PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-01
Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil membungkuk-bungkuk.
Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja. Guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu dari luar jendela melihat betapa pembesar ini memelototkan mata, mulutnya membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan celananya. Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya menyusuti sepatu dan celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja seperti seekor ayam makan padi! Tak terasa lagi air mata mengalir ke luar dari sepasang mata anak laki-laki itu, membasahi kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua tangannya.
Ia marah dan sedih, dan terutama sekali, ia malu! Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya. Mengapa ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua orang, bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia terkenal pula dengan nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie). Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan dia sendiri telah dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi kitab-kitab kebudayaan dan kitab-kitab filsafat.
Semenjak berusia lima tahun, dia telah belajar membaca, kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya diharuskan mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari hidup dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan baik. Akan tetapi, setelah kini menghadapi pembesar-pembesar Mancu, mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah?
Anak itu bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari adalah Han Han. Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang disebut Hartawan Sie atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak perempuan, kini telah berusia tujuh belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han adalah anak ke dua.
Pada saat itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela melihat ayahnya sudah bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar muka kuning, dan kini menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk dan memanggilnya. Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat betapa ayahnya menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan tangan kanan dan... ayahnya terpelanting roboh.
Han Han hampir menjerit. Ayahnya telah ditampar oleh pembesar brewok itu! Dan semua pelayan yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan sesuatu.
Si Pembesar Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya. Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang mengerikan.
Han Han membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya. Kini ia menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu, di mana ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka.
“Sie Bun An!” terdengar pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat, “Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?” Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han.
“Kau kira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?” Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur mereka. “Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!”
“Ha-ha-ha! Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis!” berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil.
“Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Mancu yang jaya!” kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering.
“Tapi... tapi...!” Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas. “Hal itu ti... tidak mungkin... ampunkan kami, Taijin...”
Melihat ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras ke luar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ.
“Kau membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala!” Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot.
“Tahan...!” Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari dalam. “Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba...! Biarlah hamba melayani Taijin...”
Tujuh orang perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.
“Benar cantik...! Masih cantik, montok dan harum...! Hemmm...!” Perwira muka kuning itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat.
Memang Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biar pun usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang masih berlutut memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
“Taijin... ampun...” Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu. “... lepaskan... ohhh, ampun, saya... adalah wanita baik-baik...”
Sebagai jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus. “Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha!” Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum.
Nyonya Sie hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut, sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya yang putih seperti terkena darah.
Han Han menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada saat itu ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan perutnya yang seperti gentong gandum.
“Ha-ha-ha, kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentu puterinya ranum dan segar. Cocok untukku! Biar kujemput dia!” Sambil berkata demikian perwira brewok itu sambil tertawa-tawa melangkah masuk melalui pintu dalam.
“Ha-ha-ha, baik sekali! Jemput dia, jemput dia...!” sorak perwira lain.
“Ohhh, uuuhhhh...!” Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar.
Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis! Alangkah lemahnya ayahnya itu! Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela kebenaran.
Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang enghiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang terhormat dari pada hidup sebagai seekor anjing penjilat. Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat! Bukankah peri-bahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga, nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada harganya sama sekali.
Terdengar jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya putih seperti susu baru diperas. Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan mukanya sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka yang halus itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit tak dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup oleh mulut Si Perwira Brewok yang lebar.
Tiba-tiba terdengar teriakan serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut. Bangga hati Han Han melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau, meloncat bangun dan sambil berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira Brewok. Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri yang tepat mengenai dada ayahnya.
“Dukkk...!”
Tubuh Sie Bun An terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini sejak kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai ilmu silat, maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira brewok itu, ia terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An benar-benar telah menjadi seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati membuat ia seperti tidak merasakan nyeri akibat pukulan itu. Sambil berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat tempat duduk perwira muka kuning yang masih menciumi isterinya dan meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan...
“Blesssss...!” pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung. Tubuh Sie Bun An menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh genangan darahnya yang masih mengucur ke luar dari perut dan punggung.
Han Han hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan cici-nya menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira muka kuning sambil tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri dan Si Brewok berkata dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain yang masih duduk.
“Rumah ini boleh dibersihkan, suruh anak buah masuk membantu!”
Setelah berkata demikian, Si Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan belakang, diikuti oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie. Dua orang wanita ini menjerit-jerit, akan tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Ada pun lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di luar, mereka ini meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya.
Dengan tubuh menggigil saking marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke belakang dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Ia sudah mengambil ke-putusan nekat untuk mati bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong ibunya, menolong cici-nya! Tanpa mengenal takut lagi anak ini berlari-lari menuju ke kamar ibunya.
Akan tetapi sebelum ia memasuki kamar ibunya yang sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar jerit cici-nya di kamar sebelah, yaitu kamar cici-nya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu dan apa yang disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cici-nya menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu brewok yang hendak memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam mulut Si Perwira.
Pakaian gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang terengah-engah dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu meronta dan melawan, makin senanglah hatinya. Dalam pandangan Han Han, ia seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan seekor tikus kecil sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika tiba-tiba terdengar suara ibunya.
“Leng-ji (Anak Leng)... anakku...!”
Suara ini terdengarnya demikian memilukan sehingga Han Han mengurungkan niatnya menolong cici-nya, atau terlupa karena seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya. Agaknya Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya, dan kini pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, timbul kekuatannya ketika mendengar jerit Sie Leng, kemudian meronta sambil memanggil anaknya. Ia berhasil melepaskan diri dari pada cengkeraman kedua tangan perwira muka kuning. Dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu, namun sekali melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan melemparkannya ke atas pembaringan sambil tertawa.
“Heh-heh, biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh!” Kembali ia menubruk nyonya itu.
Pada saat itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya, ia berteriak nyaring dan menerjang maju, memukuli punggung perwira muka kuning, menjambak rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
“Ehhh! Bocah setan...! Mau apa kau...?” Perwira itu menoleh, tanpa menghentikan usahanya menggelut Nyonya Sie.
“Han Han...! Pergilah...! Pergilah jauh-jauh dari sini...!” Nyonya Sie bergerak dan membelalakkan mata melihat puteranya.
“Ibu...!”
“Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu saja!” Si Perwira Muka Kuning meloncat, menjambak rambut Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan tetapi Han Han tidak takut, malah melotot dan kedua tangannya berusaha memukul. Perwira itu lalu menampari mukanya.
“Plak-plak-plak!” Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak, mulutnya mengeluarkan darah.
Namun anak itu masih memandang dengan mata melotot penuh kebencian kepada perwira muka kuning.
“Han Han...!” Nyonya Sie menjerit.
Perwira itu membanting tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu rebah miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang. Lalu kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali mengenai dadanya. Tubuh anak itu terlempar membentur dinding. Kepalanya terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak itu roboh tak sadarkan diri, mukanya membengkak dan matang biru se-hingga matanya tidak tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula hi-dungnya.
“Han Han...!” Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di seluruh rumah itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang berharga, dan la-pat-lapat terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara ketawa yang parau dari perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning.
Malam yang amat mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi di dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan! Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia beradab. Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira karena malam-malam jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan baginya.
Han Han tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera teringat dan cepat bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan main, berdenyut-denyut keras, kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya sesak. Ia tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya menggeletak di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu berlepotan darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang rendah dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus sehingga kepala itu letaknya terlalu miring dan tampak aneh.
“Ibu...!” Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya, terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan tetapi matanya terbelalak memandang leher yang hampir putus, mata yang terbuka, mata yang tidak bersinar lagi.
“Ohhh... ohhh... Ibuuuuu...!” Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat ibunya, pingsan kembali.
Rumah gedung Keluarga Sie yang telah dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah siasat para perwira tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah hancur menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu habis dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan bahwa mereka itu diperkosa atau dibunuh?
Tidak ada seorang pun tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung terlewat oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Pada setiap negara yang dilanda perang, terbuktilah bahwa segala sesuatu yang tadinya dianggap menguntungkan dan menyenangkan bahkan dapat menjadi sebab-sebab malapetaka! Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka yang kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak perempuan cantik malah menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak mempunyai apa-apa dan yang tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan tidak terganggu! Kalau sudah begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa harta benda dan kekayaan duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia!
Di antara sinar api yang membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang menerangi kegelapan malam sunyi, tampak bayangan seorang laki-laki tua dengan nekat menyelinap memasuki rumah bagian yang belum dimakan api. Asap tebal menyambutnya, membuatnya terbatuk-batuk dan membuat matanya seperti buta, akan tetapi orang ini terus masuk dan meraba-raba. Biar pun api itu amat terang, namun cahayanya membuat mata buta karena setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk.
Akan tetapi orang itu agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia dapat terus menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang, dekat ruangan dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini menggeletak mayat Sie Bun An dan tiga orang pelayan pria yang juga dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Laki-laki itu tidak mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung masuk dan akhirnya ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah mulai termakan api.
“Sie-hujin...! Kongcu (Tuan Muda)...!” Ia berseru dan cepat berlutut dekat dua sosok tubuh itu. Tubuh Nyonya Sie yang telanjang bulat dan mandi darah itu hanya ia lirik sebentar saja, akan tetapi ketika ia meraba tubuh Sie Han yang belum mati, cepat ia mendukung tubuh anak itu dan hendak dibawanya ke luar kamar. Akan tetapi pintu kamar itu kini sudah terbakar semua, bahkan mulai runtuh dan atap pun sudah terjilat api!
Laki-laki itu kebingungan lalu menuju ke jendela kamar. Didorongnya jendela itu dengan bahunya, dan asap bercampur api menjilat masuk. Ia tidak peduli akan hawa panas yang menyesak dada, terus saja ia menerobos ke luar melalui jendela dan setibanya di luar jendela, sebagian atap yang terbakar menimpanya! Orang itu mendekap tubuh Han Han dan kayu yang membara menimpa kepala dan pun-daknya. Rasa nyeri dan panas menyengat tubuhnya, membuatnya hampir roboh. Akan tetapi ia hanya jatuh berlutut saja, cepat bangkit kembali dan terhuyung-huyung mencari jalan keluar.
Beberapa kali ia menerjang lautan api, rambutnya sudah terbakar habis, juga kumis, jenggot dan alisnya. Mukanya sudah hangus dan melepuh, pakaiannya setengah telanjang dan hangus, tubuhnya melepuh semua dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari lautan api dan terhuyung-huyung memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya menyinar melalui celah-celah pohon kembang dan di tempat inilah laki-laki itu terguling roboh. Tubuh Han Han terlepas dari dukungannya dan terbanting pula ke atas tanah yang bertilam rumput hijau basah dan segar.
“Ibu...!” Han Han siuman kembali dan pertama-tama yang teringat olehnya adalah ibunya. Akan tetapi sinar merah dan suara berkerotokan rumah terbakar itu menyadarkannya dan ia cepat bangkit duduk menoleh ke arah rumah keluarganya yang terbakar. “Ibu...!”
“Aagghhh... Kongcu... Ibumu... sudah tewas...”
Han Han bangkit dan terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah tak jauh dari situ. Ia berlutut dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah melepuh, kepala yang gundul dan tubuh yang hangus itu. Akan tetapi sinar api kadang-kadang menjilat sampai ke situ dan ia dapat mengenal bentuk muka ini.
“A Sam...!” Ia memeluk. Anak ini amat cerdik dan kuat ingatan. Tadi ia berada di kamar ibunya, sekarang berada di taman dan A Sam luka-luka terbakar. Segera ia dapat menarik kesimpulan bahwa pelayannya yang setia inilah yang menolongnya keluar dari rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang sudah tewas pula, dan teringat cici-nya di kamar sebelah.
“Cici Leng...?”
“...dibawa pergi... anjing-anjing Mancu... kau pergilah, Kongcu... pergilah jauh-jauh... menyamar sebagai pengemis... jangan berada di kota ini... aku... aku... auugghhh...” A Sam, pelayan tua yang amat setia dari Keluarga Sie, yang selalu menjadi teman bermain Han Han semenjak ia dapat berjalan, menjadi lemas.
“A Sam...! A Sam...!” Namun orang itu tidak menyahut, dan tidak akan dapat menjawab lagi karena ia telah mati. Mati sebagai seorang yang setia dan karenanya mati sebagai seekor harimau!
Han Han duduk melamun. Ia tidak menangis. Tidak dapat menangis lagi. Dan ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya untuk berpikir, untuk berbuat dan menggunakan akalnya. Matanya melirik ke kanan kiri seperti mata seekor anjing yang dikurung dan mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang cerdik sekali.
Suatu mukjizat telah terjadi pada diri Han Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika tadi ia dibanting lalu ditendang, kepalanya terbanting menumbuk dinding dan getaran bantingan inilah yang agaknya mengubah keadaan pikirannya. Mendatangkan ketabahan luar biasa, kecerdikan yang aneh, dan membuat ia tidak dapat susah lagi! Biar pun kini menghadapi kematian ayah bundanya, dan kehilangan cicinya, yang berarti bahwa seluruh keluarganya hancur, ia sama sekali tidak merasa susah! Yang ada hanya bayangan tujuh orang perwira, terutama sekali wajah dan bentuk tubuh perwira brewok dan perwira muka kuning, seperti terukir di benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya!
Dari peristiwa terkutuk dan malam jahanam itu, terciptalah seorang yang aneh, dan orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa Han Han telah menjadi gila oleh peristiwa mengerikan itu. Ketika anak itu akhirnya membungkuk, mencium dahi gosong bekas pelayannya, kemudian bangkit berdiri dan terhuyung-huyung meninggalkan taman, memasuki bagian-bagian yang gelap, orang yang melihatnya tentu akan merasa kasihan sekali. Akan tetapi orang itu akan tercengang kalau saja dapat melihat betapa mata itu berkilat-kilat, betapa mulut yang masih bengkak itu tersenyum aneh. Bocah ini hanya berhenti sebentar untuk merobek sebagian dari pakaiannya, mengotori tubuhnya dengan abu, membuang sepatunya kemudian menyelinap sampai keluar dari kota.
Peristiwa terkutuk itu terjadi di kota Kam-chi ketika pasukan-pasukan Mancu memperluas wilayahnya dan menyerbu ke jurusan selatan, yaitu pada tahun 1645 dan merampas kota Nan-king. Dan tidak hanya terjadi di Kam-chi saja, melainkan di setiap kota dan dusun selalu terjadilah pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan, penculikan dan perampokan yang keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang ditimbulkan oleh perang, di bagian mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu sampai sekarang.
Gelombang bangsa Mancu ini dimulai ketika di antara bangsa dari utara ini muncul seorang tokoh besar yang menjadi raja mereka, yaitu Raja Nurhacu (tahun 1616) yang menamakan diri sendiri kaisar dan mendirikan wangsa atau Kerajaan Ceng. Di bawah bimbingan Kaisar Nurhacu yang kebesarannya menyamai Raja Mongol Jengis Khan yang tersohor itu, mulailah bangsa Mancu membuka dan mengembangkan sayapnya, menaklukkan gerombolan-gerombolan dan suku-suku bangsa yang dipimpin raja-raja kecil sehingga dalam beberapa tahun saja berhasil menguasai seluruh Mancuria.
Melihat kekuasaan dan kekuatan bangsa Mancu, bangsa Mongol yang sudah lama kehilangan kekuasaannya setelah Pemerintahan Goan hancur, menjadi tertarik dan menggabungkan diri dengan bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat dan barisan gabungan ini menyerbu dan menundukkan Korea dalam tahun 1637.
Kemudian pasukan Mancu yang diperkuat dengan pasukan Mongol dan pasukan taklukan dari Korea, di bawah pimpinan Kaisar Abahai yang menggantikan Kaisar Nurhacu (1626-1646), menyerbu terus ke Shan-tung, berhasil menundukkan propinsi ini dan menghancurkan bala tentara Beng, lalu terus menyerbu ke arah ibu kotanya, yaitu Peking. Namun penyerbuan ini tertunda karena Kaisar Abahai meninggal. Karena putera mahkota masih sangat muda, maka kekuasaan dipegang oleh Pangeran Dorgan, saudara mendiang Kaisar Abahai.
Pangeran Dorgan adalah seorang ahli perang yang ulung. Ia mengerti bahwa di dalam pemerintah Beng sendiri terjadi pemberontakan-pemberontakan, dan Peking telah terjatuh ke tangan pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari selatan. Dengan cerdik Pangeran Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang menjaga tapal batas utara, dan bersama Panglima Beng yang berkhianat ini me-nyerbulah bala tentara Mancu ke Peking dan berhasil mengalahkan barisan pem-berontak Lie Cu Seng. Lie Cu Seng sendiri melarikan dari Peking setelah merampok kota indah itu habis-habisan.
Akhirnya Bu Sam Kwi sadar bahwa ia telah memasukkan serigala ke tanah airnya, maka ia merasa menyesal dan membawa bala tentaranya mengungsi ke barat daya yaitu ke Se-cwan di mana ia memperkuat kedudukannya dan menjadi raja yang berdaulat di situ, jauh dari kekuasaan dan pengaruh pemerintah Mancu yaitu Kerajaan Ceng-tiauw.
Pangeran Dorgan melanjutkan penyerbuannya ke selatan dan di bawah pimpinan pangeran inilah bala tentara Mancu berhasil terus menduduki Nan-king dan wilayah bagian selatan. Pangeran Dorgan yang amat cerdik itu pandai mengambil hati para pembesar dan hartawan di selatan, mengumumkan tidak akan mengganggu mereka asal mereka suka bekerja sama. Tentu saja ada terjadi kekecualian, yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama tentu dirampok habis dan dibasmi keluarganya. Ada pula terjadi hal-hal seperti yang menimpa Keluarga Sie di Kam-chi itu, dan pelaporan ke atas tentu berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga itu tidak mau bekerja sama sehingga terpaksa dibasmi!
Demikianlah, cerita ini dimulai pada tahun 1645, dimulai dengan lembaran hitam dan sebagai contoh dari sekian banyaknya peristiwa keji dan terkutuk, diceritakan kemalangan yang menimpa Keluarga Sie.....
********************
Beberapa bulan kemudian setelah terjadinya peristiwa terkutuk di Kam-chi itu, tampak seorang anak laki-laki berpakaian penuh tambalan berjalan seorang diri memasuki kota Tiong-kwan di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah lebih dulu ditaklukkan oleh tentara Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah tampak aman dan tenteram. Rakyat sudah mulai bekerja lagi seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi perang, seolah-olah rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa, siapa yang menjadi raja dan bangsa apa yang menjajah mereka! Anak kecil itu berusia sepuluh tahun lebih, berjalan melenggang seenaknya dan di pundaknya tergantung sebuah keranjang yang terisi beberapa buah roti kering dari gandum.
Dia bukan lain adalah Sie Han, atau Han Han. Kalau ada orang Kam-chi yang bertemu dengannya, tentu tidak akan dapat mengenalnya sebagai bekas putera sastrawan Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya yang penuh tambalan dan kakinya yang telanjang serta kulit kaki tangannya yang kotor itu yang membuat orang pangling, namun memang terjadi perubahan besar pada diri anak ini.
Pandang matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat tajam dan manik mata itu seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada orang. Bola mata yang bening itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan otaknya yang dapat bekerja cepat. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus dengan saputangan yang kotor.
Ketika berjalan melalui jalan yang sunyi menuju ke kota Tiong-kwan ini, Han Han bernyanyi dengan suara nyaring. Orang tentu akan tercengang keheranan kalau mendengar kata-kata nyanyiannya. Orang yang tidak pernah membaca kitab tentu menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau sedikitnya mengira dia tidak waras.
Akan tetapi kaum terpelajar akan lebih tercengang keheranan karena tentu akan mengenal nyanyian dari sajak ciptaan sastrawan besar Go Pek di jaman Kerajaan Sui, ratusan tahun yang lalu.
Bekerja seenaknya tak tertekan tak diperintah,
mengemis ke mana saja mengetuk hati nurani manusia.
Amboi... betapa bebas dan senangnya!
Mereka yang tidak tahu akan kebahagiaan para pengemis,
tidak tahu pula senangnya kehidupan burung di udara!
Setelah selesai menyanyikan sajak yang ia hafal dari kitab-kitab yang pernah dibacanya, Han Han lalu mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik seperti berkata kepada diri sendiri, mencela nyanyian tadi.
“Wah, Go Pek memang pelamun kosong! Kalau ditakdirkan menjadi manusia, kenapa menginginkan kehidupan burung? Manusia dan burung tidak sama. Orang yang malas dan hanya suka mengemis adalah orang yang tiada gunanya. Dan apakah artinya hidup di dunia kalau tidak ada gunanya?” Ia menggeleng-geleng kepalanya lalu bernyanyi lagi akan tetapi sekali ini nyanyiannya jauh berbeda de-ngan tadi, karena nyanyiannya seperti lagu kanak-kanak:
Duk-ceng, duk-ceng!
warna hitam tampak putih,
bau busuk disangka wangi,
suara brengsek terdengar merdu,
rasa pahit katanya manis!
Duk-ceng, duk-ceng!
Jangan percaya mata dan telinga mulut,
semua itu palsu belaka.
Duk-ceng, duk-ceng, duk-ceng-ceng!
Terdengarnya saja nyanyian ini seperti nyanyian kanak-kanak. Suara duk-ceng itu adalah suaranya tambur dan gembreng. Akan tetapi sesungguhnya, nyanyian ini adalah nyanyian kaum Agama To dan mempunyai arti yang amat dalam. Nyanyian yang menyindirkan betapa manusia dikuasai oleh panca inderanya, betapa manusia selalu menurutkan perasaannya. Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini karena setiap hari pun sampai sekarang dapat kita lihat ‘dagelan’ (lawak) macam itu. Betapa banyaknya orang melihat hal hitam sebagai putih sehingga yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan harta sehingga tercium wangi, suara-suara yang menyesatkan dianggap merdu kalau suara itu menguntungkannya, dan masih banyak kenyataan-kenyataan lain.
Semua itu dikenal Han Han dari kitab-kitabnya. Dia meninggalkan rumah dan keluarganya yang terbasmi habis itu tanpa membawa uang sepeser pun. Akan tetapi Han Han seorang anak yang cerdik dan semenjak peristiwa itu terjadi, ia menemukan ketabahan dan keuletan yang luar biasa sekali.
Di sepanjang jalan dalam perantauannya yang tiada bertujuan ini, ia selalu mencari pekerjaan, membantu petani kalau lewat di dusun, membantu mencuci piring di restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang yang dibongkar dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak pernah kekurangan makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai bekal roti kering yang akan cukup menghindarkannya dari kelaparan selama beberapa hari.
Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan dan memasuki tempat yang mulai ramai, Han Han tidak bernyanyi lagi, bahkan sikapnya pun tidak acuh seperti sikap seorang pengemis biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota yang cukup ramai itu karena letaknya yang dekat dengan Sungai Huang-ho membuat kota ini mudah melakukan hubungan dengan kota-kota lain.
Akan tetapi ada hal yang membuat Han Han diam-diam termenung dan prihatin, yaitu banyaknya pengemis di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak mempunyai keluarga yang menyokongnya, melainkan pengemis-pengemis cilik yang terdiri dari anak-anak sebaya dengan dia sendiri.
Akibat perang, keluhnya diam-diam dengan perasaan tidak senang. Anak-anak yang sudah kehilangan orang tua dan keluarga, atau anak-anak yang orang tuanya demikian miskin sehingga mereka ini terlantar dan mencari makan dengan jalan mengemis. Anak-anak usia belasan tahun yang pakaiannya compang-camping, ada yang penuh tambalan, ada pula yang hanya memakai celana butut tanpa baju, dengan tubuh kurus akan tetapi perut gendut tanda perut yang jarang diisi atau diisi secara tidak teratur. Muka yang kurus pucat, sinar mata yang sayu tidak bercahaya, pencerminan hati yang kehilangan harapan dan pegangan. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang nakal-nakal, dengan sinar mata mencemoohkan dunia, tidak peduli akan segala perbuatannya, tidak tahu membedakan pula antara baik dan buruk. Pengaruh keadaan!
Tiba-tiba sebatang kayu bercabang menodongnya. Han Han mengangkat muka, sadar dari lamunan dan melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, akan tetapi tubuhnya amat kurus sehingga tulang-tulang iga yang tidak tertutup baju itu tampak nyata. Muka yang cekung kurus itu membayangkan ketampanan, sedangkan matanya bersinar cerdik menimbulkan rasa suka di hati Han Han.
“Berlutut kamu! Berlutut dan tunduk kepada perwira tinggi atau kupenggal kepalamu! Engkau tentu pencuri, he? Atau pencopet?” Mata anak itu melirik ke arah keranjang yang terisi roti kering.
Melihat lagak anak ini seperti seorang perwira menodongkan pedang dengan angkuhnya, Han Han tertawa terbahak dengan hati geli. “Ha-ha-ha-ha! Perwira macam apa ini? Bajunya dari kulit hidup, bukan terhias bintang melainkan terhias tulang-tulang iga. Dan celananya, bukan terhias baju besi melainkan terhias tambal-tambalan! Apakah kamu ini perwira dari neraka?”
Melihat Han Han tidak marah sehingga tidak ada alasan untuk diajak berkelahi, malah tertawa dan mengeluarkan kata-kata lucu, anak itu pun menyeringai tertawa. Giginya putih dan rata, menambah ketampanan wajahnya dan menambah rasa suka di hati Han Han.
“Kau orang baru di sini? Bagaimana kau datang? Dan dari mana kau mendapatkan roti kering begitu banyak?” tanya anak itu, menyelinapkan rantingnya di pinggang seperti seorang perwira menyimpan pedangnya.
“Kau mau? Lapar? Nih sebuah untukmu,” kata Han Han sambil menyerahkan sebuah roti kering.
Anak itu memandang terbelalak, menelan ludah dan bertanya ragu, “Benar-benar kau berikan sebuah untukku? Tidak main-main?” Ia merasa heran karena belum pernah melihat seorang pengemis lain memberinya sepotong roti dengan sikap begitu royal dan ramah.
“Mengapa tidak? Kalau kau lapar! Mari kita makan di pinggir jalan,” kata Han Han sambil berjalan ke tepi jalan lalu duduk di atas tanah.
Anak itu telah menerima roti pemberian Han Han, memandang roti seperti belum percaya, lalu mengikuti Han Han duduk di tepi jalan. Seketika sikap bocah itu berubah ramah dan akrab dan memang itulah sifat aslinya. Kalau tadi ia seperti anak yang memancing perkelahian adalah watak yang dibentuk oleh keadaan sekelilingnya.
“Wah...! Keras...!” Anak itu mengeluh ketika mencoba menggigit rotinya.
Han Han tersenyum. “Memang keras sekali, sengaja dibuat untuk dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Makannya harus dicelup air teh, baru nikmat.”
“Wah, dari mana bisa mendapatkan air teh?”
“Beli, kalau kamu mau pergi membeli sebentar.”
“Hah? Beli? Memang kau kira aku ini kongcu (tuan muda) hartawan?”
Han Han tertawa geli dan merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong uang kecil, sisa hasil ia membantu pedagang membongkar barangnya kemarin dulu.
“Nih, kau belilah air teh, kutunggu di sini. Untuk dapat membeli air teh saja masa memerlukan seorang kongcu hartawan?”
Kembali anak itu memandang heran, akan tetapi ia lalu menyambar uang itu dan lari pergi dari situ, membawa roti keringnya. Han Han menghela napas. Kalau dia tidak kembali ke sini, aku tidak akan heran, pikirnya. Bocah-bocah seperti itu patut dikasihani! Benar-benar sebuah pemikiran yang amat janggal. Dia sendiri yang tadinya seorang ‘kongcu’ hartawan dan terpelajar, tinggal di rumah gedung dilayani banyak pelayan, sekarang keadaannya tiada bedanya dengan anak-anak pengemis, namun ia masih menaruh kasihan kepada mereka!
Dugaan Han Han keliru dan ia menjadi makin suka kepada bocah itu ketika melihatnya datang berlari sambil membawa sebuah kulit waluh kering yang ternyata terisi air teh. Terengah-engah ia duduk di dekat Han Han. Han Han melirik dan mendapat kenyataan bahwa roti kering di tangan anak itu masih utuh, ia makin suka. Ini menandakan bahwa anak ini memiliki watak jujur dan setia, tidak mau mendahului makan roti dengan air teh sebelum tiba di tempat Han Han!
“Nah, mulailah!” ajak Han Han yang mengambil sepotong roti, mencelupkannya di air teh sampai lama, kemudian mulai makan roti itu.
Anak itu menirunya, dan setelah ia berhasil menggigit sepotong roti, ia mengunyahnya dengan lahap sambil mulutnya mengomel. “Wah, enak! Harum dan gurih...!”
Tidak ada balas jasa yang lebih nikmat lagi bagi seorang pemberi kecuali kalau pemberiannya itu dipuji dan menyenangkan hati orang yang diberinya. Wajah Han Han berseri dan teringatlah ia akan ujar-ujar kuno yang berbunyi: ‘Bahagiakanlah hati orang yang memberimu dengan menghargai pemberiannya!’ Bocah ini telah melakukan hal itu. Tak mungkin dia tahu akan ujar-ujar ini, tentu hanya kebetulan saja!
“Siapa namamu?” tanya Han Han.
“Wan Sin Kiat! Ayahku dahulu prajurit, tewas di medan perang melawan anjing... eh, tentara Mancu.” Bocah itu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau makiannya terdengar orang. “Ibuku lari bersama seorang perwira Mancu. Aku tidak sudi ikut ibu, maka merantau dan... beginilah. Engkau siapa?”
“Aku Han Han...”
“Tentu seorang kongcu yang menyamar menjadi pengemis!”
“Eh! Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga bukan pengemis!”
“Lagak dan sikapmu seperti kongcu. Kau patut menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu!”
Han Han penasaran. “Biar pun pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis! Aku makan dari hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti yang kubantu membongkar muatan terigu!”
“Ahhh, begitukah?” Sin Kiat menghela napas dan menunduk. “Kalau aku... aku pengemis tulen.”
Han Han merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia memegang lengan anak itu dan berkata, “Engkau sampai menjadi begini akibat perang..., bukan kehendakmu, Sin Kiat.”
Tiba-tiba Sin Kiat berkata penuh semangat. “Kalau sudah besar aku akan menjadi seorang prajurit seperti mendiang Ayahku! Bahkan aku akan menanjak menjadi Perwira. Kau lihat saja!”
Han Han tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi rotinya,” ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut kawan baru itu.
Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?”
“Hah? Kalau perlu tentu saja boleh.”
“Bagus! Engkau benar-henar anak jempol! Mari ikut aku!” Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota.
Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, dan kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan.
“Mana teman-teman yang lain? Ada rejeki datang!” Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri.
“Pergi mengemis ke pasar,” jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul. “Katanya ada pembesar meninjau pasar.”
“Huh, bodoh! Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para pengawal yang galak,” kata Sin Kiat mengomel.
“Itulah sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku benci melihat pembesar...”
Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut. “Hmmm..., anak-anak, hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?”
Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya, pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.
“Lopek, silakan makan roti kering seadanya.”
Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja! Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan gembira.
Han Han lalu menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung keluarganya.
Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara mendesak, “Kek, kau ajarilah aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira!”
Kakek itu membuka matanya, menjawab malas. “Aku tidak bisa silat...”
“Bohong...! Kakek bohong...!” Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak.
Akan tetapi kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.
“Kemarin dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajari kami ilmu silat. Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang sekali pun takkan menjadi habis!”
Han Han kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera berkata, “Aku tidak suka belajar silat!”
“Hehhh??” Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa.
Sin Kiat memegang lengannya dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?”
“Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan!” kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis kerempeng.
“Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita minta!” kata bocah pengemis yang lain.
“Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,” kata pula Sin Kiat.
Han Han menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita ketiga orang anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si lemah! Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak! Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya.”
Kakek yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho! Omongan takabur dan menyeleweng jauh, bocah! Omongan sombong! Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya! Ilmu silat tetap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kau kira pedang lebih tajam dari pada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha!”
Han Han tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek jembel itu. Teringat ia akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung dari pada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek jembel. Melihat betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.
“Hayolah, Kek, ajari kami ilmu silat.”
“Aku tidak bisa ilmu silat.”
“Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat mereka roboh,” bantah Sin Kiat.
“Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).”
“Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat!” kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang kawannya.
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali.
Han Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah mengikuti kakek itu!
“Heiiiii...! Ehhh...?” Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah berakar di pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak terlawan olehnya, membuat ia terseret terus!
Han Han adalah seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biar pun ia seorang anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia sudah banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan pandai membuat sajak-sajak indah, juga terdapat orang-orang dari golongan ‘bu’ (persilatan) yang disebut pendekar-pendekar sakti.
Maka tahulah ia bahwa kakek jembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa takut, maka ia lalu berkata, “Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku pergi, harap lepaskan tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor anjing.”
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau terseret. Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan Sin Kiat yang mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih tertinggal, kini tidak terdengar lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari kota dan terus menuju ke tepi Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai, kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan, jadi ke arah utara.
Mereka berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati dan pada saat itu di samping keinginan tahunya juga merasa penasaran dan mengkal, merasa dirinya dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa pula. Ia berjalan terus di belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang melangkah lebar dan cepat membuat ia sering kali harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah sekali. Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi dengan kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya membawanya masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.
Di tepi sungai dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan, pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas, bahkan dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh dari tempat ini, agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya.
Baru setelah mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di depan pintu, tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan lingkaran-lingkaran aneh adalah bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih). Han Han berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan ketuanya yang sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah pangcunya?
Kakek itu memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak orang-orang berpakaian pengemis berkeliaran di sekitar tempat itu. Di tengah-tengah terdapat bangunan pondok berbentuk kelenteng dan dari situ mengepul asap hio yang wangi.
Para jembel itu melihat masuknya kakek bersama Han Han, namun mereka hanya melirik saja dan tak seorang pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke ruangan depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari belakang dan berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba duduk bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja sembahyang yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara sembahyang yang aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas, ditekuk ke belakang sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti Han Han. Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah ke luar lagi, memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya.
Han Han ikut terus dan ternyata mereka menuju ke sungai di mana terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan airnya dari sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air sungai, maka air di situ tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas benda berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat dari pada kayu, mengambang dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam.
Yang membuat Han Han tercengang adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih, berloncatan dari satu ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang yang berlatih, sementara itu masih ada tiga puluh orang lebih menonton di pinggir kolam. Mereka semua itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki dari pada wanitanya yang hanya ada beberapa orang.
Han Han tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga orang itu berloncatan ke atas teratai-teratai kayu yang mengambang di air, melihat gerakan mereka yang begitu ringan dan gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah tiga orang itu meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang belum mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya miring membuat ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya, ada yang mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya sehingga ia terjatuh.
Ketika kakek yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi tak seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap berlatih, namun kini lebih tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu berkata, “Latihan ginkang ini bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil Sin Lian!”
Han Han melihat betapa semua pengemis yang berada di situ amat menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya kakek inilah ketua mereka! Akan tetapi mengapa mereka itu seperti acuh tak acuh atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang memberi hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara itu, seorang pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek ini, datang bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh sudah memanggil.
“Ayah...!” Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang kakek itu. Si kakek mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kembali Han Han tercengang. Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan tetapi anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun! Juga keadaan anak itu amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih, wajahnya berseri-seri matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para jembel itu benar-benar merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan gagak.....
Komentar
Posting Komentar