PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-09
"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"
"Sikat saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi pembantu-pembantuku. Jika perjalanan ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"
“Tidak... tidak takut… hanya…”
"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.”
Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.
"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."
"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata, "Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."
"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
"He-hemmm...," Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.
Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian sekarang juga, karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"
Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.
"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Ada pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."
Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak), namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.
"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"
"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biar pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"
Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san.
Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan dia... Ma-bin Lo-mo....” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak.
Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."
Tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."
"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.
"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi berteriak nyaring.
"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang menaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.
Mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.
Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.
Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.
Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat ‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi, maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapa pun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang di antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.
Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!"
Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.
Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.
Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak seperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.
Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!
"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.
Kakek sakti ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
"Ohhh... kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai menangis.
Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.
Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, tetapi merasa muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas. Kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.
"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."
"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.
"Begitulah agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"
"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.
"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.
"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."
"Ada perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.
Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.
Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.
"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."
"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"
Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!
"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."
Pada saat itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!
"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”
Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mukjizat.
"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"
"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!"
Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.
"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.
Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!
Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang yang membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.
"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.
Dan benar saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.
"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"
Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Ada pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.
Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa, "Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.
"Koko... aku takut.... api itu akan membakar kita...”
Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya ombak makin membesar dan langit makin gelap.
"Lulu, lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambil bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.
Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.
Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya. "Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.
"Tidak...! Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.
Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin terbakar api?"
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.
"Hujan…!”
Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.
Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar ke luar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.
Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.
Han Han tak dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han tetap sadar!
Keadaan amat tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk. Terdengar suara Lulu merintih perlahan.
"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.
"Han-ko…, apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..."
Han Han merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."
Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata, "Perutku lapar...”
Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.
Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.
Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum. Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.
Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya dari pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.
Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.
"Kita mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”
Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biar pun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.
Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.
"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan suara lemah.
Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.
"Lulu... mari kita keluar.... Kita harus berusaha untuk mendarat..."
"Oohhh... lebih senang begini, Koko...." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.
Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!
Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"
Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.
"Koko, kitab-kitabmu tercecer..."
Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu.
Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.
Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi dan Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik.
Ketika muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
"Pulau Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.
Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh bergulingan. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.
“Kita selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.
Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.
"Koko...! Han-ko....! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak.
Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
"Han-ko...! Jangan mati, Han-ko.... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.
“Gerrrrr……!”
Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.
Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.
"Ohhhhh, tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu Han-ko...!"
Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!
Namun beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!
Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak mengganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.
Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang manusia itu diperkembangkan! Betapa suci-nya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoism). Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.
Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.
Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.
Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk ke sebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.
Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.
Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.
“Cringgggg...!”
Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar.
Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...! Koko…! Bangunlah... Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar. Mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.
Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu.
Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.
Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.
"Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"
Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"
Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!
Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer. Mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.
Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya. Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang aneh karena di situ bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.
Kamar pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah.
Di bagian lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan’.
Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari pada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.
Ada pun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk’ beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.....
"Sikat saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi pembantu-pembantuku. Jika perjalanan ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"
“Tidak... tidak takut… hanya…”
"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.”
Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.
"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."
"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata, "Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."
"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
"He-hemmm...," Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.
Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian sekarang juga, karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"
Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.
"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Ada pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."
Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak), namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.
"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"
"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biar pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"
Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san.
Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan dia... Ma-bin Lo-mo....” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak.
Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."
Tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."
"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.
"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi berteriak nyaring.
"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang menaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.
Mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.
Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.
Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.
Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.
Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat ‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi, maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapa pun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang di antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.
Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!"
Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.
Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.
Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak seperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.
Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!
"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.
Kakek sakti ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
"Ohhh... kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai menangis.
Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.
Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, tetapi merasa muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.
Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas. Kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.
"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."
"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.
"Begitulah agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"
"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.
"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.
"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."
"Ada perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.
Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.
Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.
"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."
"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!
"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"
Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!
"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."
Pada saat itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!
"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”
Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mukjizat.
"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"
"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!"
Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.
"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.
"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.
Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!
Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang yang membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.
"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.
Dan benar saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.
"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"
Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Ada pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.
Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa, "Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.
Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.
"Koko... aku takut.... api itu akan membakar kita...”
Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya ombak makin membesar dan langit makin gelap.
"Lulu, lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambil bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.
Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.
Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya. "Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.
"Tidak...! Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.
Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin terbakar api?"
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.
"Hujan…!”
Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.
Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar ke luar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.
Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.
Han Han tak dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han tetap sadar!
Keadaan amat tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk. Terdengar suara Lulu merintih perlahan.
"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.
"Han-ko…, apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..."
Han Han merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."
Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata, "Perutku lapar...”
Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.
Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.
Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum. Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.
Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya dari pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.
Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.
"Kita mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”
Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biar pun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.
Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!
Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.
"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan suara lemah.
Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.
"Lulu... mari kita keluar.... Kita harus berusaha untuk mendarat..."
"Oohhh... lebih senang begini, Koko...." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.
Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!
Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"
Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.
"Koko, kitab-kitabmu tercecer..."
Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu.
Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.
Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi dan Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik.
Ketika muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.
"Pulau Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.
Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh bergulingan. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.
“Kita selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.
Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.
"Koko...! Han-ko....! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak.
Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.
"Han-ko...! Jangan mati, Han-ko.... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.
“Gerrrrr……!”
Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.
Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.
"Ohhhhh, tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu Han-ko...!"
Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!
Namun beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!
Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak mengganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.
Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang manusia itu diperkembangkan! Betapa suci-nya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoism). Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.
Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.
Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.
Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk ke sebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.
Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.
Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.
“Cringgggg...!”
Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar.
Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...! Koko…! Bangunlah... Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar. Mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.
Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu.
Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.
Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.
"Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"
Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"
Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!
Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer. Mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.
Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya. Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang aneh karena di situ bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.
Kamar pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah.
Di bagian lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan’.
Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari pada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.
Ada pun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk’ beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.....
Komentar
Posting Komentar