PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-18


Tadi ia melihat betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biar pun terdesak namun juga tidak dapat dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han sekarang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi. Biar pun di dalam hatinya ia sama sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus mentaati perintah Puteri Nirahai untuk ‘menarik’ Han Han menjadi kawan, bukan lawan.
“Ouwyang-kongcu, saya tidak membutuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”
Ouwyang Seng menghela napas panjang dengan muka menyatakan penyesalannya, lalu menghampiri Lulu dan menjura sambil berkata, “Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia diserang dan didesak orang, masa tidak mau dibantu?”
Lulu sejenak memandang Ouwyang Seng, kemudian berkata kepada kakaknya, “Koko, kalau mereka memang benar-benar hendak membantu, mengapa kau menolak?”
“Lulu, jangan mencampuri. Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”
Akan tetapi Lulu memandang wajah Ouwyang Seng yang tampan dan tersenyum-senyum itu dan ia merasa heran akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini sama sekali tidak jahat.
“Han Han, betapa pun juga, engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu mengusir iblis itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama. Bagaimana?”
“Gak-locianpwe, apakah locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau Es kepadaku setelah locianpwe membantuku mengenyahkan Ma-bin Lo-mo?”
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin sekali mendengar tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan penuh gairah berteriak, “Ah, jadi engkau sudah berhasil sampai ke sana? Anak baik, mari kubantu engkau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara tentang Pulau Es!”
Kemarahan hati Han Han meluap. “Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja) dengan Ma-bin Lo-mo. Aku tidak sudi akan bantuanmu!”
Mendengar jawaban ini dan karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang Seng sudah cepat turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu, merampas Lulu terlebih dahulu untuk menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga untuk dijadikan umpan memancing Han Han ke kota raja, bahkan kelak akan dapat digunakan untuk memaksa Han Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai. Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh menurutkan nafsu birahinya yang berkobar begitu ia melihat gadis Mancu yang cantik molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai sendiri itu, karena Lulu adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis ini sudah menjadi perhatian Puteri Nirahai dan sudah diumumkan kepada para pembantunya.
Cepat ia menubruk untuk menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika tubuh gadis itu seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah melesat dan mengelak dari kedua tangannya! Itulah gerak otomatis yang sudah ada pada diri Lulu sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau Es bersama Han Han.
Melihat Ouwyang-kongcu tidak berhasil dan gadis itu berkelebat dekat dengannya, Gak Liat lalu menggerakkan tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan roboh dalam pelukan Ouwyang Seng yang sudah cepat menyambar, menotoknya dan memondong tubuhnya.
“Koko...!”
Han Han marah bukan main. “Keparat! Lepaskan Adikku!” Ia mengejar maju akan tetapi dihadang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan pandang mata beringas Han Han menerjang Gak Liat dan memukul dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Gak Liat terkejut bukan main melihat ini dan cepat menangkis.
“Bressss...!”
Seperti yang dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi, tubuh Kang-thouw-kwi Gak Liat tergetar oleh pukulan Hwi-yang Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung ke belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.
“Ha-ha, Setan Botak! Bocah ini sekarang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi pusaka Pulau Es!” Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.
“Kita berdua harus menundukkannya!” Gak Liat yang amat cerdik berkata.
Dari pada memperebutkan bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik menangkapnya bersama dan kelak membagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam waktu lima enam tahun saja bocah ini sudah dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang sedemikian hebatnya, dapat dibayangkan betapa luar biasa dan amat berharga pusaka Pulau Es.
Ma-bin Lo-mo bukan seorang bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka ia berkata, “Baiklah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup!”
Gak Liat berteriak ke belakangnya, “Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”
Ouwyang-kongcu sudah mengempit tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak dapat bergerak atau berteriak lagi, kemudian ia melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.
“Heiiiii, Ouwyang Seng keparat kurang ajar! Lepaskan adikku...! Dasar anjing keparat, kulumatkan tubuhmu, kuhancurkan kepalamu!”
Han Han menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, tetapi ia disambut oleh pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat, bahkan dari belakang ia diserang pula oleh Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Han Han mengeluarkan suara menggereng seperti beruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar beringas. Kemarahan hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul kembali. Dua pukulan dari depan dan belakang hampir berbareng mengenai tubuhnya, akan tetapi seolah-olah tidak dirasakannya dan ia mengamuk, menggunakan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa aturan lagi sehingga dua orang kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan heran dan kaget.
Andai kata lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, tentu amukan Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu kebuasannya sudah mengorbankan banyak nyawa-nyawa lagi. Akan tetapi sekali ini yang mengeroyoknya adalah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan pada jaman itu sukar dicari tandingnya, maka betapa pun ia mengamuk, tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan tubuhnya berkali-kali harus menerima hantaman-hantaman yang amat berat.
Hantaman-hantaman itu amat kuat dan membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening. Hal ini menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat dan ketika dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia mengeluarkan pekik melengking dan mengerahkan seluruh sinkang-nya, menyalurkan Hwi-yang Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo, sedangkan tangan kanannya dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat.
Ia balas memukul tanpa mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sinkang secara terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu dengan dua macam tenaga yang berlawanan sehingga keras bertemu keras, terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.
“Desssss...!” Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika muntahkan darah segar dari mulut mereka akan tetapi Han Han sendiri yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan!
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di dalam dada mereka. Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak kembali dan keduanya memandang Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.
“Dia luar biasa sekali, Setan Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.
“Hemmm, kalau tidak mengalami sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat menghampiri Han Han yang masih rebah pingsan.
Mereka berdua lalu turun tangan menotok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang ahli dengan dua cara menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han Han menjadi lemas dan tak lama kemudian ia siuman kembali. Betapa kaget dua orang kakek itu ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak mengalami luka sama sekali, padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!
Biar pun tidak terluka parah, akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya lemas sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin mencoba untuk membebaskan diri, maklum bahwa di tangan kedua orang kakek itu percuma saja baginya untuk melawan. Namun, menyerahkan pun tidak ada sedikit juga di dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk di dekatnya lalu berkata.
“Kalian telah mengalahkan aku, tidak lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu menjadi kagum.
“Han Han, mengapa engkau amat keras kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”
“Benar, Han Han. Engkau masih amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”
Mendengarkan ucapan kedua orang kakek yang halus dan seolah-olah menyayangnya ini, rasa dada Han Han menjadi makin sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor ular.
“Sudahlah, bosan aku mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau Es, bukan? Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh, kerjakan saja. Aku tidak takut mati!”
Gak Liat dan Siangkoan Lee saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa yang harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia, jalan satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.
“Baiklah, hendak kulihat apakah engkau akan kuat mempertahankan kekerasan hatimu!” bentak Ma-bin Lo-mo dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat.
Han Han tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya, akan tetapi seketika ia merasa betapa seluruh tulang-tulang di tubuhnya nyeri, seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri agar tidak mengeluh. Walau rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat sampai berdenyut-denyut di ubun-ubunnya, akan tetapi ia tetap mengeraskan hatinya sehingga mukanya pucat penuh keringat.
“Engkau tidak mau bicara tentang pulau itu?” Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi Han Han diam saja, hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau menjawab.
“Ha-ha, agaknya dia tetap berkeras. Biar kutambah sedikit!” Gak Liat lalu menggunakan tangannya mengurut tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya gatal-gatal.
Bukan main hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk menimbulkan nyeri yang sampai terasa di ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang tidak nyeri malah ternyata lebih hebat lagi karena merangsang syaraf-syaraf, terasa di bawah kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya menggaruk, namun kedua kaki tangannya masih tertotok lumpuh! Hampir ia tak dapat menahan lagi dan ingin menjerit-jerit sekerasnya, namun kekerasan hatinya yang tidak ingin mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit pun, bahkan ia memejamkan kedua matanya.
Begitu kedua matanya dipejamkan, terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya itu terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada yang dihadapinya sendiri. Kekhawatiran dan kemarahan yang bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan daya kemauan yang tidak lumrah. Seketika ia mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergerak dan seketika itu juga ia telah melompat bangun!
Hebat sekali memang keadaan tubuh Han Han, kehebatan yang tidak wajar lagi. Sejak kepalanya dibenturkan oleh perwira yang memperkosa ibunya, terjadi ketidak-wajaran dalam tubuhnya, menimbulkan kekuatan kemauan yang dapat mengalahkan kekuatan jasmani dan dengan sendirinya juga dapat memaksa jasmaninya melakukan hal-hal yang tidak semestinya dapat dilakukan manusia biasa.
Dalam keadaan tertotok tadi, dia sama sekali tak mampu bergerak, bahkan tak mampu mengerahkan sinkang. Akan tetapi kekuatan kemauannya yang luar biasa, terdorong oleh kemarahannya dan kekhawatirannya memikirkan Lulu, membuat ia mampu mengerahkan sinkang-nya sehingga ia dapat membebaskan totokan pada tubuhnya dan sekaligus juga membebaskan totokan dan pencetan yang menimbulkan rasa nyeri-nyeri dan gatal-gatal tadi.
Begitu dapat bergerak lagi, Han Han lalu meloncat hendak pergi dari situ mengejar Ouwyang Seng yang membawa lari adiknya. Melihat ini, Setan Botak dan Iblis Muka Kuda yang tadinya bengong dan kesima saking kagetnya melihat pemuda itu tiba-tiba dapat bebas, cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Han Han tidak terluka parah di dalam tubuhnya, namun seluruh tubuhnya sakit-sakit akibat pertandingan tadi, maka larinya tidaklah secepat biasanya. Andai kata tidak demikian sekali pun, tentu sukar baginya untuk dapat melarikan diri dari dua orang datuk hitam itu.
“Kau hendak lari ke mana?” Gak Liat mengejek.
“Hemmm, jangan harap dapat melarikan diri!” Ma-bin Lo-mo juga mengejek.
Mendengar suara mereka amat dekat di belakangnya, Han Han maklum bahwa lari pun memang tiada gunanya. Ia teringat akan sesuatu, teringat akan pengalaman-pengalamannya ketika kecil, betapa suaranya kadang-kadang dapat mempengaruhi orang. Hal itu dahulu ia anggap tak masuk akal dan hanya kebetulan saja, akan tetapi dalam keadaan tersudut seperti ini, tiada salahnya mencoba-coba. Ia mengumpulkan seluruh kekuatan kemauannya, kemudian tiba-tiba membalik dan membentak.
“Berhenti kalian!”
Dua orang kakek yang sama sekali tidak menyangka akan dibentak seperti itu. Mereka terkejut sekali dan berhenti seperti arca, memandang sepasang mata Han Han yang mengeluarkan sinar kilat ketika pemuda itu membalikkan tubuh. Melihat keadaan kedua datuk ini, Han Han ‘mendapat hati’ dan ia berkata lagi dengan suara penuh wibawa karena didasari kemauan yang amat kuat.
“Gak Liat dan Siangkoan Lee, bukankah kalian saling bermusuhan? Siapa tidak menyerang dulu akan celaka!”
Gak Liat den Siangkoan Lee seperti kemasukan kilat, mereka membalik, saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Setan Botak. Engkau musuhku!”
“Iblis Muka Kuda, aku harus membunuhmu!”
Kedua orang tokoh besar dalam golongan kaum sesat itu segera saling hantam sendiri! Karena Gak Liat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang sedangkan Siangkoan Lee mempergunakan Swat-im Sin-ciang tentu saja baku hantam antara dua orang datuk hitam itu amatlah hebatnya dan hanya dalam dua kali gebrakan saja mereka berdua terjengkang ke belakang.
Karena mereka berdua memang telah memiliki kekuatan sinkang dan kekuatan batin yang tinggi, maka pengaruh luar biasa dari pandang mata dan bentakan Han Han itu pun hanya sebentar saja menguasai mereka. Setelah terjengkang barulah mereka terheran-heran mengapa mereka saling serang sendiri, dan ketika mereka memandang ternyata pemuda itu telah lari agak jauh! Tentu saja tergopoh-gopoh dua orang kakek itu mengejar sambil menyumpah-nyumpah. Mereka menjadi penasaran dan marah, dan tanpa bicara keduanya mengambil keputusan untuk menangkap dan menyiksia bocah itu sampai mati kalau tidak mau bicara tentang Pulau Es.
Han Han maklum bahwa kembali dua orang kakek itu sudah mengejar dekat. Ia tidak berani lagi mencoba kekuatan mukjizat bentakannya, karena terbukti bahwa mereka itu kini sudah tidak terpengaruh lagi. Ia berlari terus dan tiba di sebuah lereng gunung yang banyak jurang-jurang dalam di kanan-kirinya. Celaka, pikirnya, ke mana lagi harus melarikan diri? Ah, melarikan diri pun tidak ada gunanya dan ia tidak tahu ke mana Lulu dibawa pergi Ouwyang Seng. Dari pada berlari yang akhirnya tentu tersusul pula, lebih baik melawan mati-matian.
Pikiran ini membuat ia nekat lalu membalikkan tubuhnya dan begitu dua orang lawannya datang mendekat, dialah yang mendahului menerjang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya. Pukulannya ampuh sekali dan terpaksa dua orang kakek itu meloncat ke samping sambil mengibaskan lengan menangkis. Kembali Han Han dikeroyok dua dan betapa pun ia melawan mati-matian, sebentar saja ia sudah terdesak lagi.
Kedua orang kakek itu selain berkepandaian tinggi juga merupakan orang-orang cerdik dan banyak pengalaman. Mereka segera mengerti bahwa dalam hal ilmu silat, Han Han masih belum mahir. Pemuda ini hanya memiliki sinkang yang benar-benar amat hebat, di samping kekuatan mukjizat yang menimbulkan wibawa dan dapat mempengaruhi orang lain. Karena itu mereka segera mempergunakan ilmu silat untuk mendesak dan kini tubuh Han Han pontang-panting karena harus menerima hantaman-hantaman yang tak dapat ia elakkan atau tangkis lagi. Ia terhuyung ke sana ke mari, dijadikan seperti sebuah bola dipermainkan dua orang anak-anak atau seekor tikus dipermainkan dua ekor kucing yang tidak segera membunuhnya, melainkan hendak menyiksanya.
Memang orang-orang seperti Setan Botak dan Iblis Muka Kuda ini memiliki watak sadis yang luar biasa. Mereka itu tak pernah memiliki hati jujur, tidak pernah memiliki rasa kasihan, bahkan melihat orang lain menderita dan tersiksa, timbul semacam rasa puas dan gembira, sebaliknya menyaksikan orang lain senang dan bahagia, hati mereka tidak senang, iri hati dan dengki. Karena inilah maka mereka itu menjadi datuk-datuk golongan hitam, orang-orang yang sudah tidak mengenal lagi baik atau buruk, atau tidak mempedulikannya, yang berbuat semata-mata demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri saja.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya seperti akan pecah dan rasa nyeri membuat kepalanya pening berdenyut-denyut, tetap membungkam dan tidak mau bicara sama sekali, apa lagi bicara tentang Pulau Es. Dia malah menggigit bibir sampai berdarah menahan rasa nyeri, dan masih terus melakukan perlawanan sejadinya yang tentu saja tidak ada artinya bagi kedua orang kakek itu.
Sebuah pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat mengenai leher Han Han, membuat pemuda ini terpelanting. Sesaat ia tak dapat bangun sebab pandang matanya berkunang-kunang dan segala sesuatu seperti berpusingan. Terpaksa Han Han memejamkan mata dan menanti pukulan maut.
“Masihkah engkau berkeras tidak mau memberi tahu tentang Pulau Es?” Ma-bin Lo-mo membentak dan tubuhnya sudah mendoyong ke depan untuk memberi pukulan maut yang akan menghancurkan kepala Han Han yang kini sudah tak mampu melindungi dirinya lagi itu.
Han Han tidak mau menjawab, bahkan kini ia membuka kedua matanya, terbelalak memandang kepada dua orang kakek itu karena ia hendak menghadapi kematiannya dengan mata terbuka agar dapat melihat bagaimana caranya dia mati! Dua orang kakek yang sudah hilang harapan dan kesabaran untuk membujuk Han Han itu menggerakkan tangan, seolah-olah hendak berlomba pula menikmati kesenangan membunuh pemuda keras kepala itu. Kedua tangan mereka bergerak memukul ke arah kepala Han Han dan... tubuh mereka terpental ke belakang dan terbanting cukup keras ke atas tanah.
Han Han terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika ia melihat searang kakek tua renta yang berambut panjang terurai tidak diurus, pakaian sederhana bukan seperti pakaian lagi, berkaki telanjang, berdiri tak jauh dari tempat itu. Kakek tua renta itu patutnya seorang yang hidupnya terlantar, seorang jembel tua, dan yang membuat Han Han kagum adalah wajah kakek itu yang masih kelihatan tampan dan mencerminkan ketenangan dan kedamalan hati yang mukjizat. Kakek itu berdiri dan tersenyum memandang dua orang datuk golongan hitam itu.
Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo yang juga terkejut sekali meloncat bangun. Ketika melihat kakek tua renta yang bertubuh tinggi besar itu, mereka mengeluarkan seruan tertahan. Sejenak tubuh mereka menegang seolah-olah hendak menerjang kakek tua renta itu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena mereka membalikkan tubuh dan... lari cepat meninggalkan tempat itu. Han Han menjadi heran sekali, akan tetapi tidak sempat bertanya karena kakek tua renta itu pun sudah melangkah pergi perlahan-lahan dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata-kata.
Han Han baru mengeluarkan rintihan perlahan setelah dua orang iblis itu pergi dan tidak ada orang lain di tempat itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tulang-tulangnya seperti remuk rasanya. Akan tetapi lebih sakit lagi karena memikirkan Lulu. Ia bangun dan bersila, mengerahkan sinkang-nya sehingga hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya, mengurangi rasa sakit. Akan tetapi karena teringat akan adiknya, tidak lama kemudian ia bangkit berdiri, agak terhuyung dan pening. Mulutnya berbisik.
“Ouwyang Seng, awas engkau kalau mengganggu Lulu...”
Ia tahu bahwa Ouwyang Seng tinggal di kota raja. Tentu adiknya itu dibawa ke kota raja. Ia harus mengejar secepatnya ke kota raja. Pikiran ini membuat ia melompat ke depan, agaknya ingin dengan sekali lompatan ia dapat menyusul Ouwyang Seng. Akan tetapi ia mengeluh dan terguling, menggeletak pingsan di pinggir jurang. Tubuhnya nyaris terguling ke jurang kalau saja tidak ada sebuah batu menghalangi tubuhnya yang menelungkup.....
********************
Setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, memang terjadi perubahan besar-besaran menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan besi untuk menyapu para pemberontak, juga melakukan usaha keras untuk membasmi korupsi dan penyuapan.
Dengan cara radikal mengganti para pembesar tua yang korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan hanya diambil dari bangsa-bangsa di utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau Khitan, akan tetapi juga tidak pantang mempergunakan tenaga bangsa Han sendiri yang sudah jelas mendukung pemerintah baru itu. Bahkan dengan sikap yang manis dan jujur, kaisar ini membuka kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk menduduki jabatan-jabatan penting di kota raja melalui ujian yang jujur, bebas dari pada pengaruh suapan. Hal ini disambut dengan gembira oleh kaum terpelajar yang semenjak dahulu bernasib sengsara karena dahulu, betapa pun pandainya seseorang, kalau tidak dapat memberi suapan kepada pembesar yang bertugas, tak pernah dapat lulus ujian. Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga pemerintahnya mendapatkan simpati dari pada kaum terpelajar.
Namun di samping sikap lunak dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai membantu roda pemerintahannya, Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras terhadap rakyat yang tidak tunduk kepada pemerintah Mancu. Pembersihan dilakukan di mana-mana, dan terutama sekali kaum kang-ouw mendapat pengamatan keras. Tepat seperti yang diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para pembantunya, bagaikan ikan-ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah ini dikejar-kejar sehingga terpaksa mereka yang dapat menyelamatkan diri lari ke Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam Kwi, raja muda yang merupakan kekuatan terakhir yang menentang pemerintah Mancu.
Sudahlah lazim di dunia ini bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan selalu menimbulkan ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan mala petaka besar. Sudah biasa pula bahwa perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan mempunyai dasar yang baik sering kali berbeda dengan pelaksanaannya, atau disalah gunakan oleh si pelaksana demi kesenangan dirinya sendiri. Demikian pula dengan perintah kaisar. Kaisar memberi perintah untuk membersihkan kaum pemberontak dengan maksud agar pertentangan segera berakhir dan dapat segera menujukan seluruh kekuatan dan perhatian kepada pembangunan agar kehidupan rakyat menjadi tenteram dan jauh dari pada perbuatan yang mengandung kekerasan.
Akan tetapi bagaimanakah pelaksanaan dari pada perintah ini? Ketika perintah turun sampai ke tangan Ouwyang Cin Kok dan menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para pembantunya, perintah itu masih murni dan dilaksanakan dengan baik pula. Akan tetapi setelah perintah itu tersebar kepada pasukan-pasukan yang ditugaskan melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih menentang, terjadilah penyelewengan-penyelewengan dan penyalah-gunaan.
Pasukan-pasukan Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan para pembesar, hanya dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan demikian seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh, segera melakukan hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan sebaliknya! Apa lagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pemberontak kang-ouw yang berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka lampiaskan kepada para pemberontak lalu mereka timpakan kepada rakyat dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Terjadilah perampokan, perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!
Bermacam-macamlah peristiwa yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan pasukan-pasukan Mancu yang berdalih melakukan pembersihan terhadap kaum pemberontak itu jauh-jauh sudah didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang haus darah. Ada yang bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi ke mana? Di rumah pun setiap harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau mengungsi tanpa tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari mati kelaparan di perjalanan!
Dan setelah pasukan Mancu memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi penghuni dusun itu berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela mereka. Tuhan yang menentukan siapa di antara penghuni dusun itu yang akan ditimpa mala petaka, siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh, dirampok, atau diperkosa anak isterinya, siapa pula yang secara aneh terhindar dari mala petaka seolah-olah para pasukan yang berubah ganas melebihi perampok-perampok itu melewati atau tidak melihat rumah itu.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi, yang katanya merupakan makhluk-makhluk yang tertinggi tingkat dan derajatnya di antara segala makhluk hidup yang bergerak. Akan tetapi justru karena akal budi itulah maka tidak ada makhluk yang lebih kejam dan buas dari pada seorang manusia yang menyombongkan akal budinya. Sebagian besar manusia menyalah-gunakan akal yang dianugerahkan khusus kepada manusia oleh Tuhan. Akal bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan bagi manusia umumnya dan dunia, melainkan semata-mata akal dipergunakan sebagai alat untuk mencapai kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung habis. Akal dipergunakan untuk mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai bahan utang-piutang!
Kalau manusia sudah diperhamba nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat dari pada perbuatan-perbuatannya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada hanyalah mengejar kenikmatan dan kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa yang disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa perbuatannya menyengsarakan orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat
. Dengan dalih pembersihan dan menumpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa disembelih, hanya untuk dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri dan gadisnya.
Di dalam sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya, kemudian karena diancam anaknya akan disembelih, ibu muda ini terpaksa menyerahkan kehormatannya dinodai secara bergantian oleh tiga orang tentara Mancu yang menyebut diri mereka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu yang jaya! Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu membunuhnya, juga membunuh bayinya!
Ada pula gerombolan pasukan yang memperkosa isteri dan gadisnya di depan tuan rumah yang diikat pada tiang rumah dan dipaksa menyaksikan betapa isteri dan anaknya menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor domba diterkam harimau-harimau buas! Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau diceritakan seakan-akan tidak masuk akal, akan tetapi hal-hal semacam itu banyak terjadi di masa itu, dan terjadi pula di mana-mana di bagian dunia ini, terutama sekali di waktu perang mengamuk.
Perang mengubah manusia-manusia beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling buas, menjadi jahat melebihi iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini mereka lakukan dengan memaksakan pendirian di dalam hati sendiri bahwa yang mereka lakukan itu adalah benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi musuh-musuh mereka. Mungkin ada di antara mereka yang setelah tenang kembali menyadari betapa kejinya perbuatan mereka, namun mereka akan menghibur hati sendiri bahwa banyak orang menemani mereka dalam perbuatan itu, bukan mereka sendiri, maka berkuranglah penyesalan hati mereka, sungguh pun kadang-kadang hati nurani mereka membuat mereka itu tersiksa batin mereka selama hidup mereka.
Di sebuah dusun, di sebelah selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota raja, terjadilah geger ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di sekitarnya dalam ‘operasi’ mereka. Memang ada juga hasilnya operasi yang dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yaitu membasmi perampok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Di dalam hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang telah berhasil membasmi segerombolan perampok yang selain sering mengganggu penduduk dan orang lewat, juga terkenal memusuhi pemerintah Mancu dan sering kali menghadang dan merampok kereta-kereta pembesar Mancu yang lewat dan yang tidak begitu kuat pengawalannya. Sarang perampok dibasmi, banyak yang dibunuh dan ada pula yang melarikan diri. Kepala perampok dibunuh, akan tetapi seorang di antara isteri-isteri perampok itu, yang muda cantik dan genit, tidak dibunuh oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini amat pandai mengambil hati dan pandai pula merayu.
Perempuan ini menceritakan bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang guru silat yang diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke tangan kepala rampok itu dan dijadikan selirnya. Karena perwira itu dan pembantu-pembantunya puas dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai teman penghibur dalam tugas pembersihan yang mereka lakukan. Apa lagi ketika wanita itu membuktikan bahwa dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan gerakan pembersihan, membantu para pasukan, dia makin disayang.
Hebatnya, perempuan ini mempunyal kesenangan yang amat aneh, yaitu ia paling suka menyaksikan wanita-wanita diperkosa oleh para anak buah pasukan! Bahkan dialah yang sering kali menangkapi gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang cantik untuk diberikan kepada para anak buah pasukan kemudian dengan tersenyum puas ia menyaksikan betapa mereka itu diperkosa seperti domba disembelih! Hal ini timbul dalam hatinya, merupakan semacam penyakit sebagai akibat dari pada pengalamannya sendiri.
Ketika masih gadis remaja, sebagai gadis terhormat anak seorang guru silat, dia diculik perampok dan diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu nasibnya selalu seperti itu, diperkosa ganti-berganti tangan sampai akhirnya ia jatuh ke tangan kepala rampok dan dijadikan selirnya. Karena penderitaan batin yang amat hebat itulah maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang pernah ia alami sendiri!
Ketika pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu dan si wanita cabul dan genit ini mendengar bahwa di situ tinggal seorang guru silat dengan seorang isteri dan seorang gadisnya, timbul kegairahan hatinya untuk menimpakan mala petaka kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang pernah dialami keluarga ayahnya sendiri. Maka ia lalu berbisik-bisik kepada komandan pasukan yang tertawa terbahak, kemudian menjelang senja wanita itu bersama perwira dan tiga orang pembantunya keluar dari gedung yang dijadikan markas sementara pasukan.
Empat orang perwira itu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti pakaian yang mereka pakai jika menjalankan dinas sehingga mereka kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan atau pembesar-pembesar sipil karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh orang-orang Mancu ini memang lucu. Tetapi gerakan mereka saat berjalan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah tentara-tentara Mancu.
Guru silat pemilik rumah yang agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang laki-laki tinggi besar dan seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari sikap mereka itu ia sudah mengenal bahwa empat orang itu tentulah orang-orang Mancu, maka cepat ia menyambut mereka dengan hormat dan bertanya.
“Cu-wi mencari siapakah?”
Empat orang perwira Mancu itu belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wanita yang menjawabnya. “Mereka ini adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan pembersihan.”
Wajah guru silat itu menjadi berubah dan ia bertanya hati-hati, “Ada keperluan apakah cu-wi datang mengunjungi saya?”
Wanita cabul itu tertawa dan berkata, “Hanya ada sedikit keperluan, yaitu mereka ini hendak meminjam sebentar isterimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang perwira itu tertawa bergelak dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Keparat!” Guru silat itu marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil berteriak ke dalam, “A-bwee, ajaklah anakmu lari!”
Empat orang perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata. “Bunuh anjing pemberontak ini!” Kemudian ia bersama wanita cabul itu melompat ke dalam dan mengejar ibu dan anak yang melarikan diri melalui pintu belakang.
Kauwsu (Guru Silat) itu mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan tetapi dia adalah guru silat yang kepandaiannya biasa saja, sedangkan tiga orang lawannya adalah perwira-perwira muda yang kasar dan bertenaga besar, juga hampir setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan serangan-serangan dahsyat, ia hanya dapat bertahan belasan jurus saja. Tiga batang golok di tangan lawannya menyambar-nyambar dan guru silat itu roboh mandi darah dan tewas seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang perwira itu menancapkan golok mereka di atas meja, lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang. Mereka sudah mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.
Kasihan sekali nasib isteri dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka melarikan diri sudah disusul oleh perwira dan si perempuan cabul dan cepat mereka itu ditawan. Melihat bahwa isteri guru silat yang berusia kurang lebih tiga puluh itu benar-benar amat cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang dari pada gadisnya yang berusia lima enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru silat itu, memeluknya dan menciuminya sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi isteri guru silat itu meronta, melawan dan mencakar. Ada pun gadis itu dengan mudahnya dirobohkan si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit berdiri dan lari, akan tetapi sabuknya terlepas dan sabuk yang panjang itu membuat tubuhnya berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang panjang berada di tangan wanita cabul yang tertawa-tawa. Wanita itu membuat laso di ujung sabuk dan mengalungkannya di leher gadis itu sehingga setiap kali gadis itu meronta, sabuk itu mengikat dan menjerat lehernya dan dia roboh kembali.
Pada saat itu tiga orang pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan melihat gadis yang meronta-ronta itu, mereka tertawa bergelak. Si wanita cabul memotong sabuk menjadi empat dan berkata, “Nih, ikat kaki tangannya, kita permainkan dia, hi-hik!”
Laki-laki yang buas sebanyak tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk potongan itu pada kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya pada kaki kanan gadis itu. Ketika mereka menarik sabuk, dan si wanita cabul menarik pula sabuknya yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki tangannya dan berdiri dengan kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak, “Jangan bunuh aku..., jangan bunuh aku...!”
Sementara itu, perwira yang sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat dan mendapat perlawanan, bahkan pipinya kena dicakar, menjadi marah. Ia menampar muka wanita itu sehingga terpelanting, kemudian berkata marah, “Hemmm, apakah engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek menjadi empat kalau kau menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah dari pada suamimu yang kurus kering itu?”
“Ibu... Ibu... tolonggggg...!” Gadis itu menjerit-jerit.
“Akhiuuu... anakku...!” Si ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata, “Baiklah... baiklah... lakukanlah sesuka hatimu terhadap aku... akan tetapi bebaskan anakku... lepaskan anakku...!”
Sambil menangis terisak-isak isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja apa yang dilakukan oleh perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan tubuhnya. Sementara itu, Si Gadis yang melihat keadaan ibunya, cepat berkata kepada tiga orang dan wanita cabul yang mengikatnya dengan sabuk. “Lepaskan aku..., ah, lepaskan aku. Lihat, Ibuku sudah mau... lepaskan aku...!”
Anak gadis itu yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan keadaan ibunya, lupa betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa ibunya terpaksa mau menerima penghinaan ini hanya demi keselamatannya.
“Lepaskan aku! Ibu sudah tidak menolak lagi...!” Kembali ia menjerit.
Wanita cabul itu tertawa terkekeh-kekeh. “Aduh... puas hatiku, persis seperti aku dahulu. Hi-hi-hik, alangkah lucunya, hi-hik!” Ia menuding-nuding ke arah isteri guru silat yang menggeliat-geliat dan merintih dalam tangisnya, kemudian mengedipkan matanya kepada tiga orang perwira. “Kita main kucing dan tikus. Lepaskan dia!”
Tiga orang perwira itu maklum dan sambil tertawa-tawa mereka melepaskan sabuk. Gadis itu jatuh, kemudian bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan diri. Akan tetapi ia menjerit lagi karena tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan kiranya sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit lagi, akan tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang perwira dan sekali renggut bajunya robek sebagian! Si gadis menjerit dan lari ke kiri, hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga merobek bajunya sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari ke sana ke mari, akan tetapi selalu bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki bajunya sedikit demi sedikit sehingga hampir telanjang. Wanita cabul yang menonton pertunjukan ini tertawa-tawa penuh kepuasan.
Setelah pakaian gadis itu habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan memeluknya. Gadis itu menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si Perwira yang menciumnya. Mereka, perwira dan gadis itu, roboh terguling dan masih berpelukan karena sebatang ranting telah menembus tubuh mereka berdua, membuat tubuh mereka seperti dua ekor ikan disate!
Dari atas pohon melayanglah turun seorang pemuda berpakaian putih sederhana yang bukan lain adalah Han Han! Ketika pemuda ini yang kebetulan tiba di dusun itu dalam pengejarannya kepada Ouwyang Seng melihat peristiwa yang terjadi di belakang rumah guru silat, kemarahannya tak dapat ia tahan lagi. Dia tidak tahu bahwa empat orang laki-laki itu adalah perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan mereka, dalam pandang matanya wajah mereka berubah seperti wajah perwira-perwira yang telah memperkosa ibunya dan cici-nya. Maka ia menjadi mata gelap. Lebih-lebih ketika menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut, seorang anak yang puthauw (tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban asal dia sendiri selamat.
Dalam kemarahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas pohon, sekaligus membunuh perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun dan sekali tangannya menampar, perwira yang sedang memperkosa isteri guru silat itu terguling dengan kepala remuk! Dua orang pembantu perwira dan wanita cabul menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Han Han membuat mereka bertiga roboh puia dengan kepala remuk dan dada pecah!
Isteri guru silat sudah bangkit dan lari menghampiri mayat puterinya sambil menangis, kemudian lari memasuki rumah dan terdengar jeritnya. Han Han menyusul masuk dan melihat isteri guru silat itu menggeletak mandi darah di samping mayat suaminya. Kiranya wanita yang kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan nekat, membunuh diri! Cepat-cepat Han Han meninggalkan tempat itu dan menghela napas.
Ia memikirkan perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah pulakah kalau dia menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan puterinya? Ah, betapa malang nasibnya. Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas, dan dia sendiri sudah diperkosa. Harapan apa lagi dalam hidup? Memang, agaknya kematianlah jalan terbaik.
Ketika mendengar bahwa yang dibunuhnya itu adalah perwira-perwira yang memimpin pasukan Mancu yang berada di dusun itu, Han Han terkejut dan juga marah. Kiranya di mana-mana pasukan Mancu mendatangkan mala petaka! Bukan hanya Han Han saja yang terkejut mendengar akan kematian empat orang perwira Mancu di belakang rumah guru silat itu.
Juga semua penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercampur marah seperti Han Han, melainkan terkejut dan ketakutan. Mereka semua maklum apa artinya peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya. Tentu pasukan Mancu akan mengamuk, menganggap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka berbondonglah malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.
Mendengar bahwa penduduk lari mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinannya itu menjadi makin marah dan menganggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan pemberontak. Maka mereka lalu keluar dari gedung yang dijadikan markas, mulai mengamuk dan membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu melakukan pengejaran terhadap para penduduk yang mengungsi.
Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun mereka dihadang oleh Han Han yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang menghadapi tiga puluh orang pasukan Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar sore-sore, dan langit tanpa mendung sehingga keadaan cukup terang. Pasukan itu heran menyaksikan ada seorang pemuda yang rambutnya riap-riapan menghadang di tengah jalan.
Mereka maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena hanya para pemberontak atau para tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak menguncir rambutnya. Menguncir rambut ke belakang me-rupakan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat bangsa Han. Di samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa bangsa Han atau rakyat pedalaman tidak diperbolehkan membawa senjata tajam!
“Berhenti semua!” Han Han membentak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa yang ketakutan dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”
“Heh, pemberontak cilik, masih berpura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah membunuh perwira-perwira Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberontak, termasuk engkau dan mereka semua harus dibasmi habis!” bentak seorang prajurit yang brewok.
“Kalian ingin tahu yang membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah orangnya! Pimpinan kalian telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah dan memperkosa ibu dan anak. Aku yang melihat hal itu tentu saja tidak tinggal diam dan turun tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kalian hendak membunuh rakyat yang tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh kalian semua.”
“Wah, keparat, sombongnya! Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicurigai, menghukum atau membunuh sudah menjadi haknya. Kau... pemberontak cilik sungguh berani mati. Kawan-kawan, tangkap dan seret ke kota raja!”
Han Han diserbu oleh puluhan orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap sedia dan dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap terpentang lebar, tubuhnya berdiri tegak, dan hanya kedua lengannya yang bergerak ke sekeliling tubuhnya. Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu dengan tangannya tentu membuat senjata-senjata itu patah atau terlempar, dan setiap kali tangannya menyambar dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang itu roboh dengan napas putus!
Bagaikan sekumpulan nyamuk menerjang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh sendiri. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling Han Han dan kedua lengan baju pemuda ini sudah mandi darah para pengeroyoknya. Setelah ada dua puluh orang prajurit roboh binasa, barulah sisanya menjadi gentar dan tanpa dikomando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada, mereka itu membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah utara, berlawanan dengan arah yang ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.
Han Han menghela napas menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi rasa penyesalan karena kembali begitu ia turun tangan melakukan sesuatu, tentu akibatnya banyak nyawa melayang. Apakah hidupnya sudah dikutuk sehingga tindakannya selalu hanya akan menimbulkan mala petaka dan pembunuhan belaka? Ia menarik napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendatangi tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.
Ketika akhirnya ia mendengar langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah lima orang laki-laki setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu segera menjatuhkan diri berlutut dan berkatalah seorang di antara mereka.
“Taihiap telah menolong kami, menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah membunuh banyak orang prajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini hebat sekali, harap taihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum barisan besar datang dan melakukan pembersihan di sini.”
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?”
“Kami adalah penduduk dusun ini pula, taihiap.”
“Jangan sebut aku taihiap, aku hanya seorang muda yang sudah banyak membunuh orang. Mengapa kalian tidak ikut pergi mengungsi?”
“Kami merupakan pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan diri menghambat pengejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan tetapi melihat taihiap menghadang, kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasihat kami untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga.”
“Tidak, kalian bantu aku menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang rumah guru silat, baru kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka membantuku?”
Lima orang laki-laki itu saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah menolong penduduk dan melawan para tentara Mancu, berhasil membunuh, akan tetapi kini tidak lekas-lekas pergi menyelamatkan diri malah mengajak mereka untuk mengubur jenazah-jenazah itu! Namun tentu saja mereka tidak berani menolak dan tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali lubang-lubang kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.
Menjelang pagi barulah pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata, “Sekarang harap kalian suka pergi cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari kejadian ini.”
Setelah kelima orang itu cepat-cepat pergi dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan besar Mancu yang akan datang menyerbu ke situ, Han Han lalu mengambil sebuah daun pintu rumah yang terbakar, daun pintu yang lebar. Ia menggunakan telunjuknya dengan kekuatan sinkang-nya mencoret-coret beberapa huruf besar yang berbunyi:
Sie Han membasmi pasukan yang merampok, memperkosa dan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Pemerintah yang baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.
Ia memasang papan pintu itu di tengah dusun yang kini sudah kosong, kemudian ia bersembunyi di pohon-pohon, menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang ke dusun itu. Sambil duduk di atas dahan pohon dan makan kue kering yang ia ambil dari sebuah rumah kosong, Han Han melamun dan mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati merana.
Hanya ada dua hal yang berkesan sekali di hatinya. Pertama, tentu saja terculiknya Lulu oleh Ouwyang Seng yang kini dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting baginya di saat itu. Kedua adalah kakek tua renta berambut panjang yang aneh, yang muncul ketika ia diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka Kuda. Mengapa dia tidak jadi dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula mereka lalu lari ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak melihat kakek itu melakukan sesuatu! Dan anehnya, ia merasa seperti pernah bertemu dengan kakek itu, hanya ia lupa lagi, entah kapan dan di mana.
Tak lama kemudian tampaklah olehnya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri dengan wajah ketakutan dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar derap kaki kuda dan suara-suara makian.
“Pemberontak keparat! Pembunuh-pembunuh keji!”
Makian-makian ini disusul dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian mereka, tahulah Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang pengawal itu memegang gendewa dan beberapa kali mereka melepas anak-anak panah ke depan. Kiranya yang menjerit tadi adalah para pengungsi yang menjadi korban anak panah mereka itu.
Han Han memandang dengan mata terbelalak dan muka merah saking marahnya. Ia melihat sendiri betapa seorang laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri roboh oleh anak panah, bahkan seorang ibu setengah tua yang menggendong bayi dan lewat di bawahnya menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya. Ibu ini roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang laki-laki setengah tua berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu. Sambil menangis bapak ini lalu menyambar tubuh anaknya yang masih kecil, kemudian melarikan diri dan terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk menyelamatkan dirinya dan anaknya karena kalau tidak lari tentu mereka berdua menjadi korban keganasan dua orang perwira pengawal itu pula.
Han Han tak dapat mengekang kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya sudah melayang turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal yang lewat di bawahnya. Dua orang pengawal itu kaget, namun ternyata bahwa mereka pun bukan orang lemah, karena mereka dalam kegugupan diserang secara tiba-tiba itu menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan ranting di tangannya.
“Krak-krakkk...!”
Kedua buah busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut sekali. Akan tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua orang lawannya cepat melempar tubuh sendiri ke belakang, meloncat dari atas punggung kuda.
“Bluk! Krokkk!”
Dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik keras dan roboh terguling, berkelojotan tak mampu bangun kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua tangan Han Han! Dua orang pengawal yang sudah meloncat bangun itu memandang dengan mata terbelalak.
“Keparat! Siapakah engkau yang membantu para pemberontak keji?” Seorang di antara perwira pengawal itu sudah mencabut goloknya diikuti oleh kawannya. Dua perwira ini memandang pemuda berambut panjang itu dengan hati gentar.
“Hemmm, di dunia ini penuh dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan maling yang berteriak maling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apa lagi sebabnya kalau bukan karena kekejian orang-orang macam kalian? Rakyat mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan membunuhi mereka. Sekarang kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh menjemukan!”
“Eh, orang muda. Apakah engkau termasuk seorang pemberontak?”
“Aku bukan pemberontak, akan tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian lakukan terhadap para pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang tertindas, yang membutuhkan bantuan orang-orang yang mengaku dirinya gagah.”
“Ha-ha! Mereka orang-orang lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua di antara para pengawal yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya. Tahukah engkau bahwa hampir saja kereta Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa orang teman pengawal tewas oleh pengungsi-pengungsi yang kau katakan lemah itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”
“Tidak percaya! Apakah ibu yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”
Dua orang perwira pengawal itu kelihatan agak malu dan seorang di antara mereka menjawab, “Memang, kurasa bukan. Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak, bukanlah hal aneh kalau ada rakyat yang terkena akibatnya, karena para pemberontak bersembunyi di antara rakyat jelata.”
“Huh, alasan kosong! Para pemberontak berada bersama rakyat, hal itu hanya berarti bahwa rakyatlah yang memberontak! Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak suka akan pemerintah yang menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya tidak benar. Dari pada membunuhi rakyat, lebih baik membersihkan diri sendiri agar dapat disuka oleh rakyat!”
“Wah-wah, bicaramu seperti pemberontak pula. Sombong!” Dua orang perwira itu mendengar suara roda kereta dan derap kaki kuda mendatangi, maklum bahwa rombongan panglima yang dikawalnya sudah tiba. Hal ini berarti bahwa kawan-kawan mereka sudah tiba pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak mereka berdua menerjang Han Han dengan golok.
Kini Han Han sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan menghadapi kedua orang pengeroyok dengan tangan kosong. Ia melihat betapa gerakan mereka itu baginya lambat sekali, maka dengan tenang ia meloncat ke kiri, kemudian dari samping ia menggunakan tangan kanan menampar ke arah mereka. Tamparan yang kelihatan perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh kedua orang perwira pengawal yang cepat memutar tubuh menggerakkan golok lagi, bukan saja menangkis tamparan lengan itu akan tetapi juga akan dilanjutkan dengan bacokan-bacokan mematikan.
Tentu saja kedua orang perwira bangsa Mancu ini sama sekali tidak tahu bahwa tamparan itu mengandung hawa pukulan maut Hwi-yang Sin-ciang! Mereka hanya melihat golok mereka terbang dari tangan mereka, kemudian terasa hawa panas luar biasa menembus dada dan selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa lagi karena mereka telah roboh dengan dada gosong dan tubuh tak bernyawa lagi!
Robohnya kedua orang perwira ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta berjumlah dua puluh orang, mereka ini adalah anak buah dari dua orang perwira tadi, maka melihat betapa dua orang pimpinan mereka roboh di tangan seorang laki-laki muda berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi marah dan membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta golok mereka diacung-acungkan ke atas.
Kereta itu cukup indah, ditarik empat ekor kuda dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di depan tadinya berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat orang pengawal telah tewas di perjalanan sehingga tinggal dua puluh orang. Di belakang kereta juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua orang perwira.
Melihat adanya gangguan di depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang telah mengurung kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang pengawal depan yang menerjang Han Han. Juga dua orang pengendara kereta tidak turun dari tempatnya dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka dapat menyaksikan pertandingan di sebelah depan.
Mata kedua pengendara itu melotot dan wajah mereka pucat penuh keheranan dan kengerian. Mereka melihat bahwa yang menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut panjang yang tidak memegang senjata, dan yang kini dikeroyok oleh dua puluh orang pengawal itu. Dua orang pengendara ini tadinya sudah merasa yakin bahwa kembali mereka akan melihat seorang pemberontak dicincang hancur tubuhnya oleh para pengawal yang kuat itu. Akan tetapi ternyata apa yang terjadi di depan itu jauh berlawanan dengan apa yang mereka duga.
Pemuda itu dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan kedua tangan mendorong ke kanan kiri, dan para pengawal yang mengeroyoknya seperti semut mengeroyok jangkerik itu roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali! Dua orang pengendara itu melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi betapa ada tombak yang menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula golok yang membacok pundak dan leher. Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan golok itu rompal, terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian sekali tangan pemuda itu berkelebat ke belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal, namun mereka yang gagal menyerang ini roboh pula tak dapat bangun.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)