PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-41


“Ahhh, maafkan aku...!” Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.
“Bukan... bukan salahmu, Han Han...,” Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam.
Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur, maka dia pun tidak bergerak, hanya bersandar pada batang pohon tanpa mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya pulas. Tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih dari pada yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
“Nirahai, kekasih pujaan hatiku... terima kasih...”
Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan. “Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?”
“Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt...”
Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.”
“Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!” Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan ciuman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.
Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.
“Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu.”
“Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han menggoda.
“Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!” Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana.”
Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.
“Nirahai...!” katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana... kalau... kalau Kaisar menolak?”
Nirahai menggeleng kepala. “Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andai kata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!”
“Nirahai...!” Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.
Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata, “Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!” Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.
Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap dan kepala menunduk di depan dua makam baru itu! Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mukjizat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.
“Locianpwe, harap berhenti dulu...!” Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!
“Locianpwe, tunggu...!” Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan ginkang-nya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar.
“Locianpwe...!” Han Han memanggil.
Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.
Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!
“Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!” Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia terus mengejar sambil berloncatan mendekat.
Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi sore akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.
Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!
Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri, “Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”
Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata, “Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.”
“Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”
Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin...!” Han Han berkata dengan seruan girang. “Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi... dan... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa.”
Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.
“Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoi-ku yang telah kau rawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.”
Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja sudah mengetahui segala hal!
“Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!” Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas?
Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. “Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”
Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasehat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasehatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.
“Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andai kata tidak terjadi seperti sekarang, andai kata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati.”
“Ahhhhh...!” Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. “Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasehatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mukjizat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kakimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”
Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak... sejak ia melihat ibu dan enci-nya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?
“Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguh pun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.”
“Hemmm... petunjuk apa lagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoi-ku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bintang.”
Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.
“Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga ini?”
“Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah!” Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!
“Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, tetapi... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan hanya memakai batu? Mengapa suhu... eh, bermain-main seperti anak kecil?”
“Ha-ha-ha, tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!”
Han Han tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata, “Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh dan menyentuh umpan batu ini, ha-ha-ha!”
Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.
“Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?”
Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperlihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperoleh banyak hasil!
Ketika memasuki pondok kecil mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.
“Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”
Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin lalu mengajak Han Han makan bersama. Sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana sungguh pun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik!
Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.
“Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”
Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?
“Maaf, suhu. Teecu memang amat terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya suhu disebut Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu mengasingkan diri dari dunia ramai. Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau makan pun seadanya saja, daun dan rumput, minum pun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biar pun tanpa daging.”
“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di mana pun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam segala benda dan makhluk di seluruh alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti mereka yang mencari tempat sunyi mengasingkan diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia ramai, menjauhkan diri dari pada manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan ketenteraman hatiku, membuat aku kecewa dan berduka. Manusia telah menyelimuti diri dengan kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua yang jahat, yang berakar di dalam seluruh kehidupan manusia, yang kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”
Han Han mendengarkan dengan penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso sebentar untuk minum seteguk arak wangi dari cawannya.
“Aku meninggalkan keramaian bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biar pun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa dan menuntut hidup pertapa karena aku tidak mau menyiksa tubuh dan perasaan. Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan kepadaku ini. Aku pun tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi tubuhku, asal saja dapat dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”
Han Han mengangguk-angguk, takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar, tidak mengkhayalkan yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan filsafat-filsafat kuno yang sering dibacanya.
“Manusia sekarang lupa bahwa makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan perut karena yang menampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk akan kesenangan sehingga untuk makan pun yang diutamakan adalah kelezatannya, yang mendatangkan rasa enak pada mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi si perut, lupa bahwa yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga terlalu sering terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”
“Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?”
“Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, juga dapat mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”
Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi, “Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini.”
“Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”
Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. “Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apa bila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”
Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan.”
“Ha-ha-ha! Memang amat merdu dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan! Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya, seperti judul adegan panggung serombongan badut! Karena itu, kuperingatkan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu! Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan! Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sinkang-mu yang sukar dilawan, ginkangmu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang mukjizat, yang masih terpendam. Tanpa kau sadari, mungkin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?”
Han Han teringat akan ilmu mukjizat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadari ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.
“Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?”
“Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amat kuat, yang timbul secara aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara.” Dengan jelas Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.
“Engkau harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut.
Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.
Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi, maka Han Han lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biar pun ia menghadapi saat yang amat menyenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya bersama Nirahai.....
********************
Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.
“Suma-taihiap...!”
Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu, namun ia yakin perwira itu memanggilnya karena kini perwira itu dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.
“Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihiap!”
Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.
“Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.” Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.
Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam.
Han Han mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi tajam berapi membayangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar buruk! Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan kegembiraan, sungguh pun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan Nirahai ini memang sudah dikhawatirkannya.
Di dalam surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika Nirahai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai seorang panglima besar akan menikah dengan seorang bekas pemberontak, seorang yang telah membunuh Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan seorang yang buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar amat hebat sehingga kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana!
Aku ditahan di dalam kamarku sendiri di istana,’ demikian Nirahai menutup suratnya, ‘dilayani seperti biasa akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi aku pun berat kepada keluarga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai ujian, ujian bagi cinta kasih kita, terutama ujian bagi cintamu. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan kini untuk mencari jalan keluar!
Dengan sinar mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat terakhir, ‘Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah terkena hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga beliau membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu!
Han Han membaca sekali lagi isi surat itu dari awal sampai akhir, kemudian ia meremas hancur kertas itu. Nirahai menantangnya! Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya! Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul niatnya untuk mendatangi istana pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua kalinya, membunuh pangeran tua itu.
Akan tetapi, teringat akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya, menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok bersikap seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya, yaitu ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han Han menghela napas dan mengusir pergi ba-yangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk dapat membebaskan Nirahai.
Ia harus membebaskan Nirahai dari tahanan dan membawanya lari! Jelas kekasihnya itu menantangnya untuk bertindak. Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani menghalanginya, akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan membebaskannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri memberontak.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Han Han untuk meloncat ke atas benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda ini meloncat turun ke dalam taman istana. Dengan mudah ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupakan sebuah bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih! Tidak mungkin memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat.
Kebetulan sekali Han Han melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari balik pohon dan berkata.
“Adik-adik yang manis, aku adalah rekan kalian! Aku pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk menjenguk keadaan puterinya.”
Empat orang wanita pelayan itu tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika melihat seorang wanita cantik yang berpakaian seperti mereka! Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biar pun belum pernah melihat ‘gadis pelayan’ yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di tempat itu?
“Kalau begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,” jawab seorang di antara mereka.
Han Han yang sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu menggunakan kekuatan gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mukjizat sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan perlahan di belakang empat orang pelayan itu. Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pelayan Sang Puteri Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani main-main karena pelayan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan, juga para pelayan Nirahai terkenal galak-galak dan tidak boleh diganggu.
Han Han sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itu pun melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu memasuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar saking terharu dan girangnya.
Karena para pelayan masih berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan matanya, sambil berlutut ia berkata, “Puteri, hamba datang menghadap...”
Nirahai membalikkan mukanya memandang dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang matanya dengan tenaga mukjizatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruhnya, “Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka.”
Biar pun Nirahai juga memiliki kekuatan batin yang besar serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh juga dan berkata dengan lesu, “Mau apa engkau?”
“Hamba akan menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata saja.”
Nirahai yang sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan berkata, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini!”
Empat orang pelayan yang sedang mengatur hidangan itu sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka keluar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil berbisik-bisik. Hati mereka merasa iri dan tidak senang karena belum pernah Puteri Nirahai mengusir mereka hanya karena hendak bicara dengan seorang pelayan lain!
Setelah empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru, “Nirahai...!”
Nirahai meloncat ke belakang dan mukanya seketika berubah pucat ketika melihat Han Han telah berdiri di depannya. Ia mengejap-ngejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala, memandang bingung dan sampai lama tak dapat mengeluarkan suara, kadang-kadang matanya mencari-cari ke kanan kiri, mencari pelayan utusan ibunya tadi.
“Nirahai, jangan bingung. Pelayan tadi akulah yang jadi, akalku agar dapat masuk ke sini.”
Kini Nirahai memandang Han Han dengan mata terbelalak lebar, penuh kagum. Hatinya girang dan bangga bukan main, akan tetapi juga penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, jauh melampaui kepandaiannya sendiri, akan tetapi apa yang dilakukan pemuda itu tadi benar-benar membuat dia tidak mengerti.
“Han Han...! Bagaimana...? Tadi... eh, bagaimana engkau bisa mengubah diri menjadi pelayan...?”
Han Han tersenyum dan melangkah maju, menyambar tangan kekasihnya itu dan memandang dengan wajah berseri, tersenyum dan sinar matanya mesra. “Nirahai, aku sejak tadi tidak mengubah diri, hanya pandangan mereka dan juga pandanganmu yang kuubah dan tunduk kepada kemauaku...”
“Ihhhhh... I-hun-to-hoat...?” Nirahai bertanya, tidak percaya. “Aku sudah melihat ilmu I-hun-to-hoat yang dilakukan oleh Thai Li Lama, dan memang banyak yang terjatuh di bawah pengaruhnya, akan tetapi aku sendiri dapat melawannya dan aku tidak terpengaruh!”
Han Han yang sudah merasa rindu sekali kepada Nirahai merangkul pundak dara itu. “Mungkin aku lebih kuat dari pada dia, dan mungkin karena suaraku telah kau kenal, mungkin pula karena engkau tidak tahu bahwa aku menggunakan ilmu kekuatan kemauanku, maka engkau terpengaruh. Nirahai... ahhhh, Nirahai, mengapa menjadi begini ikatan kita...?”
Nirahai balas merangkul dan dara ini yang kini diingatkan akan keadaannya, terisak di atas dada Han Han. “Sudah nasibku... nasibku yang buruk dan malang...!”
“Tidak, Nirahai. Tidak ada nasib buruk dan malang. Yang terjadi semua di dunia ini, yang menimpa kepada kita, baik mau pun buruk, sudahlah semestinya dan tidak boleh kita terima sebagai nasib buruk. Hanya kita harus berusaha untuk mengatasi segala persoalan. Sekarang, setelah aku berhasil masuk di sini bertemu denganmu, apa yang kau kehendaki?”
Nirahai melingkarkan kedua lengannya di leher Han Han. “Aku menyerahkan kepadamu. Engkau pilihan hatiku... terserah... aku hanya menurut...”
Han Han menjadi girang sekali dan baru sekarang ia merasa sebagai seorang laki-laki yang berdiri tegak, penuh tanggung jawab dan dibutuhkan seorang seperti Nirahai! Dahulu, melindungi dan membela Lulu ia anggap sebagai hal yang semestinya, tidak menimbulkan perasaan kagum seperti sekarang karena yang telah menyerahkan nasib diri kepadanya adalah seorang puteri kaisar! Saking terharu dan girangnya, ia memegangi kedua pipi dara itu, mengangkat mukanya dan mencium bibir yang tak pernah membosankan itu. Ia berbisik mesra, “Nirahai, pujaan hatiku, calon isteriku... biarlah aku yang melarikan engkau dari tempat ini. Aku yang mempertanggung jawabkan kesemuanya!”
Tiba-tiba Nirahai melepaskan pelukan Han Han, menyambar baju tebal, topi bulu dan pedang payungnya yang baru. “Han Han, kita lakukan bersama, dan mempertanggung jawabkan bersama! Kalau kita berdua menghendaki, siapakah yang akan mampu mencegah kita keluar dari sini?”
“Tidak, Nirahai. Tidak boleh begitu. Engkau ditahan sebagai tawanan oleh Ayahmu sendiri, tidak baik kalau engkau memberontak. Biarlah aku yang...”
Tiba-tiba empat orang pelayan wanita itu yang tadi mendengar isak tangis sang puteri, kini membuka daun pintu dan memasuki kamar. Nirahai berdiri tegak memandang, sama sekali tidak terkejut karena dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah Han Han berada di sampingnya, puteri ini menjadi besar hatinya, dibesarkan oleh rasa girang bahwa ujian terakhir bagi cinta kasih Han Han ternyata membuktikan bahwa pemuda itu tidak gentar menghadapi tantangan dan bahaya untuk datang ke kamarnya, kamar tahanan dalam istana yang dikepung ratusan orang pengawal! Kini hatinya besar dan ia menanti reaksi dari kekasihnya ketika empat orang pelayan itu masuk.
Sejenak, empat orang pelayan itu terbelalak dengan muka pucat. Han Han segera berkata sambil menggunakan ilmunya, “Akulah Dewa berkepala singa!”
Wajah empat orang pelayan itu menjadi pucat sekali ketika mereka melihat seorang laki-laki berkaki buntung sebelah, memegang tongkat dan berkepala singa dengan sepasang mata mencorong dan mulut bergigi runcing terbuka. Kemudian dengan kaki menggigil dan tubuh gemetar, empat orang pelayan itu melarikan diri keluar dari pintu sambil menjerit-jerit seperti orang mengigau saking takutnya. Mereka adalah pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat lumayan, untuk menghadapi lawan manusia, mereka cukup dapat diandalkan. Akan tetapi melihat orang berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.
Han Han mempergunakan kesempatan itu berkata cepat, “Nirahai, engkau menjadi tawananku. Biarlah aku melarikan engkau dari tempat ini!”
Nirahai hanya mengangguk karena masih kagum menyaksikan pengaruh ilmu Han Han terhadap empat orang pelayannya. Bagi kedua matanya, Han Han tetap seperti biasa, sama sekali tidak berkepala singa! Han Han cepat menggerakkan jari tangan kanannya, menepuk pundak Nirahai dan menotok jalan darahnya sehingga Nirahai terkulai lemas. Han Han lalu menyambar tubuh kekasihnya, memanggulnya di pundak kanan setelah menyelipkan senjata kekasihnya di pinggangnya. Cepat seperti kilat menyambar ia sudah meloncat ke luar dari dalam kamar itu, terus berlari keluar dari pintu samping dari mana tadi ia masuk bersama empat orang pelayan.
Keadaan di luar geger tidak karuan ketika empat orang pelayan itu menjerit-jerit dan berlari keluar. Sampai lama mereka tidak dapat bicara, hanya mengeluarkan jerit seperti orang mengigau.
“Ssseeettttt... taaaaannn... singaaa...!”
Akhirnya para pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.
Memang inilah yang dikehendaki Han Han maka dia tadi membikin takut empat orang pelayan, yaitu untuk mengacaukan keadaan para pengawal yang menjaga di luar. Dalam keadaan kacau-balau dan tidak teratur itu, karena semua pengawal menjadi panik melihat betapa empat orang pelayan sang puteri yang biasanya gagah perkasa itu menjerit-jerit karena melihat setan sehingga mereka lupa membunyikan tanda bahaya dan lupa melapor, tiba-tiba Han Han berkelebat, mencelat keluar sambil memondong tubuh Nirahai yang terkulai lemas.
“Celaka...! Tangkap penjahat!” teriak seorang di antara mereka.
“Itu dia...! Puteri telah diculik!”
“Tangkap!”
“Kejar...!”
Makin paniklah para pengawal itu dan geger keadaan di istana ketika bunyi kentongan tanda bahaya dipukul gencar. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi siapakah yang dapat mengejar pemuda buntung yang meloncat dengan gerakan seperti terbang ke atas dan dalam sekejap mata saja lenyap ditelan kegelapan malam?
Han Han memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan menghadapi banyak pengawal karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak mungkin Ilmu I-hun-to-hoat dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Dia memang tidak takut untuk menggunakan kekerasan melawan mereka, akan tetapi, semenjak bertemu dengan Koai-lojin dan menerima wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa menyesal atas sepak terjangnya yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melakukan pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan kepandaiannya. Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apa lagi kalau hal itu akibatnya akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.
Gerakan Han Han yang amat cepat tidak memungkinkan para pengawal untuk mengejarnya, tidak dapat menggunakan anak panah karena khawatir kalau-kalau mengenai tubuh Puteri Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan demikian, tanpa banyak kesukaran lagi Han Han berhasil membawa Nirahai keluar dari istana, kemudian melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja. Beberapa puluh orang tentara penjaga yang berusaha menghadangnya roboh terpelanting ke kanan kiri dan senjata-senjata mereka terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan tongkatnya, dan dalam waktu beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar dari pintu gerbang dan lenyap dalam gelap.
Setelah keluar dari benteng, Han Han menurunkan Nirahai dan membebaskan totokannya, kemudian tanpa bicara lagi mereka melanjutkan perjalanan dan lari dengan cepat. Han Han mengerti bahwa perasaan Nirahai tertekan sekali, maka dia tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berlari sambil menggandeng tangan kekasihnya.
“Ke manakah kita pergi?” Tiba-tiba Nirahai bertanya tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
“Kita pergi ke tempat yang sunyi dan indah di dekat telaga.”
Nirahai tidak berkata-kata lagi dan mereka berlari terus. Han Han merasa tidak enak hatinya. Bagi dia sendiri, tentu saja peristiwa ini amat menyenangkan hatinya. Ia mencinta puteri yang jelita ini dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee. Andai kata dia diterima oleh kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa sengsara dan tidak betah. Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri, dia merasa lebih bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apa bila dapat hidup berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan merantau berdua, atau tinggal di suatu tempat berdua saja!
Memang, bagi dia, peristiwa di istana ini amatlah menyenangkan. Akan tetapi, dia mengerti betapa peristiwa itu amat menghimpit perasaan hati Nirahai. Dia mengenal Nirahai sebagai seorang puteri kaisar yang luar biasa, tidak hanya cantik jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga menjadi pimpinan angkatan perang yang menumpas para pemberontak dan sisa-sisa kerajaan lama yang belum mau tunduk terhadap pemerintah Mancu! Dara jelita yang perkasa ini mempunyai kesetiaan besar terhadap kerajaan ayahnya dan kini dia melarikan diri sebagai seorang tahanan dan pelarian. Betapa hal ini tidak akan menghancurkan cita-citanya?
Hati Han Han khawatir sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa dan mempercepat gerakannya untuk mengimbangi larinya Nirahai yang amat cepat itu. Mereka seolah-olah berlomba, berlomba ke mana? Ke arah pantai bahagia? Mudah-mudahan begitu, bisik hati Han Han. Dengan mesra ia menggunakan tangan kanannya menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang tadinya lari cepat tanpa bicara seperti orang termenung, menoleh dan mereka berdua saling pandang. Nirahai tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han Han. Sambil bergandeng tangan, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu berlari cepat sekali, bayangan mereka menjadi satu berkelebat cepat di antara bayang-bayang pohon.
“Indah sekali...! Indah dan sunyi...!” Nirahai berseru penuh kagum ketika mereka berdua tiba di pinggir telaga di mana terdapat dua buah bangunan mungil yang tadinya dijadikan tempat tinggal kakek sakti Koai-lojin.
Namun ketika pagi itu mereka tiba di situ dan Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala sinar matahari pagi membakar permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han tidak melihat semua keindahan itu karena pada saat itu tidak ada keindahan di dunia ini yang dapat menandingi keindahan wajah yang dipandangnya dari samping. Wajah yang lembut namun menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun menyembunyikan api menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!
“Memang indah, Nirahai. Indah sekali... akan tetapi tidak sunyi. Dengan adanya kita berdua di sini, kesunyian musnah, dunia akan penuh dengan kita, dengan cinta kasih kita... Nirahai...!”
Dara itu tergugah dari pesona dan menoleh, lalu tersenyum penuh kebanggaan ketika ia mendapatkan sinar mata penuh kemesraan dan kasih sayang terpancar dari sepasang mata Han Han. Sinar mata yang demikian mesra dan hangat, cerah dan lembut, mengalahkan sinar matahari pagi. Nirahai menarik napas panjang ketika Han Han merangkul pundaknya. Ia merebahkan kepala, disandarkan di dada pemuda itu.
“Aaahhhhh...!” Nirahai menarik napas panjang, hatinya terasa lapang seolah-olah penuh dengan sinar matahari pagi, membuat ia merasa seperti akan terbang dan menari-nari di antara mega-mega putih berarak dan mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna keemasan, indah sekali. “Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta permukaan telaga?”
Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dan menelusuri permukaan dahi dan alis itu dengan ujung hidungnya sebelum menjawab lirih, “Nirahai kekasihku, aku cinta kepadamu, Nirahai...” Ia mempererat pelukannya dan hatinya penuh dengan cinta mesra. “Ahhh, betapa aku mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh hatiku. Aku rela mengorbankan jiwa ragaku untukmu, Nirahai!”
Dara itu memejamkan matanya, kembali menarik napas dan membelaikan pipinya di dagu Han Han yang menunduk, sikap yang amat manja bagi Han Han, mengingatkan ia akan sikap seekor kucing yang minta dibelai.
“Betapa hebat kekuasaan cinta...!” Hanya demikian Nirahai berkata, suaranya lirih seperti orang mengeluh, atau lebih mendekati lagi seperti orang merintih, rintihan yang menjadi penyambung antara nyeri dan nikmat, antara suka dan duka.
Bisikan ini membuat Han Han sadar akan anehnya peristiwa yang terjadi sekarang ini. Yang dipeluknya, yang diciumnya adalah seorang puteri kaisar! Seorang panglima besar dan merupakan orang amat berpengaruh, berkuasa dan penting dalam Kerajaan Mancu! Seorang dara yang cantik jelita sukar ditemukan keduanya, namun kini berada dalam pelukannya! Sukar untuk dapat dipercaya! Dan memang hebat sekali kekuasaan cinta, memungkinkan terjadinya hal yang agaknya tak masuk akal!
“Nirahai, apakah engkau juga telah benar-benar mencinta aku seperti cintaku kepadamu?” Han Han tak dapat menahan pertanyaan yang timbul dari hatinya yang masih sukar untuk dapat menerima kenyataan yang dianggapnya aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini Nirahai mengangkat kepalanya yang bersandar di dada Han Han, memutar tubuh sehingga mereka berdiri berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak mereka beradu pandang kemudian terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun tegas.
“Han Han, aku mengerti mengapa engkau masih mengajukan pertanyaan itu biar pun engkau yang cerdik tentu sudah merasa yakin akan cintaku dengan bukti yang sekarang kita hadapi. Aku telah meninggalkan kerajaan Ayahku, meninggalkan kedudukan dan kemuliaan, meninggalkan cita-cita dan lebih dari pada itu semua, aku bahkan telah menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga. Semua ini hanya karena cintaku kepadamu. Masih belum cukupkah bukti dan pengorbanan itu?”
Han Han menarik napas panjang, hatinya penuh keharuan karena ia merasa sangsi apakah seorang pemuda berkaki buntung sebelah seperti dia, yang yatim piatu dan miskin, tidak mempunyai tempat tinggal, patut menerima cinta kasih seorang puteri seperti Nirahai?
“Maaf, Nirahai, bukan sekali-kali aku masih menyangsikan perasaan cintamu yang suci. Hanya saja... yang membuat aku sukar untuk dapat percaya, bagaimana mungkin seorang puteri bangsawan seperti engkau menghancurkan nasib dan masa depanmu sendiri? Sudah tentu aku... aku akan berbahagia sekali kalau engkau selalu berada di sampingku, akan tetapi hatiku pun akan selalu tertekan dan hancur kalau melihat engkau menjadi sengsara kelak...”
Nirahai menubruk Han Han, merangkulnya dan menutup mulut Han Han dengan jari tangannya yang halus. “Jangan lanjutkan...! Aku cinta padamu, karena hanya engkau satu-satunya pria yang patut menjadi suamiku! Kita sudah dijodohkan oleh kedua orang guru kita, dan kita sudah saling mencinta. Itu sudah cukup! Aku pun tidak ingin perjodohan kita dirayakan besar-besaran, bahkan tidak peduli kalau tidak dirayakan oleh kita berdua! Tentang kedudukan dan kemuliaan? Dengan kepandaian kita, apa sukarnya mendapatkan itu?”
“Tapi, Nirahai... demi menjaga namamu, semestinya kalau pernikahan kita dirayakan, disyahkan! Ohhh, dua bulan lagi Lulu akan menikah, bagaimana kalau kita rayakan bersama-sama dan...”
“Hussshhhhh...! Mengapa meributkan soal tetek-bengek seperti itu sedangkan aku berada di dekatmu? Apa kau lupa bahwa aku lelah, bahkan aku lapar, bahwa aku...”
Han Han tertawa dan menutup mulut Nirahai dengan ciuman untuk menghentikan celaannya, kemudian ia memondong tubuh kekasihnya itu, dibawa berloncatan ke dalam pondok di sebelah kiri telaga di mana ia pernah tinggal bersama Koai-lojin.
Han Han adalah seorang pemuda yang telah dewasa, seorang pria yang selama hidupnya belum pernah terjun ke dalam lautan cinta asmara seorang wanita. Dia telah berkali-kali menerima cinta kasih wanita, cinta kasih murni yang dibuktikan dengan pengorbanan-pengorbanan. Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi nikouw, Soan Li tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku mencintanya. Demikian pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, mereka itu mencintanya dan tewas ketika bendak menolongnya. Betapa pun juga, tidak pernah dia bermain cinta dengan seorang di antara mereka, apa lagi karena di lubuk hatinya, ia tidak menemukan cinta kasih terhadap mereka. Kini hatinya roboh di bawah kaki Nirahai. Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga mencintanya, dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka.
Ada pun Nirahai adalah seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia tertarik kepada pria, apa lagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan dijodohkan dengan Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi di dalam batinnya ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu. Kini, begitu bertemu dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda buntung itu dan terutama sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini, dia tertarik dan sekaligus tunduk dan jatuh cinta. Apa lagi setelah Nenek Maya mengambil keputusan menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati Nirahai untuk menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasan hati yang luar biasa, maka untuk memenuhi keputusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa pun juga!
Kedua orang muda itu sudah sama dewasa, sama mencinta dan cinta kasih mereka makin mesra dan mendalam karena peristiwa di istana sehingga mereka merasa bersatu hati, sehidup semati. Tempat di mana mereka bersembunyi, di pinggir telaga itu merupakan tempat yang sunyi, tenang, indah dan romantis. Tiada sesuatu yang menjadi penghalang di antara cinta kasih mereka, bahkan Nirahai tidak lagi peduli akan upacara perjodohan, menganggap bahwa dia sudah menjadi isteri Han Han semenjak ia minggat dari istana.
Tidaklah mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya sebagai orang-orang muda yang saling tergila-gila, saling mencinta dan saling menderita, kini menumpahkan semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi itu. Bagi keduanya, hal ini merupakan pengalaman pertama sehingga membuat mereka lupa akan segala dan mabuk oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu tak peduli masa depan, yang teringat hanyalah perpaduan kasih, di dalam pondok, di tepi telaga, di antara bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil pinggir telaga. Mereka bersendau-gurau, saling menggoda, saling memanja, saling menyayang, tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han