PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-08
Betapa pun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang
sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini
menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya
kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya
seorang manusia keji dan mengerikan.
Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.
“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.
Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?”
“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”
Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”
Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan mala petaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”
“Tidak tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.
“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”
“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”
“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
“Lihat! Kebakaran!”
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
“Celaka...! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”
“Aku... takut..., Koko.”
“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.
Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya, diajak bersembunyi.
Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api yang membakar rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam suntuk, demikian pula kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya menjadi silau menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.
Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan.
Lulu yang masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.
Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar, seperti terbabat senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus, dan semua mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko... aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
“Tenanglah, Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana.... Eh, dengar... ada orang merintih...! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...”
“Aku... aku takut... nge... ngeri...!”
Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.
“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”
Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah.
Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu biar pun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.
Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa. Pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah, Yan Hwa.... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan). Tenanglah, Adikku, kekasihku...”
“Oughhh... Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut kekasih...? Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”
“Hushhh... ada orang datang, diamlah...”
“Aughhh... ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”
Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.
“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.
“Han-ko... tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti adiknya, lalu menggandeng tangan adiknya.
Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.
“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han.
Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.
“Oohhh, mana air...?” Nenek itu mengeluh.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang. Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi.
Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.
“Engkau siapa?”
Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.
“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.
Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.
“Eh...! Matamu...!”
“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.
“Seperti...”
“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... Eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”
“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.
Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”
“Sabar, Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...”
Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.
“Locianpwe mencari Kongkong-ku?”
Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu Kongkong-mu?”
“Jai-hwa-sian...!”
“Hehhh...?”
“Ihhhhh...?”
Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.
“Heh, anak setan, siapa nama Kongkong-mu?”
“Namanya Sie Hoat.”
Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.
“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”
“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”
“Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”
“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu menganggapnya main-main.
Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!
“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga, barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng Ayah sudah puluhan tahun dia pergi merantau...”
“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”
“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”
“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.
“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”
“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”
“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”
“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”
“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”
“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main.
Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapa pun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri... seperti juga kami berdua.... Kami berdua mungkin lebih sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih pahit... aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!
“Kakek... kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... Engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam cinta... alangkah bahagianya...” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
“Moi-moi... anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah, Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang pergi bersamamu, Koko...”
Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.
“Dengar, anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.
Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...”
Han Han tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan ke balik bajunya.
“Dekatkan telingamu...”
Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.... “Sudah mengertikah engkau?”
Han Han mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”
Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah, terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami...”
“Juga Koai-lojin tidak mampu...?”
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”
“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami...”
“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekali pun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa...”
“Iihhh... kejam...!” seru Lulu.
“Karena itu, biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya... engkau lihat sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali... aku bahagia...”
Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”
Han Han tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
“Suhu...! Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me... mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur mereka...”
“Hayo kita pergi, Han-ko.... Aku takut sekali...”
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.
Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh... aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biar pun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya. Dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!
Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan...,” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta dari pada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko... ada apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah...”
“Kakimu dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi... pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biar pun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan...!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm..., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau...”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”
“Aku... aku... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi... mereka jahat sekali...”
“Hushhh, diamlah...”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad...! Murid durhaka...!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu...!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu...! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”
Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana, Koko?”
“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau Es.”
“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.
“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko...!” Lulu menangis.
“Eh, malah menangis. Ada apa?”
“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko...!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur. Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"
Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.
Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan sikap mereka tampak gagah.....
Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.
“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.
Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?”
“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”
Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”
Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan mala petaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”
“Tidak tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.
“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”
“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”
“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
“Lihat! Kebakaran!”
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
“Celaka...! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”
“Aku... takut..., Koko.”
“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.
Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya, diajak bersembunyi.
Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api yang membakar rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam suntuk, demikian pula kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya menjadi silau menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.
Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan.
Lulu yang masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.
Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar, seperti terbabat senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus, dan semua mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko... aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.
“Tenanglah, Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana.... Eh, dengar... ada orang merintih...! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...”
“Aku... aku takut... nge... ngeri...!”
Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.
“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”
Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah.
Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu biar pun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.
Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa. Pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah, Yan Hwa.... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan). Tenanglah, Adikku, kekasihku...”
“Oughhh... Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut kekasih...? Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”
“Hushhh... ada orang datang, diamlah...”
“Aughhh... ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”
Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.
“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.
“Han-ko... tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.
“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti adiknya, lalu menggandeng tangan adiknya.
Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.
“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han.
Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.
“Oohhh, mana air...?” Nenek itu mengeluh.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang. Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi.
Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.
“Engkau siapa?”
Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.
“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.
Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.
“Eh...! Matamu...!”
“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.
“Seperti...”
“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... Eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”
“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.
Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”
“Sabar, Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...”
Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.
“Locianpwe mencari Kongkong-ku?”
Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu Kongkong-mu?”
“Jai-hwa-sian...!”
“Hehhh...?”
“Ihhhhh...?”
Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.
“Heh, anak setan, siapa nama Kongkong-mu?”
“Namanya Sie Hoat.”
Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.
“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”
“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”
“Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”
“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu menganggapnya main-main.
Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!
“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga, barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.
Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng Ayah sudah puluhan tahun dia pergi merantau...”
“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”
“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”
“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.
“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”
“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”
“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”
“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”
“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”
“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main.
Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapa pun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri... seperti juga kami berdua.... Kami berdua mungkin lebih sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih pahit... aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!
“Kakek... kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... Engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam cinta... alangkah bahagianya...” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!
Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.
“Moi-moi... anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah, Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang pergi bersamamu, Koko...”
Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.
“Dengar, anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.
Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...”
Han Han tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan ke balik bajunya.
“Dekatkan telingamu...”
Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.... “Sudah mengertikah engkau?”
Han Han mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.
“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”
Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah, terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.
“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami...”
“Juga Koai-lojin tidak mampu...?”
Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.
“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”
“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.
“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami...”
“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekali pun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.
“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa...”
“Iihhh... kejam...!” seru Lulu.
“Karena itu, biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya... engkau lihat sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah suaranya.
Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali... aku bahagia...”
Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”
Han Han tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”
Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.
“Suhu...! Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.
“Me... mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.
“Aku harus mengubur mereka...”
“Hayo kita pergi, Han-ko.... Aku takut sekali...”
“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”
“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”
Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.
“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.
Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”
Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.
“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.
Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.
Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.
“Aduh... aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”
Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”
Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.
Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.
Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.
Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?
Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biar pun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.
Akan tetapi dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya. Dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”
Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!
Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!
Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.
“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.
Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.
“Kasihan...,” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”
Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.
Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!
Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta dari pada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.
Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko... ada apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah...”
“Kakimu dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi... pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.
Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.
“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biar pun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan...!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm..., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau...”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”
“Aku... aku... takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi... mereka jahat sekali...”
“Hushhh, diamlah...”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad...! Murid durhaka...!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu...!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu...! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”
Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana, Koko?”
“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau Es.”
“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.
“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko...!” Lulu menangis.
“Eh, malah menangis. Ada apa?”
“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko...!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur. Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"
Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.
Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan sikap mereka tampak gagah.....
Komentar
Posting Komentar