PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-36


“Sumoi...!”
Lulu terkejut, seperti sadar dari mimpi. Dia menahan kakinya dan berdiri memandang melalui air matanya. Nirahai sudah berdiri di depannya. Wajah yang cantik jelita dan biasanya bersikap ramah penuh kasih kepadanya itu kini kelihatan marah, kedua tangan bertolak pinggang.
Akan tetapi dalam kesedihannya, Lulu tidak melihat perubahan ini. Begitu bertemu suci-nya, ia lalu menubruk, merangkul dan menangis di pundak Nirahai.
“Aduh, suci... hu-huuuuu...!”
“Hemmm, tenanglah dan jangan seperti bocah cengeng! Bicaralah!” kata Nirahai yang masih bersikap marah.
“Suci... dia... dia...” Lulu menangis lagi, terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya tadi sehingga sukar untuk bicara.
Nirahai memegang kedua pundak Lulu dan mendorongnya mundur. “Sumoi, hentikan tangismu! Apa yang telah kudengar dari laporan pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!”
Lulu mengusap air matanya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai. “Suci, dia... dia adalah Han-koko yang kucari-cari!”
Nirahai mengangguk. “Aku sudah mendengar. Jadi panglima pemberontak berkaki buntung itulah Han Han yang selama ini kau cari-cari? Di mana dia sekarang?”
“Kaki... kau... mau apakan dia...?”
“Mau apakan dia? Dia adalah panglima musuh! Harus ditawan atau dibunuh!”
“Suci...!”
“Sumoi, tidak tahukah engkau bahwa tadi engkau telah melakukan perbuatan yang khianat? Engkau membantu musuh!”
“Tapi dia kakakku!” Lulu membantah penasaran.
“Tapi dia panglima musuh!” Nirahai membentak, lebih penasaran lagi.
Lulu menjadi lemah kembali dan meratap, “Suci... suci... ingatlah, dia kakakku! Bagai mana aku dapat memusuhinya?”
Nirahai menarik napas panjang. “Hemmm, sudahlah! Biar pun kakak, tapi hanya kakak angkat. Andai kata kakak kandung sekali pun, kalau membantu musuh harus ditentang. Lulu, dalam masa perang, urusan pribadi harus dikeduakan, yang diutamakan adalah urusan negara! Aku tidak membenci kakakmu yang belum pernah kujumpai, bahkan aku tidak pernah membenci para pemberontak secara pribadi, akan tetapi aku akan membunuh mereka sebagai musuh negara. Sudah, biarlah untuk sekali ini, aku tidak akan mengejar panglima buntung dari Se-cuan itu. Mari kita kembali ke pesanggrahan kita.”
Lulu menggeleng kepala. “Tidak, suci. Setelah aku melihat kenyataan bahwa Han-koko berada di pihak musuh, aku tidak mau perang lagi. Aku akan pergi.”
“Ke mana?” Nirahai menyembunyikan kemarahannya. “Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu pemberontak?”
Lulu menggeleng kepala dengan sedih. “Tidak, aku mau pergi menjauhi semua ini, mau menjauhi perang yang menghancurkan hidupku. Aku tidak sudi lagi terlibat...”
“Sumoi! Engkau harus kembali bersama aku! Ini merupakan perintah!”
Baru sekali ini selama menjadi sumoi Nirahai, suci-nya itu mengeluarkan suara keras dan memperlihatkan sikap marah. Hal ini mengingatkan Lulu akan sikap Han Han tadi dan sakitlah hatinya. Ia pun memandang suci-nya dengan sinar mata penuh penasaran dan tentangan, lalu bertanya dengan suara tegas.
“Perintah siapa kepada siapa?”
“Perintah seorang pemimpin kepada bawahannya! Perintah seorang wakil kaisar kepada warga negaranya! Perintah seorang suci kepada sumoi-nya!”
Lulu menggeleng kepala. “Tidak, suci. apa pun yang terjadi, aku tidak mau kembali ke markas, tidak mau ikut perang. Aku hendak pergi ke mana aku suka!”
“Lulu! Membangkang berarti memberontak dan kau bisa dihukum!”
“Terserah!”
“Sumoi, engkau hendak melawan suci-mu? Engkau berani melawan aku?”
“Suci, ketika aku ikut bersamamu, tidak ada perjanjian jual beli kebebasanku. Kalau sekarang engkau hendak memaksa, hendak mengganggu kebebasanku, terpaksa aku melawanmu. Melawan engkau sebagai orang yang hendak memaksaku, bukan sekali-kali melawan bangsa atau negara! Aku tidak peduli akan urusan bangsa dan negara, tidak peduli akan perang, aku muak! Biarkan mereka yang suka perang itu maju sendiri mempertaruhkan nyawa. Bagiku, terima kasih! Aku tidak mau kembali dan kalau suci hendak memaksa, apa boleh buat, aku melawan sebisaku!”
Nirahai menghela napas, wajahnya terlihat penuh kecewa dan sesal. Dia amat mencinta Lulu yang dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak ingin menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang sekali menentukan sikap akan dibela sampai mati. Betapa pun juga tak mungkin ia melepaskan sumoi-nya ini. Kalau sampai sumoi-nya ini kemudian membantu pemberontak, hal itu merupakan mala petaka yang lebih hebat lagi. Bayangkan saja. Sumoi-nya, seorang gadis Mancu pula, membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus mencegah hal yang terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoi-nya mati di depan kakinya untuk kemudian ia tangisi dan kabungi dari pada melihat sumoi-nya menjadi pengkhianat!
“Sumoi, sekali lagi, marilah kau ikut aku kembali dan kita bicarakan semua urusan dengan baik. Jangan menuruti perasaan yang sedang terganggu. Perlukah urusan begini saja sampai mematahkan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kita?” Suara Nirahai yang lemah lembut ini membuat Lulu kembali terisak.
“Suci... suci... kau kasihanilah aku, biarkan aku pergi...,” ia meratap.
“Sumoi!” Nirahai membentak lagi. “Engkau seorang gadis yang perkasa! Engkau adalah sumoi-ku! Engkau adalah murid Subo Maya! Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo ikut aku kembali!”
Lulu menggeleng kepala, “Tidak mau, suci.”
“Hemmm, baik. Kita lihat saja siapa di antara kita yang lebih kuat. Akan tetapi ingat, sekali ini kita bukan sedang berlatih!” Nirahai berkata mengejek dan menubruk ke depan mengirim totokan ke arah leher Lulu disusul cengkeraman ke arah pundak.
Lulu cepat mengelak dari totokan dan menangkis cengkeraman, bahkan langsung ia membalas dengan pukulan dari ilmu silatnya yang ampuh dan yang ia latih dari Puteri atau Nenek Maya, yaitu Toat-beng Sian-kun. Pukulan yang mengarah dada dan perut Nirahai dengan kedua tangan terbuka ini kelihatannya ringan saja. Akan tetapi tentu saja Nirahai mengenal pukulan sakti. Cepat ia mengelak dan balas menyerang. Makin lama makin cepat gerakan mereka sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebat, kadang-kadang menjadi satu!
Betapa pun lihainya Lulu, tentu saja dia tidak dapat menandingi kehebatan Nirahai yang memiliki banyak ilmu silat tinggi yang luar biasa. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus, Lulu mulai terdesak hebat dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya yang ia dapat dari latihan di Pulau Es saja yang membuat ia dapat bertahan dari serangan Nirahai yang bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke sana-sini dan terus mundur.
“Lu-moi, jangan takut! Aku datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah Sin Kiat yang langsung menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan murid Im-yang Seng-cu yang berjuluk Hoa-san Gi-hap ini cepat dan dahsyat sekali, pedangnya mengeluarkan suara berdesing dan berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.
“Hemmm... pemberontak cilik bosan hidup!” Nirahai berseru dan tiba-tiba mata Sin Kiat menjadi gelap ketika ada sinar hitam lebar menutupi tubuh lawannya kemudian dari tengah bayangan hitam itu meluncur sinar putih yang menusuk ke arah lambungnya.
“Cringggg...!”
Sin Kiat terkejut sekali. Ternyata bayangan hitam itu adalah sebatang payung yang tiba-tiba sudah berada di tangan Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian ujung payung yang runcing seperti pedang menusuknya. Tangkisannya membuat tangannya tergetar, tanda bahwa puteri Mancu itu memiliki sinkang amat kuat.
Sin Kiat memutar pedangnya dan bergerak cepat, namun semua serangannya kena dihalau oleh tangkisan kuat, dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak oleh serangan balasan ujung payung yang menyembunyikan gerakan lengan dan pundak lawan.
“Plak... cring...! Aaaihhh!”
Sin Kiat terpaksa loncat ke belakang. Hampir saja lututnya kena disambar ujung payung yang gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian ia berkata.
“Hemm... kalau tidak salah dugaanku, tentu engkaulah Puteri Nirahai yang terkenal licik itu, pengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!” katanya sambil melintangkan pedang di depan dada. Kemudian ia menoleh ke arah Lulu dengan wajah berseri, “Lu-moi, engkau pergilah. Han Han mencarimu. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini!”
“Wah, melihat gerakan pedangmu, engkau tentu Hoa-san Gi-hiap seperti yang pernah diceritakan Lulu kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau menjadi murid Im-yang Seng-cu, akan tetapi engkau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melawanku!” Nirahai berseru dan kembali payung pedangnya mengirim serangan hebat.
Sin Kiat tidak berani berlaku lengah. Cepat ia menangkis sambil meloncat ke samping, kemudian mengirim serangan balasan yang dapat dielakkan secara mudah oleh Nirahai dengan sikap mengejek.
“Wan-twako, jangan...! Jangan campuri, biar aku sendiri hadapi suci!”
Wan Sin Kiat terkejut bukan main dan untuk kedua kalinya ia meloncat mundur. “Apa?! Suci-mu...?”
Nirahai tersenyum dan memandang wajah tampan itu dengan tajam. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini pun salah seorang panglima Se-cuan, maka dia menganggap pemuda ini musuhnya.
“Benar, Wan Sin Kiat, ataukah Wan-ciangkun? Engkau seorang panglima pemberontak, bukan? Lulu adalah sumoi-ku, akan tetapi mencampuri urusan kami atau tidak, setelah engkau berada di daerah ini, engkau harus menyerah menjadi tawananku atau terpaksa aku akan membunuhmu sebagai tokoh pemberontak!”
“Lu-moi...! Eh, bagaimana ini...?”
Sin Kiat bingung sekali, akan tetapi Nirahai telah menyerangnya kembali dengan hebat.
“Tranggg... cringgggg...!”
Dua kali Sin Kiat menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus menerjang maju dan mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
“Trikkkkk!”
Nirahai mencelat mundur. Lulu telah mencabut pedang dan menangkis gagang payung itu untuk menolong Sin Kiat.
“Suci, tidak boleh kau bunuh dia. Mari kita lanjutkan pertandingan kita.”
“Sumoi, kau makin tersesat! Sekarang kau membantu pemberontak di depanku, ya?”
Nirahai menyerang dengan hebat dan kembali kedua orang gadis yang sama cantik jelita dan sama lincah itu saling serang, kini menggunakan senjata. Melihat ini, serta merta Sin Kiat membantu dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran hebat berlangsung di dalam hutan yang sunyi itu. Kelebatan sinar pedang menyliaukan mata dan gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam Sin Kiat menjadi amat heran, heran dan kagum. Kini ia mendapat kenyataan betapa Lulu telah memperoleh kemajuan pesat, bahkan dari gerakan-gerakan gadis yang dicintanya itu ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Lulu kini telah jauh melampaui tingkatnya sendiri!
Akan tetapi, dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Puteri Nirahai yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok dua sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh ujung gagang payung yang luar biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja tokoh-tokoh besar seperti orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tewas di tangan gadis puteri Kaisar Mancu ini!
Oleh karena dibantu Sin Kiat, kini tidaklah begitu mudah lagi bagi Nirahai untuk dapat mengalahkan Lulu, sungguh pun ia masih terus mendesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh di atas kedua orang pengeroyoknya. Setelah lewat seratus jurus, Nirahai mulai penasaran dan marah. Kalau tadinya ia ingin merobohkan Lulu tanpa membunuhnya, bahkan kalau mungkin tidak melukainya, kini ia tidak peduli lagi dan kalau perlu hendak membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan lengking nyaring sekali dan tampaklah sinar emas berkilau.
Lulu dan Sin Kiat terkejut sekali. Mata mereka menjadi silau dan mendadak permainan pedang mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari sebatang suling emas yang kini dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka Suling Emas yang ampuhnya menggila!
“Trang-cringgg...!” Lulu dan Sin Kiat terhuyung, kedua tangan mereka tergetar hebat.
“Lu-moi, pergilah... Cepat pergi... selamatkan dirimu...!” Sin Kiat berkata sambil memutar pedangnya dengan cepat, membentuk gulungan sinar pedang seperti perisai baja.
“Tidak, Wan-twako! Engkau saja pergilah, jangan menyia-nyiakan nyawa untuk aku. Biar kuhadapi urusanku sendiri!” Lulu berkata sambil memutar pedangnya.
“Trang-tranggg...!”
Kini kedua orang muda itu tidak hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan bergulingan. Nirahai tertawa dan terus menerjang maju.
“Moi-moi... pergilah selamatkan dirimu...!” Sin Kiat mendesak.
“Twako, kenapa sih engkau hendak mengorbankan diri untukku?” Lulu bertanya dengan rasa penasaran.
“Moi-moi, kau tahu. Aku cinta padamu, aku rela berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han Han... di Se-cuan...!” kata Sin Kiat sambil menangkis.
“Trakkk!” Pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan suling emas! Tendangan kaki Nirahai menyerempet pahanya dan pemuda itu terguling.
“Wan-twako...!” Lulu berteriak dan ia memutar pedangnya menghalangi Nirahai yang mengirim serangan terakhir kepada pemuda itu.
“Cringgg...!”
“Sumoi, dia mencintamu, apakah engkau juga mencintanya?”
Lulu tak menjawab, mukanya merah dan ia menyerang dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis oleh Nirahai. Sin Kiat sudah meloncat bangun lagi. Ia terkejut melihat betapa Puteri Nirahai kini menangkis pedang dan memutar-mutar suling emas sehingga Lulu ikut pula terputar-putar, kemudian pedang itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari tangan Lulu!
“Hi-hik, kau menyerahlah, sumoi!” Nirahai berkata.
Lulu makin marah. Ia menubruk maju, tetapi sebuah dorongan membuat ia terjengkang.
“Moi-moi...!” Sin Kiat menghampiri Lulu lega hatinya mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak terluka. “Cepat kau lari... biar aku saja yang mati...!”
Tanpa menanti jawaban Lulu, Sin Kiat mengeluarkan bentakan keras dan ia sudah menubruk dengan nekat ke arah Nirahai! Melihat kenekatan pemuda ini, Nirahai terkejut sekali dan hampir saja pundaknya kena dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa puteri yang lihai ini melempar diri ke belakang dan bergulingan, lalu ia meloncat dan memandang pemuda itu dengan mata marah.
“Hemmm, kau mau bunuh diri, ya? Nah, mampuslah!”
Sinar kuning emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting. Hanya kena dorongan hawa pukulan senjata ampuh itu saja ia sudah jatuh terpelanting. Nirahai melangkah maju, mengayun payungnya.
“Biarlah aku mati bersamamu, twako!” Lulu menubruk maju dari belakang, menyerang Nirahai.
“Hemmm... kau mencintanya juga, bukan?”
Nirahai membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin Kiat, akan tetapi ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan sulingnya menotok ke arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan Nirahai, terlalu cepat bagi dua orang muda yang nekat itu.
“Krekkk!” Tubuh Sin Kiat terkulai, tulang pundaknya patah.
“Cusss!” Tubuh Lulu lemas karena jalan darahnya terkena totokan suling emas secara tepat sekali.
Nirahai tersenyum. Gadis ini menyimpan suling dan payung, menyambar tubuh Lulu dan dipanggulnya, kemudian memandang Sin Kiat yang duduk sambil memegangi pundak kirinya yang patah.
“Wan Sin Kiat, karena melihat kau dan Lulu saling mencinta, aku mengampuni dan tak akan membunuhmu. Akan tetapi pada pertemuan kedua, jikalau engkau masih menjadi pemberontak, tentu mengakibatkan kematianmu di tanganku.” Sambil berkata demikian, Nirahai membalikkan tubuh, tidak mempedulikan pemuda yang memandangnya dengan mata mendelik itu.
“Nirahai! Aku bersumpah, kalau engkau mengganggu Lulu, kelak aku akan mencarimu dan akan membunuhmu!”
Nirahai menoleh, tersenyum mengejek lalu tubuhnya berkelebat pergi dari tempat itu bersama Lulu yang terkulai lemas di atas pundaknya. Sin Kiat mengerutkan keningnya, masih terheran-heran mengapa Lulu menjadi sumoi puteri itu, dan heran pula mengapa keduanya saling serang mati-matian. Ia menggeleng-geleng kepala, menghela napas panjang penuh sesal mengapa dia tidak mampu melindungi Lulu dari tangan puteri yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam masih terngiang di telinganya suara Lulu ketika membantunya tadi. “Biar aku mati bersamamu, twako!”
Betapa merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang mencinta? Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Susah payah ia mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan, melainkan Lulu! Ke manakah perginya Han Han? Tentu tidak jauh dari tempat ini karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya hanya Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga hari tiga malam berkeliaran di dalam hutan-hutan sambil mengobati sendiri pundaknya yang patah tulangnya, akhirnya pada suatu pagi Sin Kiat melihat sesosok tubuh yang duduk bagaikan arca di bawah pohon, di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Dan orang itu bukan lain adalah Han Han!
“Han Han...!” Sin Kiat berteriak girang.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan siulian dan matanya terpejam. Tongkat butut melintang di depan lututnya. Luka di pahanya sudah mengering, dan luka di dalam dadanya pun sudah sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja bersemedhi, seolah-olah sudah berubah menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk sadar kembali.
Han Han mengalami pukulan batin yang amat hebat secara bertubi-tubi sehingga membuat dia seolah-olah sudah bosan hidup. Pertama-tama urusan dengan Kim Cu sudah merupakan tekanan batin yang berat, disusul lagi dengan kematian Lu Soan Li yang juga menjadi korban cinta kasihnya kepadanya. Pertemuannya dengan Tan Hian Ceng yang mencintanya membuat hatinya makin terhimpit dan satu-satunya harapan hatinya untuk dapat keluar dari himpitan dan mendapatkan hiburan batin adalah pertemuannya kembali dengan Lulu.
Akan tetapi, begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia malah menerima hantaman batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan bahwa Lulu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Mancu! Lebih celaka lagi, dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan hampir celaka di tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu, membuat Lulu sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung di hati adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat menghibur hatinya yang sakit!
“Han Han, mengapa engkau menjadi begini? Apa yang sudah terjadi denganmu? Sadarlah, aku telah berjumpa dengan Lulu!”
Han Han membuka matanya, memandang Sin Kiat dan bertanya dengan suara lesu, “Di manakah dia? Mana Lulu?”
“Han Han, celaka sekali! Aku bertemu dengan Lulu, akan tetapi dia dan aku tidak dapat melawan Puteri Nirahai. Aku dirobohkan dan terluka, sedangkan Lulu, dia dilarikan Nirahai. Anehnya Lulu menyebutnya suci, dan...” Akan tetapi Sin Kiat melongo ketika tiba-tiba tubuh Han Han mencelat dan lenyap dari tempat itu!
“Han Han...!” Sin Kiat berteriak, akan tetapi tubuh Han Han sudah berloncatan jauh sekali. Sin Kiat menggeleng-geleng kepala mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat mengejar pemuda buntung itu, terpaksa ia pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati berat Sin Kiat lalu kembali ke Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi dan meletakkan jabatan untuk pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
********************
Begitu mendengar dari Sin Kiat bahwa adiknya ditawan Puteri Nirahai, kemarahan Han Han memuncak. Tanpa pamit ia meninggalkan Sin Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi menuju ke kota raja untuk mengejar dan menolong adiknya.
Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda berkaki buntung yang berjalan terpincang-pincang memasuki kota raja itu mengandung perasaan marah dan sakit hati yang akan menggegerkan kota raja! Han Han berjalan perlahan memasuki kota raja....
“Tak-tok-tak-tok...!” tongkat yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi ketika mengetuk jalan berbatu yang keras.
Beberapa orang menoleh dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang menjadi heran melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh menyeramkan, yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han tidak tahu ke mana adiknya dibawa oleh Puteri Nirahai, akan tetapi ia teringat betapa dahulu adiknya itu diculik oleh Ouwyang Seng, maka ia dapat menduga bahwa antara Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran Ouwyang tentu ada hubungan erat. Karena itu dengan perasaan marah memenuhi dada, dengan hati panas oleh dendam, ia lalu menujukan langkahnya yang terpincang-pincang itu ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok!
Lima orang penjaga pintu gerbang di luar pekarangan gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok cepat menghadang dan memandang heran ketika melihat pemuda buntung itu seenaknya saja memasuki pintu gerbang.
“Haiii! Berhenti! Tidak boleh mengemis di sini!” Seorang di antara mereka membentak, kemudian menodongkan tombaknya ke depan dada Han Han. “Pergi!”
Han Han tidak marah mendengar makian ini. Baginya, dikatakan pengemis bukan merupakan makian atau penghinaan. “Minggirlah, aku hendak mencari Ouwyang Seng!”
Lima orang penjaga itu tercengang. Mendengar seorang pemuda kaki buntung yang mereka anggap pengemis itu menyebut nama Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan bahwa tentu pengemis buntung ini miring otaknya.
“Eh, orang gila. Pergilah kalau tidak mau kami pukul!” bentak penjaga ke dua.
“Kalian minggirlah, jangan halangi aku!” Han Han berkata dengan suara dingin. Tanpa mempedulikan mereka, dia berjalan terus memasuki pekarangan gedung besar.
Lima orang penjaga itu menjadi marah dan berkelebatlah tombak-tombak mereka ke arah Han Han.
“Trang-trang-krek-krek-krekkk!”
Lima batang tombak patah-patah dan beterbangan disusul tubuh lima orang penjaga itu yang terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin! Han Han tidak mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju gedung.
Teriakan-teriakan para penjaga ini menarik perhatian para penjaga di gedung dan mereka ini, dua belas orang banyaknya, datang berlari-lari. Mereka terkejut melihat para penjaga pintu gerbang roboh semua dan melihat pemuda buntung itu berloncatan ke ruangan depan. Cepat mereka mengurung, akan tetapi Han Han yang tidak sabar telah meloncat tinggi ke atas kepala mereka, kedua tangan didorong ke bawah dan dua belas orang itu roboh terbanting tunggang-langgang.
“Ouwyang Seng! Keluarlah! Kalau tidak, kuhancurkan tempat ini!” Han Han berteriak-teriak dan sekali sambar ia mengangkat singa-singaan batu yang belum tentu dapat terangkat oleh sepuluh orang biasa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan melontarkan singa-singaan batu itu ke dalam.
“Braaaaakkkkk!” pecahlah pintu ruangan depan itu.
Han Han meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang ketika berteriak, “Ouwyang Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku Lulu! Kalau tidak, akan kuhancurkan kota raja!”
Tiba-tiba dari sebelah dalam menyambar senjata rahasia yang berupa gelang-gelang kecil. Cepat dan kuat sekali sambaran ini, akan tetapi dengan tenang Han Han menggerakkan tubuh meloncat tinggi sehingga sambaran senjata-senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya. Di udara, tubuh Han Han berjungkir balik dan ia sudah meloncat keluar karena kalau ada lawan tangguh menghadapinya, lebih baik ia berada di luar gedung.
Benar saja dugaannya, dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda yang memegang sebatang golok telah berdiri di depannya. Pemuda itu bukan lain adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan melihat Han Han, ia pun terkejut dan marah.
“Keparat! Kiranya engkau setan buntung!” Lai Kwan memaki dan goloknya sudah menyambar, menjadi sinar putih yang menyilaukan dan mengeluarkan suara berdesing ketika golok itu membelah angin.
“Singggg...!”
Lai Kwan terkejut karena tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat ia memutar tubuh dan mengelebatkan goloknya ke belakang, akan tetapi Han Han yang sudah berada di sebelah belakangnya mudah saja mengelak sambil berkata.
“Gu Lai Kwan, aku menjadi setan buntung karena engkau! Sekarang bukan maksudku datang untuk membalas dendam, sebab aku tidak mendendam kepadamu. Akan tetapi suruhlah Nirahai dan Ouwyang Seng keluar membawa adikku Lulu, kalau tidak... hemmm... siapa pun yang menghalangiku akan kubunuh, termasuk engkau!”
“Buntung sombong!” Lai Kwan malah menyerang lagi.
Melihat betapa pemuda bekas suheng-nya ini nekat, Han Han yang memang sedang berduka dan marah sekali menjadi gemas, akan tetapi ia masih tidak bergerak, hanya mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil mengerahkan tenaga memutar tongkat itu.
“Trakkk! Aihhhhhh...!”
Lai Kwan terkejut bukan main. Betapa pun ia mempertahankan diri sambil mengerahkan tenaga, tetap saja ia terpelanting dan cepat ia bergulingan karena takut kalau-kalau Han Han menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak dan tenang. Melihat ini, sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
“Suhu...! Sian-kouw...! Harap bantu...!”
Setelah berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi sambil mengerahkan semua tenaganya. Akan tetapi sekali ini ia berhati-hati, maklum bahwa lawannya yang buntung ini biar pun dahulu hanyalah seorang sute-nya, namun sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
“Syuuuttt... syuuuuttttt... singggggg!” Sinar berkilauan dari golok Lai Kwan menyambar ganas bertubi-tubi.
“Wuuuttttt!”
Tubuh Han Han sudah melayang lagi keluar dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai Kwan mengejar dan Han Han berhenti di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi tidak memberi kesempatan kepadanya, sudah membacok lagi dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung ini tidak begitu mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil siap menghadapi lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul mendengar teriakan Lai Kwan.
Dan pada saat itu, terdengar suara lengkingan dahsyat dibarengi suara ringkik kuda dan muncullah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dari pintu samping, langsung ia memukul ke arah Han Han dengan ilmu pukulan dahsyat Swat-im Sin-ciang! Juga tampak berkelebatnya bayangan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Nenek lihai itu melayang turun dari atas dengan jari tangan mencengkeram ke arah kepala Han Han menggunakan ilmu sakti Toat-beng Tok-ciang! Dan berbareng di saat itu juga, Lai Kwan sudah membabat ke arah kaki Han Han!
“Desss!”
Pukulan Ma-bin Lo-mo telah ditangkis oleh Han Han dengan telapak tangan kanannya. Sambaran golok Lai Kwan didiamkannya saja karena dalam gugupnya Lai Kwan menyerang ke bawah untuk membabat kaki Han Han, lupa bahwa kaki kiri Han Han telah tidak ada lagi sehingga goloknya menyerang angin kosong!
Han Han lebih memperhatikan cengkeraman si nenek ke arah kepalanya. Ia tidak mengelak, melainkan memapaki tubuh nenek yang menyerang dari atas itu dengan tongkatnya. Gerakan pertamanya menotok telapak tangan kiri nenek itu dan ketika Toat-beng Ciu-sian-li terkejut menarik kembali tangannya, Han Han melanjutkan serangan tongkatnya dengan totokan pada pinggang nenek itu.
“Aiiihhhhh!” Toat-beng Ciu-sian-li memutar tubuh di udara, berjungkir balik dan dari kedua tangannya menyambar dua buah gelang, yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Han Han telah memutar tongkat menangkis bacokan susulan Lai Kwan dari belakang, dan kembali tangan kanannya menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo. Melihat datangnya sambaran dua buah senjata rahasia ini, teringatlah ia akan Kim Cu yang dahulu hampir tewas akibat senjata rahasia ini, maka ia menjadi gemas sekali. Kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar ke depan dan... dua gumpal ujung rambutnya berhasil melibat dua buah gelang yang menyambar, kemudian secara kontan dan keras gelang-gelang itu ia kembalikan ke arah pemiliknya, menyambar dahi dan tenggorokan Ciu-sian-li yang menjadi terkejut.
Dewi Mabuk ini cepat mengelak sambil terus menubruk maju mengirim pukulan sakti dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya kembali mengarah ubun-ubun kepala Han Han dengan cengkeraman maut. Juga Ma-bin Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut menyaksikan gerakan Han Han yang mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini telah membarengi menyerang dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang sekuatnya. Bukan main hebatnya serangan yang dilakukan secara berbareng oleh Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya merupakan datuk-datuk golongan hitam yang sudah mencapai tingkat di puncak, tentu saja amat sukar bagi lawan yang dikeroyok dua orang ini untuk dapat menyelamatkan diri dari serangan mereka yang dilakukan berbareng.
Namun betapa kaget dan heran hati kedua orang tokoh hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh Han Han lenyap dari tengah-tengah antara mereka, telah menghindarkan diri dengan sebuah loncatan yang luar biasa sekali, secepat kilat menyambar sehingga mereka berdua hampir tak dapat mengikuti dengan pandang mata mereka! Akan tetapi, Lai Kwan yang berada di luar gelanggang dapat melihat gerakan Han Han yang menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, gerakan kilat yang membuat tubuhnya seperti mencelat dan keluar dari kepungan dua orang datuk hitam itu.
Gu Lai Kwan adalah murid Toat-beng Ciu-sian-li yang paling setia dan paling disayang oleh nenek itu dan oleh Ma-bin Lo-mo. Pemuda ini amat benci kepada Han Han karena sesungguhnya pemuda ini mencinta Kim Cu. Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu sebagai akibat gadis itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam kebencian kepada Han Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari kepungan kedua orang gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan menggunakan goloknya menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
“Mampuslah engkau, manusia buntung keparat!” bentaknya, goloknya menyambar seperti naga mengamuk.
Han Han dapat melihat sinar maut terpancar dari pandang mata Gu Lai Kwan, maka ia pun membentak, “Begitu kejamkah hatimu?”
Biar pun tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan serangan golok yang ganas, namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan ilmunya yang mukjizat yang ia pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil meloncat, ia melihat menyambarnya golok. Han Han lalu menggerakkan tongkatnya, dengan tenaga sinkang yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan sepenuhnya mengandung daya melekat! Betapa pun Lai Kwan berusaha menarik kembali goloknya, sia-sia saja karena goloknya telah melekat pada tongkat seperti berakar di situ!
Pada saat Lai Kwan menarik golok, tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong. Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke arah Gu Lai Kwan sendiri. Gu Lai Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia berusaha menggulingkan tubuhnya, namun golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu sudah membacok lehernya. Teriakan mengerikan seperti leher tercekik keluar dari mulut Lai Kwan dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu rebah menelungkup, kepalanya miring secara aneh, golok masih di tangan dan tanah di bawah lehernya perlahan-lahan menjadi basah dan merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri, lehernya hampir putus!
Peristiwa ini terjadi cepat sekali, hanya beberapa detik selagi tubuh Han Han masih mengapung di udara. Kini Han Han mencelat ke depan, tidak mempedulikan lagi kepada Gu Lai Kwan yang seolah-olah telah melakukan ‘bunuh diri’ dengan golok sendiri itu.
“Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, mundurlah! Aku tidak ingin bermusuhan denganmu atau dengan siapa pun juga!” bentak Han Han dan suaranya mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya sehingga dua orang datuk hitam itu sampai tercengang dan sejenak mereka itu memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Akhirnya Toat-beng Ciu-sian-li memaki. “Bocah setan, murid murtad! Begini sikapmu terhadap bekas guru?”
Han Han mengerutkan keningnya. “Aku bukan muridmu lagi, Nenek yang bewatak ganas. Aku datang untuk mencari adikku, dan siapa pun dia yang menghalangi aku mencari adikku, akan kuhancurkan!”
Teringat akan Lulu, kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. “Di mana Puteri Nirahai?! Hayo keluarlah dan serahkan Lulu kepadaku!”
Teriakannya ini amat nyaring sehingga bergema sampai jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li bergidik. Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini telah menjadi ahli waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, akan tetapi melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi makin lihai dan gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang, benar-benar membuat mereka berdua menjadi ngeri!
Betapa pun juga, tentu saja dua orang yang menjadi tokoh dunia hitam itu tidak merasa takut dan mendengar tantangan Han Han terhadap Puteri Nirahai, mereka marah dan cepat menerjang lagi dengan hebatnya. Nenek itu selain menggerakkan kedua tangannya yang mengandung tenaga sakti Toat-beng Tok-ciang, juga menggerakkan rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya sebagai senjata yang ampuh dan aneh. Tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis seperti keganasan seorang kuntilanak dalam dongeng dunia setan. Ada pun Ma-bin Lo-mo yang sudah mengerti bahwa lawannya biar pun buntung dan masih amat muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, juga telah menerjang maju dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang sekuat tenaga.
Han Han tidak ingin berkelahi dan tidak ingin pula bermusuh dengan mereka. Akan tetapi karena mereka berdua menghalangi usahanya mencari Lulu, ia menjadi marah dan cepat mainkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya mencelat ke sana ke mari dengan gerakan yang tak terduga-duga dan cepat bukan main. Kepala Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo menjadi pening karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat pemuda buntung itu dan setiap serangan mereka selalu mengenai tempat kosong. Dengan penasaran kedua orang itu menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
“Wuuuttt!” Pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung hawa dingin menyambar dari kiri.
“Singgg... syuuttt!” Serangan tangan ampuh beracun dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran rantai gelang di telinganya tidak kalah ampuh dan berbahayanya.
Dua serangan ini menyambar dari kanan kiri ketika kaki buntung Han Han baru saja turun menyentuh tanah. Akan tetapi tiba-tiba saja Han Han kembali mencelat ke atas dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya, mengatasi kecepatan serangan kedua lawannya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menukik dari atas dan tongkatnya melakukan dua kali totokan ke arah ubun-ubun kepala dua orang pengeroyoknya.
“Hayaaa...!” Ma-bin Lo-mo berseru kaget dan cepat menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke atas tanah sambil berteriak.
“Aiiihhhhh...!” Toat-beng Ciu-sian-li juga mengelak, melempar tubuh bagian atas ke belakang lalu berjungkir balik sampai lima kali sehingga rambutnya menjadi awut-awutan dan saling belit dengan kedua rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya.
Pada saat itu, serombongan pasukan pengawal datang berlari dan mengurung Han Han. Jumlah mereka lebih tiga puluh orang, semua bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian silat dan bertubuh kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok hanyalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan muridnya yang terkasih, Gu Lai Kwan, ada pun tokoh-tokoh lain telah ikut membantu penyerbuan ke Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua pasukan pengawal dikerahkan.
Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri bersembunyi sambil mengintai. Ia menjadi gelisah bukan main. Betapa pun juga, pembesar ini masih mengharapkan kemenangan karena di situ terdapat dua orang tokoh sakti dan di lubuk hatinya ia tidak percaya apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan mampu melawan Ciu-sian-li serta Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan pengawal.
Akan tetapi Han Han sudah marah sekali. Pemuda ini mengamuk secara menggiriskan hati. Tubuhnya berkelebat, lebih banyak di udara dari pada di darat, karena setiap kali ujung tongkat atau ujung kaki tunggalnya menyentuh sesuatu, baik tanah, pundak atau kepala lawan, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, seperti capung bermain di atas bunga-bunga di permukaan air, cepatnya seperti kilat sehingga setiap kali tubuhnya menukik ke bawah tentulah roboh dua tiga orang pengawal secara berbareng, menjadi korban ujung tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li menjadi marah dan penasaran sekali, juga mereka berdua merasa malu mengapa mereka tidak mampu merobohkan pemuda buntung itu, padahal dibantu puluhan orang pengawal. Ma-bin Lo-mo meringkik keras dan kedua tangannya mendorong ke arah Han Han ketika pemuda itu turun ke atas tanah.
“Wuuusssss!” Angin yang mengandung hawa dingin sekali menyambar.
Han Han sudah menangkap seorang pengawal dan melemparkan ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh pengawal itu terbanting kaku, darahnya membeku, mukanya biru! Dan seorang pengawal lain roboh pula karena oleh Han Han dipergunakan untuk menangkis pukulan beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh yang menghitam terkena hantaman pukulan Toat-beng Tok-ciang!
Ketika para pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han Han sudah mencelat ke atas lagi, meloncat sambil menyambar dua orang pengawal, kemudian ketika tubuhnya membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan kilat.
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda buntung yang lihai itu menyusul dengan serangan, maka apa boleh buat mereka menangkis keras sehingga dua orang pengawal itu terbanting roboh dengan tulang-tulang iga remuk. Benar saja seperti yang mereka duga, tubuh Han Han menyambar seperti seekor burung garuda, dan saking cepatnya hanya tampak bayangan berkelebat. Dua orang datuk hitam ini cepat meloncat untuk mengelak, namun masih kurang cepat sehingga pukulan tangan Han Han yang amat panas karena mengandung inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang itu telah mampir di dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung tongkatnya telah menotok pundak Toat-beng Ciu-sian-li.
“Hyaaaaahhhhh...!”
“Haiiikkkkk...!”
Ma-bin Lo-mo terjengkang dan bergulingan, mukanya menjadi pucat sekali dan dadanya sesak, terasa panas seperti dibakar. Ada pun nenek sakti itu juga terbanting ke belakang, cepat duduk bersila untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terkena totokan yang hebat. Kalau saja Han Han tidak ingat bahwa kedua orang itu pernah menjadi gurunya, biar pun pada saat itu ada puluhan orang pengawal yang menerjangnya, tentu ia akan mudah saja melanjutkan serangan membunuh kedua orang datuk hitam itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin membunuh mereka dan dia hanya menggerakkan tangan dan tongkatnya, melempar-lemparkan para pengawal seperti orang melempar-lemparkan rumput saja.
Gegerlah para pengawal dan mereka mundur-mundur dengan muka ketakutan. Pemuda buntung itu terlalu kuat bagi mereka, seperti sekumpulan nyamuk melawan api saja. Melanjutkan pengeroyokan sama artinya dengan membunuh diri bagi mereka. Ada pun Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah menderita luka tidak berani melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka mereka, maka mereka berdua pun sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di antara sisa para pengawal yang hanya berani mengurung dari jauh sambil bersiap-siap untuk melarikan diri apa bila Han Han mengejar. Namun pemuda itu tidak mengejar, hanya berdiri tegak, bersandar pada tongkatnya, menengadah dan mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga.
“Puteri Nirahai! Kembalikan adikku...!”
Setelah beberapa kali berteriak tanpa ada jawaban, Han Han lalu meloncat ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biar pun hati mereka dicekam rasa gentar dan ngeri, namun para pengawal tentu saja segera menghadang dan berusaha mencegah pemuda buntung itu memasuki gedung. Han Han mengeluarkan seruan keras dan begitu tongkatnya berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan kiri seperti disambar kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi ketika pemuda itu berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil berteriak-teriak para pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han sudah marah sekali. Dia mengamuk seperti gila, menggeledah seluruh kamar gedung itu, mencari Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Setiap orang pengawal yang berusaha menerjangnya dirobohkan dengan sekali gebrakan saja. Namun hasil penggeledahannya sia-sia. Tidak tampak batang hidung Ouwyang Seng yang dicarinya. Ketika ada lima orang perwira pengawal dengan nekat menerjangnya, ia melompat ke atas dan dari atas sinar tongkatnya bergulung-gulung, empat orang perwira roboh dan seorang lagi ia jambak rambutnya dan ia seret ke sudut ruangan. Dengan ujung tongkat ditodongkan di leher perwira itu ia membentak.
“Di mana Ouwyang Seng? Hayo jawab!”
Wajah perwira itu pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia dipaksa jatuh berlutut. Dengan napas sengal-sengal ia menjawab, “Ham... hamba... tidak tahu. Sudah lama tidak berada di sini...”
“Mana Ouwyang Cin Kok?”
“Tadi... ketika ribut-ribut... beliau lari... mungkin ke istana...”
“Dan di mana kakek dan nenek tadi? Mana Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li?”
“Lari... mereka lari... ke istana...”
Han Han menjadi sebal dan marah, tubuhnya bergerak dan perwira itu sudah ia lemparkan ke sudut. Tubuh perwira itu menabrak dinding dan tak dapat bangun lagi karena pingsan saking takutnya. Han Han meloncat keluar dan kini ia melesat amat cepatnya meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah diobrak-abriknya itu, menuju ke istana!
Kemarahan membuat manusia menjadi mata gelap dan lupa diri, lupa akan bahaya dan demikian pula dengan Han Han. Dia sedang marah sekali. Penderitaan batin yang ia alami bertubi-tubi ditambah kemarahannya mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han Han menjadi nekat dan tidak memakai perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang, betapa pun saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke istana kaisar!
Tentu saja penjagaan di istana tidak dapat dibandingkan dengan penjagaan para pengawal di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pasukan pengawal yang dipusatkan menjaga istana amat besar jumlahnya, dan di situ pun banyak terdapat pengawal yang berilmu tinggi di samping keadaan istana sendiri yang merupakan semacam benteng yang amat kuat! Maka, begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia sudah dikurung oleh puluhan bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung ketat, dan ia sudah dikeroyok secara hebat!
“Tangkap pemberontak!”
“Bunuh pemberontak!”
Para pengawal berteriak-teriak biar pun dalam beberapa gebrakan saja Han Han telah merobohkan tujuh orang pengeroyok, namun mereka tetap maju menerjang sehingga Han Han terpaksa memutar tongkat melindungi dirinya sambil berteriak.
“Aku bukan pemberontak! Aku hanya ingin bertemu dengan Puteri Nirahai dan minta supaya adikku dibebaskan!”
Tentu saja teriakannya sia-sia karena para pengawal sudah mendengar betapa hebatnya pemuda buntung ini mengacau gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Kini pemuda itu akan mencelakakan keluarga kaisar, ditambah pula Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri dengan dikawal oleh Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi ke istana, karena itu di situ pun diadakan penjagaan yang ketat.
Biar pun para pengawal tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap ada yang roboh tentu tempatnya digantikan yang lain, namun dengan ilmunya yang mukjizat, yaitu gerakan kilat Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat menembus pintu gerbang dan memasuki halaman istana. Betapa pun juga, dia tidak pernah dapat membebaskan diri dari kepungan yang makin lama makin ketat. Setelah dia memasuki pekarangan istana yang luas, pintu gerbang itu ditutup oleh para pengawal sehingga Han Han kini kehilangan jalan keluar!
“Bebaskan Lulu...! Lepaskan adikku!” Han Han berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor harimau terjebak.
Betapa pun juga, pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk menyebar kematian di antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban mereka menjaga keamanan istana. Oleh karena itu dia hanya merobohkan mereka tanpa membunuh dan hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan pengawal itu bukan tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan dan tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir seperti serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
Kalau hanya pasukan pengawal yang mengepungnya, biar ditambah sampai seribu orang, kiranya akan mudah baginya untuk menyelamatkan diri dan keluar dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras, aba-aba dari komandan penjaga yang menyuruh semua pasukan mundur dan mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang tadinya mengeroyok secara mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan tampaklah oleh Han Han munculnya orang-orang sakti yang sekarang menghadapinya. Mereka itu bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima orang tokoh sakti yang memiliki ilmu kepandaian hebat!
Han Han maklum bahwa lima orang lawan ini merupakan lawan yang amat berat, terutama sekali dua orang hwesio Tibet yang merupakan wakil dari Pangeran Kiu yang mengkhianati perjuangan Bu Sam Kwi dan para orang gagah dengan mengadakan persekutuan gelap dengan pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin dan berkata.
“Ji-wi Losuhu, aku tidak mau mencampuri urusan kalian, tidak mau melibatkan diri dengan segala kepalsuan orang-orang yang mencari kedudukan melalui perang, fitnah, pengkhianatan dan lain-lain kekotoran lagi. Aku datang hanya untuk menuntut agar adikku Lulu yang ditawan Puteri Nirahai dibebaskan. Biarlah Puteri Nirahai sendiri keluar menemuiku! Aku datang bukan untuk mengacau, bukan untuk mencari musuh, melainkan semata-mata untuk menolong adikku. Bebaskan adikku, dan aku bersama adikku akan mengangkat kaki dari sini dan selamanya tidak akan mencampuri urusan perang yang terkutuk!”
“Murid murtad! Engkau masih harus menerima hukuman dariku!” Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.
“Han Han, engkau bekas murid yang selain menyeleweng juga telah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang mengurung tempat itu.
“Ha-ha-ha, engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!” kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali, namun ia tetap membungkam.
“Omitohud...! Suma-taihiap biar pun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi? Menyerahlah, Suma-taihiap!” kata Thian Tok Lama.
“Benar ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu.” Thai Li Lama membujuk.
Namun semua ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu sama sekali tidak mendatangkan kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.
“Sudah kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan pemerintah mau pun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta kebebaskan adikku!”
“Hiye-heh-heh! Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan, kau mau apa?”
“Akan kurebut dengan paksa dan kuusahakan sampai aku mati.”
“Pemuda buntung sombong!” Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda buntung itu.
“Omitohud, betapa tabahnya!” Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum sekali. “Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal?”
Han Han menoleh ke sekelilingnya. Ia melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah bayangan manusia ataukah bukan.
“Thian Tok Lama, bagiku persoalannya bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekali pun aku tidak takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah akan menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!” Ucapan terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima orang tokoh beser itu menjadi merah.
Memang harus diakui bahwa peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat memalukan. Biasanya setiap orang di antara mereka berlima yang telah memiliki kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga mereka bersikap angkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan bergerak, apa lagi hendak mengeroyok lawan.
Dan sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda dan patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut dan kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacat dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar merupakan peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar mereka!
“Omitohud, orang muda yang sombong. Kau kira pinceng tidak berani menghadapimu seorang diri?” Thai Li Lama menjadi tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han.
Empat orang tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad lebih.
Han Han mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia telah mengerahkan sinkang di tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat ini.
Akan tetapi aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak menyerang, melainkan berdiri tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar suaranya, halus seperti membujuk.
“Suma-taihiap, kau turutilah permintaanku, tundukkan kepalamu...”
Han Han merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia malah menengadah, memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan dari pada apa yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!
“Omitohud, agaknya taihiap hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kau pandang mataku kalau berani!”
Andai kata ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli ‘kalau berani’, tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguh pun di dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga mukjizat yang seolah-olah memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya. Akan tetapi kata ‘kalau berani’ membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak berani? Ia segera memandang ke depan, menentang pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu!
Semua orang menahan seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung api!
Thai Li Lama berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism). Tetapi Han Han yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang mata berapi-api.
Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mukjizat dalam diri pemuda buntung ini. Suatu kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak mala petaka menimpa keluarganya dan daya kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan yang mukjizat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat memancar ke luar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!
Kini Han Han yang maklum apa yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak getaran halus yang keluar dari sinar mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya sendiri hendak ‘mengadu kekuatan pandang mata’ dengan hwesio Tibet itu. Maka terjadilah ‘pertandingan’ yang luar biasa, lebih hebat dari pada pertandingan adu kekuatan sinkang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya bergelombang, terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona seperti kemasukan pengaruh mukjizat.
Kedua pandang sinar mata itu masih saling dorong, saling banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api. Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali!
Biasanya, betapa pun pandai silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya tentu akan mudah ia tundukkan. Thai Li Lama menjadi kaget dan penasaran melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak mampu menundukkan pemuda buntung ini, bahkan seolah-olah sinar matanya melekat pada sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan ia menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan gerengan seperti suara seekor beruang dan membentak.
“Suma Han, lihat baik-baik siapa aku? Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga berlengan delapan! Lekas kau berlutut dan menyerah!”
Dari kepala pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan kaki gemetar. Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut?
Pendeta Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi makhluk yang luar biasa. Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru. Kepala naga yang mengerikan itu bukan hanya sebuah, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi, melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga lengannya berjumlah delapan!
Bagi Han Han, karena penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja, perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.
“Hemmm, Thai Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang sudah tua, kenapa bersikap seperti anak kecil? Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat!”
Semua pasukan yang mendengar ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang berapi-api! Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han, sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han sudah siap sedia. Ia melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang! Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling. Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya pucat!
Melihat keadaan sute-nya, Thian Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara berkokok seperti ayam biang, dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu. Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han. Pada saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.
Namun semua pukulan sakti yang membawa maut itu luput. Pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik turun dengan tongkatnya yang diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar dan menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya! Lima orang tokoh besar yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya itu cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua tangan penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun. Karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, kedua orang pendeta Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi menyerang dengan pukulan-pukulan sakti mereka.
Han Han mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian setinggi itu benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan! Terpaksa pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga sinkang yang berada di tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR SUPER SAKTI (BAGIAN KE-6 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suma Han