PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-29


“Hemmm...!” Sin Lian mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!”
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang). Kini menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
“Trang-trang-cringgg...! Ehhhhh...!”
Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.
Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!
“Aahhh... ayaaaaa... trang-trang-trang...!”
Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
“Hemmm... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”
“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”
“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”
Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah.
“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”
Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”
Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”
Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.
“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”
Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari pada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”
Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”
“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan ketidak-puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”
Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”
Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”
Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.
“Lauw-pangcu! Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas... pantas...! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”
“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”
“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”
“Siangkoan Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!” Lauw-pangcu menjadi marah.
“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya.
Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi dari pada tingkat Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.
Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, ia tak mau sembrono menurunkan tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
“Hi-yeh-heh... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek.
Kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah ginkang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!
Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri dari pada sambaran dua pedang.
Akan tetapi kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.
Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan ‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jeri.
Pada saat itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!”
Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.
“Kau... kau masih hidup...?”
Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!
Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.
“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat.
Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!
Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan tetapi ia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.
“Han Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.
“Han-twako...!” gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.
Han Han tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”
Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.
“Ah, engkau Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”
Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”
Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”
Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang mencari dia.”
“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.
Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.
Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”
“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”
“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut.
Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”
“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.”
Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata, “Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...”
Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah lincah dan peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”
“Eh, Non... ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”
Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”
Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”
Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apa lagi setelah saya mendengar penuturan siauw-moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak Mancu.”
Lauw-pangcu menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”
“Aaahhh...!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!
“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”
Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.
“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.
“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”
Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.
“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”
Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!
“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”
“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.
“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa... kakimu sampai buntung, Han Han.”
Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Iblis betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”
Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!
“Hemmm, aku sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.
Ia tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun, komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”
Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah...!”
Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.”
Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.
“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”
Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian mengantonginya. “Tepat sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”
“Heeiii...! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”
“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”
“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”
“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu.
Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.
“Han Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Han Han... kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”
Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”
Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.
“Eh, Sin Lian... kau menangis? Kenapa?”
Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir air mata dari pipinya, namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih, “Aku... aku kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”
Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”
“Han Han, harap kau maafkan aku...”
“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”
“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”
Han Han menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han...!”
Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.
Hemmm, sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.
“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.
“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”
Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”
“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.
“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”
“Akan tetapi...”
“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.
Terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.
“Han Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh... perasaan aneh di hatinya.
Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.
Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya, betapa pun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka dari pada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik dibandingkan ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biar pun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu. Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.
“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”
“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”
“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami mala petaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako...”
Sin Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.
“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”
Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.
“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”
Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu, Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”
Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng, apakah Suheng menilai saya serendah itu?”
“Eh, Sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan sekali-kali Suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”
Melihat sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoi-nya dan berkata.
“Maafkan aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang bijaksana. Ahh, Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”
Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”
Melihat sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”
Sumoi-nya menahan kakinya, menengok.
“Sumoi, hati-hatilah, Sumoi...!”
Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika menengok tadi. Wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!
Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya menentukan jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri?
Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu.....
********************
Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biar pun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.
“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.
Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”
Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itu pun tidaklah galak lagi ketika bertanya.
“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,
“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”
Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.
“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa pun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”
“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.
Tentu saja sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”
Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.
Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dihadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!
Sungguh pun yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.
“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”
Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.
“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”
“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Perwira tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”
Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?
Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.
“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”
Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”
Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”
Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya.
Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat... hebat...!”
Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.
“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”
“Percaya... percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...”
“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”
“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.
“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”
“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”
Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar ini pun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Waduhhh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han