Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh diri?” Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah mendengar tentang dia... Ahhh, surat-suratnya...” Sepasang mata itu menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri!
Dorongan perasaan membuat Han Han menggerak-gerakkan bibir, hendak berterus terang memperkenalkan diri. Akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama sekali tak bisa dibanggakan.
Nenek itu kini tersenyum lagi. “Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada lagi yang mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya Suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun Suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Mungkin juga Suhu, mungkin juga Suheng!”
“Subo, apakah... apakah Sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada per-nya, menotol-notol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya.
Dengan susah payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, daerah penuh batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya matahari.
Setelah Han Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang lebih enam tahun, subo.”
“Apa saja yang kau pelajari selama itu?”
“Maaf, subo. Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu dengan mereka dan menerima warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, kau tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar pengakuan Han Han tadi.
Secara singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk melatih sinkang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biar pun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya.
Mendengar ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian silat, hanya mengandalkan sinkang saja, engkau berani menentang orang-orang macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna. Andai kata sebelum buntung engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar sinkang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapa pun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu kekuatan sinkang-mu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sinkang-mu melawanku.”
Han Han meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya yang lihai.
“Pertahankan dan lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat dicabut kembali!
Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya. Ia lalu mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat sinkang-nya di Pulau Es.
Biar pun bertahun-tahun melatih diri dengan sinkang, kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid ketiga Bu Kek Siansu ini kalau tidak terjadi ketidak-wajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan enci-nya diperkosa para perwira Mancu itu. Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mukjizat.
Air yang tadinya membeku dan amat dingin itu kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih! Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh sinkang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sinkang-nya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
“Lawanlah yang ini!” serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah mengubah sinkang-nya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah sinkang-nya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas gurunya.
Pertandingan adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sinkang yang tidak lumrah! Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung.” Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan... lenyaplah dia dari atas batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
“Aihhhhh...!”
Ia melongo dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar.....
Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biar pun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan, di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah hingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Sungai Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan enci-nya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, kegagahannya, ketampanannya, kepandaiannya, dan kebaikan budinya.
“Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu.
“Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. “Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”
Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?”
“Akan tetapi, dia betul-betul memujimu. Agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah. Di samping segala kebaikannya hal ini membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”
“Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit enci-nya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”
“Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab. Pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.” Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.
“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apa lagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya. “Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis mana pun juga, biar puteri kaisar sendiri!”
Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya, “Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya, “Siapa... siapa dia, Adikku?”
Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab, “Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku...”
“Aduuhhhh... Aduuuhhhhh... tobaaat, Enci...!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu...!” Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah kelewat batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Enci-mu?”
Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu. “Enci Lian, Enci-ku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biar pun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa... bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya tanpa menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.
“Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus... bagus...! Wah, aku girang sekali! Engkau Enci-ku menjadi Soso-ku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu. “Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekali pun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biar pun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan... dan... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, mulai detik ini kuminta jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu mengangguk. “Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”
“Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.
“Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguh pun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguh pun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah sungguh pun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata, “Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhu-ku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”
Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua, ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Semenjak kedua orang puterinya pergi, ia kini tekun bersemedhi bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Ada pun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhu-nya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.
“Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci Lian. Aku pasti akan ada di sana bersama kakakku!”
Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang enci-nya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.....
********************
Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh dari pada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apa lagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biar pun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam mala petaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguh pun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat dari pada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras dari pada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pingsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sinkang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas.
Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar.
Tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.
Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan goa-goa atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang!
Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air.
Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.
“Kim Cu...” Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula.
“Kim Cu...!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat...!”
“Orang muda yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku!”
Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sinkang-nya, sekarang menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu!
Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan mata Han Han amat tajam, dia dapat mengenal orang pandai. Akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.
“Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani datang ke tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi... saya... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya.
Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr...!” Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini!”
Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!” Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe, tahan...!” Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah ‘bertemu’ dengan nenek itu.
“Locianpwe...!”
Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.
“Desssss...! Aihhhhh...!”
Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang dibuntungi, apa lagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh.
Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?”
Akan tetapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa amat pening. “Locianpwe... saya pernah bertemu dengan locianpwe... di Istana Pulau Es...”
Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya telah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau bilang...? Pulau Es...? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es...!”
Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh, “Beruang Es itu telah mati... mati digigit ular merah...” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.
“Beruang... beruang es...? Mati...?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar biasa...! Kakinya juga buntung sebelah...!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah.
Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda yang keadaannya sudah lemah ini ternyata sanggup menangkis pukulan Im-kang-nya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Kedua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki obat selagi pingsan. Teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian.
Melihat nenek itu Han Han maklum bahwa walau pun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.
“Aduhhh...!” Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.
“Huh, canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru... baru beberapa hari, locianpwe.”
Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.
“Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan pernah bertemu denganku? Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apa lagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau Es secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi... ataukah kemarin... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang... eh, seperti locianpwe...”
“Buntung kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang.
Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapa pun juga, apa lagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biar pun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khikang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri ingin membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apa lagi karena locianpwe adalah seorang anggota keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!” Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.
“Plakkk...! Aihhhhh...!”
Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sinkang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan ginkang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh... Suheng..., Han Ki Koko... (Kanda Han Ki)...!” Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han melongo, apa lagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!
“Kakanda Han... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang...? Kalau benar engkau mencinta aku seorang... ahhh, kalau aku tahu... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku...? Aduh, Han-koko... Han-suheng... betapa kejamnya engkau...!”
Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila. Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor.
Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.
Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.
“Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe... kalau saya tahu... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...”
Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah paham! Dia mencintaku seorang...! Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis!
“Ahhhhh! Apa artinya semua ini?” Tiba tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya.
Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.
“Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi namamu?”
Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai ‘Kanda Han’, nama yang sama benar dengan namanya sungguh pun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya Sie Han, locianpwe.”
“Hmmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau telah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sinkang-mu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, lalu melarikan diri darinya. Setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”
“Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”
Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
“Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, tetapi dia masih berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?!” Nenek itu membentak, agaknya marah karena penasaran.
Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggap dirinya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
“Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekali pun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suheng-ku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguh pun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es?”
Han Han terkejut. “Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin...”
“Dialah suhu-mu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suheng-ku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh...!” Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengarlah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Ada pun orang ketiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee....”
Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suci-ku Maya, apa lagi suheng-ku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es...!” Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang mala petaka yang ditimbulkan nafsu.
“Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Ketika Han Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh, seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang menulis itu, Sie Han, dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah. Kasihan Han Ki Suheng!”
“Apakah yang terjadi di antara Subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe melainkan menyebut Subo!
“Apa yang terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap menjadi rahasia kami.”
“Ahhhh...!” Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...”
“Yang mana, subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi ‘beku’ di luarnya, mungkin karena penderitaan batin yang hebat.
“Yang kiri, Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh diri?” Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah mendengar tentang dia... Ahhh, surat-suratnya...” Sepasang mata itu menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri!
Dorongan perasaan membuat Han Han menggerak-gerakkan bibir, hendak berterus terang memperkenalkan diri. Akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama sekali tak bisa dibanggakan.
Nenek itu kini tersenyum lagi. “Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada lagi yang mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya Suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun Suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Mungkin juga Suhu, mungkin juga Suheng!”
“Subo, apakah... apakah Sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada per-nya, menotol-notol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya.
Dengan susah payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, daerah penuh batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya matahari.
Setelah Han Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang lebih enam tahun, subo.”
“Apa saja yang kau pelajari selama itu?”
“Maaf, subo. Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu dengan mereka dan menerima warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, kau tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar pengakuan Han Han tadi.
Secara singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk melatih sinkang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biar pun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya.
Mendengar ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian silat, hanya mengandalkan sinkang saja, engkau berani menentang orang-orang macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna. Andai kata sebelum buntung engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar sinkang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapa pun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu kekuatan sinkang-mu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sinkang-mu melawanku.”
Han Han meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya yang lihai.
“Pertahankan dan lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat dicabut kembali!
Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya. Ia lalu mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat sinkang-nya di Pulau Es.
Biar pun bertahun-tahun melatih diri dengan sinkang, kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid ketiga Bu Kek Siansu ini kalau tidak terjadi ketidak-wajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan enci-nya diperkosa para perwira Mancu itu. Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mukjizat.
Air yang tadinya membeku dan amat dingin itu kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih! Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh sinkang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sinkang-nya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
“Lawanlah yang ini!” serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah mengubah sinkang-nya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah sinkang-nya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas gurunya.
Pertandingan adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sinkang yang tidak lumrah! Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung.” Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan... lenyaplah dia dari atas batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
“Aihhhhh...!”
Ia melongo dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar.....
Komentar
Posting Komentar