PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-39
Sin Lian dan Hian Ceng mencabut pedang dan meloncat keluar dari dalam
kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di
situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah
seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biar pun ia maklum
bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat pemuda bangsawan
yang dibencinya ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan
sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya.
Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapa pun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.
Ada pun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.
“Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!” Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak. Dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh ilmu pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.
“Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku!” kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Sin Lian menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa.
Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!
Betapa pun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!
“Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis?” Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.
“Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan...”
“Ouwyang Seng manusia binatang!” Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya? Setannyakah ini?
Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Ada pun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit, “Han Han! Cepat kau tolong Hian Ceng di kemah itu!”
Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat!
Sekali saja melirik Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apa lagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri!
Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.
“Ouwyang Seng... kau bukan manusia... kau... iblis... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kau lakukan terhadap Hian Ceng...!” Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan dari pada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak.
Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, “Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!” Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya.
Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!
Menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu.
Hian Ceng mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!
Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, “Ceng-moi...!”
Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata, akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik. Sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.
“Ceng-moi... Ceng moi...!” Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!
Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat ke luar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.
“Sin Lian...!” Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han.
Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.
Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!
“Prakkk! Desssss...!”
Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sinkang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biar pun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.
“Han Han... ohhhhh, Han Han...”
Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.
“Sin Lian... aduh Sin Lian... kau... kau ampunkan aku, Sin Lian...! Aku... aku terlambat menyelamatkanmu...”
Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han, mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.
“Han Han... ohhhh, Han Han... aku rela... aku senang mati... dalam pelukanmu...! Han Han... kau... kau menangisi aku...?”
Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.
“Han... Han... aku... cinta padamu..., aku rela mati... kau tolong Hian Ceng... dia... gadis baik yang mencintamu pula... selamat tinggal...” Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.
“Sin Lian... aduhhh, Sin Lian...!”
Han Han tidak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk, dan kalau tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jeri menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik pelan, “Celaka... bocah pengacau itu datang...!” Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.
“Kak Han Han...!”
Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.
“Han-twako...!”
Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.
Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.
Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, “Enci Lian...! Dia kenapa...?” Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.
“Enci Lian...! Ooohhhh, dia... dia... kenapa...? Mati...! Enci Lian mati...!” Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.
“Han-koko...! Kau... kau kenapa...? Apa kau terluka...?” Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.
“Ah, Lulu anak nakal...!” Han Han merangkul adiknya. “Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian...!”
“Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?”
“Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!”
“Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!”
“Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini...! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian... dia... dia... demi cintanya kepadaku... dia sudah berkorban untuk kakakmu ini... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah kalau aku menemaninya mati untuk membalas budinya?”
“Tidak!” Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya. “Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!”
“Lulu, jangan...! Jangan mencampuri urusan ini!” Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. “Akulah lawan mereka...!”
Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sinkang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.
“Koko...! Han-koko...! Jangan engkau mati... janganlah tinggalkan aku, Kak Han Han...!” Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.
Baru Lulu sadar saat sebuah tangan halus tetapi kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.
Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, “Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoi-mu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!”
Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoi-nya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ. Melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi. Dia mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoi-nya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, “Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, jikalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri.”
“Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!”
Nirahai memperlebar senyumnya. “Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati.”
Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.
“Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,” kata Nirahai.
Terpaksa Lulu menyerah. Kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian, ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa suci-nya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu ‘matang’ mengurus tugas dan membantu pemerintah.
Han Han dan Lulu dimasukkan dalam kamar tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung.....
********************
Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.
“Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka,” demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
“Lulu, kini aku sudah sehat kembali. Kita telah mendengar semua pengalaman masing-masing dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung. “Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu... ahhhh, kakimu sampai buntung sebelah... Koko... Aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung...!” Lulu memeluki kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa. “Ha-ha-ha, bocah lucu!”
Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apa lagi ketika Han Han berkata, “Bocah lucu! Aneh sekali. Andai kata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang... ha-ha-ha!”
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biar pun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
“Han-koko... dadamu berdebar-debar sangat kencang...!” Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya.
Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
“Lulu adikku yang terkasih, kau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata, “Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.”
“Ha...! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, malah masih cemberut dan alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, “Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu...! Koko, aku... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!”
Han Han melengak kaget, “Eh! Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu.”
Lulu menggelengkan kepalanya pula. “Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko.”
“Engkau harus mau!”
“Tidak mau!”
Kembali dua saudara angkat ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati. Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya. Ia menarik napas panjang.
“Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku... aku hanya ingin melihat engkau bahagia... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya. “Koko bukan..., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu. Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku... aku...” Lulu terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu. “Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita...”
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya, “Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?”
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
“Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang bercahaya di angkasa, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan... dan... juga mulutmu...” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?” Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam goa kemerahan itu. “Mulutmu... hemmm... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya.”
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es. “Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini!”
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya. “Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”
“Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”
“Tentu saja!”
“Dan engkau akan meninggalkan aku?”
“Hemmm... sudah semestinya begitu, adikku.”
“Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas, “Kenapa, Lulu?”
“Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak bisa! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa. “Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?”
“Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biarlah aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu. “Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!”
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih, “Han-koko... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu... aku... baiklah, aku menurut.” Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata, “Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita akan dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
“Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga...!”
“Ssstttt, kau ikutlah saja,” kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!”
“Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!” Komandan jaga membantah sedangkan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum. “Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok!
Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru, “Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”
Para prajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu. Apa lagi, di sudut hati mereka, para prajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jeri terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai.
Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para panglima dan perwira yang selalu dijaga prajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat. Ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu para prajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para prajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jeri terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
“Tidak bisa! Biar pun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya! Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!”
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan, “Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”
“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. “Apakah tidak depat menjenguk isi hati orang muda? Biar pun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan, “Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?”
“Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Han menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!” Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para prajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para prajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa, “Semua prajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!”
Para prajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para prajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran prajurit-prajurit Mancu.
“Siapa yang mengeluarkan kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan kereng sambil memandang Lulu.
“Suci, akulah yang memaksa keluar,” kata Lulu.
“Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!”
“Hemmm... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas. “Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuh semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!”
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras.
Tantangan Han Han terhadap dua orang itu amat menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para prajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
“Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!”
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jeri terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biar pun kini tiada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang prajurit Mancu menjadi penonton.
Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata, “Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurang ajaranmu menantangku!”
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek. “Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andai kata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kau buntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut dari pada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?”
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biar pun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.
“Lulu, mundur!” Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya. Dengan hawa pukulan sinkang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya!
“Wuuuttt, tring-tring-tranggggg...!”
Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
“Singgg... ngiuuukkkkk...!”
Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
“Cuat-cuattt...!”
Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata, bergerak cepat dan bersikap waspada.
“Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!” Nirahai berseru. Biar pun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.
“Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!” Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi.
Han Han tetap mainkan ilmu silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat. Tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat dari pada tenaga sinkang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sinkang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biar pun sinkang-nya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya.
Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak uban-nya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah!
Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biar pun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan perhatian, bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sinkang kuat dapat menggetarkan jantungnya.
Baiknya para prajurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sinkang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak merobohkan murid keponakannya dulu, maka ia berteriak-teriak dan mengejar terus. Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa, seperti prajurit-prajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerahkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
“Krakkk! Dessss...!”
Golok patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur, dari telinga, mata, hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!
“Bocah setan...!” Toat-beng Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.
Ketika Han Han menggunakan tongkatnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan mendadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Dia pun mengerahkan tenaga membetot.
“Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!”
“Aihhhhh...!” Nenek itu menjerit.
Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun telinga di mana rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.
Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur anggota kelaminnya!
“Koko, awas...!” Tak tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru.
Nirahai menonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi itu turun tangan membantu kakaknya.
Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat gerakan kedua tangan nenek itu. Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya.
Ia membiarkan lehernya tercekik, mengerahkan tenaga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sinkang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!
Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.
Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.
“Aku Nenek Buyutmu... Nenek Buyutmu...!” dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!
Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan Tuhan!
“Pergilah!” seru Han Han dan ia mengerahkan semua tenaganya mendorong.
Tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlempar saja dan masih selamat. Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepalanya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!
Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang melepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu mendengar suara ribut-ribut di antara para prajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.
“Katanya diadakan perdamaian, kenapa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan kekerasan?” Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para prajurit.
“Sin Kiat...!” Han Han berseru girang.
“Biarkan mereka menghadap!” perintah Puteri Nirahai.
Para prajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serombongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda. Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang Nirahai dalam jolinya.
Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nirahai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah, “Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa sahabat-sahabatku ditawan?”
Sementara itu, para murid In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak tak bernyawa.
Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata dingin. “Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan perang, melainkan urusan pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang yang kau maksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!”
Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.
“Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Su-moi mau pergi, silakan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun tidak akan menghalangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandaian denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap engkau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut besar!”
“Nirahai...!” Han Han terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya.
Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki kemahnya.....
Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapa pun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.
Ada pun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.
“Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!” Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak. Dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh ilmu pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.
“Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku!” kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Sin Lian menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa.
Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!
Betapa pun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!
“Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis?” Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.
“Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan...”
“Ouwyang Seng manusia binatang!” Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya? Setannyakah ini?
Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Ada pun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit, “Han Han! Cepat kau tolong Hian Ceng di kemah itu!”
Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat!
Sekali saja melirik Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apa lagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri!
Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.
“Ouwyang Seng... kau bukan manusia... kau... iblis... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kau lakukan terhadap Hian Ceng...!” Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan dari pada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak.
Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, “Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!” Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya.
Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!
Menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu.
Hian Ceng mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!
Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, “Ceng-moi...!”
Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata, akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik. Sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.
“Ceng-moi... Ceng moi...!” Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!
Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat ke luar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.
“Sin Lian...!” Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han.
Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.
Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!
“Prakkk! Desssss...!”
Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sinkang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biar pun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.
“Han Han... ohhhhh, Han Han...”
Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.
“Sin Lian... aduh Sin Lian... kau... kau ampunkan aku, Sin Lian...! Aku... aku terlambat menyelamatkanmu...”
Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han, mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.
“Han Han... ohhhh, Han Han... aku rela... aku senang mati... dalam pelukanmu...! Han Han... kau... kau menangisi aku...?”
Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.
“Han... Han... aku... cinta padamu..., aku rela mati... kau tolong Hian Ceng... dia... gadis baik yang mencintamu pula... selamat tinggal...” Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.
“Sin Lian... aduhhh, Sin Lian...!”
Han Han tidak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk, dan kalau tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jeri menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik pelan, “Celaka... bocah pengacau itu datang...!” Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.
“Kak Han Han...!”
Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.
“Han-twako...!”
Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.
Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.
Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, “Enci Lian...! Dia kenapa...?” Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.
“Enci Lian...! Ooohhhh, dia... dia... kenapa...? Mati...! Enci Lian mati...!” Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.
“Han-koko...! Kau... kau kenapa...? Apa kau terluka...?” Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.
“Ah, Lulu anak nakal...!” Han Han merangkul adiknya. “Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian...!”
“Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?”
“Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!”
“Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!”
“Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini...! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian... dia... dia... demi cintanya kepadaku... dia sudah berkorban untuk kakakmu ini... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah kalau aku menemaninya mati untuk membalas budinya?”
“Tidak!” Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya. “Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!”
“Lulu, jangan...! Jangan mencampuri urusan ini!” Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. “Akulah lawan mereka...!”
Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sinkang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.
“Koko...! Han-koko...! Jangan engkau mati... janganlah tinggalkan aku, Kak Han Han...!” Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.
Baru Lulu sadar saat sebuah tangan halus tetapi kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.
Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, “Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoi-mu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!”
Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoi-nya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ. Melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi. Dia mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoi-nya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, “Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, jikalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri.”
“Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!”
Nirahai memperlebar senyumnya. “Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati.”
Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.
“Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,” kata Nirahai.
Terpaksa Lulu menyerah. Kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian, ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa suci-nya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu ‘matang’ mengurus tugas dan membantu pemerintah.
Han Han dan Lulu dimasukkan dalam kamar tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung.....
********************
Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti mayat-mayat musuh.
“Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah. Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal semua orang, terutama keluarga mereka,” demikian Nirahai menyampaikan pesan melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
“Lulu, kini aku sudah sehat kembali. Kita telah mendengar semua pengalaman masing-masing dan menurut pendapatku, kita berdua telah salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang, demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu. Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh, adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan aku, Lulu?”
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung. “Ahh, Han-koko, jangan kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan padamu. Kakimu... ahhhh, kakimu sampai buntung sebelah... Koko... Aku akan rela kalau boleh mengganti kakimu yang buntung...!” Lulu memeluki kaki buntung yang tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa. “Ha-ha-ha, bocah lucu!”
Ia mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apa lagi ketika Han Han berkata, “Bocah lucu! Aneh sekali. Andai kata engkau bisa memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan terpincang-pincang... ha-ha-ha!”
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya itu biar pun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
“Han-koko... dadamu berdebar-debar sangat kencang...!” Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya.
Han Han terpaksa tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
“Lulu adikku yang terkasih, kau tahu betapa kasih sayangku kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, adikku. Aku baru akan merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku, Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah perkasa, dan dia amat mencintamu.”
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan, memandang wajah kakaknya dan berkata, “Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.”
“Ha...! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah jatuh cinta kepadanya, bukan?”
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu, malah masih cemberut dan alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, “Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu...! Koko, aku... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!”
Han Han melengak kaget, “Eh! Mengapa? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan cintamu.”
Lulu menggelengkan kepalanya pula. “Pendeknya aku tidak mau menikah, Koko.”
“Engkau harus mau!”
“Tidak mau!”
Kembali dua saudara angkat ini beradu pandang, sama-sama membelalak lebar penuh kekerasan hati. Han Han yang lebih dulu menghalau kemarahannya. Ia menarik napas panjang.
“Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku... aku hanya ingin melihat engkau bahagia... hatiku selalu akan menjadi risau dan sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri seorang yang dapat kupercaya penuh.”
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya. “Koko bukan..., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko. Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin susah hatimu. Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan kepadamu dan aku... aku...” Lulu terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus rambut panjang hitam dan berbau harum itu. “Lulu, adikku yang manis, yang cantik jelita...”
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan bertanya, “Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?”
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama, terutama sekali sepasang matanya.
“Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang matamu, seperti sepasang bintang bercahaya di angkasa, seperti sepasang mata seekor burung hong, dan... dan... juga mulutmu...” Ia terhenti, merasa terlanjur dalam pujiannya.
“Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?” Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam goa kemerahan itu. “Mulutmu... hemmm... seperti telaga madu, menjadi sumber kemanisan yang tiada habisnya.”
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es. “Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semulia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di dunia ini!”
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan dan dipandangnya wajah adiknya. “Lulu adikku, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa engkau menolak?”
“Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah aku harus ikut dengan suamiku?”
“Tentu saja!”
“Dan engkau akan meninggalkan aku?”
“Hemmm... sudah semestinya begitu, adikku.”
“Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!” Lulu menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya dengan suara tegas, “Kenapa, Lulu?”
“Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!” Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han, perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak bisa! Ini gila! Dia harus melawan perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
Ia memaksa diri tertawa. “Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?”
“Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biarlah aku tidak pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!”
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan memandang tajam wajah yang basah air mata itu. “Lulu, tidak boleh! Apakah engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik. Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!”
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan suara berat Lulu berkata lirih, “Han-koko... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu... aku... baiklah, aku menurut.” Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis. Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata, “Marilah kita menemui Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan kita akan dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Tanpa menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
“Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada penjaga-penjaga...!”
“Ssstttt, kau ikutlah saja,” kata Han Han yang menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam orang jumlahnya itu menengok, ia berkata, “Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak menghadap Puteri Nirahai!”
“Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!” Komandan jaga membantah sedangkan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga segala kemungkinan.
Han Han tersenyum. “Kalau begitu, aku akan keluar sendiri!” katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok!
Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok! Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru, “Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?”
Para prajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan mengganggu. Apa lagi, di sudut hati mereka, para prajurit yang sudah mendengar akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jeri terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai.
Berbeda dengan perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para panglima dan perwira yang selalu dijaga prajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang gila hormat. Ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu para prajurit bergerombol dan hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki kemah. Selain para prajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jeri terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai yang terdengar marah.
“Tidak bisa! Biar pun Ouwyang-kongcu telah terbunuh, akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok tidak berhak untuk memerintahkan kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini, akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan hukumannya! Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!”
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar. Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan, “Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu! Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa sakit hati terhadap pemuda buntung itu?”
“Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun masih bodoh!” Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. “Apakah tidak depat menjenguk isi hati orang muda? Biar pun kakinya buntung sebelah, hati wanita muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati wanita, dari puteri sampai jembel pun tiada bedanya. Hi-hik!”
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan, “Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak mampu membunuh kalian?”
“Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Han menantang kalian dan kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!” Han Han berseru keras, menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para prajurit memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para prajurit, Nirahai lalu melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa, “Semua prajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran yang lebar, paling dekat sepuluh meter!”
Para prajurit lalu mundur dan karena semua ingin menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat itu. Bahkan para prajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga tempat itu penuh oleh lingkaran prajurit-prajurit Mancu.
“Siapa yang mengeluarkan kalian?” Puteri Nirahai bertanya dengan kereng sambil memandang Lulu.
“Suci, akulah yang memaksa keluar,” kata Lulu.
“Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!”
“Hemmm... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu pemerintah?” Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas. “Sama sekali bukan. Aku dan adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuh semua oleh Iblis Muka Kuda ini dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh pribadi!”
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras.
Tantangan Han Han terhadap dua orang itu amat menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak mengusir para prajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
“Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!”
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jeri terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biar pun kini tiada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan orang prajurit Mancu menjadi penonton.
Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata, “Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut memberi hormat atas kekurang ajaranmu menantangku!”
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek. “Tidak kusangkal bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andai kata Kakekku yang berjuluk Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu, bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu sendiri yang telah kau buntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut dari pada perbuatanmu membunuhi keluarga para murid In-kok-san?”
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biar pun mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di telinganya.
“Lulu, mundur!” Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan tangannya. Dengan hawa pukulan sinkang yang kuat sekali ia membuat tiga buah gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya!
“Wuuuttt, tring-tring-tranggggg...!”
Toat-beng Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan penyerangan secara berbareng.
“Singgg... ngiuuukkkkk...!”
Ma-bin Lo-mo juga sudah menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
“Cuat-cuattt...!”
Tubuh Han Han mencelat seperti kilat dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata, bergerak cepat dan bersikap waspada.
“Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!” Nirahai berseru. Biar pun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat sebelah.
“Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok, memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan kemenangan dengan kecurangan!” Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi.
Han Han tetap mainkan ilmu silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat. Tubuhnya lenyap dan hanya tampak berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih kuat dari pada tenaga sinkang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sinkang Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena biar pun sinkang-nya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya.
Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu aneh dan mengerikan dari suaminya itu. Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar rambutnya sudah banyak uban-nya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan darah!
Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut. Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biar pun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang, namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua orang ini tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan perhatian, bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sinkang kuat dapat menggetarkan jantungnya.
Baiknya para prajurit menonton dari jarak jauh sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sinkang yang berubah-ubah, kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak merobohkan murid keponakannya dulu, maka ia berteriak-teriak dan mengejar terus. Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa, seperti prajurit-prajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika melihat tongkat menyambar, ia mengerahkan tenaga mengayun goloknya menangkis, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada saat dua telapak tangan mereka bertemu.
“Krakkk! Dessss...!”
Golok patah menjadi tiga dan tubuh Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur, dari telinga, mata, hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!
“Bocah setan...!” Toat-beng Ciu-sian-li memaki menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.
Ketika Han Han menggunakan tongkatnya menangkis, sepasang rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular, tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan mendadak nenek itu menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot ke kanan kiri. Han Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Dia pun mengerahkan tenaga membetot.
“Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!”
“Aihhhhh...!” Nenek itu menjerit.
Tongkat Han Han patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun telinga di mana rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat. Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.
Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup, tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati, sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur anggota kelaminnya!
“Koko, awas...!” Tak tertahankan lagi Lulu yang menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru.
Nirahai menonton dengan sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi itu turun tangan membantu kakaknya.
Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia telah menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak melihat gerakan kedua tangan nenek itu. Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya.
Ia membiarkan lehernya tercekik, mengerahkan tenaga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun mengerahkan sinkang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!
Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.
Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.
“Aku Nenek Buyutmu... Nenek Buyutmu...!” dan dari kedua mata nenek itu bercucuran air mata!
Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan Tuhan!
“Pergilah!” seru Han Han dan ia mengerahkan semua tenaganya mendorong.
Tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlempar saja dan masih selamat. Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepalanya coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!
Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han Han yang melepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu mendengar suara ribut-ribut di antara para prajurit. Nirahai sendiri pun memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.
“Katanya diadakan perdamaian, kenapa hendak menghadap Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan kekerasan?” Terdengar suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para prajurit.
“Sin Kiat...!” Han Han berseru girang.
“Biarkan mereka menghadap!” perintah Puteri Nirahai.
Para prajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serombongan orang muda memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda. Sin Kiat berjalan di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang Nirahai dalam jolinya.
Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nirahai berdiri di situ, Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah, “Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini, mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami datang untuk mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi mengapa sahabat-sahabatku ditawan?”
Sementara itu, para murid In-kok-san memandang mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak, bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak tak bernyawa.
Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata dingin. “Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan perang, melainkan urusan pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang yang kau maksudkan itu tidak lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!”
Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan dapat bertemu kembali dengan Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.
“Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu, dan kalau Lulu Su-moi mau pergi, silakan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun tidak akan menghalangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu mengadu kepandaian denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap engkau sebagai seorang laki-laki sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut besar!”
“Nirahai...!” Han Han terkejut dan menyebut nama itu tanpa disadarinya.
Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki kemahnya.....
Komentar
Posting Komentar