PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-16


Lulu minggir dan Han Han lalu melangkah lebar menghampiri barisan yang sudah siap menyambutnya. Dengan sinar matanya Han Han menyapu barisan itu dan diam-diam ia merasa amat kagum karena sikap dan kedudukan pasangan kuda-kuda tiga belas orang hwesio yang rata-rata berusia tiga puluh tahun itu amatlah kuat dan kokoh seperti batu karang. Dari pasangan kuda-kudanya saja dapat diketahui bahwa Siauw-lim-pai memiliki murid-murid yang baik-baik dan ilmu silat Siauw-lim-pai bukan omong kosong belaka.
"Majulah!" Han Han berseru dan menerjang maju, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dilambaikan ke depan dari kanan kiri.
Ia tidak ingin menyerang lebih dulu dan ingin sekali menyaksikan bagaimana kehebatan Khong-jiu-tin ini. Setelah belajar ilmu di Pulau Es, Han Han amat suka melihat ilmu silat dan ingin sekali meluaskan pengalamannya dengan menyaksikan ilmu-ilmu silat didunia kang-ouw.
"Sambut serangan!" Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga belas buah mulut secara serentak dan bergeraklah tiga belas orang hwesio itu menyerang Han Han. Gerakan mereka amat cepat, langkah-langkah mereka teratur, pukulan-pukulan yang dilancarkan mantap dan kuat.
Han Han menggunakan ginkang-nya, Tubuhnya ringan bagaikan tubuh seekor walet saja, dan dengan kecepatan yang mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang menyerangnya. Akan tetapi betapa pun cepat gerakannya, ia tak dapat mengatasi kecepatan gerakan tiga belas orang sekaligus. Apa lagi ketika tiga belas orang itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan kepandaian perorangan, tetapi bergerak menurut ilmu barisan yang aneh dan hebat. Ke mana pun Han Han mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong hwesio lain yang disusul dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi Han Han seolah-olah tidak ada jalan ke luar lagi.
Terpaksa pemuda ini menggunakan lengannya menangkis. Beberapa kali saja Han Han menangkis, terdengar seruan-seruan kesakitan dari para hwesio yang tertangkis lengannya, dan segera gerakan para hwesio itu berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka tertangkis lagi! Tiap kali lengan mereka ditangkis, mereka sudah menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh hwesio lain.
Han Han makin kagum. Sudah beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk ketika beberapa buah pukulan para pengeroyoknya tak dapat ia elakkan dan terpaksa ia terima dengan tubuhnya yang sudah kebal. Ia maklum bahwa andai kata ia tidak memiliki sinkang yang jauh lebih tinggi sehingga dia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi sinkang, dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang, kiranya ia akan celaka di tangan tiga belas orang ini.
Kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukarlah menandingi barisan yang hebat ini. Ia mulai memperhatikan gerakan mereka dan mengertilah ia bahwa sesungguhnya Khong-jiu-tin yang terdiri dari pada tiga belas orang itu adalah dua macam barisan yang digabung menjadi satu. Pertama barisan Pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang, ke dua barisan Ngo-heng-tin yang terdiri dari lima orang. Kedua barisan itu kadang-kadang melakukan gerakan terpisah saling membantu, kadang-kadang membentuk lingkaran dengan Pat-kwa-tin di sebelah luar dan Ngo-heng-tin di sebelah dalam.
Karena dalam hal ilmu silat Han Han memang belum dapat dikatakan mahir, menghadapi kedua barisan yang digabung merupakan Khong-jiu-tin yang mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Lo-han-kun yang amat hebat dari Siauw-lim-pai ini, tentu saja Han Han tidak mampu melawannya. Terpaksa ia harus mengandalkan sinkang-nya yang membuat tubuhnya kebal dan menerima belasan kali pukulan-pukulan keras sebelum ia sempat melihat jalannya barisan yang amat mengagumkan itu.
Karena khawatir kalau-kalau pukulan-pukulan yang makin berbahaya melanda tubuhnya, Han Han mengerahkan khikang-nya, mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua lengannya mendorong ke arah lawan yang mengeroyok dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang. Dapat dibayangkan betapa hebatnya dorongan-dorongan tenaga Im-kang ini kalau diingat bahwa bertahun-tahun pemuda ini melatih diri di Pulau Es yang amat dingin, sehingga ia telah dapat menyedot inti sari hawa dingin, membuat Im-kang-nya yang dipelajari menurut kitab-kitab Ma-bin Lo-mo menjadi hebat, lebih hebat dari Swat-im Sin-ciang milik Ma-bin Lo-mo sendiri!
Terdengar keluhan-keluhan ketika tiga belas orang itu terhuyung-huyung dan roboh semua dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan! Untung bahwa Han Han teringat akan sindiran Lulu tadi sehingga ia tidak menurunkan tangan maut, membatasi tenaga dorongannya sehingga darah tiga belas orang itu tidak membeku.
"Omitohud... luar biasa...!" terdengar Ceng To Hwesio berseru.
Tiga belas orang hwesio anggota barisan Khong-jiu-tin itu saling bantu dan mundur. Tempat mereka kini diganti oleh sebuah barisan lain yang terdiri dari sembilan orang hwesio-hwesio tua berusia antara lima puluh tahun, rata-rata bertubuh kurus kering dan kelihatannya lemah sekali.
"Eh, hwesio curang! Sudah jelas barisan tadi tidak mampu menahan Kakakku, sekarang hwesio-hwesio tua kurus kering ini mau coba lagi?" bentak Lulu yang menghampiri kakaknya dan mengusap-usap leher kanan Han Han yang agak merah karena tadi terpukul, bahkan sebelah kanan bibirnya pecah dan berdarah sedilkit, bajunya robek-robek.
"Koko tidak sakitkah?"
Han Han menggeleng kepala dan dengan halus mendorong tubuh adiknya ke pinggir sambil berkata, "Lulu, tenanglah. Barisan yang datang ini lebih berat."
"Apa? hwesio-hwesio kurus kering ini? Jumlahnya pun hanya sembilan orang, Sekali dorong saja roboh Tak usah di dorong, kau tiup saja mereka akan roboh semua, Koko! Mereka ini hanyalah penderita-penderita penyakit encok dan batuk!"
Ceng To Hwesio tldak rnempedulikan ulah dan kata-kata kakak beradik itu, lalu berkata dengan suara nyaring. "Ujian pertama dapat dilalui, ujian kedua menyusul. Lo-han-tin (Barisan Orang Tua) dari Siaw-lim-pai, hadapilah, orang muda!"
Barisan ini jauh sekali bedanya dengan barisan Khong-jiu-tin tadi. Kalau barisan pertama tadi terdiri dari hwesio-hwesio yang bertubuh tegap dan gerakan mereka mantap mengandung tenaga kuat, barisan ke dua ini terdiri dari hwesio-hwesio tua yang lemah sedangkan gerakan mereka pun kelihatan tak bertenaga. Namun Han Han yang biar pun belum berpengalaman namun sebagai seorang ahli sinkang dan karena sudah banyak membaca kitab-kitab ilmu silat tinggi, dapat menduga bahwa barisan ini terdiri dari ahli-ahli sinkang yang tak boleh dipandang ringan.
Dugaannya memang benar. Sembilan orang ini adalah murid-murid kepala dari Ceng To Hwesio dan tingkat mereka hanya sedikit lebih rendah dari pada tingkat lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio yang tadi menjadi pengantar kedua orang muda itu dan yang kini tidak tampak lagi.
"Hemmm, beginikah peraturan Siauw-lim-pai? Kurasa hanya ditujukan kepada tamu-tamu yang tak dikehendaki saja," kata Han Han sambil tersenyum mengejek. "Para Losuhu, kalau tidak malu mengeroyok seorang muda, majulah!"
Sembilan orang hwesio itu adalah sebuah barisan yang hanya mentaati perintah, maka tentu saja tidak mengandung perasaan pribadi dan ucapan Han Han itu tidak membuat mereka menjadi rikuh. Kini bahkan mereka bergerak maju dan mulai mengurung, lalu mengirim serangan-serangan yang kelihatannya lambat, namun sesungguhnya cepat dan dahsyat sekali, jauh lebih berbahaya dari pada penyerangan Khong-jiu-tin karena kini setiap pukulan mengandung tenaga lweekang yang hebat.
Melihat pukulan-pukulan yang berbahaya ini Han Han cepat meloncat ke atas dan ia pun mengerahkan sinkang di tubuhnya, berjungkir balik di udara. Kini tubuhnya menukik ke bawah dengan kedua tangan didorongkan, lalu ditarik kekanan kiri untuk menangkis sambutan para pengeroyoknya yang sudah mengirim pukulan-pukulan pula. Begitu hawa pukulan itu bertemu dengan hawa sinkang yang keluar dari kedua lengan Han Han, sembilan orang kakek itu terhuyung dan mereka berseru heran. Akan tetapi mereka sudah menerjang maju lagi dan kini gerakan tangan mereka mengeluarkan angin sebagai tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sakti yang ada pada diri mereka.
Seperti juga tadi ketika menghadapi pengeroyokan Khong-jiu-tin, Han Han tidak dapat melawan iImu silat Lo-han-kun yang dimainkan sembilan orang ahli itu. Biar pun ia sudah mempergunakan ginkang-nya sehingga kadang-kadang tubuhnya lenyap dari pengurungan sembilan orang hwesio itu, dan sudah mempergunakan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis, namun tetap saja masih ada beberapa buah pukulan yang ‘mampir’ di tubuhnya. Dan kali ini pukulan-pukulan yang mengenai tubuhnya sama sekali tidak boleh disamakan dengan pukulan-pukulan barisan pertama tadi karena pukulan-pukulan kali ini adalah pukulan yang mengandung tenaga lweekang.
Biar pun tubuh Han Han amat kebal karena kuatnya sinkang-nya, dan memang ternyata bahwa tenaga dalamnya jauh lebih kuat dari pada para pengeroyoknya, namun pukulan-pukulan itu masih menggetarkan isi dada dan isi perutnya sehingga sebuah pukulan yang cukup keras pada dadanya membuat darah mengucur keluar dari mulutnya! Dia tidak terluka, akan tetapi getaran dan goncangan itu ditambah pukulan yang mampir dl lehernya membuat mulut dan hidungnya berdarah.
Marahlah Han Han, kemarahan yang tidak dibuat-dibuat, yang timbul dengan sendirinya, yang membuat mukanya tampak bengis, sepasang matanya menyorotkan pandang mata seperti kilat, penuh kebencian dan penuh nafsu membunuh. Semua wajah para pengeroyoknya seolah-olah berubah menjadi wajah-wajah tujuh orang perwira Mancu yang membasmi keluarganya sehingga menimbulkan kebencian yang meluap-luap di dalam hatinya, mendatangkan nafsu membunuh. Ia mengeluarkan suara teriakan melengking yang terdengar mengerikan, lalu tubuhnya digoyang seperti seekor harimau menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu, kemudian ia menerjang maju dengan kedua tangan menyambar-nyambar kedepan.
"Koko... jangan...!!” Lulu berteriak ngeri menyaksikan keadaan kakaknya itu.
Han Han dapat mendengar jerit ini dan untunglah demikian, karena kedua tangannya yang menyebar maut dengan pukulan-pukulan Swat-im Si-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang secara berganti-ganti itu dapat ia tahan kekuatannya sehingga sembilan orang hwesio itu hanya terjengkang dan muntah-muntah darah, terluka parah akan tetapi tidak ada yang tewas
“Omitohud...!” Ceng To Hwesio berseru marah. “Kejam sekali engkau...!”
Pada saat itu dari luar menyambar sinar-sinar berkeredapan dan ternyata lima orang hwesio murid utama Ceng To Hwesio sudah muncul sambil menyambitkan senjata rahasia mereka ke arah Han Han. Hal ini mereka lakukan bukan sekali-kali untuk bermain curang, melainkan terdorong oleh kekhawatiran dan karena mereka ingin menolong para sute mereka agar jangan sampai dipukul lagi oleh Han Han. Mereka mengira bahwa pemuda itu tentu akan membunuh semua sute mereka yang sembilan orang itu.
"Hwesio-hwesio curang!" Lulu sudah mencabut pedangnya. Sinar hijau menyilaukan mata berkelebat dan semua senjata rahasia yang disambar sinar ini menjadi patah-patah seperti buah-buah mentimun bertemu pisau yang amat tajam.
"Cheng-kong-kiam !" teriak hwesio pincang bertongkat ketika melihat pedang itu.
"Omitohud kiranya benar-benar murid Hoa-san-pai yang mengacau! Tangkap!" bentak Ceng To Hwesio ketika mengenal Cheng-kong-kiam sebagai pedang pusaka Hoa-san-pai. Memang pedang di tangan Lulu itu adalah Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu dan pedang ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sehingga para hwesio Siauw-lim-pai juga mengenalnya.
Lima orang hwesio itu menyerang hebat, mengurung Han Han dengan menggunakan senjata mereka. Si Pincang menggunakan tongkatnya, dua orang hwesio menggunakan toya yang sudah mereka pegang ketika mereka muncul, sedangkan yang tertua dan yang nomor dua memegang pedang. Serangan mereka itu biar pun tidak sehebat ilmu pedang Siauw-lim Chit-kiam, namun karena mereka adalah tokoh tokoh Siauw-Lim-pai tingkat tinggi, tentu saja serangan mereka ini hebat bukan main.
Dalam hal kekuatan singkang, boleh jadi Han Han yang telah memiliki tenaga mukjizat itu sukar ditandingi para hwesio yang mendapat sinkang melalui latihan wajar, tidak seperti Han Han yang berlatih dengan cara-cara golongan sesat. Akan tetapi dalam hal iImu silat, Han Han sunguh ketinggalan jauh kalau dibandingkan dengan lima orang hwesio murid Ceng To Hwesio itu.
Ada pun Lulu yang juga memiliki tenaga sinkang yang tidak lumrah kalau dibandingkan dengan gadis seusia yang sejak kecil belajar silat, dan telah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali, namun dia kurang mendapat bimbingan yang benar sehingga ilmu pedangnya yang amat indah dan tinggi mutunya itu kekurangan isi. Tentu saja dia pun bukan lawan tokoh-tokoh Siaw-limpai itu.
Si hwesio tua yang pincang kakinya menghadapi Lulu dengan tongkatnya. Ternyata hwesio ini bukan main ketika bergerak menerjang Lulu dengan tongkat di tangan. Gerakannya gesit dan biar pun kakinya cacat, namun dia mampu bergerak melebihi kecepatan orang yang tidak cacat. Terdengar suara keras ketika Lulu menangkis dengan pedangnya. Ujung tongkat kayu itu terbacok putus sedikit saking tajamnya pedang pusaka Hoa-san-pai itu, akan tetapi telapak tangan Lulu tergetar hebat saking kuatnya tongkat di tangan hwesio pincang.
"Nona muda, lebih baik engkau menyerah saja. Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang adil dan tentu akan mengadakan sidang pengadilan yang tidak sewenang-wenang. Melawan pun tiada gunanya,” hwesio pincang itu berkata dengan suara halus. Dia seorang tokoh Siuw-lim-pai yang berilmu tinggi, sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw sehingga kini merasa sungkan untuk bertanding melawan seorang gadis remaja yang lebih cocok menjadi cucu muridnya!
"Hwesio sombong, apa kau kira akan dapat mengalahkan aku? Lihat pedang!" Lulu berteriak marah dan pedangnya sudah berkelebat menyambar lagi, merupakan segulungan sinar hijau yang lebar dan panjang.
"Omitohud, orang muda yang bersemangat baja!" Hwesio pincang itu berseru, tidak marah karena sebagai seorang hwesio tentu saja ia telah memiliki kesabaran besar, bahkan ia merasa kagum menyaksikan sepak-terjang gadis cantik ini.
Cepat ia menggerakkan tongkatnya dan sekejap kemudian bertandinglah mereka dengan hebat. Biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, namun hwesio pincang itu harus bersilat dengan amat hati-hati karena ginkang gadis itu sudah mencapai tingkat yang tinggi pula, membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet. Hwesio ini juga harus waspada terhadap tenaga sinkang yang tersembunyi di tangan halus gadis itu, yang memegang pedang pun tak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, Han Han juga mengamuk, dikeroyok oleh empat orang hwesio lain. Agaknya para hwesio itu tidak ingin gagal untuk memenuhi perintah suhu mereka, yaitu menangkap Han Han. Maka mereka berempat maju serentak dengan tangan kosong, membiarkan hwesio pincang seorang diri menghadapi Lulu yang mereka pandang rendah. Mereka sudah mendengar akan kelihaian Han Han ini dan karena Han Han telah membunuh orang-orang Siauw-lim-pai secara mengerikan, bahkan disangka membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, tentu saja mereka maklum bahwa pemuda ini amat lihai, maka mereka maju mengeroyok dan berlaku hati-hati sekali.
Pening rasa pandang mata Han Han ketika ia melihat gerakan para pengeroyoknya yang selain cepat juga amat mantap itu. Ke mana pun ia menggerakkan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang atau Swat-im Sin-ciang, selalu serangannya dapat dihindarkan keempat orang hwesio itu yang cepat mengelak dan sama sekali tidak berani menangkis. Memang dahsyat serta mengerikan sekali sambaran kedua tangan Han Han ini, kadang-kadang mengandung hawa yang panas seperti api membara, kadang-kadang dingin seperti es.
Ilmu silat yang dimainkan oleh empat orang hwesio itu adalah ilmu silat tinggi Siauw-lim-pai yang amat terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Dibandingkan dengan Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan oleh barisan Khong-jiu-tin yang tadi mengeroyoknya, memang tidak ada bedanya, akan tetapi kini dimainkan dengan tenaga yang jauh lebih kuat dan gerakan yang lebih mantap.
Seperti juga tadi, Han Han tidak dapat mempertahankan dirinya, tidak dapat menghindarkan diri dari gebukan-gebukan dan tendangan-tendangan yang tentu akan membuatnya roboh pingsan sekiranya dia tidak memiliki tubuh yang penuh dengan hawa sinkang yang amat kuatnya. Beberapa kali ia kena dijotos dadanya sampai tubuhnya terjengkang dan roboh bergulingan, namun setiap kali ia bangkit lagi dan mengamuk lebih hebat lagi.
Setelah berkelahi, hawa yang aneh memenuhi tubuh Han Han. Matanya berubah beringas, wajahnya merah menyeramkan, mulutnya yang berdarah itu membayangkan kekejaman dan nafsu membunuh, hidungnya yang juga berdarah itu berkembang-kempis, matanya seperti mata harimau gila, kerongkongannya mengeluarkan suara rnenggereng-gereng dan kadang-kadang melengking-lengking.
Empat orang hwesio murid Ceng To Hwesio kagum bukan main dan berkali-kali mereka mengeluarkan seruan terkejut saking herannya melihat betapa pemuda itu dapat menerima hantaman mereka tanpa mengalami cedera atau terluka sedikit pun. Setiap kali menerima pukulan, hanya sedikit darah mengalir dari mulut atau hidungnya. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda remaja memiliki kekebalan seperti itu!
Sungguh pun tubuh Han Han tidak sampai terluka di sebelah dalam, namun sesungguhnya Han Han menderita bukan main. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tidak karuan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan telinganya mendengar suara mengiang-ngiang tiada hentinya. Kemarahannya memuncak. Ketika empat orang hwesio itu untuk ke sekian kalinya menerjang maju dari empat jurusan, ia sengaja tidak mau mengelak lagi, juga tidak menangkis hanya menanti sampai pukulan mereka tiba.
Tiba-tiba Han Han mengeluarkan suara melengking tinggi. Tangan kirinya menghantam ke kiri dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang sedangkan tangan kanan menghantam ke kanan dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Karena pemuda ini sengaja mengorbankan tubuhnya menjadi sasaran dan berbareng pada detik itu mengirim pukulan-pukulan, maka terdengar jerit mengerikan ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran.
Hwesio di sebelah kirinya roboh dengan muka biru dan darah membeku sedangkan yang berada di sebelah kanannya roboh pula dengan muka menjadi hitam gosong seperti terbakar! Akan tetapi dia sendiri pun menerima pukulan-pukulan yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntahkan darah segar yang banyak juga!
"Koko...!" Tiba-tiba Lulu menjerit dan Han Han cepat menengok.
Ternyata bahwa pedang adiknya itu telah terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan tangan adiknya itu. Ia melihat Ceng To Hwesio menggerakkan tangan seperti melambai dan... pedang adiknya itu terbang ke arah tangan Si Hwesio yang membentak marah.
"Bocah setan, engkau kembali membunuh dua orang murid pinceng! Kau tidak boleh dibiarkan hidup lagi!”
Kini mereka semua menyerbu mengeroyok Han Han. Ceng To Hwesio dan muridnya yang tinggal tiga orang karena hwesio pincang itu setelah melihat dua orang sute-nya tewas lalu meninggalkan Lulu dan ikut mengeroyok Han Han.
Tidak seperti tadi ketika dilkeroyok empat orang hwesio bertangan kosong, kini Han Han dikeroyok empat orang hwesio yang semuanya bersenjata. Hwesio pincang memegang tongkat, dua orang hwesio lain memegang toya dan Ceng To Hwesio memegang pedang Cheng-kong-kiam dari Hoa-san-pai,
Dalam kemarahannya, Han Han tldak takut menghadapi bahaya apa pun juga. Ia menjadi nekat dan memutar kedua lengannya, mengirim pukulan-pukulan dengan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang yang dahsyat sehingga empat orang hwesio itu tidak berani terlalu mendekatinya.
"Omltohud... keji sekali...!" Ceng To Hwesio berseru dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau menuju pusar Han Han.
Pemuda itu terkejut. Cepat ia melompat ke atas seperti terbang saja dan pada saat itu, tongkat hwesio pincang menyambar kakinya. Namun Han Han menggerakkan kaki menendang sehingga tongkat itu hampir terlepas dari tangan pemegangnya. Pada saat itu sinar hijau berkelebat ke lehernya. Han Han membuang tubuh ke belakang, namun masih saja pedang itu menyerempet pundaknya sehingga bajunya berikut kulit dan sedikit daging pundak robek dan berdarah.
"Koko...!" Lulu menjerit dan menubruk Han Han, matanya melotot memandang empat orang hwesio itu dan mulutnya memaki-maki.
"Hwesio-hwesio jahat! Beginikah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, tukang keroyok dan tukang bunuh?”
Melihat gadis itu yang melindungi tubuh Han Han, empat orang hwesio itu menjadi sungkan untuk menyerang. Han Han tidak ingin melihat adiknya terancam bahaya, maka ia lalu meraih pinggang adiknya dibawa meloncat sambil membentak.
"Minggir kalian!!”
Bentakan Han Han Ini mengandung suara aneh yang memiliki pengaruh mukjizat. Tanpa mereka ketahui mengapa, empat orang hwesio itu segera mundur ke pinggir dan membiarkan Han Han lewat bersama Lulu. Setelah pemuda itu berlari ke depan, memasuki kuil, barulah Ceng To Hwesio berseru.
"Omitohud..., mengapa kita diam saja...?" Ia amat terkejut, demikian pula tiga orang muridnya dan serentak mereka mengejar ke dalam kuil.
Han Han berkelebat cepat memasuki kuil sampai ke ruangan belakang. Ternyata kuil itu luas sekali dan mempunyai banyak ruangan. Melihat betapa para hwesio kosen itu mengejar, Han Han berlari terus sambil menarik tangan Lulu. Karena para pengejarnya yakin bahwa pemuda itu tidak dapat meloloskan diri, apa lagi kalau dilihat kenyataannya bahwa Han Han malah lari memasuki kuil, maka mereka ini agaknya tidak mau ribut-ribut, dan mengejar seenaknya saja.
Han Han yang menggandeng Lulu terus lari sampai di ruangan belakang yang amat luas. Tampak banyak daun-daun pintu tertutup dan ketika Han Han tiba di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa.
"Orang muda yang diperalat iblis berlututlah dan menyerah!"
Han Han dan Lulu mengangkat muka ke atas karena suara jtu seperti datang dari atas, akan tetapi di atas tidak tampak apa-apa kecuali langit-langit rumah. Ketika mereka menoleh ke kiri, ternyata di situ telah berdiri seorang hwesio tua bermuka kurus bertubuh kecil jangkung yang berwajah angker penuh wibawa.
Hwesio kurus ini kepalanya gundul kelimis, alisnya tebal dan kumis jenggotnya jarang, tangan kirinya memegang seuntai tasbih dan pakaiannya sungguh pun sederhana namun masih jelas berbeda dengan pakaian para hwesio lain, juga kepalanya diikat tali dengan ‘hiasan’ benda kecil runcing seperti jimat di atas kepala. Hwesio ini adalah Ceng San Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang memandang Han Han dengan sinar mata penuh teguran.
Han Han menarik tangan Lulu hendak lari ke luar lagi. Melihat hwesio tua itu, Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi begitu ia membalikkan tubuhnya, Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya sudah tiba di situ dan berdiri memenuhi ambang pintu yang menuju ke luar. Mereka berempat ini memandang dengan sinar mata penuh kemarahan.
"Suheng, dia inilah bocah yang telah membunuh murld-murid Siauw-lim-pai, bahkan di luar tadi telah membunuh dua orang muridku. Mohon keputusan ketua !" berkata Ceng To Hwesio sambil menahan kemarahannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin ia turun tangan terus membunuh bocah itu, akan tetapi karena yang berkuasa memutuskan sesuatu adalah Ceng San Hwesio sebagai ketua Siauw-lim-pai, ia menahan kemarahannya dan menyerahkan keputusannya kepada Ceng San Hwesio.
"Omitohud, mala petaka menimpa Siauw-lim-pai tiada henti-hentinya... semoga Tuhan mengampuni kita sekalian...!” Ceng San Hwesio menekan kemarahannya dan berdoa, kemudian memandang kepada Han Han sambil berkata, "Orang muda, engkaukah yang bernama Sie Han, pemuda yang telah membunuh murid-murid pinceng Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, kemudian membunuh pula beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan kini bahkan membunuh dua orang murid keponakanku? Heh, orang muda yang berhati kejam, apakah sebabnya engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Apakah engkau murid Hoa-san-pai?”
Han Han menjura penuh hormat setelah kini ia tahu bahwa hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai. "Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan tidak tergesa-gesa sepertl yang lain menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan. Saya bukanlah murid Hoa-san-pai, juga tidak mempunyal hubungan apa-apa dengan Hoa-san-pai. Ada pun tentang pembunuhan yang saya lakukan terhadap anak murid Siauw-lim-pai ketika mereka bentrok di hutan dengan murid-murid Hoa-san-pai tidak perlu saya sangkal, dan memang saya melakukan pembunuhan itu sungguh pun hal itu bukan menjadi kehendak saya. Juga tewasnya dua orang hwesio yang mengeroyok saya di luar itu terjadi bukan atas kehendak saya. Akan tetapi tentang kematian dua orang murid Locianpwe, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, saya tidak tahu-menahu dan justru kedatangan saya ini hendak menjelaskan semua duduknya perkara sehingga timbul bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang kemudian menyeret diri saya sebagai orang luar karena kebetulan saja dan karena salah pengertian sebagai korban dari tipu muslihat keji seorang Puteri Mancu."
"Orang muda, setelah membunuh sekian banyaknya murid-murid Siauw-lim-pai, engkau datang ke sini dengan alasan hendak memberi penjelasan, akan tetapi sambil membunuh pula dua orang murid Siauw-lim-pai lainnya. Begitukah caramu hendak memberi penjelasan? Apakah engkau hendak menghilangkan dosa dengan pembunuhan lain lagi?"
"Maaf, Locianpwe. Sudah kukatakan tadi bahwa tewasnya Losuhu di luar itu bukanlah kehendak saya. Saya dikeroyok dan mereka berkeras menolak keinginan saya bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian dan dengan Locianpwe sebagai ketua untuk memberi penjelasan, akan tetapi mereka menggunakan kekerasan. Terpaksa saya melawan untuk membela diri dan akhirnya dua di antara para losuhu tewas..."
"Suheng! Setan cilik ini telah menginjak-injak kehormatan Siauw-lim-pai serta telah membunuh dengan cara keji tujuh orang murid-murid Siauw-lim-pai, kemudian sekarang membunuh pula dua orang murid tingkat pertama, bahkan kematian Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek tentu akibat perbuatannya pula karena memang dia memiliki ilmu setan. Harap Suheng sekarang memberi keputusan agar saya dapat turun tangan menangkap atau membunuhnya," kata Ceng To Hwesio yang merasa marah sekali atas kematian dua orang muridnya yang tersayang.
Tidak hanya Ceng To Hwesio yang merasa sakit hatinya oleh kematian para murid Siauw-lim-pai. Biar pun ketua Siauw-lim-pai sendiri, Ceng San Hwesio, juga merasa sakit hati. Tetapi sebagai seorang ketua yang berpikiran luas dan berpemandangan jauh ia tidak mau bertindak sembrono. Urusan Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai jauh lebih penting dan lebih besar dari pada urusan dendam terhadap orang muda ini, pikirnya. Maka ia menindas perasannya dan bertanya.
"Orang muda she Sie, engkau hendak menyampaikan penjelasan tentang sebab-sebab bentrokan antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, penjelasan yang kau awali dengan pembunuhan baru lagi. Penjelasan apakah gerangan? Coba kau sampaikan kepada pinceng untuk dlpertimbangkan."
Han Han maklum bahwa keadaannya terhimpit dan terancam. la malah merasa pening dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, sedangkan Lulu yang memegang lengannya dari belakang kelihatan pucat dan tangan gadis itu agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang dan takut.
Kenyataan bahwa kedatangannya ini menimbulkan pembunuhan-pembunuhan baru membuat perkara menjadi makin ruwet. Akan tetapi karena memang hatinya tidak mengandung pamrih apa-apa, tidak pula mempunyai niat untuk menonjolkan atau menguntungkan diri sendiri, melainkan hanya bertindak untuk membela diri dari serangan-serangan maut, dengan suara tenang ia lalu berkata.
"Locianpwe, semua peristiwa yang terjadi sehingga mengakibatkan korban-korban yang tewas di antara murid-murid Siauw-lim-pai dan juga Hoa-san-pai adalah disebabkan oleh siasat adu domba yang amat licin dari seorang puteri Mancu yang bernama Puteri Nirahai. Mula-mula terjadi pembunuhan atas diri dua orang Locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam yang merupakan rahasia, akan tetapi yang pertama kali membawa datang kedua jenazah itu adalah Puteri Nirahai itulah." Kemudian dengan tenang Han Han menceritakan semua peristiwa yang didengarnya dari pihak Hoa-san-pai tentang pengiriman peti oleh puteri Mancu, dan betapa peti-peti itu dikawal oleh murid Hoa-san-pai kemudian di tengah jalan dihadang oleh murid-murid Siauw-lim-pai sehingga terjadi pertempuran.
"Saya dan adik saya kebetulan lewat di tempat pertempuran dan karena saya mengira bahwa murid-murid Siauw-lim-pai adalah perampok-perampok yang hendak merampas kereta yang dikawal Pek-eng-piauwkiok, saya lalu membantu Pek-eng-piauwkiok dan dalam pertandingan itu saya dikeroyok dan akibatnya tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang saya kira perampok itu tewas. Setelah muncul Nona Lauw Sin Lian yang saya kenaI di waktu kecil, yang membuka dua peti terisi jenazah, barulah saya menjadi kaget dan kembali saya salah sangka, mengira bahwa pihak Hoa-san-pai yang jahat dan turun tangan membunuh dua orang pimpinan Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Saya sudah menjelaskan persoalan ini kepada pimpinan Hoa-san-pai, dan biar pun hasilnya tidak begitu memuaskan, saya tetap mendatangi Siauw-lim-si untuk memberi penjelasan pula kepada ketua Siauw-lim-pai dan kepada Nona Lauw Sin Lian. Sungguh menyedihkan bahwa kedatangan saya dikeroyok dan akibatnya dua orang murid Siauw-lim-pai tewas. Sekarang terserah kepada keputusan Locianpwe."
Ceng San Hwesio diam-diam terkejut sekali dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bohong tidaknya cerita yang ia dengar dari mulut pemuda aneh ini. Kalau tidak bohong, benar-benar Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai terancam kehancuran kalau melanjutkan permusuhan yang dijadikan umpan perpecahan oleh pihak penjajah. Akan tetapi siapa tahu kalau cerita itu hisapan jempol belaka? Pemuda ini amat aneh dan lihai, siapa dapat menjenguk isi hatinya?
"Suheng, harap jangan percaya dia! Masih ingat pinceng akan cerita Sin Lian bahwa bocah ini adalah murid Kang-thouw-kwi Gak Liat dan tadi pun dia mengeluarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Tentu kedua orang murid Suheng dia pula yang membunuhnya!" Ceng To Hwesio berkata, bukan untuk memanaskan hati suheng-nya, melainkan karena ia menduga keras bahwa Han Han adalah seorang musuh besar.
Sinar mata Ceng San Hwesio berkilat. “Hemmm, Gak Liat manusia yang keji dan jahat. Sekarang muridnya lebih kejam lagi.... Omitohud! Sie Han, kau lebih baik menyerahkan diri, jangan melawan. Kau harus menjadi tawanan kami untuk kemudian diperiksa lebih lanjut.”
"Locianpwe, sebagai seorang ketua perkumpulan besar, apakah Locianpwe tidak dapat menggunakan kebijaksanaan? Kakakku tidak bersalah, memaksa diri datang kesini untuk memberi penjelasan agar jangan terjadi permusuhan berlarut-larut antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Akan tetapi sampai disini malah hendak ditawan. Hayo kembalikan pedangku dan biarkan kami berdua pergi dari sini kalau Locianpwe tidak suka mendengarkan penjelasan Kakakku!" Lulu yang tadinya kelihatan takut-takut itu kini melangkah maju dan bicara dengan suara membentak-bentak kepada ketua Siauw-lim-pai .
Jari-jari tangan kiri Ceng San Hwesio menggerak-gerakkan tasbihnya ketika ia memandang Lulu, alisnya berkerut dan ia bertanya halus, "Nona muda, siapakah namamu?"
"Namaku Lulu dan aku adalah adik Kakakku Han Han ini."
"Nona bukan murid Hoa-san-pai?"
"Bukan, juga Kakakku bukan murid Hoa-san-pai, bukan pula murid Gak Liat.”
Bibir hwesio tua itu tersenyum. "Hem, Nona bicara tidak karuan. Kalau bukan murid Hoa-san-pai, bagaimana pedang Cheng-kong-kiam bisa berada di tanganmu? Pedang itu adalah pedang pusaka Hoa-san-pai dan biasanya hanya dipergunakan oleh pihak pimpinan Hoa-san-pai."
"Ohhh, itu? Pedangku yang dirampas oleh hwesio jahat ini? Sama saja dengan hwesio itu, Locianpwe, aku merampas dari tosu Hoa-san-pai.”
"Hemmm, merampas dari tosu Hoa-san-pai?"
"Apa bedanya dengan hwesio ini? Dia pun merampas pedangku! Aku diserang tosu Hoa-san-pai dan aku merampas pedangnya."
Tiba-tiba Ceng To Hwesio maju dan berkata, "Nona muda yang lancang mulut. Benarkah engkau Adik pemuda ini? Pinceng tidak percaya!"
Lulu membelalakkan matanya kepada hwesio yang dibencinya itu, yang telah memegang pedangnya. "Kau percaya atau tidak bukan urusanku! Aku adalah adik angkat Kakakku ini dan aku tidak membutuhkan kepercayaanmu!"
"Suheng, gadis ini adalah keturunan Mancu!" tiba-tiba Ceng To Hwesio berkata. "Lihatlah matanya, lihat hidungnya, dagunya. Dia berdarah Mancu!”
" Memang aku gadis mancu, habis engkau mau apa?" .
"Omitohud... kalau begitu benar. Mereka adalah mata-mata penjajah yang dipergunakan untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Bocah kejam, terpaksa pinceng turun tangan kepadamu!" Ceng San Hwesio berseru.
Tiba-tiba Ceng San Hwesio menggerakkan kaki maju dua langkah, tangan kanannya mendorong ke depan, mencengkeram ke arah pundak Han Han.
Ketika mendengar suara mencicit keluar dari tangan ketua Siauw-lim-pai, pemuda yang sudah sakit-sakit rasa tubuhnya ini terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuh agak merendah, dan dengan nekat ia mengangkat tangan menangkis ke arah tangan hwesio yang terulur itu.
" Plakkk!”
"Omitohud... menakjubkan!" Ceng San Hwesio berseru dan meloncat ke belakang untuk mematahkan daya dorong yang dapat merusak kuda-kuda kakinya.
Akan tetapi Han Han terpental ke belakang dan roboh terguling-guling. Ternyata bahwa dalam hal tenaga, bahkan kakek ketua Siauw-lim-pai ini sendiri tak mampu mengatasi Han Han. Akan tetapi karena kakek ini amat lihai, ketika tangan mereka bertemu tadi Ceng San Hwesio telah menggerakkan pergelangan tangan hingga Han Han terdorong dari samping dan kena dilontarkan ke belakang!
"Kalian benar-benar menghendaki nyawaku? Hemm... majulah, aku Sie Han bukannya orang yang takut mati!" bentak Han Han. Kemarahannya membuat wajahnya menjadi merah sekali dan kelihatannya beringas menyeramkan, sinar maut terpancar dari sepasang matanya.
Ceng San Hwesio maklum bahwa anak muda ini benar-benar merupakan bahaya dan bahwa kalau dia sendiri tidak turun tangan, tentu akan sukar bagi murid-muridnya menundukkan Han Han tanpa mengorbankan nyawa banyak anak murid Siauw-lim-pai lagi. Sebagai ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia berpantang membunuh, akan tetapi karena maklum bahwa pemuda ini sukar dikalahkan dan memiliki sinkang yang amat luar biasa, ia lalu melangkah maju, siap menurunkan tangan menyerang. Juga Ceng To Hwesio bersama tiga orang muridnya sudah maju mengurung Han Han yang beringas dan marah, sedangkan Lulu masih berdiri terbelalak penuh kekhawatiran memandang kakaknya.
Keadaan itu amat menegangkan, terutama sekali bagi Lulu yang seolah-olah melihat betapa kakaknya yang tercinta itu hendak disembelih, hendak dibunuh di depan matanya. Ia amat bangga dan yakin akan kelihaian kakaknya, tetapi kini ia mengerti bahwa kakaknya bukanlah lawan hwesio-hwesio yang sakti ini. Ia pun bersiap-siap untuk menyerbu untuk membela kakaknya.
Kalau sampai kakaknya tewas, ia pun tidak mau hidup lebih lama lagi, ia ingin mati di samping kakaknya. Dalam detik seperti itu terasa benar di hati Lulu betapa ia mencinta kakaknya, betapa di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa lagi, betapa hidupnya akan kosong dan hampa kalau Han Han mati. Perasaan ini seperti duri-duri menusuk jantungnya, membuat Lulu tanpa disadarinya memekik nyaring.
"Koko...! Aku ingin mati bersamamu...!”
Jeritan melengking yang keluar dari mulut Lulu ini langsung keluar dari hatinya, maka mengandung getaran hebat. Ceng San Hwesio bersama sute-nya dan tiga orang muridnya yang telah siap menerjang maju membinasakan Han Han tergetar oleh jeritan ini. Mereka adalah hwesio-hwesio yang berilmu, hwesio-hwesio yang mengutamakan kebajikan yang penuh dengan welas asih dan cinta kasih terhadap sesama hidup.
Mereka sama sekali bukanlah orang-orang kejam, bahkan mereka telah berhasil mengusir jauh-jauh nafsu kebencian. Kalau mereka hendak turun tangan membunuh Han Han, hal ini dilakukan dengan perasaan demi menjaga keutuhan dan kelangsungan Siauw-lim-pai yang terancam kedudukannya. Kini mendengar lengking itu, hati mereka tertusuk dan sejenak mereka berdiri melongo memandang Han Han yang berdiri dengan muka beringas dan darah mengalir dari pundak, hidung dan ujung bibirnya.
Pada detik-detik yang sunyi itu terdengarlah suara halus yang seolah-olah terbawa asap dupa yang mengepul keluar dari balik daun pintu tertutup sebelah kiri, suara yang penuh getaran pula.
"Siancai..., hidupnya belum terisi, mengapa ingin mati? Aduhai, sebentar lagi tubuh itu terbujur di dalam tanah, busuk menjijikkan, tanpa kesadaran, tidak ada gunanya seperti kayu habis dimakan api...! Omitohud... Ceng San..., apa yang hendak kau lakukan di luar? Ke sinilah segera!"
Begitu mendengar suara ini, lima orang hwesio yang mengurung Han Han itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan muka menghadap daun pintu tertutup, dari mana mengepul ke luar asap dupa harum itu. Kemudian Ceng San Hwesio lalu melompat sambil berlutut dan tubuhnya yang masih berlutut itu melayang ke arah daun pintu. Tangan kanannya mendorong daun pintu hingga terbuka, dan tubuhnya terus meluncur masuk ketika daun pintu itu mulai menutup kembali.
Han Han memandang penuh kagum. Mengertilah ia bahwa kepandaiannya masih amat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan hwesio-hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini. la maklum bahwa biar pun Ceng San Hwesio sudah pergi, namun tetap saja ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari maut kalau ia melawan Ceng To Hwesio, apa lagi jika hwesio sakti ini dibantu oleh tiga orang muridnya. Maka ia lalu menggandeng tangan Lulu dan berlarilah Han Han menuju ke pintu yang tadi dimasuki Ceng San Hwesio.
"Hei, berhenti kau...!” Ceng To Hwesio membentak.
Ketika Han Han tidak mempedulikannya, Ceng To Hwesio mengirim pukulan jarak jauh dari belakang. Kembali Han Han mendengar suara bercuit dari belakang dan ia maklum bahwa ia dipukul dengan hawa sakti yang amat kuat. Maka ia cepat menarik tubuh Lulu agar berlindung di belakang, kemudian ia membalik sambil menggerakkan tangan menangkis. Namun tetap saja tubuhnya terlempar bersama tubuh Lulu, menabrak dinding akan tetapi malah dekat dengan pintu itu yang cepat ia buka sambiI melompat masuk dan menarik tangan adiknya. Kepalanya pening sekali, napasnya sesak dan kemarahannya makin memuncak.
"Koko, kita ke mana ?" tanya Lulu terengah-engah.
"Biarlah... akan kucari Ceng San Hwesio... kalau perlu aku mati bersama dia! Aku akan mengadu nyawa dengan ketua Siauw-lim-pai..., mati di tangannya tidak penasaran.”
"Koko...!" Lulu menjadi pucat, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar, bahkan sudah berlutut lagi menghadapi pintu, hatinya menjadi lega.
Memang tidak seorang pun hwesio Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya, berani memasuki kamar-kamar yang daun pintunya berjajar di ruangan luas sebelah belakang kuil ini. Itulah kamar-kamar yang disebut ‘ruangan penyiksaan diri’ dan merupakan tempat terlarang bagi para hwesio lainnya. Kalau tadi tidak medengar suara supek-nya memanggil, Ceng San Hwesio sendiri tidak akan berani memasuki kamar melalui daun pintu itu. lnilah sebabnya mengapa Ceng To Hwesio dan tiga orang muridnya tidak berani mengejar Han Han dan Lulu yang memasuki kamar terlarang ini.
Dengan alis berkerut dan wajah masih beringas, darah masih menetes-netes dari hidung dan mulut sebagai akibat gempuran pukulan terakhir Ceng To Hwesio tadi, mata masih berkunang dan kepala berdenyut-denyut, Han Han memasuki lorong yang menembus pintu tadi, dipegang lengannya oleh Lulu yang memandangnya penuh kekhawatiran. Han Han seperti terbetot asap dupa harum karena kakinya bergerak melangkah maju menempuh asap dupa dan menghampiri kamar dari mana dupa itu mengepul ke luar.
Ia melangkah ke ambang pintu kamar itu dan berdiri tertegun sambil memegangi pundaknya yang terasa perih karena darahnya keluar lagi ketika terbanting tadi. Seperti terpesona, Han Han memandang ke dalam kamar sedangkan Lulu yang juga memandang ke dalam kamar dan melihat tiga orang hwesio di kamar itu, kemudian memandang kakaknya dengan hati gelisah. Dengan sinar matanya ia seolah-olah hendak melarang kakaknya turun tangan, karena betapa mungkin kakaknya melawan tiga orang hwesio tua itu?
Ternyata Han Han tidak turun tangan, bahkan berdiri seperti arca, terpesona oleh pemandangan dan pendengaran di dalam itu. Di atas sebuah dipan bambu sederhana duduk seorang hwesio yang amat tua, begitu tua dan kurusnya seperti rangka terbungkus kulit. Kepalanya gundul halus mengeluarkan sinar. Alis, kumis dan jenggotnya seperti menjadi satu berjuntai ke bawah berwarna putih. Mukanya tunduk dan matanya terpejam, tubuhnya terbungkus kain kuning yang kasar dan tangan kanannya memegang sebuah kipas daun.
Hwesio ini duduk bersila dan di sebelah kirinya, di dekat kaki dipan, duduk bersila sambil menundukkan muka pula seorang hwesio lain yang keningnya selalu berkerut, mulutnya cemberut dan matanya terpejam. Hwesio ini pun sudah tua sekali, dan agaknya dialah yang melayani segala keperluan hwesio tua di atas dipan. Sebuah pedupaan berada di dekat hwesio pelayan ini dan agaknya dia pula yang membakar dupa bubuk di pedupaan itu. Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai tampak duduk berlutut di depan hwesio tua renta itu dengan sikap penuh hormat. Kamar itu sendiri kosong dan buruk tua, tidak ada hiasan apa-apa kecuali dipan itu dan sebuah meja kayu di mana terdapat sebuah guci air.
Terdengar oleh Han Han suara yang halus seperti suara yang tadi keluar dari daun pintu bersama asap dupa. Sungguh pun bibir kakek tua itu tidak bergerak, namun ia dapat menduga bahwa itulah suara hwesio tua yang bersila diatas dipan.
"Jangan menilai perbuatan orang lain yang tidak patut mau pun dosa-dosa dan kejahatan orang lain, melainkan perbuatan dan penyelewengan diri sendirilah yang harus selalu diperhatikan. Harum semerbaknya bunga-bunga tagara, malika dan kayu cendana tak dapat tersebar melawan arahnya angin, akan tetapi harum semerbaknya nama baik seseorang bahkan sampai tersebar melawan arahnya angin. Sama seperti dionggokan sampah kotor tumbuh bunga teratai yang bersih dan indah, demikian pula seorang murid Buddha tetap bijaksana seperti teratai di antara orang-orang sesat. Wahai, Ceng San, apakah engkau sudah melupakan semua pelajaran itu?"
Han Han terpesona, tak berani bergerak dan tak berani berkedip, memandang kakek tua itu dan mendengarkan kata-katanya. Ia pernah membaca kata-kata yang keluar dari dalam mulut kakek itu, mengenal kata-kata itu dari kitab-kitab Agama Buddha yang pernah dibacanya. Akan tetapi entah bagaimana dia sendiri tidak mengerti, mendengar kata-kata bersajak itu keluar dengan suara getaran aneh dari tubuh hwesio ini, terasa dingin sejuk dan sekaligus membuka mata batinnya, membuatnya terpesona dan ingin mendengarkan terus.
"Teecu selalu ingat akan semua pelajaran dan tidak pernah melupakannya. Akan tetapi, Supek, urusan yang melanda Siauw-lim-pai ini adalah urusan besar sekali. Teecu bukan bertindak berdasarkan dendam kebencian melainkan karena ingin menjaga nama besar Siauw-lim-pai. Siauw-lim-pai yang didirikan ratusan tahun yang lalu oleh Couwsu kita, kalau tidak dijaga dan dipertahankan, bukankah hal itu merupakan dosa besar terhadap Couwsu? Siauw-lim-pai diadu domba dengan Hoa-san-pai, murid-murid pilihan Siauw-lim-pai telah dibunuh orang. Kini pembunuhnya muncul pula di kuil kita dan membunuh lagi murid-murid Siauw-lim-pai, bahkan mengajak datang seorang gadis Mancu mengotori kuil kita. Mohon petunjuk, Supek. Apakah teecu bersikap dungu kalau teecu hendak membasmi manusia sesat dan keji itu dari permukaan bumi agar perbuatan-perbuatannya tidak menimbulkan mala petaka yang lebih hebat lagi? Tidak benarkah perbuatan teecu seperti itu?"
Terdengar suara halus itu keluar dari balik jenggot tanpa pergerakan bibir dan kini suara itu mengeluarkan nyanyian halus yang ternyata adalah ayat-ayat kitab suci dari Agama Buddha yang pernah pula dibaca Han Han:
Si dungu dengan perbuatannya
mencipta diri sendiri
menjadi musuh banyak manusia
di mana pun dia melakukan kejahatan
yang menimbulkan banyak penderitaan.
Tidak benarlah perbuatan
yang menimbulkan duka nestapa
penyesalan, ratap tangis dan air mata.
Benarlah perbuatan
yang mendatangkan manfaat
kegembiraan dan kebahagiaan
.
Biar pun ucapan itu ditujukan kepada Ceng San Hwesio, namun secara aneh sekali meresap ke dalam sanubari Han Han dan pemuda ini merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada dirinya sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya, apakah selama ini perbuatannya itu benar? Ia mengangapnya benar, akan tetapi melihat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya, setelah mendengar ucapan kakek itu, ia menjadi ragu-ragu.
Betapa banyaknya kekacauan dan keributan timbul sebagai akibat perbuatan-perbuatannya itu! Siapakah yang untung, gembira dan bahagia oleh perbuatannya? Tidak ada! Siapa yang rugi? Yang jelas saja, Hoa-san-pai memusuhinya karena dia telah membunuh beberapa orang anak muridnya, kini Siauw-lim-pai juga memusuhinya, belum lagi diingat Sin Lian yang begitu baik kepadanya kini menjadi sakit hati dan membencinya!
Dengan hati perih seperti ditusuk pedang dan perasaan penuh keharuan, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah kakek di atas dipan itu sambil berkata.
"Aduh, Locianpwe yang mulia..., boanpwe Sie Han merasa menyesal sekali atas segala kejahatan yang boanpwe lakukan..., mohon Locianpwe segera turun tangan menghukum..."
Lulu juga ikut berlutut, bukan untuk menghormat kakek itu, melainkan untuk merangkul pundak kakaknya dengan penuh kekhawatiran. "Koko, mengapa begini? Kita tidak bersalah apa-apa, engkau tidak melakukan kejahatan. Mari kita pergi saja, Koko..., kalau mereka tidak sudi mendengarkan penjelasanmu, mari kita pergi saja!" Suara Lulu terdengar begitu menyedihkan dan sepasang mata yang lebar itu mengucurkan air mata.
"Diamlah, Lulu, diamlah.... Biarkan Kakakmu mendengarkan wejangan Locianpwe yang mulia ini, dan kau juga perlu mendengarkan, Lulu...," kata Han Han tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah kakek tua renta yang masih menunduk.
Sementara itu, tanpa mempedulikan kehadiran Han Han dan Lulu, Ceng San Hwesio berkata pula dengan suara penasaran, "Mohon maaf, Supek. Kalau Supek menganggap bahwa keputusan teecu untuk membunuh pemuda jahat itu tidak benar, habis bagaimanakah teecu harus berbuat menurut pendapat Supek? Teecu mengambil keputuan berdasarkan pertimbangan yang masak dan adil. Pertama, bocah ini adalah murid Gak Liat dan mengingat betapa Gak Liat telah merusak hidup cucu murid teecu sendiri, Bi-kiam Bhok Khim, maka berarti bahwa muridnya ini pun bukan manusia baik-baik...”
Tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding tebal di sebelah kanan jebol dan berlubang besar, kemudian muncullah seorang wanita dari dalam lubang itu, seorang wanita yang memondong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun. Keadaan wanita itu sungguh mengerikan. Pakaiannya hitam compang-camping, rambutnya panjang riap-riapan sampai ke pinggul, wajahnya yang masih jelas membayangkan kecantikan itu kotor dan menyeramkan sekali karena pandang matanya berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek. Anak laki-laki itu tampan dan mukanya putih, juga memakai pakaian hitam yang tidak karuan bentuknya, kakinya telanjang dan rambutnya pun panjang.
"Hi-hi-hik! Biar gurunya jahat, muridnya mungkin baik. Biar gurunya baik, banyak sekali muridnya yang jahat. Kang-thouw-kwi adalah setan neraka jahanam, akan tetapi bocah ini tidak jahat. Sama sekali tidak.... Dahulu dia inilah yang berani menentang setan itu untuk menolongku."
Sementara itu, Ceng San Hwesio memandang wanita itu dengan mata terbelalak, dan setelah wanita itu mengeluarkan kata-kata tadi, barulah ketua Siauw-lim-pai ini agaknya dapat menekan kekagetannya dan berkata, "Bhok Khim...! Kau... kau... dan anak itu..."
Wanita itu membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw-lim-pai yang masih berlutut, wajahnya berseri aneh ketika ia berkata, "Hi-hi-hik, Sukong, engkau heran melihat anak ini? Dia ini anakku! Hi-hik, engkau ketua Siauw-lim-pai pun tidak tahu bahwa di dalam kamar penyiksa diri aku melahirkan anakku ini. Hi-hik! Selama ini Siauw-lim-pai tidak mampu membasmi Kang-thouw-kwi, biarlah aku sendiri yang akan membunuhnya." Sambil berkata demikian, tubuhnya membalik dan berkelebat cepat sekali pergi dari ruangan itu.
"Supek, apakah artinya itu? Mengapa Bhok Khim menjadi seperti itu...?” Ceng San Hwesio bertanya kepada supek-nya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang lalu terdengar suaranya, "Kehendak Thian tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Dia telah mencuri belajar ilmu yang pinceng berikan kepada Siauw Lam, dan keadaan jiwanya yang tertekan membuat ia keliru mempelajari ilmu-ilmu itu. Dunia akan bertambah seorang tokoh yang akan membikin geger. Ceng San muridku, orang muda ini seorang yang menderita, sama halnya dengan Bhok Khim tadi. Betapa pun juga, pinceng tidak melihat dasar-dasar jahat. Menurut pinceng, sebaiknya membebaskan orang muda ini, akan tetapi karena engkau yang menjadi ketua Siauw-lim-pai, keputusannya terserah kepadamu. Nah, cukuplah pinceng bicara."
Ceng San Hwesio memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Mukanya agak keruh ketika ia berkata, "Mendengar perintah Supek, bagaimana teecu berani membantahnya? Biarlah sesuai dengan perintah supek, teecu akan membebaskan dia dan gadis Mancu itu untuk sekali ini. Akan tetapi, mengingat akan kematian para murid-murid, teecu tidak mungkin dapat membebaskan dia untuk seterusnya dan lain kali dalam lain kesempatan, tentu teecu akan memerintahkan untuk menangkap dan kalau perlu membunuh dia." Setelah berkata demikian, kembali Ceng San Hwesio memberi hormat kepada supek-nya, lalu membalikkan tubuh keluar dari kamar itu dengan wajah muram.
"Siancai..., siancai..., lahir dan batin memang selalu bertentangan, betapa mungkin disatukan? Siauw Lam, tahukah engkau, apa yang harus dilakukan manusia yang hidup di tengah antara dua kekuatan raksasa lahir dan batin?" Kakek itu bertanya tanpa menoleh kepada Siauw Lam Hwesio, yaitu hwesio pelayan yang masih duduk bersila. Kini terdengar suaranya yang pertama kali, suara yang kasar dan serak seperti kaleng diseret.
"Karena sifatnya bertentangan, menyatukannya berarti menghentikan hidup karena justru keadaan hidup yang membuat keduanya bertentangan. Yang seyogianya dilakukan manusia adalah menyesuaikan dan menyelaraskan keduanya sehingga berimbang."
"Baik sekali pendapatmu, Siauw Lam. Eh, orang orang muda, engkau masih di sini? Apakah yang kau kehendaki?"
Han Han yang sejak tadi masih berlutut, lalu menjawab, "Boanpwe yang banyak melakukan hal-hal yang menimbulkan mala petaka bagi orang lain, boanpwe merasa bingung sekali dan mohon petunjuk Locianpwe apa yang harus boanpwe lakukan selanjutnya dalam hidup yang penuh pertentangan ini."
Kini tubuh hwesio tua itu bergerak sedikit, mukanya diangkat menghadapi Han Han. Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, terbuka sedikit, menyipit, akan tetapi kagetlah Han Han ketika dari balik garis mata itu menyambar keluar sinar mata yang lembut dan tenang sekali, setenang lautan yang luas. Sejenak mereka saling pandang. Kalau sinar mata Han Han yang pada saat itu masih dikuasai kemarahan itu dapat di umpamakan api bernyala-nyala, maka sinar mata kakek itu seperti air yang tenang dan dingin. Di dalam sinar mata Han Han terdapat pengaruh mukjizat yang membawa isi pikirannya dengan tenaga batin yang luar biasa kuatnya sehingga kakek itu merasa betapa dia dipaksa oleh tenaga gaib untuk memberi petunjuk kepada orang muda itu. Kakek yang puluhan tahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa ini, mengeluarkan suara halus penuh kekaguman.
"Siancai... patut dikasihai orang muda yang malang. Pinceng hanya dapat memberi dua nasihat kepadamu. Pertama ambillah pedang dan potonglah kaki kirimu. Dan kedua, belajarlah mengalah terhadap siapa pun juga. Nah, pergilah orang muda."
Han Han masih berlutut, mukanya pucat dan matanya terbelalak, hampir ia tidak percaya akan ucapan kakek itu.Tadinya ia amat terpesona dan terpengaruh oleh semua ucapan kakek itu, akan tetapi bagaimana kini kakek itu memberi nasihat seperti ini kepadanya? Disuruh membuntungi kakinya sendiri! Kalau disuruh belajar mengalah ia masih dapat menerimanya, akan tetapi disuruh membuntungi kaki sendiri?
"Eh, hwesio tua, kiranya engkau pun sama saja, sama jahatnya dengan yang lain-lain! Apakah semua orang di sini sudah begitu palsu sehingga perlu menyembunyikan sifat jahat dan dengkinya di balik kepala gundul dan pakaian pendeta? Hanya orang gila yang menasihati orang disuruh membuntungi kakinya, dan hanya orang gila pula yang akan menuruti nasihat gila itu!" Lulu membentak dan kini bangkit berdiri, menarik tangan kakaknya sehingga Han Han pun bangkit berdiri pula.
Akan tetapi kakek yang dimakinya itu telah bersemedhi pula dan sama sekali tidak terpengaruh, wajah yang seperti tengkorak terbungkus kulit itu seperti telah mati. Hanya hwesio pelayan itu yang kini mengangkat muka dan tiba-tiba matanya terbuka sambil berkata.
"Nona, memang dunia ini seperti panggung orang-orang gila bermain komidi, gila oleh nafsu mereka sendiri. Harap kalian pergi dan jangan mengganggu kami.”
Lulu menjadi makin marah. Ia kaget melihat sinar mata hwesio pelayan itu seperti dua bola api menyerangnya, akan tetapi gadis itu memiliki keberanian luar biasa kalau dia merasa benar. "Memang penuh orang-orang gila dan kalian lebih gila dari pada orang-orang gila!” teriaknya. "Apa artinya hidup kalian ini? Apakah manfaatnya bertapa mengasingkan diri di sini? Apa untungnya bagi dunia? Apa gunanya bagi manusia lain? Paling-paling berguna dan bermanfaat bagi diri kalian sendiri. Phuhhh, berlagak suci dan....”
“Lulu, diam...!" Han Han terkejut sekali mendengar keberanian adiknya yang memaki-maki seorang hwesio tua yang dijadikan junjungan oleh para murid Siauw-lim-pai. Ia sudah menarik tangan adiknya diajak berlari ke luar dari kamar itu. Mereka berdua terus berlari ke luar melalui ruangan belakang, ke ruangan tengah kemudian terus ke ruangan luar. Mereka melihat para hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi mereka semua seolah-olah tidak melihat dua orang muda yang berlari ke luar itu. Yang membersihkan kuil tetap bekerja, yang membaca doa tidak menghentikan tugas mereka, dan yang menjaga di luar pun seolah-olah tidak melihat mereka.
Han Han menggandeng tangan Lulu, berlari terus sampai jauh meninggalkan kuil. Setelah mereka memasuki sebuah hutan, barulah Han Han melepaskan tangan Lulu, kemudian ia duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya dan menenangkan batinnya yang terguncang. Biar pun ia tidak menderita luka parah, akan tetapi tubuhnya terasa sakit-sakit, sungguh pun rasa nyeri di tubuhnya tidak seperti rasa perih dihatinya kalau ia terkenang akan ucapan-ucapan hwesio tua di dalam kamar penyiksa diri yang seolah-olah membuka mata batinnya, betapa sepak terjangnya selama ini mendekati perbuatan sesat, betapa mudahnya ia membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, membunuhi orang-orang gagah murid-murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Hatinya merasa menyesal sekali dan pikirannya menjadi bingung.....
********************
Sebuah negara betapa kecil pun, takkan mungkin dapat ditundukkan dan dijajah negara lain yang lebih besar apa bila rakyatnya bersatu-padu dan berjiwa patriotik, memiliki rasa cinta kasih dan setia bakti kepada tanah airnya. Sebaliknya, betapa pun besarnya negara itu, kalau rakyatnya tidak bersatu, dan banyak pula yang berjiwa pengkhianat, negara besar ini mudah saja dijajah oleh negara yang jauh lebih kecil.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Tiongkok merupakan negara amat besar yang rakyatnya selalu bertentangan sendiri satu kepada yang lain. Perang saudara tak pernah berhenti karena oknum-oknum yang memperebutkan kedudukan. Apa bila ada negara asing yang datang menyerbu dan menjajah barulah bersatu, melupakan permusuhan antara saudara sendiri dan bersama-sama menghadapi musuh asing.
Sayang sekali, begitu musuh asing dapat diusir keluar dari tanah air, pertentangan satu sama lain timbul kembali, memecah-mecah kekuatan mereka sehingga memungkinkan masuknya kekuatan asing lain lagi ke dalam negeri.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)